BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
.jpg)
Pada
tanggal 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan perkara No.
35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pemohon dalam perkara ini adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
Masyarakat Adat Kenegerian Kuntu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dan
Masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Putusan
MK No. 35/PUU-IX/2012 merupakan putusan penting sebab menjungkirbalikan
pemahaman klasik di Indonesia tentang hutan, kawasan hutan dan posisi
hutan adat. Pada intinya putusan MK 35 menyangkut dua isu konstitusional,
pertama mengenai hutan adat dan kedua mengenai pengakuan bersyarat terhadap
keberadaan masyarakat adat. Putusan itu mengabulkan permohonan berkaitan dengan
hutan adat, namun menolak permohonan untuk menghapuskan syarat-syarat pengakuan
keberadaan masyarakat adat yang terdapat di dalam UU Kehutanan.
Putusan
MK 35/PUU-X/2012 berisi beberapa pokok antara lain:[1] Pertama, pernyataan
Mahkamah Konstitusi bahwa UU Kehutanan yang selama ini memasukan hutan adat
sebagai bagian dari hutan negara merupakan bentuk dari pengabaian
terhadap hak-hak masyarakat adat dan merupakan pelanggaran konstitusi. Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya menyebutkan: “Oleh karena itu, menempatkan hutan
adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak
masyarakat hukum adat”[2].
Peryataan bahwa selama ini telah terjadi pengabaian semestinya membuat
pemerintah semakin sadar untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat yang selama
ini ‘dirampas’ atau diabaikan.
Kedua, hutan
adat dikeluarkan posisinya dari sebelumnya merupakan bagian dari hutan negara
kemudian dimasukan sebagai bagian dari kategori hutan hak. Hal ini sebagai
konsekunsi dari perubahan Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan.
Tabel 1. Perubahan
Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan
Sebelum putusan MK
|
Setelah putusan MK
|
Hutan
adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat.
|
Hutan
adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
|
Hutan
adat dikeluarkan posisinya dari hutan negara kemudian dimasukan ke dalam
kategori hutan hak. Di dalam Putusan MK 35 secara tegas disebutkan dengan cetak
tebal bahwa “hutan adat bukan lagi menjadi bagian dari hutan negara, kategori
hutan hak di dalamnya haruslah dimasukkan hutan adat[3].
Lebih lanjut di dalam putusan MK itu disebutkan bahwa posisi hutan adat
merupakan bagian dari tanah ulayat masyarakat hukum adat.
“Hutan adat
(yang disebut pula hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan
lainnya) berada dalam cakupan hak ulayat karena berada dalam satu kesatuan
wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat, yang peragaannya
didasarkan atas leluri (traditio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de
volksfeer) dan mempunyai suatu badan perurusan pusat yang berwibawa dalam
seluruh lingkungan wilayahnya”.[4]
AMAN
memperkirakan bahwa luas hutan adat yang telah dijadikan sebagai bagian dari
hutan negara seluas 40 jutahektar. Luas itu tentu sangat fantastis dan
luar biasa luasnya. Selain itu, perubahan posisi hutan adat sebenarnya sekali
lagi menunjukan kepada pemerintah bahwa kawasan hutan tidak sama dengan hutan
negara. Selain hutan negara, di dalam kawasan hutan itu bisa terdapat hutan
adat dan hutan hak perseorangan/badan hukum. Namun sayangnya sampai saat ini
Kemenhut belum mau menerima paradigma bahwa hutan mesti dilihat sebagai kawasan
yang berfungsi hutan, sehingga penguasaan Kemenhut bisa lebih luas bukan saja
terhadap hutan negara, tetapi juga terhadap hutan adat dan hutan hak.
Penguasaan yang dimaksud adalah adanya tanggungjawab kemenhut untuk turut
memberikan kepastian hukum dan mempromosikan hutan adat dan hutan hak yang
berada di atas tanah ulayat dan tanah hak.
Ketiga, pemegang
hak atas tanah adalah pemegang hak atas hutan. Dalam putusannya
MK menyampaikan bahwa ada tiga subjek hukum yang diatur dalam UU Kehutanan,
yakni negara, masyarakat hukum adat, dan pemegang hak atas tanah yang di
atasnya terdapat hutan. Negara menguasai baik atas tanah maupun atas hutan.
Pemegang hak atas tanah dimaksud juga memegang hak atas hutan, tetapi
masyarakat hukum adat tidak secara jelas pengaturan tentang haknya atas tanah maupun
hutan[5].
Perlakuan yang berbeda terhadap masyarakat adat itulah yang juga menjadi dasar
bagi MK untuk menyatakan bahwa telah terjadi pengabaian terhadap hak masyarakat
adat atas hutan. Selain itu, prinsip ini juga mempertegas status hutan yang
terdiri dari hutan negara, hutan adat dan hutan hak perseorangan/badan hukum.
Prinsip ini merupakan prinsip penguasaan vertikal dimana pihak yang menguasai
tanah maka dia juga menguasai hak-hak yang ada di atas tanah.
Keempat, otoritas
negara terhadap hutan negara dan hutan adat berbeda-beda. Mahkamah Konstitusi
menyampaikan bahwa Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk
mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta
hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Kewenangan
pengelolaan oleh negara di bidang kehutanan seharusnya diberikan kepada
kementerian yang bidangnya meliputi urusan kehutanan.
Sedangkan
terhadap hutan adat, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa wewenang negara
dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat
(yang disebut pula hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya) berada
dalam cakupan hak ulayat karena berada dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan
wilayah) masyarakat hukum adat, yang peragaannya didasarkan atas leluri
(traditio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de
volksfeer) dan mempunyai suatu badan perurusan pusat yang berwibawa
dalam seluruh lingkungan wilayahnya.
Meskipun
ada pembedaan otoritas negara terhadap hutan negara dan hutan adat, tetap ada
otoritas umum yang dimiliki oleh Kemenhut di bidang kehutanan yang diterapkan
terhadap semua status hutan baik hutan negara, hutan adat maupun hutan hak
perseorangan. Otoritas umum ini misalkan menentukan status hutan negara, hutan
adat dan hutan hak perseorangan/badan hukum. Kewenangan ini tidak pernah
dijalankan oleh Kemenhut sehingga belum ada Keputusan Menteri tentang penetapan
status hutan negara, hutan adat maupun hutan hak perseorangan/badan hukum.
Keputusan yang ada selama ini adalah keputusan penetapan kawasan hutan yang
telah secara sadar dan secara keliru dipersamakan dengan penetapan status hutan
negara. Padahal sudah secara jelas bahwa kawasan hutan tidak sama dengan hutan
negara.
Kelima, hal
pokok lainnya adalah penegasan bahwa masyarakat adat merupakan penyandang hak.
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa masyarakat adat merupakan subjek hukum
yang memiliki hak dan kewajiban. Keberadaan masyarakat adat haruslah tunduk
kepada batasan-batasan yang ditentukan di dalam konstitusi antara lain
masyarakat adatnya masih ada, selaras dengan perkembangan zaman dan tidak
bertentangan dengan prinsip NKRI. Prinsip tidak bertentangan dengan NKRI
menurut MK dimaknai bahwa keberadaan masyarakat adat bukan untuk memisahkan
diri dari republik Indonesia. Lebih lanjut pengaturan tentang subjek hukum
masyarakat adat, kriteria dan tata caranya diatur berdasarkan undang-undang.
Oleh karena itu, sangat menarik
untuk menganalisis putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 ini, karena
terdapat berbagai masalah yang muncul setelah dikeluarkannya putusan tersebut,
seperti batasan terhadap hutan adat, siapa yang berhak mengatur sehingga
kepastian hukum dari putusan ini seolah-olah lemah dan akibat lain yang
ditimbulkan adalah kemanfaatannya yang berkurang dan mungkin saja keputusan
yang dikeluarkan jauh dari kata adil. Untuk mengurai lebih jauh mengenai
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dari putusan MK No. 35/PUU-IX/2012
ini, penyusun akan mencoba mengaitkannya dengan teori yang di kemukakan oleh L.
M. Friedman yang melihat hukum sebagai sebuah sistem yang tidak terpisahkan
dimana sistem hukum tersebut terdiri dari struktur huku, substansi hukum dan
kultur hukum.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian di atas,
penulis bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut: “Bagaimanakah
Dinamika putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan”. ?
BAB
II
PEMBAHASAN
Lawrence M. Friedman menyatakan
bahwa berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung pada 3
hal yaitu: struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).[6] Substansi Hukum adalah bagian substansial yang
menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti
produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang
mencakup keputusan yang mereka keluarkan, atau aturan baru yang mereka
susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law),
bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books).
Sebagai negara yang masih menganut sistem Civil Law Sistem atau
sistem Eropa Kontinental (meski sebagian peraturan perundang-undangan juga
telah menganut Common Law Sistem atauAnglo Saxon)
dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan
peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum.
Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu
pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP
ditentukan “tiada suatu perbuatan dapat pidana kecuali atas kekuatan hukum
yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Sehingga bisa atau
tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut
telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
Budaya/Kultur Hukum menurut Lawrence M. Friedman[7] adalah
sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran,
serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan
sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat.
Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang
baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara
sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu
indikator berfungsinya hukum.
Baik
substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum saling keterkaitan
antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam pelaksanaannya
diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling mendukung agar tercipta
pola hidup aman, tertib, tentram dan damai.
Hukum
mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan
bernegara. Hukum sebagai suatu sistem, dapat berperan dengan baik dan benar
ditengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan
kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Pelaksanaan
hukum itu dapat berlangsung secara normal, tetapi juga dapat terjadi karena
pelanggaran hukum, oleh karena itu hukum yang sudah dilanggar itu harus
ditegakkan. Menurut Gustav
Radbruch putusan hakim yang ideal ialah apabila mengandung unsur-unsur
keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit) dan
kemanfaatan (Zweckmaβigkeit).[8]
A.
Dinamika
Putusan MK No. 35/PUU-IX/2012
Berangkat
dari uraian tentang teori hukum yang dikemukakan oleh L. M. Friedman di atas,
penyusun ingin menganalisis lebih jauh tentang Dinamika Putusan
MK No. 35/PUU-IX/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Apakaha putusan yang di keluarkan oleh mk tersebut sudah memerikan keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan atau belum.
1.
Keadilan
Putusan yang
dikeluarkan oleh MK pada 16 Mei 2013 lalu itu, Putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 merupakan
putusan penting sebab menjungkirbalikan pemahaman klasik di Indonesia tentang
hutan, kawasan hutan dan posisi hutan adat. Namun sejak dikeluarkan putusan
tersebut, belum banyak yang betul-betul berubah. Hutan-hutan adat masih
dikuasai oleh perusahaan maupun oleh pemerintah baik digunakan untuk
usaha-usaha di bidang kehutanan maupun konservasi yang dalam praktiknya
sama-sama mengucilkan masyarakat adat dari hutan mereka.
Kelompok masyarakat adat menyambut
putusan itu dengan gegap gempita. Puluhan komunitas masyarakat mengambil
inisiatif untuk membuat plang dan menancapkannya di hutan-hutan adat. Di dalam
plang itu dituliskan kalimat: BERDASARKAN PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012, HUTAN
ADAT KAMI BUKAN LAGI HUTAN NEGARA. Apa yang dilakukan oleh komunitas masyarakat
adat merupakan bentuk implementasi sendiri (self-implementing) untuk
menurunkan putusan MK bisa sampai di lapangan. Hal ini wajar mengingat putusan
MK tidak otomatis mengubah keputusan-keputusan administratif mengenai status
kawasan hutan. Klaim masyarakat dengan menancapkan plang patut diapresiasi
sebagai wujud nyata bahwa masyarakat adat memang memiliki hubungan tak
terpisahkan dengan hutan yang telah menjadi bagian dari identitasnya[9].
Putusan MK dijadikan momentum oleh
masyarakat hukum adat untuk mencapai keadilan yang selama ini tergadaikan,
pasca putusan MK lebaga/instansi terkait harus tunduk dan patuh terhadap
putusan MK selain itu, yang terpenting adalah implementasi dari putusan MK
tersebut sehingga keadilan yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat hukum adat
dapat dirasakan dan manfaatkan. Undang-undang kehutanan yang selama ini menjadi
payung hukum bagi pengelolaan hutan, sejak awal telah mengbaikan hak-hak
masyarakat adat. Pengelolaan hutan adat sudah semestinya menjadi hak dari
masyarakat hukum adat, sehingga keadilan akan nampak dan aturan hukum yang
dibuat memiliki manfaat. sebagai seorang filosof pertama kali yang merumuskan
arti keadilan. Aristoteles[10],
mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang
menjadi haknya, (fiat justitia et pereat
mundus) meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan. dalam kasus ini
masyarakat adat adalah subyek yang paling relevan untuk diberikan hak mengelola
hutan adat.
Selanjutnya dia membagi keadilan
menjadi dua bentuk yaitu[11]; pertama,
keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat
undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi
anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional.Kedua,
keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan
memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif
keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo
dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti
rugi atas miliknya yang hilang. Atau kata lainnya keadilan distributif
adalah keadilan berdasarkan besarnya jasa yang diberikan, sedangkan
keadilan korektif adalah keadilan berdasarkan persamaan hak tanpa melihat
besarnya jasa yang diberikan.
Berdasarkan teori keadilan yang di
kemukakan oleh Aristoteles di atas, putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 sudah
mencerminkaan keadilan atau setidak-tidaknya telah mendekati keadilan bagi
masyarakat adat. Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang
tercakup dalam hutan adat. Hutan adat (yang disebut pula hutan marga, hutan
pertuanan, atau sebutan lainnya) berada dalam cakupan hak ulayat karena berada
dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat, yang
peragaannya didasarkan atas leluri (traditio) yang hidup dalam
suasana rakyat (in de volksfeer) dan mempunyai suatu badan
perurusan pusat yang berwibawa dalam seluruh lingkungan wilayahnya. [12]
Sebelumnya hutan adat
dimasukkan sebagai bagian dari hutan negara dan bukan sebagai hutan hak
sehingga negaralah yang mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan
persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubungan hukum
yang terjadi di wilayah hutan negara. Akibatnya hutan adat sebagai bagian dari
hak ulayat masyarakat menjadi terabaikan dan bahkan dilanggar hak-haknya oleh
negara. Pasca putusan MK hak-hak masyarakat adat belum sepenuhnya dikembalikan
oleh negara, karena dalam putusan MK sendiri perlu dilakukan tindak lanjut
untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat terkait dengan substansi, struktur dan
budaya hukum yang harus kembali diselaraskan untuk menghindarkan potensi
terjadinya konflik akibat putusan MK tersebut.
·
Substansi
Substansi adalah output
dari sistem hukum, berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang
digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.[13]
Substansi undang-undang
sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus
dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah
asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua
peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan secara sektoral oleh
departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan
ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan
undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat,
bahkan sering bertentangan.[14]
Dalam hal ini, UU Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan harus disinkronkan kembali pasca putusan MK
beberap pasal telah diubah yang berpengaruh pula pada Pasal-pasal terkait lain
di dalam UUK, yaitu Pasal 5 ayat (1) dan penjelasannya, ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) serta Pasal 67 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).
·
Struktur
Yang dimaksud sebagai
sturktur disini adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum seperti
pengadilan negeri, pengadilan administrasi yang mempunyai fungsi untuk
mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen struktur ini
memungkinkan pemberian pelayanan dan penggarapan hukum secara teratur.[15]
Menurut Syafruddin Kalo
Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta
lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi
Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain.[16]
Pasca putusan MK tindak
lanjut yang harus dilakukan terkait dengan struktur hukum adalah Akselerasi
putusan MK oleh Kementerian/Lembaga terkait (implementasi teknis), sehingga
perlu segera ditentukan Kementerian/Lembaga yang bertanggungjawab untuk
menindaklanjuti dan melaksanakan koordinasi lintas Kementerian/Lembaga dalam
kaitannya dengan tindak lanjut putusan MK.[17]
Meskipun ada pembedaan
otoritas negara terhadap hutan negara dan hutan adat, tetap ada otoritas umum
yang dimiliki oleh Kemenhut di bidang kehutanan yang diterapkan terhadap semua
status hutan baik hutan negara, hutan adat maupun hutan hak perseorangan. Otoritas
umum ini misalkan menentukan status hutan negara, hutan adat dan hutan hak
perseorangan/badan hukum. Kewenangan ini tidak pernah dijalankan oleh Kemenhut
sehingga belum ada Keputusan Menteri tentang penetapan status hutan negara,
hutan adat maupun hutan hak perseorangan/badan hukum. Keputusan yang ada selama
ini adalah keputusan penetapan kawasan hutan yang telah secara sadar dan secara
keliru dipersamakan dengan penetapan status hutan negara. Padahal sudah secara
jelas bahwa kawasan hutan tidak sama dengan hutan negara.
Sebagaimana yang telah
dijelaskan diawal paper ini bahwa sistem hukum selalu terkai dengan tiga hal
yaitu substansi, struktur dan budaya hukum maka urusan struktur hukum akan
selalu terkait dengan substansi yang merupakan alat utuk mencapai keadilan dan
kepastian hukum.
Tindak lanjut yang
diperlukan antara lain, mengeluarkan atau menginisiasi dikeluarkannya peraturan
yang dapat mewadahi berbagai isu hukum terkait hutan adat antara lain tata cara
mengidentifikasi hutan adat, mekanisme pengakuan dan perlindungannya,
perlindungan atas hak/izin yang sudah diberikan berdasarkan peraturan yang
berlaku, mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik, aturan untuk mencegah
dan membatasi penyalahgunaan pengakuan atas hutan adat untuk kepentingan
pribadi, serta mandat memetakan wilayah adat.
·
Budaya
Hukum
Adapun budaya hukum adalah meliputi
pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran
nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan
lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana
hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan[18].
Hukum pada dasarnya tidak hanya
sekedar rumusan hitam di atas putih saja sebagaimana yang dituangkan dalam
berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, tetapi hendaknya hukum dilihat
sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam kehidupan masyarakat melalui pola
tingkah laku warganya. Hal ini berarti hukum sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor non hukum seperti : nilai, sikap, dan pandangan masyarakat yang
biasa disebut dengan kultur/budaya hukum. Adanya kultur/budaya hukum inilah
yang menyebabkan perbedaan penegakan hukum di antara masyarakat yang satu
dengan masyarakat lainnya.[19]
Hukum sebenarnya memiliki hubungan
yang timbal balik dengan masyarakatnya, dimana hukum itu merupakan sarana/alat
untuk mengatur masyarakat dan bekerja di dalam masyarakat itu sendiri sedangkan
masyarakat dapat menjadi penghambat maupun menjadi sarana/alat sosial yang
memungkinkan hukum dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya[20].
Menurut Emile Durkheim, hubungan antara hukum dengan masyarakat dapat dilihat
dari 2 tipe masyarakatnya yang berbeda antara lain[21]
:
a) Masyarakat
dengan solidaritas mekanik yang didasarkan pada sifat kebersamaan diantara
anggotanya sehingga hukum bersifat represif yang berfungsi mempertahankan
kebersamaan tersebut;
b) Masyarakat
dengan solidaritas organik yang didasarkan pada sifat individualisme dan
kebebasan anggotanya sehingga menyebabkan hukum menjadi bersifat restitutif
yang hanya berfungsi untuk menjaga kelangsungan kehidupan masyarakat.
Berbicara mengenai
budaya hukum menurut Prof Esmi Warasih adalah berbicara mengenai bagaimana
sikap-sikap, pandangan-pandangan serta nilai-nilai yang dimilikimoleh
masyarakat.[22]
Penegakan hukum
bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri, melainkan ia saling berkaitan dengan
masalah-masalah sosial masyarakat lainnya. Artinya hukum bukan hanya sebagai
sistem nilai, tetapi juga hukum sebagai sub sistem dari sistem sosial yang
lebih besar, yaitu masyarakat dimana hukum diberlalakukan.
Budaya hukum merupakan
salah satu komponen yang sangat menentukan apakah substansi hukum maupun
tatanan proseduralnya diterima oleh masyarakat dimana hukum itu diterapkan atau
tegakkan. Oleh karena itu, Lawrence M. Friedman menegaskan bahwa komponen
budaya merupakan motor penggerak bagi semua tatanan hukum.
2.
Kemanfaatan
Untuk memahami kemanfaatan sebagai tujuan dari hukum, perlu kiranya untuk
berkaca pada teori-teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum tentang
tujuan hukum, diantaranya:
Teori
Utilitis (Utilities Theori)
Teori ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata
untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi
manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya[23]. Semboyan teori ini
adalah “The greatest happiness for the greatest number”.
Jadi pada hakekatnya menurut teori ini, tujuan hukum adalah untuk
kemanfaatan dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi
jumlah orang yang terbanyak. Aliran utilistis ini mempunyai pandangan bahwa
tujuan hukum tidak lain adalah bagaiamana memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi warga masyarakat. Penganut teori ini adalah Jeremy
Bentham, John Austin, dan J.S. Mills.
Utilitarianisme pertama
kali dikembangkan oleh Jeremy
Bentham (1748-1831). Persoalan yang di hadapi oleh Bentham pada zaman itu adalah
bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijakan sosial politik, ekonomi, dan
legal secara moral. Dengan kata lain bagimana menilai suatu kebijakan public
yang mempunyai dampak kepada banyak orang secara moral. Berpijak dari tesis tersebut, Bentham menemukan bahwa dasar
yang paling objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan
tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi
orang-orang yang terkait.[24]
Bila
dikaitkan apa yang dinyatakan Bentham pada hukum ( baca Kebijakan), maka baik buruknya
hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan
hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru bisa di nilai baik, jika akibat-akibat
yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan
sebesar-besarnya, dan berkurangnya penderitaan. Dan sebaliknya dinilai buruk
jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian, dan
hanya memperbesar penderitaan. Sehingga tidak salah tidak ada para ahli menyatakan
bahwa teori kemanfaatan ini sebagai dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum.
Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan
hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat
atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan
akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan
orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan
kesejahteraan Negara.[25]
Teori Campuran atau Gabungan (Gemengde Theori)
Teori ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum bukanlah hanya
keadilan, tetapi juga kemanfaatan (justice et utilities). Penganut
aliran ini diantaranya adalah Schrasset yang berpendapat bahwa bilamana unsur
keadilan saja yang diperhatikan dalam tujuan hukum, maka hasilnya hanyalah
ketentuan-ketentuan yang memenuhi keadilan mutlak (absolute justice),
tetapi tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan dalam pergaulan sehari-hari
(kemanfaatan)[26].
Demikian pula Purnadi Purbacaraka dan soerjono soekanto berpendapat bahwa tujuan hukum
adalah demi kedamaian hidup antar pribadi
yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi.[27] Pendapat ini hampir
serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn, bahwa pada dasarnya
hukum bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai.
Berdasarkan pada teori-teori yang dipaparkan di atas, hasil putusan MK
sudah memenuhi syarat untuk disebut pro kepada kemanfaan hukum, dimana hasil
putusan tersebut diharapkan dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat hukum
adat yang selama ini tidak bisa mengelola hutan adat mereka sebagai bagian dari
hak ulayat yang dimiliki secara turun-temurun. Namun sejauh ini masyarakat
belum bisa menikmati manfaat lahirnya Putusan MK, karena perlu adanya tindak
lanjut untuk membenahi substansi dan struktur terkait dengan hasil putusan MK
tersebut.
·
Substansi
Konsep penguasaan atas
hutan adat yang melatarbelakangi munculnya upaya untuk mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan karena substansinya dinilai diskrimitaf dan mengabaikan hak-hak
masyarakat adat, bagi masyarakat hukum adat tanah atau wilayah dan sumber daya
alam yang terkandung di dalamnya sangatlah penting. Mereka menganggap tanah
atau wilayat tersebut sebagai sarana bagi keberlangsungan hidup maupun budaya
mereka. Betepa penting hal ini sampai bisa dikatakan bahwa tanah adalah raison d’etre bukan saja bagi kehidupan sosial,
budaya, spiritual, ekonomi dan polotik mereka, melainkan juga bagi eksistensi
mereka.[28]
Erica-Irene Daes,
seorang pelopor khusus untuk “Studi Tentang Masyarakat Adat Dan Hubungan Mereka
Dengan Tanah” telah mengidentifikasi permasalahan umum yang dihadapi oleh
masyarakat adat sehubungan dengan hak-hak dan sumber daya alam mereka. Beberapa
permasalahan tersebut adalah:[29]
a) Kegagalan
atau kengganan negara-negara untuk mengakui hak-hak masyarakat adat terhadap
tanah, wilayah dan sumber daya alam
b) Hukum
dan kebijakan diskriminatif yang berdampak pada anah dan sumber daya alam
mereka
c) Kegagalan
atau keengganan untuk memberi batas
d) Kegagalan
atau keengganan negara-negara untuk melaksanakan atau menerapkan hukum
yang melindungi tanah masyarakat adat
Peraturan
perundang-undanga yang baik dan protektif atau putusan pengadilan yang
progresif tidak akan berarti apa-apa jika negara gagal untuk menerapkan
berlakunya peraturan atau putusan tersebut.
Sifat UUPA 1960 sebagai
hukum dasar atau undang-undang pokok, dan fakta bahwa belum ada peraturan
pelaksanaa yang sudah dibuat sejauh ini secara khusus mengatur mengenai
pengakuan dan perlindungan hak ulayat, telah menyebabkan munculnya kebijakan
pemerintah yang sangat berdampak pada hak ulayat dari masyarakat hukum adat,
menurut Fitzpatrick,[30]
dari dasar hukun dari kebijakan “hak ulayat negara“ yang termuat dalam Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 dan pasal 2 UUPA 1960, yang keduanya menyatakan bahwa semua
tanah dan sumber daya alam di Indonesia dikuasai oleh negara. Kebijakan ini
telah memberikan peluang bagi negara untuk memberikan hak-hak di atas tanah
ulayat yang tidak/belum diolah kepada pihak ke tiga, dalam penafsirannya yang
ekstrem tentang Pasal 3 UUPA, Fitzpatrick mengatakan bahwa pemerintah
memperlakukan semua tanah hak ulayat yang tidak diolah sebagai tanah negara.
Keluarnya Putusan MK,
memang memberikan pencerahan bagi hak-hak masyarakat adat. Namun sampai saat
ini masih ada keengganan negara-negara untuk melaksanakan atau menerapkan hukum
yang melindungi tanah masyarakat adat.
·
Struktur
Sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa struktur memiliki peran penting dalam setiap
kebijakan terutama dalam menjalankan hasil dari putusan pengadilan atau
struktur hukum lainnya.
Menarik mencermati
bagaimana respons pemerintah terhadap beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang
memiliki dimensi reformasi tenurial kehutanan. Barangkali banyak hal positif
yang telah dilakukan oleh Kementerian Kehutanan, namun pada bagian ini hendak
disorot beberapa repons kebijakan baik yang terkait langsung maupun tidak
langsung sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi. [31]
Pertama, Kemenhut
mengeluarkan Permenhut No. P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan
Hutan. Peraturan ini mengakomodasi keberadaan bukti tertulis dan bukti tidak
tertulis sebagai dasar hak masyarakat dalam proses pengukuhan kawasan hutan.
Selain itu, peraturan ini juga mengakomodasi batas virtual sebagai batas
kawasan hutan untuk lokasi tertentu yang tidak dapat dilakukan tatabatas fisik.
Kedua, UU
No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU
P3H). Undang-undang ini menghidupkan kembali persoalan yang sudah diselesaikan
oleh MK dalam Putusan MK45 mengenai posisi penunjukan kawasan hutan. Dalam
Putusan MK45, Mahkamah Konstitusi menempatkan kembali penunjukan kawasan hutan
sebagai tahap awal yang merupakan wujud dari rencana pemerintah untuk
menjadikan wilayah tertentu dijadikan sebagai kawasan hutan. Sehingga
penunjukan tidak bisa dijadikan sebagai dasar yuridis bagi kawasan hutan yang
definitif. Namun Pasal 6 ayat (1) huruf d UU No. 18 Tahun 2013 mengingkari
Putusan MK45 dengan ketentuan yang berbunyi: “peta penunjukan kawasan hutan
dan/atau koordinat geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan”.
Menjadikan peta penunjukan sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan yang
definitif sama halnya dengan mengingkari Putusan MK45.
Ketiga,
Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2013. Pada intinya surat
edaran itu bertujuan untuk memberikan informasi kepada seluruh Gubernur, Bupati
dan Kepala Dinas yang mengurus persoalan kehutanan di daerah, namun terdapat
kekeliruan sebab dalam angka II.1.c disebutkan bahwa hutan berdasarkan
statusnya terbagi atas tiga yaitu hutan negara, hutan adat dan hutan hak.
Padahal menurut Putusan MK35, hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan
negara dan hutan hak. Kemudian hutan hak terdiri lagi dari hutan adat dan hutan
perseorangan/badan hukum. Lebih lanjut juga ditegaskan mengenai Pasal 5 ayat
(3) UU Kehutanan mengenai kewenangan Pemerintah untuk menetapkan status hutan,
padahal hal itu merupakan kewenangan yang tidak pernah dilaksanakan oleh
Pemerintah sampai hari ini.
Keempat, Permenhut
No. P.62/Menhut-II/2013 yang merupakan perubahan terhadap Permenhut No.
P.44/Menhut-II/2012. Pasal 24A ayat (3) Permenhut itu mengatur bahwa: “Dalam
hal sebagian atau seluruh wilayah masyarakat hukum adat berada dalam kawasan
hutan, dikeluarkan dari kawasan hutan.” Padahal yang dimaksud oleh Putusan MK35
bukanlah mengeluarkan wilayah dan hutan adat yang dimiliki masyarakat hukum
adat untuk
dikeluarkan dari
kawasan hutan, melainkan hanya dikeluarkan keberadaannya dari hutan negara.
Hadirnya ketentuan sebagaimana Pasal 24A ayat (3) Permenhut No.
P.62/Menhut-II/2013 menunjukan bahwa kementerian kehutanan masih beranggapan
bahwa kawasan hutan sama dengan hutan negara.
Setelah tiga Putusan
Mahkamah Konstitusi yang memiliki muatan reformasi tenurial kehutanan, apa yang
tidak berubah dari cara pandang dan sikap Kementerian Kehutanan? Setidaknya ada
dua ideologi Kemenhut yang tidak berubah. Pertama, ideologi bahwa
penunjukan sama dengan penetapan kawasan hutan. Meskipun Putusan MK45 telah
mengoreksi hal ini, kebijakan Kemenhut tidak bergeser dari anggapan bahwa
penunjukan adalah basis legal penentuan kawasan hutan definitif. Hal ini
terlihat di dalam UU P3H dan juga dalam Permenhut P.44 dan Permenhut P.62.
Kedua, ideologi
bahwa kawasan hutan sama dengan hutan negara. Dalam hal ini, Kemenhut hendak
menjadi satu-satunya aktor yang merajai kawasan hutan. Hal ini terlihat di
dalam Permenhut P.62, dimana keberadaan hutan adat yang sejatinya menurut
Mahkamah Konstitusi dikeluarkan dari hutan negara, malah oleh Permenhut P.62
dikeluarkan dari kawasan hutan. Kemenhut tak hendak berbagi kuasa dengan
masyarakat adat dalam mengurus kawasan hutan.
Selain dua hal itu,
terdapat satu hal penting lainnya yang sangat mempengaruhi keadaan status
quo saat ini, yaitu tidak pernah dilaksanakannya kewenangan Pemerintah,
dalam hal ini Kemenhut, untuk menetapkan status hutan yakni status hutan
negara, hutan hak dan hutan adat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (3)
UU Kehutanan. Kemenhut juga belum menghadirkan Peraturan Pemerintah tentang
pengelolaan hutan adat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 67 ayat (3) UU
Kehutanan.
·
Budaya
Hukum
Budaya hukum sebagai
salah satu komponen yang tidak terpisahkan dari sistem hukum di Indonesia
merupakan hal penting yang harus menjadi pertimbangan dalam setiap putusan
hakim, bahkan dalam setiap putusannya hakim wajib menggali nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat agar putusan yang dihasilkan memiliki nilai kemanfaatan (Zweckmassigkeit)
bagi penegakan hukum yang ideal.
Menurut konsep
pertanggungjawaban dalam administrasi negara, di mana dikatakan bahwa walaupun
administrasi negara memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan,
tetapi sikap tindaknya haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral
maupun secara hukum. pertanggungjawaban moral itu kepada Tuhan Yang Maha Esa,
dan secara hukum itu harus memperhatikan pertanggungjawaban pada batas atas,
yaitu UUD 1945 jo. Tap MPRS No. XX/MPR/1966 serta Tap MPR No. V/MPR?1973,
sedangkan pertanggungjawaban pada batas bawah pada UUD 1945 jo. Tap MPR No. II/
MPR/1983 pada bidang hukum butir 3.e. dan pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sebagai
tolak ukurnya.[32]
Dalam menjatuhkan
putusan yang ideal hakim harus berdasarkan pada asas keadilan (Gerechtigkeit), kepastian
hukum (Rechtssicherheit) dan kemanfaatan (Zweckmaβigkeit).
Akan tetapi dalam prakteknya sering kali ketiga asas atau tujuan hukum itu
saling berbenturan. Suatu putusan hakim harus adil, te tapi harus pula
bermanfaat bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat, dan terjamin
kepastian hukumnya. Dalam prakteknya, hampir tidak mungkin menghadirkan ketiga
unsur Idee de Rechts itu secara
proporsional dalm suatu putusan. Sering terjadi ketegangan atau konflik antara
ketiga unsur itu. Oleh karena itu, hakim dituntut untuk bisa mempertimbangkan
segala aspek dalam setiap keputusannya termasuk juga budaya hukum yang ada
dimasyarakat.
3.
Kepastian
Hukum
Kepastian
hukum oleh setiap orang dapat terwujud dengan ditetapkannya hukum
dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang berlaku pada dasarnya
tidak dibolehkan menyimpang, hal ini dikenal juga dengan
istilah fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia
ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian
hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya
kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih
tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban
masyarakat. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Hukum
tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang,
bersifat menyamaratakan. Barang siapa mencuri harus dihukum, dimana setiap
orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri.
Kepastian hukum sangat identik dengan pemahaman positivisme
hukum. Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum
adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan
undang-undang pada peristiwa yang konkrit.[33]
Undang-undang dan hukum diidentikkan.[34] Hakim
positivis dapat dikatakan sebagai corong undang-undang. Montesquieu menuliskan
dalam bukunya “De l’esprit des lois”yang mengatakan:
“Dans
le gouverment republicant, il est de la nature de la constitution que les juges
suivent la letter de la loi…Les juges de la nation ne sont qui la bounce qui
pronounce les parolesde la loi, des etres inanimes qui n’en peivent moderer ni
la force ni la rigueur” (Dalam suatu negara yang berbentuk Republik,
sudah sewajarnya bahwa undang-undang dasarnya para hakim menjalankan tugasnya
sesuai dengan apa yang tertulis dalam undang-undang. Para hakim dari negara
tersebut adalah tak lain hanya merupakan mulut yang mengucapkan perkataan
undang-undang, makhluk yang tidak berjiwa dan tidak dapat mengubah, baik
mengenai daya berlakunya, maupun kekerasannya).[35]
Dengan
pernyataan itu, legisme sejalan dengan Trias Politika dari Montesquieu,yang
menyatakan bahwa, hanya apa yang dibuat oleh badan legislatif saja yang dapat
membuat hukum, jadi suatu kaidah yang tidak ditentukan oleh badan legislatif
bukanlah merupakan suatu kaidah, hakim dan kewenangan pengadilan hanya
menerapkan undang-undang saja.[36] Penegakan
hukum yang mengutamakan kepastian hukum juga akan membawa masalah apabila
penegakan hukum terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat tidak dapat
diselesaikan berdasarkan hati nurani dan keadilan.
Keadilan
adalah harapan yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Berdasarkan
karakteristiknya, keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak
menyamaratakan. Apabila penegak hukum menitik beratkan kepada nilai keadilan
sedangkan nilai kemanfaatandan kepastian hukum dikesampingkan, maka hukum
itu tidak dapat berjalan dengan baik. Demikian pula sebaliknya jika menitik
beratkan kepada nilai kemanfaatan sedangkan kepastian hukum
dan keadilan dikesampingkan, maka hukum itu tidak jalan. Idealnya
dalam menegakkan hukum itu nilai-nilai dasar keadilan yang merupakan nilai
dasar filsafat dan nilai-nilai dasar kemanfaatan merupakan suatu
kesatuan berlaku secara sosiologis, serta nilai dasar kepastian hukum yang
merupakan kesatuan yang secara yuridis harus diterapkan secara seimbang dalam
penegakan hukum.
Hal
menarik yang perlu dicermati apabila terdapat 2 (dua) unsur yang saling tarik
menarik antara Keadilan dan Kepastian Hukum, Roeslan
Saleh mengemukakan:[37]
“Keadilan
dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan
satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan hukum
yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka semakin besar pada
kemungkinannya aspek keadilan yang terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum
ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan
hukum tersebut dalam penerapannya pada kejadian konkrit. Apabila dalam
penerapannya dalam kejadian konkrit, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak,
maka hakim sejauh mungkin harus mengutamakan keadilan di atas kepastian
hukum”.
Roscue
Pound sebagai salah satu ahli hukum yang ber-mazhab pada Sosiological
Jurisprudence, terkenal dengan teorinya yang menyatakan bahwa, “hukum
adalah alat untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering)”.[38] Hal
inilah yang menjadi tolak pemikiran dari Satjipto Raharjo dengan
menyatakan bahwa:
”
hukum adalah untuk manusia, pegangan, optik atau keyakinan dasar, tidak melihat
hukum sebagai suatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang
berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia
sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”.[39]
Dengan
demikian, bahwa kedudukan keadilan merupakan unsur yang sangat penting dalam
penegakan hukum di Indonesia. Indonesia memiliki kultur masyarakat yang beragam
dan memiliki nilai yang luhur, tentunya sangat mengharapkan keadilan dan
kemanfaatan yang dikedepankan dibandingkan unsur kepastian hukum. Keadilan
merupakan hakekat dari hukum, sehingga penegakan hukum pun harus mewujudkan hal
demikian. Disamping kepastian hukum dan keadilan, unsur lain yang perlu
diperhatikan adalah kemanfaatan.
Kemanfaatan
dalam penegakan hukum merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dalam mengukur
keberhasilan penegakan hukum di Indonesia. Menurut aliran Utilitarianisme,
penegakan hukum mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat
atau teori tujuan), dan bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat pidana,
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang
melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanfaat.[40]
Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Hukum yang
baik adalah hukum yang memberikan kebahagiaan bagi banyak orang. Hal ini
dikuatkan dengan pendapat JeremyBentham, bahwa:
“Pemidanaan
itu harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana
itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya
penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia
memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar”.[41]
Maka,
apabila melihat hal yang ideal berdasarkan 3 (tiga) unsur/tujuan penegakan
hukum yang telah dikemukakan di atas, penegakan hukum di Indonesia terlihat
cenderung mengutamakan kepastian hukum. Harmonisasi antar unsur yang
diharapkan dapat saling mengisi, ternyata sangat sulit diterapkan di Indonesia.
Aparat penegak hukum cenderung berpandangan, hukum adalah perundang-undangan
dan mengutamakan legal formil dalam setiap menyikapi fenomenal kemasyarakatan.
·
Substansi
Hutan adat sebagai
bagian dari hak ulayat masyarakat adat jauh sebelum lahirnyan UU kehutanan
telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, hak ulayat diakui, dihormati dan dilindungi,
artinya keberadaan/eksistensi hak ulayat itu, diakui dan dilindungi dari semua
tindakan yang mengganggu hak ulayat oleh siapapun, berbagai macam
perundang-undangan tersebut adalah:
Pertama,
UUD 1945 dalam pasal 18 B ayat (2) memuat ketentuan tentang pengakuan dan
penghormatan terhadap hak ulayat.[42]
Kedua, Pasal 6 Tap MPR RI No.
IX/MPR/2011 tentang” Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam”.[43]
Ketiga Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dan yang keempat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.[44]
Selain peraturan
perundang-undangan yang mengakui keberadaan/eksistensi hak ulayat terdapat pula
pengingkaran terhadap hak ulayat dalam peraturan perundang-undangan.
Perundang-undangan tersebut antara lain: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967
tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan, undang-undang ini dicabut oleh
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang Nomor Tahun 41
Tahun 1999 menyatakan hutan adat sebagai hutan negara, sehingga negara dapat
memberikan hutan tersebut kepada suatu subjek hukum dengan suatu hak. Hal ini
berarti pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas hutan
ulayatnya dan berarti pula pengingkaran terhadap hak ulayat masyarakat hukum
adat.[45]
Dengan dikeluarkannya putusan MK No. 35/PUU-X/2012 mengenai
pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, membawa angin segar kepada
masyarakat hukum adat, di mana dalam putusannya MK telah memberikan penekanan
terhadap eksistensi hutan adat sehingga kepastian hukum dari eksistensi hutan
adat benar-benar kuat.
·
Struktur
Struktur Hukum/Pranata
Hukum disebut sebagai sistem struktural yang menentukan bisa atau
tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No.
8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan
Pelaksana Pidana (LP). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang.
Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang
menyatakan“fiat justitia et pereat mundus” (meskipun
dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan atau tegak
bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen.
Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan
aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan. Lemahnya
mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas
aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses
rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas
bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum.
Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada
masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak
hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Untuk itu, maka
Mahkamah Konstitusi yang berfungsi antara lain sebagai guardian dari constitutional
rights setiap warga Negara Republik Indonesia telah menyatakan
pendapatnya mengenai konflik yang terjadi terhadap hutan adat.[46]
Sebagai wujud dari
pelaksanaan fungsi Mahkamah Konstitusi tersebut maka MK mengabulkan permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang disampaikan
oleh Masyarakat Hukum Adat Kenegarian Kuntu.
Pemahaman dominan
atas putusan MK NO.35/PUU-X/2012 memandang bahwa kontrol negara dibatasi atau
bahkan ditiadakan atas hutan adat. Dalam perspektif teritorial, hal tersebut
sekaligus bermakna bahwa negara tidak lagi bisa menentukan siapa yang boleh
memanfaatkan sumberdaya apa di kawasan hutan adat. Sebagai pernyataan hukum
yang belum bersifat operasional, sejumlah elemen masyarakat sipil sedang
berpikir keras bagaimana menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut
Mahkamah) tersebut memberi dampak atau efek pada masyarakat adat, terutama yang
selama ini menjadi korban dari pemberlakukan ketentuan yang mengatakan hutan
adat bagian dari hutan negara. Tindakan-tindakan yang berusaha membuat putusan
tersebut mendatangkan efek, mulai dari yang bersifat legal sampai extra legal.
Tindakan-tindakan yang berada dalam ranah legal pada pokoknya mendorong
bergeraknya (administrasi) implementasi hukum. Termasuk di dalam administrasi
implementasi tersebut adalah pembuatan peraturan pelaksana atau peraturan
administratif.[47]
·
Budaya
Hukum
Budaya/Kultur Hukum menurut
LawrenceM. Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem
hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah
suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum
digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan
kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan
tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat
mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat
terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Menurut Lawrence M.
Friedman menjelaskan mengenai konsep budaya hukum adalah sikap manusia terhadap
hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan
kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan, tanpa
adanya budaya/kultur hukum maka sistem hukum sendiri tak berdaya[48].
Aspek perilaku (budaya
hukum) aparat penegak hukum perlu dilakukan penataan ulang dari perilaku
budaya hukum yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum sebelumnya
karena seseorang menggunakan hukum atau tidak menggunakan hukum sangat
tergantung pada kultur (budaya) hukumnya. [49]
Budaya hukum menjadi
salah satu faktor penting dalam menentukan dan membuat keputusan dimana dalam
setiap keputusan hakim dituntut untuk menggali nilai-nilai yang ada dimasyarakat.
Hakikat hukum yang
demikian itu harus melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk membantu
menjelaskan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum di
masyarakat, seperti ilmu politik, sosiologi, antropologi, ekonomi dan bidang
ilmu lainnya. kajian semacam itu oleh Trubek disebut sebagai “teori sosial
tentang hukum” atau “studi hukum yang bersifat sosial”.[50]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan dikeluarkannya putusan MK No.
35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
membawa angin segar kepada masyarakat hukum adat, di mana dalam putusannya MK
telah memberikan penekanan terhadap eksistensi hutan adat sebagai hutan hak dan
bukan lagi menjadi bagian dari hutan negara serta pengakuan secara
sungguh-sungguh mengenai keberadaan masyarakat hukum adat. Dimana dalam putusan
MK No. 35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
tersebut hakim berusaha untuk memberikan putusan yang ideal dengan berpatokan
pada tujuan hukum dan telah tercermin
dalam putusan itu unsur-unsur keadilan (Gerechtigkeit), kepastian
hukum (Rechtssicherheit) dan kemanfaatan (Zweckmassigkeit).
Ketiga
unsur-unsur tersebut dapat ketika temukan tidak hanya dalam putusan MK, tetapi
dalam sebuah sistem hukum yang yang saling berkaitan. Yang mana, sistem hukum
tersebut tidak hanya mengacu pada aturan
(codes of rules) dan peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang
luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat (living law) dan
budaya hukum (legal structure).
Sebagaimana teori yang dikemukakan oleh laurence M. Friedman bahwa unsur-unsur
sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).
B.
Saran
Hakim-hakim MK harus berani
memutus perkara dengan mengacu pada apa yang ada di luar persidangan seperti living law yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat.
[1]
Yance
Arizona, 2013. ‘HUTAN ADAT BUKAN LAGI HUTAN NEGARA: Membumikan Putusan MK No.
35/PUU-X/2012 dalam konteks pembaruan hukum daerah’, Makalah disampaikan dalam
Workshop Pengakuan dan Penguatan Pengelolaan Hutan Adat dan Kawasan Konservasi
oleh Masyarakat Adat (ICCAs): Pengalaman dan Ruang Kebijakan. Diselenggarakan
oleh Working Group ICCAs Indonesia (WGII) dan FoMMA, Malinau, 24-26 September
2013.
[9]
Yance Arizona, Peluang hukum implementasi Putusan MK 35 ke dalam konteks
kebijakan pengakuan masyarakat adat di Kalimantan Tengah Makalah disampaikan
dalam Lokakarya “Fakta Tekstual (Quo Vadis) Hutan Adat Pasca Putusan MK
No.35/PUU-X/2012“, Palangkaraya, Rabu 20 November 2013. Acara diselenggarakan
oleh AMAN Kalteng dan WWF Program Kalimantan Tengah
[15]
Laurence
M Friedman, “Legal Culture And Walfare State”, Dalam Gunther Teubner (Ed), Dilemas Of Law In The Walfare State. Berlin-New
York: Walter De Gruyter, 1986, Hlm. 13-27. William J. Chambliss & Robert B
Seidman, Law, Order, And Power, Readling,
Mass: Addisin-Wesly, 1971, Hlm 5-13. Juga Dalam Lawrance M Friedman, “Law And Development, A General Model”, Dalam
Law And Society Review, No. VI, 1972
[16]
Makalah
“Penegakan Hukum Yang Menjamin Kepastian
Hukum Dan Rasa Keadilan Masyarakat Suatu Sumbangan Pemikiran”,hlm. 2.
Disampaikan pada “Pengukuhan Pengurus Tapak Indonesia Koordinator Daerah
Sumatera Utara”, pada hari Jum’at, 27 April 2007, bertempat di Gayo Room Garuda
Plaza Hotel, Jl. Sisingamangaraja No. 18 Medan.
[17]
Tata
Kelola Hutan Adat dan Resolusi Konflik Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012 Amir Syamsudin Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia diakses dari http://www.unorcid.org/upload/doc_
lib/20130902182846_ Minister%20of%20Law%20and%20Human%20Rights_Mr.%20Amir%20Syamsudin_KEMENKUMHAM.
[31]https://www.academia.edu/5470629/Mahkamah_Konstitusi_dan_Reformasi_Tenurial_Kehutanan
diakses pada tanggal 4 Desember 2014 Pukul 10:01 Wib
[32]
Philipus
M. Hadjon dalam bukunya, perlindungan hukum bagi rakyat indonesia, bina ilmu,
surabaya, 1987, hlm. 184-194. Membahas mengenai pertanggungjawaban sikap
administrasi negara, terdapat dua tolak
ukur, yaitu pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum atu dikenal
dengan teori batas atas dan batas bawah.
[47]
Rikardo Simarmata, PUTUSAN
MK NO.35/PUU-X/2012: Menggeser Corak
Negara Hukum Indonesia. 09/18/2013, Posted in Kehutanan, Kepustakaan. Diakses tanggal 1 Desember 2014
dari http://prakarsa-borneo.org/2013/09/putusan-mk-no-35puu-x2012-menggeser-corak-negara-hukum-indonesia/
[48]
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab
dan Solusinya), Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 9
[49]
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm. 5
[50] David M. Trubek, “Toward a
Social Theory of Law: an Essay on the Study of Law And Development”, dalam Yale
Law Journal, Vol. 82, 1,1972, hlm. 1-50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar