BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang

Menurut Prof Muchsan, Indonesia
yang merupakan negara hukum bergerak dinamis, peranan produk-produk hukum
pemerintah sangat dominan karena hukum berperan sebagai panglima. Cara membuat
produk hukum yang baik ialah yang bersifat populis artinya berpihak kepada
kepentingan rakyat. Suatu produk hukum yang baik tentunya akan berlaku dengan
baik artinya daya ikat dan kepatuhan masyarakat terhadap produk hukum itu
sangat tinggi dan tahan lama. Menurut Rick Dickerson seorang
sarjana Inggris dalam bukunya “Legal
Drafting Theory”, menyebutkan bahwa syarat hukum yang baik terdiri dari 3
(tiga) hal yaitu : 1) Tuntas mengatur permasalahan; 2) Sedikit mungkin memuat
delegasi perundang-undangan; dan 3) Tidak memuat ketentuan pasal yang bersifat
elastis atau fleksibel (pasal karet)
Masyarakat
sebagai obyek dari produk hukum yang dibuat oleh aparat, tentulah harus
memahami betul peraturan-peraturan apa yang mengatur hidupnya sehari-hari.
Namun kenyataannya banyak sekali masyarakat kita yang masih belum memahami apa yang
disebut dengan produk hukum, apa saja produk-produk hukum yang dibuat oleh
pemerintah, syarat-syarat agar suatu produk hukum dikatakan sebagai produk
hukum yang baik, kapan dan dalam hal apa suatu keputusan tersebut dinyatakan
tidak berlaku lagi serta bentuk produk hukum seperti apa yang ideal dan dapat
mengakomodir keinginan seluruh masyarakat dan diwujudkan dalam suatu produk
hukum tertulis.
Sebelum
memasuki tahapan yuridis, proses pembentukan suatu peraturan harus sudah
melalui tahapan sosio/politis secara final. Disanalah kita akan dapat memahami
bahwa suatu peraturan itu sesungguhnya lahir melalui suatu proses yang
membutuhkan waktu yang cukup panjang. Dari proses ini pula akhirnya dapat
diprediksikan, seperti norma yang akan lahir ketika peraturan itu dibuat,
terutama mengenai substansi dari norma-norma hukum terebut.[2]
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman bahwa
komponen sistem hukum meliputi 3 hal, yaitu: 1). Strukur; 2). Substansi dan; 3).
Kultur hukum (budaya hukum). Dimana diantara ketiganya harus berjalan
beriringan yaitu struktur harus kuat, kredibel, akuntabel dan capabel.
Substansi harus selaras dengan rasa keadailan masyarakat sedang budaya hukumnya
harus mendukung tegaknya hukum jika salah satunya timpang, mustahil hukum bisa
ditegakkan.
Menyangkut substansi, terdapat sebuah teori yang
dikemukakan oleh Rick Dickerson dalam
bukunya “Legal Drafting Theory”,
dimana dalam pembentukan produk hukum di Indonesia teori ini seringkali tidak
tercermin dalam berbagai produk hukum di Indonesia. Oleh karena itu, penyusun tertarik
membahas lebih dalam mengenai teori formil tersebut.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian di atas, penyusun bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah
berikut “Keunggulan Dan Kelemahan Penggunaan Teori Formil Dalam Pembentukan
Produk Hukum” ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Metode Pembuatan Produk Hukum Yang
Baik (Legal Drafting Theory)
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat
suatu produk hukum, yaitu: isi, bentuk dan filosofi yang mendasari produk hukum
itu dibuat. Untuk menjawab semua persoalan itu, terdapat 3 teori yang relevan
untuk dijadikan pedoman dalam membentuk suatu produk hukum agar produk hukum
yang dihasilkan menjadi produk hukum yang baik. Adapun ketiga teori tersebut,
yakni:[3]
1.
Teori Materiil
Teori ini disampaikan oleh Leopold
Pospil, seorang sarjana dari Amerika Latin yang menyatakan dalam bukunya “Anthropologycal of Law” bahwa hukum
dimanapun terpecah menjadi 2, yaitu:
a. Authoritarian Law
Yakni hukum dari penguasa. Contoh
dari hukum ini adalah peraturan perudang-undangan dan peraturan tertulis
lainnya.
b. Common Law
Yakni hukum yang dibuat atau tercipta
dari masyarakat sendiri (hukum yang hidup di dalam masyarakat). Contoh dari
hukum ini adalah hukum adat atau hukum yang tidak tertulis
Kedua kelompok hukum di atas, masing-masing memiliki
keunggulan dan kelemahan. Dimana keunggulan dan kelemahan tersebut berbanding
terbalik. Keunggulan dan kelemahan tersebut adalah sebagaimana berikut:
a.
Authoritarian
Law
Ø Keunggulannya:
1) Kepastian
hukum tinggi
2) Daya
paksa tinggi (disertai sanksi yang jelas)
Ø Kekurangannya:
1) Bersifat
statis (tidak berubah meski masyarakat berkembang)
2) Keadilan
yang obyektif sulit diwujudkan
b.
Common
Law
Ø Kekurangannya:
1) Kepastian
hukum rendah (tidak konsisten)
2) Daya
paksa rendah
Ø Kelebihannya:
1) Bersifat
dinamis
2) Obyektifitas
keadilan mudah diwujudkan, sebab ukurannya adalah kacamata masyarakat
Dari teori materil tersebut pospisil mengambil sebuah
kesimpulan yaitu : Hukum yang baik adalah hukum yang materinya sebanyak mungkin
diambil dari hukum tidak tertulis (common
law) namun menggunakan wadah hukum tertulis (authoritarian law).
2.
Teori Formil
Disampaikan
oleh Rick Dickerson seorang sarjana Inggris dalam bukunya “Legal Drafting Theory”, menyebutkan bahwa syarat hukum yang baik
adalah:[4]
a. Tuntas
mengatur permasalahan
KUHP dan BW dianggap baik karena ia
tuntas menyelesaikan permasalahan masyrakat.
b. Sedikit
mungkin memuat delegasi perundang-undangan
Sebagai contoh pendelegasian Perda
tentang parkir motor yang nominal tarifnya didelegasikan kepada bupati harus
dihilangkan, sebab ini wewenang DPRD.
c. Tidak
memuat ketentuan pasal yang bersifat elastis atau fleksibel (pasal karet)
Contoh pasal karet adalah pasal yang
mempunyai ketidak jelasan makna, sebagai contoh kewenangan pemerintah Pusat
dalam Undang-Undang meliputi kerjasama Internasional (Diplomasi), Hankam,
keuangan dan Agama. Pasal seperti ini menimbulkan pengertian bahwa pasal-pasal
di luar itu merupakan kewenangan di luar pemerintah pusat, atau mungkin
kemudian dianggap sebagai kewenangan pemerintah daerah.
3.
Teori Filsafat
Teori ini disampaikan oleh Jeremy
Bentham (USA) pada bukunya “Legal Theory”,
yang menyebutkan bahwa syarat hukum yang baik jika ia memenuhi 3 sifat berlaku:
a. Berlaku
secara filosofis
Produk hukum harus mencerminkan
falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
b. Berlaku
secara sosiologis
Hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.
c. Berlaku
secara yuridis
Hukum diibaratkan sebagai tombak yang
memiliki dua ujung runcing, yaitu adil dan benar. Adil adalah keseimbangan
antara hak dan kewajiban. Benar adalah kecocokan antara peraturan dan
perbuatan. Apabila adil dan benar bertemu, maka disebut dengan damai.
Jika suatu keputusan atau produk hukum dibuat dengan
mengacu pada salah satu metode pembuatan produk hukum diatas, maka pastilah
keputusan atau produk hukum yang diciptakan dapat mengakomodasi segala
kebutuhan masyarakat, sehingga tujuan untuk menciptakan masyarakat adil dan
makmur dapat terwujud.
B.
Keunggulan
Dan Kelemahan Penggunaan Teori Formil Dalam Pembentukan Produk Hukum
Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman bahwa komponen sistem hukum meliputi 3
hal, yaitu: 1). Strukur; 2). Substansi dan; 3). Kultur hukum (budaya hukum).
Dimana diantara ketiganya harus berjalan beriringan yaitu struktur harus kuat,
kredibel, akuntabel dan capabel. Substansi harus selaras dengan rasa keadailan
masyarakat sedang budaya hukumnya harus mendukung tegaknya hukum jika salah
satunya timpang, mustahil hukum bisa ditegakkan.
Substansi suatu produk hukum yang dibuat juga ikut
menentukan apakah produk hukum yang dibentuk baik atau tidak secara keseluruhan.
Teori formil yang di kemukakan oleh Rick Dickerson telah menentukan
syarat-syarat agar substansi dari produk hukum yang dibentuk menjadi produk
hukum yang baik, yaitu : 1) Tuntas mengatur permasalahan; 2) Sedikit mungkin
memuat delegasi perundang-undangan; dan 3) Tidak memuat ketentuan pasal yang
bersifat elastis atau fleksibel (pasal karet).
Kelebihan dari penggunaan teori formil dalam
pembentukan produk hukum adalah:
1. Dengan mengatur secara tuntas permasalahan yang ada,
maka tidak akan terjadi kekosongan hukum dikemudian hari.
2. Dengan
sedikit mungkin memuat delegasi perundang-undangan, akan menghindarkan
terjadinya tumpang tindih kewenangan dalam menjalankan produk hukum tersebut.
3. Dengan
tidak memuat ketentuan pasal yang bersifat elastis atau pasal karet, maka
produk hukum yang dibuat memiliki daya ikat yang kuat, tidak menimbulkan
mutitafsir dan menhindarkan penyalahgunaan ketentuan yang bersifat elastis
tersebut.
Sedangkan kekurangan dari teori formil ini adalah bahwa
teori formil ini berdiri sendiri artinya teori ini hanya mementingkan substansi
atau isi dari produk hukum yang dibentuk saja, teori ini tidak memperhatikan
bentuk produk hukum yang dibuat sehingga kepastian hukum dan kekuatan
mengikatnya akan ditentukan oleh bentuk dari produk hukum tersebut.
Menurut Lon Fuller, ada
8 prinsip legalitas yang harus diikuti dalam membuat hukum meliputi :[5]
1. Harus ada peraturannya terlebih dahulu;
2. Peraturan itu harus diumumkan;
3. Peraturan itu tidak boleh berlaku surut;
4. Perumusan peraturan harus dapat dimengerti oleh rakyat;
5. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak
mungkin;
6. Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan
satu sama lain;
7. Peraturan harus tetap dan tidak boleh sering diubah-ubah;
8. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum
dengan peraturan yang telah dibuat.
Oleh karena itu, dalam membentuk
suatu produk hukum harus memperhatikan berbagai aspek baik dalam proses
pembentukan, perumusan substansi, hingga bentuk produk hukum yang akan dibentuk.
Sebab produk hukum merupakan salah satu alat negara untuk mencapai tujuan yang
telah di cita-citakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kelebihan
dari penggunaan teori formil dalam pembentukan produk hukum adalah:
1. Dengan mengatur secara tuntas permasalahan yang ada,
maka tidak akan terjadi kekosongan hukum dikemudian hari.
2. Dengan
sedikit mungkin memuat delegasi perundang-undangan, akan menghindarkan
terjadinya tumpang tindih kewenangan dalam menjalankan produk hukum tersebut.
3. Dengan
tidak memuat ketentuan pasal yang bersifat elastis atau pasal karet, maka
produk hukum yang dibuat memiliki daya ikat yang kuat, tidak menimbulkan
mutitafsir dan menhindarkan penyalahgunaan ketentuan yang bersifat elastis
tersebut.
Sedangkan kekurangan dari teori formil ini adalah bahwa
teori formil ini berdiri sendiri artinya teori ini hanya mementingkan substansi
atau isi dari produk hukum yang dibentuk saja, teori ini tidak memperhatikan
bentuk produk hukum yang dibuat sehingga kepastian hukum dan kekuatan
mengikatnya akan ditentukan oleh bentuk dari produk hukum tersebut.
B.
Saran
dalam membentuk suatu produk hukum harus memperhatikan
berbagai aspek baik dalam proses pembentukan, perumusan substansi, hingga
bentuk produk hukum yang akan dibentuk
[1]
Esmi Wirasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sisologis,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010, hlm. 35
[3]
Disampaikan oleh Prof. Muchsan dalam
Perkuliahan Politik Hukum Magister Hukum UGM, (Yogyakarta. Jum’at 8 November
2013)
[4]
Disampaikan oleh Prof. Muchsan dalam
Perkuliahan Politik Hukum Magister Hukum UGM, (Yogyakarta. Jum’at 15
November 2013)
[5] Lon Fuller, 1971, hlm 38-39,
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980, hlm 78 Dalam
Esmi Wirasih, Pranata Hukum, Sebuah
Telaah Sisologis, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010,
hlm. 82
Tidak ada komentar:
Posting Komentar