
Perbandingan UU NO. 10 Tahun 2004 dengan UU NO. 12 Tahun 2011
NO
|
KETERANGAN
|
UU NO. 10 TAHUN 2004
|
UU NO. 12 TAHUN 2011
|
1.
|
KONSIDERAN
|
Menimbang:
a.
bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat
dalam rangka
pembangunan
hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan
metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang
berwenang membuat peraturan perundang-undangan;
b.
bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukanan
peraturan
perundang-undangan,
maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum
perlu
memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan;
c.
bahwa selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan
perundang- undangan
terdapat
dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai lagi
dengan hukum
ketatanegaraan
Republik Indonesia;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
dan huruf c,
perlu membentuk Undang-Undang tentang
Pembentukanan Peraturan Perundang- undangan;
|
Menimbang
:
a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara
hukum, negara berkewajiban melaksanakan
pembangunan
hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan
dalam system hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban
segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b.
bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan
yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan
yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang
mengikat
semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan;
c.
bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung
perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan
perundangundangan yang baik sehingga perlu diganti;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
dan huruf c, perlu
membentuk
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
|
2.
|
KONSIDERAN
|
Mengingat:
Pasal
20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara
Republik
Indonesia
Tahun 1945;
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
|
Mengingat
: Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
|
3.
|
DIKTUM
|
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN.
|
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
|
4.
|
BAB
I
|
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
(1)
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundangundangan
yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,
pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
(2)
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh
lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
(3)
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
(4)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan
yang memaksa.
(5)
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
(6)
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh
Presiden.
(7)
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan
perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah.
(8)
Peraturan Desa/peraturan yang setingkat adalah Peraturan Perundang-undangan
yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan
kepala desa atau nama lainnya.
(9)
Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan
Undang-
Undang
yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.
(10)
Program Legislasi Daerah adalah instrumen perencanaan program pembentukan
Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.
(11)
Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perandang-undangan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia,
Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia,
Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
(12)
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan
Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal
2
Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum negara.
Pasal
3
(1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum
dasar dalam
Peraturan
Perundang-undangan.
(2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam
Lembaran
Negara
Republik Indonesia/
(3)
Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya.
Pasal
4
Peraturan
Perundang-undangan yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang ini meliputi
Undang-
Undang dan Peraturan
Perundang-undangan di bawahnya.
|
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
2.
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat
secara
umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
3.
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
4.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa.
5.
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
6.
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang undangan yang lebih
tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
7.
Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama
Gubernur.
8.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan
bersama Bupati/Walikota.
9.
Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah
instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana,
terpadu, dan sistematis.
10.
Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen
perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
11.
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan
hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan
hukum masyarakat.
12.
Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia,
Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia,
Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
13.
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam
Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan.
14.
Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
15.
Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan
Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
16.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal
2
Pancasila
merupakan sumber segala sumber hukum
negara.
Pasal
3
(1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum
dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
(2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
(3)
Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya.
Pasal
4
Peraturan
Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang
dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.
|
5.
|
BAB
II
|
ASAS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal
5
Dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi:
a.
Kejelasan tujuan;
b.
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c.
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d.
Dapat dilaksanakan;
e.
Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.
Kejelasan rumusan; dan
g.
Keterbukaan.
Pasal
6
(1)
Materi Muatan Peraturan Perandang-undangan mengandung asas
a.
pengayoman;
b.
kemanusian;
c.
kebangsaan;
d.
kekeluargaan;
e.
kenusantaraan;
f.
bhinneka tunggal ika;
g.
keadilan;
h.
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i.
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau.
j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2)
Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan
tertentu dapat
berisi
asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan ymg
bersangkutan.
Pasal
7
(1)
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.
Peraturan Pemerintah;
d.
Peraturan Presiden;
e.
Peraturan Daerah.
(2)
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a.
Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi
bersama
dengan
gubernur;
b.
Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota
bersama
bupati/walikota;
c.
Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa
atau nama
lainnya
bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan
yang setingkat
diatur
dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5)
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat(1).
|
ASAS
PEMBENTUKAN
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal
5
Dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a.
kejelasan tujuan;
b.
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat
dilaksanakan;
e.
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.
kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Pasal
6
(1)
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a.
pengayoman;
b.
kemanusiaan;
c.
kebangsaan;
d.
kekeluargaan;
e.
kenusantaraan;
f.
bhinneka tunggal ika;
g.
keadilan;
h.
kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
i.
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2)
Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai
dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
|
6.
|
BAB III
|
MATERI
MUATAN
Pasal
8
Materi
muatan yang harus diatur dengan Undang-Undarg berisi hal-hal yang:
a.
mengatar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
yang
meliputi:
1.
hak-hak asasi manusia;
2.
hak dan kewajiban warga negara;
3.
pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
4.
wilayah negara dan pembagian daerah;
5.
kewarganegaraan dan kependudukan;
6.
keuangan negara,
b.
diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untak diatur dengan Undang-Undang.
Pasal
9
Materi
muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan
Undang- Undang.
Pasal
10
Materi
muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya.
Pasal
11
Materi
muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang
atau materi
untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Pasal
12
Materi
muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi
khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Pasal
13
Materi
muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka
penyelenggaraan
urusan
desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal
14
Materi
muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan
Peraturan Daerah.
|
JENIS,
HIERARKI, DAN MATERI MUATAN
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 7
(1) Jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2)
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal
8
(1)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2)
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan
yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Pasal 9 (1) Dalam hal
suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. (2)
Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga
bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
Pasal
10
(1)
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi:
a.
pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c.
pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d.
tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.
pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
(2)
Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
Pasal
11
Materi
muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sama dengan materi
muatan Undang-Undang. Pasal 12 Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi
materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Pasal
13
Materi
muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh
Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi
untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Pasal
14
Materi
muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi
materi muatan dalamrangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut
Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.
Pasal
15
(1)
Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:
a.
Undang-Undang;
b.
Peraturan Daerah Provinsi; atau
c.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2)
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c
berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(3)
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat
ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan
lainnya.
|
7.
|
BAB IV
|
PERENCANAAN
PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG
Pasal
15
(1)
Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi
Nasional.
(2)
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program
Legislasi Daerah.
Pasal
16
(1)
Penyusunan Program Legislasi Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat dan
Pemerintah
dikoordinasikan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat
yang
khusus menangani bidang legislasi.
(2)
Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat
dikoordinasikan
oleh
alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang
legislasi.
(3)
Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Pemerintah
dikoordinasikan oleh menteri
yang
tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Peraturan Perundang-undangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan pengelolaan Program
Legislasi
Nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
|
PERENCANAAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bagian
Kesatu Perencanaan Undang-Undang
Pasal
16
Perencanaan
penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas.
Pasal
17
Prolegnas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program
pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan system hukum nasional.
Pasal
18
Dalam
penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar
Rancangan Undang- Undang didasarkan atas:
a. perintah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c.
perintah Undang-Undang lainnya;
d.
sistem perencanaan pembangunan nasional;
e.
rencana pembangunan jangka panjang nasional;
f.
rencana pembangunan jangka menengah;
g.
rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan
h.
aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
Pasal
19
(1)
Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program pembentukan
Undang-Undang dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan
keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
(2)
Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi
Rancangan Undang-Undang yang meliputi:
a.
latar belakang dan tujuan penyusunan;
b.
sasaran yang ingin diwujudkan; dan
c.
jangkauan dan arah pengaturan.
(3)
Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan
dituangkan
dalam Naskah Akademik.
Pasal
20
(1)
Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah. (2) Prolegnas
ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas
pembentukan Rancangan Undang-Undang.
(3)
Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa
keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
(4)
Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan
dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan.
(5)
Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan
Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan
Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal
21
(1)
Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR
melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
(2)
Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan
DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
(3)
Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi,
komisi,
anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.
(4)
Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan DPR.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan
Presiden.
Pasal
22
(1)
Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
21
ayat
(1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.
(2)
Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPR.
Pasal
23
(1)
Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
a.
pengesahan perjanjian internasional tertentu;
b.
akibat putusan Mahkamah Konstitusi;
c.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
d.
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah
Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan
e.
penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(2)
Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan
Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:
a.
untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan
b.
keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu
Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan
DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.
Bagian
Kedua
Perencanaan
Peraturan Pemerintah
Pasal
24
Perencanaan
penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
25
(1)
Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 memuat daftar judul dan pokok materi muatan Rancangan Peraturan Pemerintah
untuk menjalankan Undang-
Undang
sebagaimana mestinya.
(2)
Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)ditetapkan untuk jangka waktu 1
(satu) tahun.
Pasal
26
(1)
Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
(2)
Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal
27
Rancangan
Peraturan Pemerintah berasal dari kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian
sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal
28
(1)
Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian
dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah di luar perencanaan penyusunan
Peraturan Pemerintah.
(2)
Rancangan Peraturan Pemerintah dalam keadaan
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
berdasarkan
kebutuhan Undang-Undang atau putusan Mahkamah Agung.
Pasal
29
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah
diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian
Ketiga
Perencanaan
Peraturan Presiden
Pasal
30
Perencanaan
penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan
Peraturan Presiden.
Pasal
31
Ketentuan
mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24
sampai
dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan
penyusunan Peraturan Presiden.
Bagian
Keempat
Perencanaan
Peraturan Daerah Provinsi
Pasal
32
Perencanaan
penyusunan Peraturan Daerah Provinsi
dilakukan
dalam Prolegda Provinsi.
Pasal
33
(1)
Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
memuat
program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dengan judul Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan
Peraturan Perundang-undangan lainnya.
(2)
Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan
Peraturan
Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang
meliputi:
a.
latar belakang dan tujuan penyusunan;
b.
sasaran yang ingin diwujudkan;
c.
pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan
diatur;
dan
d.
jangkauan dan arah pengaturan.
(3)
Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah
Akademik.
Pasal
34
(1)
Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah
Daerah Provinsi.
(2)
Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan
skala prioritas
pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi.
(3)
Penyusunan dan penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum
penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Provinsi.
Pasal
35
Dalam
penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1), penyusunan daftar rancangan peraturan daerah
provinsi didasarkan atas:
a.
perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi; b. rencana pembangunan
daerah;
c.
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan;
dan
d.
aspirasi masyarakat daerah.
Pasal
36
(1)
Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah
Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi
yang khusus menangani bidang legislasi.
(2)
Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh
alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
(3)
Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi
dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertical terkait.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di
lingkungan DPRD
Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan
Peraturan DPRD Provinsi.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di
lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal
37
(1)
Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah
Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) disepakati menjadi
Prolegda Provinsi dan ditetapkan
dalam
Rapat Paripurna DPRD Provinsi. (2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1)
ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi.
Pasal
38
(1)
Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri
atas:
a.
akibat putusan Mahkamah Agung; dan
b.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi.
(2)
Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan
Rancangan Peraturan
Daerah
Provinsi di luar Prolegda Provinsi:
a.
untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan
konflik,
atau bencana alam;
b.
akibat kerja sama dengan pihak lain; dan
c.
keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan
Peraturan
Daerah
Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi
yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum.
Bagian
Kelima
Perencanaan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal
39
Perencanaan
penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/Kota.
Pasal
40
Ketentuan
mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis
terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal
41
Dalam
Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daftar kumulatif terbuka mengenai
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Kecamatan atau nama lainnya dan/atau
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau nama lainnya.
Bagian
Keenam
Perencanaan
Peraturan Perundang-undangan Lainnya
Pasal
42
(1)
Perencanaan penyusunan Peraturan Perundangundangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal
8 ayat (1) merupakan kewenangan dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga,
komisi, atau instansi masing-masing.
(2)
Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga,
komisi, atau instansi masing-masing untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
|
8.
|
BAB
V
|
PEMBEINTUKAIN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bagaian
Kesatu
Persiapan
Pembentukan Undang-Undang Pasal 17
(1)
Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat,
Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program
Legislasi Nasional.
(2)
Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah.
(3)
Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat
mengajukan rancangan undang-undang di luar Program Legislasi Nasional.
Pasal
18
(1)
Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri
atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, sesuai dengan lingkup tugas
dan tanggung jawabnya.
(2)
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan
undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal
19
(1)
Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat diusulkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(2)
Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat
diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Tata
Tertib Dewan Perwakilan Rakyat dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan
Daerah.
Pasal
20
(1)
Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan
surat Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2)
Dalam surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditegaskan antara
lain tentang menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan
pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)
Dewan Perwakilan Rakyat mulai membahas rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lmnbat 60 (enam puluh) hari
sejak surat Presiden diterima.
(4)
Untuk keperluan pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan
Rakyat, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah
rancangan undang-undang tersebut
dalam
jumlah yang diperlukan.
Pasal
21
(1)
Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
disampaikan dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden.
(2)
Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas rancangan
undang-undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat dalam jangka waktu paling
lambat 60 (enam puluh) hari sejak surat
pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat diterima.
(3)
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengkoordinasikan persiapan pembahasan
dengan
menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan
perundang-undangan.
Pasal
22
(1)
Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan
Rakyat dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat.
(2)
Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden
dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.
Pasal
23
Apabila
dalam satu masa sidang, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden menyampaikan
rancangan undang-undang mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah
rancangan undang-undang
yang
disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan rancangan undang-undang
yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
Bagian
Kedua
Persiapan
Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, dan
Peraturan
Presiden
Pasal
24
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, dan rancangan
peraturan presiden diatur dengan
Peraturan
Presiden.
Pasal
25
(1)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(2)
Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1)
dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.
(3)
Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan
Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut
tidak berlaku.
(4)
Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan
Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang
pencabutan peraturan pemerintah
pengganti
undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
Bagian
Ketiga
Persiapan
Pembentukan Peraturan Daerah
Pasal
26
Rancangan
peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah atau
gubernur, atau
bupati/walikota,
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau
kota.
Pasal
27
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah yang
berasal dari gubernur atau bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal
28
(1)
Rancangan peraturan daerah dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan
komisi, atau alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus
menangani bidang legislasi.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal
29
(1)
Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh gubernur atau
bupati/walikota disampaikan dengan surat pengantar gubernur atau
bupati/walikota kepada dewan perwakilan rakyat daerah oleh gubernur atau
bupati/walikota.
(2)
Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh dewan perwakilan rakyat
daerah disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur
atau bupati/walikota.
Pasal
30
(1)
Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari dewan peryyakilan
rakyat daerah dilaksanakan oleh sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah.
(2)
Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari gubernur atau
bupati/walikota dilaksanakan olah sekretaris daerah.
Pasal
31
Apabila
dalam satu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan dewan perwakilan
rakyat daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah, mengenai materi yang
sama, maka yang dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang disampaikan
oleh dewan perwakilan rakyat daerah, sedangkan rancangan peraturan daerah
yang disampaikan oleh gubernur atau bupati/walikota digunakan sebagai bahan
untuk dipersandingkan.
|
PENYUSUNAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bagian
Kesatu
Penyusunan
Undang-Undang
Pasal
43
(1)
Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden.
(2)
Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berasal dari DPD.
(3)
Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus
disertai Naskah Akademik.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan
Undang-Undang mengenai:
a.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b.
penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang;
atau
c.
pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.
(5)
Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan
keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.
Pasal
44
(1)
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang dilakukan sesuai dengan
teknik penyusunan Naskah Akademik.
(2)
Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah
Akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum
dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal
45
(1)
Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari
DPR
maupun Presiden serta Rancangan Undang-
Undang
yang diajukan DPD kepada DPR disusun
berdasarkan
Prolegnas.
(2)
Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah
Rancangan
Undang-Undang yang berkaitan dengan:
a.
otonomi daerah;
b.
hubungan pusat dan daerah;
c.
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah;
d.
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi
lainnya; dan
e.
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Pasal
46
(1)
Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan
komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau
DPD.
(2)
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR
yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan
DPR.
Pasal
47
(1)
Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh
Presiden
disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai
dengan
lingkup
tugas dan tanggung jawabnya.
(2)
Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang,
menteri
atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait membentuk panitia antarkementerian
dan/atau antarnonkementerian.
(3)
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan
Presiden.
Pasal
48
(1)
Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan
DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik. (2) Usul
Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang
legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang.
(3)
Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai
tugas di bidang perancangan Undang-Undang untuk membahas usul Rancangan Undang-Undang.
(4)
Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan
tertulis mengenai hasil pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna.
Pasal
49
(1)
Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada
Presiden.
(2)
Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk
membahas
Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.
(3)
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengoordinasikan
persiapan pembahasan dengan
menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal
50
(1)
Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada
pimpinan DPR.
(2)
Surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penunjukan menteri
yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang
bersama DPR.
(3)
DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat
Presiden diterima.
(4)
Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang- Undang di DPR, menteri atau
pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang-Undang
tersebut dalam jumlah yang diperlukan.
Pasal
51
Apabila
dalam satu masa sidang DPR dan Presiden
menyampaikan
Rancangan Undang-Undang mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah
Rancangan Undang-Undang yang disampaikan oleh DPR dan Rancangan Undang-Undang
yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
Bagian
Kedua
Penyusunan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Pasal
52
(1)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam
persidangan yang berikut.
(2)
Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan
Undang-Undang
tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
(3)
DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak
memberikan
persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(4)
Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang mendapat persetujuan
DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang
tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.
(5)
Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tidak mendapat
persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.
(6)
Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang harus dicabut dan
harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau
Presiden mengajukan Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(7)
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.
(8)
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (5).
Pasal
53
Ketentuan
mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian
Ketiga
Penyusunan
Peraturan Pemerintah
Pasal
54
(1)
Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia
antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian.
(2)
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan
Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia
antarkementerian dan/atau antarnonkementerian,pengharmonisasian,penyusunan,
dan penyampaian Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian
Keempat
Penyusunan
Peraturan Presiden
Pasal
55
(1)
Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia
antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.
(2)
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi
Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia
antarkementerian dan/atau antarnonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan,
dan penyampaian Rancangan Peraturan
Presiden
diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian
Kelima
Penyusunan
Peraturan Daerah Provinsi
Pasal
56
(1)
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi atau
Gubernur. (2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) disertai dengan penjelasan
atau
keterangan dan/atau Naskah Akademik.
(3)
Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
mengenai:
a.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi;
b.
pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau
c.
perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya
terbatas
mengubah beberapa materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran
dan materi muatan yang diatur.
Pasal
57
(1)
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan
sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
(2)
Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah
Akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian
tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal
58
(1)
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang
berasal
dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan
DPRD Provinsi yang khusus menangani
bidang
legislasi. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur
dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertical dari
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal
59
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan
Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur diatur dengan Peraturan
Presiden.
Pasal
60
(1)
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi,
gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang
legislasi.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
mempersiapkan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan DPRD Provinsi.
Pasal
61
(1)
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah
disiapkan
oleh DPRD Provinsi disampaikan dengan
surat
pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur.
(2)
Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan
oleh
Gubernur disampaikan dengan surat pengantar
Gubernur kepada pimpinan DPRD
Provinsi.
Pasal
62
Apabila
dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan
Gubernur
menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama,
yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh
DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh
Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
Bagian
Keenam
Penyusunan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal
63
Ketentuan
mengenai penyusunan Peraturan Daerah
Provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara
mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
|
8.
|
BAB
VI
|
PEMBAHASAN
DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
Bagian
Kesatu
Pembahasan
Rancangan Undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal
32
(1)
Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau menteri yang ditugasi.
(2)
Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat den daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan
dengan mengikutkan Dewan Perwakilan Daerah.
(3)
Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan
undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya pada rapat
komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khasus menangani
bidang legislasi.
(4)
Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan
undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh
komisi yang membidangi materi muatan rancangan undang-undang yang dibahas.
(5)
Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
tingkat-tingkat pembicaraan.
(6)
Tingkat-tingkat pembicaraan sebegaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan
dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang
khusus menangani bidang legislasi
dan
rapat paripurna.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat.
Pasal
33
Dewan
Perwakilan Rakyat memberitahukan Dewan Perwakilan Daerah akan dimulainya
pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(2).
Pasal
34
Dewan
Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas
rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang
berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Pasal
35
(1)
Rancangan undang-undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(2)
Rancangan Undang-undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali
berdasarkan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali rancangan
undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Tata
Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal
36
(1)
Pembahasan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang menjadi undang-undang dilaksanakan melalui mekanisme
yang sama dengan pembahasan rancangan undang-undang.
(2)
Dewan Perwakilan Rakyat hanya menerima atau menolak Peraturan Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang.
(3)
Dalam hal rancangan undang-undang mengenai penetapan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang menjadi undang-undang ditolak oleh Dewan Perwakilan
Rakyat maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut dinyatakan
tidak berlaku.
(4)
Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan
Perwakilan Rakyat
maka
Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala
akibat dari penolakan tersebut.
Bagian
Kedua
Pengesahan
Pasal
37
(1)
Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada
Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
(2)
Penyampaian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal persetujuan bersama.
Pasal
38
(1)
Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 disahkan oleh
Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(2)
Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang-undang
tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
(3)
Dalam hal sahnya rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
maka
kalimat
pengesahannya berbunyi: UndangUndang ini dinyatakan sah berdasarkan,
ketentuan Pasal
20
ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Repuiblik Indonesia Tahun 1945.
(4)
Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum Pengundangan naskah
Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal
39
(1)
Peraturan Pemerintah ditetapkan untuk melaksanakan Undang-Undang.
(2)
Setiap Undang-Undang wajib mencantumkan batas waktu penetapan Peraturan
Pemerintah dan
peraturan
lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
(3)
Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam
penyelenggaraan
pemerintahan negara tidak atas permintaan secara tegas dari suatu
Undang-Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
TEKNIK
PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal
64
(1)
Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan
teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
(2)
Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan
Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3)
Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik
penyusunan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
diatur dengan
Peraturan Presiden.
|
BAB
VII
|
PEMBAHASAN
DAN PENGESAHAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH
Bagian
Kesatu
Pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah
di
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal
40
(1)
Pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah
dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat daerah bersama gubernur atau
bupati/walikota.
(2)
Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
tingkat-tingkat pembicaraan.
(3)
Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah
yang khusus menangani bidang
legislasi
dan rapat paripurna.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan peraturan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Tata Tertib
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal
41
(1)
Rancangan peraturan daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh
dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota.
(2)
Rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali
berdasarkan persetujuan bersama dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur
atau bupati/walikota.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali rancangan
peraturan daerah diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Bagian
Kedua
Penetapan
Pasal
42
(1)
Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh dewan perwakilan
rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan
dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota untuk
ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.
(2)
Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (I)
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal persetujuan bersama.
Pasal
43
(1)
Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ditetapkan
oleh gubernur atau bupati/walikota dengan membubuhkan tanda tangan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan
daerah tersebut disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan
gubernur atau bupati/walikota.
(2)
Dalam hal rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
ditandatangani
oleh gubernur atau bupati/walikota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama, maka
rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib
diundangkan.
(3)
Dalam hal sahnya rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
maka
kalimat
pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
(4)
Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah
Peraturan Daerah ke dalam Lembaran Daerah.
|
PEMBAHASAN
DAN PENGESAHAN
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
Bagian
Kesatu
Pembahasan
Rancangan Undang-Undang
Pasal
65
(1)
Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau
menteri yang ditugasi.
(2)
Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan
dengan:
a.
otonomi daerah;
b.
hubungan pusat dan daerah;
c.
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah;
d.
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi
lainnya; dan
e.
perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.
(3)
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I. (4)
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi
materi muatan Rancangan Undang- Undang yang dibahas.
(5)
DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas
Rancangan
Undang-Undang tentang Anggaran
Pendapatan
dan Belanja Negara dan Rancangan
Undang-Undang
yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan,
dan agama.
Pasal
66
Pembahasan
Rancangan Undang-Undang dilakukan
melalui
2 (dua) tingkat pembicaraan.
Pasal
67
Dua
tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
66 terdiri atas:
a.
pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat
gabungan
komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan
Anggaran,
atau rapat Panitia Khusus; dan
b.
pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.
Pasal
68
(1)
Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan
sebagai
berikut:
a.
pengantar musyawarah;
b.
pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan
c. penyampaian pendapat mini.
(2)
Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) huruf a:
a.
DPR memberikan penjelasan dan Presiden
menyampaikan
pandangan jika Rancangan
Undang-Undang
berasal dari DPR;
b.
DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan
DPD
menyampaikan pandangan jika Rancangan
Undang-Undang
yang berkaitan dengan
kewenangan
DPD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
65 ayat (2) berasal dari DPR;
c.
Presiden memberikan penjelasan dan fraksi
memberikan
pandangan jika Rancangan Undang-
Undang
berasal dari Presiden; atau
d.
Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan
DPD
menyampaikan pandangan jika Rancangan
Undang-Undang
yang berkaitan dengan
kewenangan
DPD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
65 ayat (2) berasal dari Presiden.
(3)
Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) huruf b diajukan oleh:
a.
Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal
dari
DPR; atau
b.
DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari
Presiden
dengan mempertimbangkan usul dari
DPD
sepanjang terkait dengan kewenangan DPD
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2).
(4)
Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir
pembicaraan
tingkat I oleh:
a.
fraksi;
b.
DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan
dengan
kewenangan DPD sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 65 ayat (2); dan
c. Presiden.
(5)
Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dan
huruf
d dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini
sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf b,
pembicaraan
tingkat I tetap dilaksanakan.
(6)
Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang
pimpinan
lembaga negara atau lembaga lain jika
materi
Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan
lembaga
negara atau lembaga lain.
Pasal
69
(1)
Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan
keputusan
dalam rapat paripurna dengan kegiatan:
a.
penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat
mini
fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil
pembicaraan
tingkat I;
b.
pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiaptiap
fraksi
dan anggota secara lisan yang diminta
oleh
pimpinan rapat paripurna; dan
c.
penyampaian pendapat akhir Presiden yang
dilakukan
oleh menteri yang ditugasi.
(2)
Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) huruf b tidak dapat dicapai secara
musyawarah
untuk mufakat, pengambilan keputusan
dilakukan
berdasarkan suara terbanyak.
(3)
Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak
mendapat
persetujuan bersama antara DPR dan
Presiden,
Rancangan Undang-Undang tersebut tidak
boleh
diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Pasal 70
(1)
Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali
sebelum
dibahas bersama oleh DPR dan Presiden.
(2)
Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas
hanya
dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan
bersama
DPR dan Presiden.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPR.
Pasal
71
(1)
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang
Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang
dilaksanakan melalui mekanisme yang sama
dengan
pembahasan Rancangan Undang-Undang.
(2)
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang
Pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang
dilaksanakan melalui mekanisme khusus
yang
dikecualikan dari mekanisme pembahasan
Rancangan
Undang-Undang.
(3)
Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:
a.
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
diajukan
oleh DPR atau Presiden;
b.
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a diajukan
pada
saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan
persetujuan
atas Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang yang diajukan oleh
Presiden; dan
c.
Pengambilan keputusan persetujuan terhadap
Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf b
dilaksanakan
dalam Rapat Paripurna DPR yang
sama
dengan rapat paripurna penetapan tidak
memberikan
persetujuan atas Peraturan
Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tersebut.
Bagian
Kedua
Pengesahan
Rancangan Undang-Undang
Pasal
72
(1)
Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui
bersama
oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh
Pimpinan
DPR kepada Presiden untuk disahkan
menjadi
Undang-Undang.
(2)
Penyampaian Rancangan Undang-Undang
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
jangka
waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak
tanggal persetujuan bersama.
Pasal
73
(1)
Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan
membubuhkan
tanda tangan dalam jangka waktu
paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
Rancangan
Undang-Undang tersebut disetujui
bersama oleh DPR dan Presiden.
(2)
Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh
Presiden
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung
sejak Rancangan Undang-Undang tersebut
disetujui
bersama, Rancangan Undang-Undang
tersebut
sah menjadi Undang-Undang dan wajib
diundangkan.
(3)
Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), kalimat
pengesahannya
berbunyi: Undang-Undang ini
dinyatakan
sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat
(5)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun
1945.
(4)
Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana
dimaksud
pada ayat (3) harus dibubuhkan pada
halaman
terakhir Undang-Undang sebelum
pengundangan
naskah Undang-Undang ke dalam
Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Pasal
74
(1)
Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan
batas
waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan
peraturan
lainnya sebagai pelaksanaan Undang-
Undang
tersebut.
(2)
Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan
lainnya
yang diperlukan dalam penyelenggaraan
pemerintahan
tidak atas perintah suatu Undang-
Undang
dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
|
|
BAB
VIII
|
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal
44
(1)
Penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan
teknik peryusunan peraturan perundang-undangan.
(2)
Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan
peraturan perundangundangan sebagaimara dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Presiden.
|
PEMBAHASAN
DAN PENETAPAN
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH PROVINSI DAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA
Bagian
Kesatu
Pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
Pasal
75
(1)
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
dilakukan
oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur.
(2)
Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) dilakukan melalui tingkat-tingkat
pembicaraan.
(3)
Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud
pada
ayat (2) dilakukan dalam rapat
komisi/panitia/badan/alat
kelengkapan DPRD
Provinsi
yang khusus menangani bidang legislasi dan
rapat
paripurna.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
diatur
dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Pasal
76
(1)
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik
kembali
sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi
dan
Gubernur.
(2)
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang
dibahas
hanya dapat ditarik kembali berdasarkan
persetujuan bersama DPRD Provinsi dan
Gubernur.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan
kembali
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur
dengan
Peraturan DPRD Provinsi.
Bagian
Kedua
Pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal
77
Ketentuan
mengenai pembahasan Rancangan Peraturan
Daerah
Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
dan
Pasal 76 berlaku secara mutatis mutandis terhadap
pembahasan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Bagian
Ketiga
Penetapan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
Pasal
78
(1)
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah
disetujui
bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur
disampaikan
oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada
Gubernur
untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah
Provinsi.
(2)
Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
jangka
waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal persetujuan bersama.
Pasal
79
(1)
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 78 ditetapkan oleh Gubernur
dengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka
waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi tersebut
disetujui
bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
(2)
Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak
ditandatangani
oleh Gubernur dalam waktu paling
lama
30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan
Daerah
Provinsi tersebut disetujui bersama,
Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah
menjadi
Peraturan Daerah Provinsi dan wajib
diundangkan.
(3)
Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat
pengesahannya
berbunyi: Peraturan Daerah ini
dinyatakan
sah.
(4)
Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana
dimaksud
pada ayat (3) harus dibubuhkan pada
halaman
terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum
pengundangan
naskah Peraturan Daerah Provinsi
dalam
Lembaran Daerah.
Bagian
Keempat
Penetapan
Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota
Pasal
80
Ketentuan
mengenai penetapan Rancangan Peraturan
Daerah
Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
dan
Pasal 79 berlaku secara mutatis mutandis terhadap
penetapan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
|
|
BAB
IX
|
PENGUNDANGAN
DAN PENYEBARLUASAN
Bagian
Kesatu
Pengundangan
Pasal
45
Agar
setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan
dengan menempatkannya dalam
a.
Lembaran Negara Republik Indonesia;
b.
Berita Negara Republik Indonesia;
c.
Lembaran Daerah; atau
d.
Berita Daerah.
Pasal
46
(1)
Peraturan Perandang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,
meliputi:
a.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang;
b.
Peraturan Pemerintah;
c.
Peraturan Presiden mengenai:
1.
perigesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau
badan internasional; dan
2.
peryataan keadaan bahaya.
d.
Perataran Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2)
Peraturan Perandang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal
47
(1)
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan
Perandang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2)
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan
Perundangundangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal
48
Pengundangan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau
Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
dilaksanakan oleh menteri yang tugas dan tanggung Jawabnya di bidang
peraturan perundang-undangan.
Pasal
49
(1)
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah
Peraturan
Daerah.
(2)
Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, atau peraturan lain di
bawahnya dimuat dalam Berita Daerah.
(3)
Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah
dilaksanakan oleh sekretaris daerah.
Pasal
50
Peraturan
Perandang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal
diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan
yang bersangkutan.
Bagian
Kedua
Penyebarluasan
Pasal
51
Pemerintah
wajib menyebarluaskan Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik
Indonesia.
Pasal
52
Pemerintah
Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam
Lembaran Daerah dan peraturan di bawahnya yang telah diundangkan dalam Berita
Daerah.
|
PENGUNDANGAN
Pasal
81
Agar
setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundangundanganharus diundangkan
dengan menempatkannya
dalam:
a.
Lembaran Negara Republik Indonesia;
b.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;
c.
Berita Negara Republik Indonesia;
d.
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;
e.
Lembaran Daerah;
f.
Tambahan Lembaran Daerah; atau
g.
Berita Daerah.
Pasal
82
Peraturan
Perundang-undangan yang diundangkan dalam
Lembaran
Negara Republik Indonesia, meliputi:
a.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
b.
Peraturan Pemerintah;
c.
Peraturan Presiden; dan
d.
Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut
Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku harus
diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Pasal
83
Peraturan
Perundang-undangan yang diundangkan dalam
Berita
Negara Republik Indonesia meliputi Peraturan
Perundang-undangan
yang menurut Peraturan
Perundang-undangan
yang berlaku harus diundangkan
dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Pasal
84
(1)
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
memuat
penjelasan Peraturan Perundang-undangan
yang
dimuat dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
(2)
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat
penjelasan
Peraturan Perundang-undangan yang
dimuat
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal
85
Pengundangan
Peraturan Perundang-undangan dalam
Lembaran
Negara Republik Indonesia atau Berita Negara
Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
82
dan Pasal 83 dilaksanakan oleh menteri yang
menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang
hukum.
Pasal
86
(1)
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan
dalam
Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah
Provinsi
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2)
Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota
diundangkan
dalam Berita Daerah.
(3)
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lembaran
Daerah dan Berita Daerah sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh
Sekretaris Daerah.
Pasal
87
Peraturan
Perundang-undangan mulai berlaku dan
mempunyai
kekuatan mengikat pada tanggal
diundangkan,
kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan.
|
|
BAB
X
|
PARTISIPASI
MASYARAKAT
Pasal
53
Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan
atau pernbahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.
|
PENYEBARLUASAN
Bagian
Kesatu
Penyebarluasan
Prolegnas, Rancangan Undang-Undang,
dan
Undang-Undang
Pasal
88
(1)
Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah
sejak
penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan
Undang-Undang,
pembahasan Rancangan Undang-
Undang,
hingga Pengundangan Undang-Undang.
(2)
Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan
untuk memberikan informasi dan/atau
memperoleh
masukan masyarakat serta para
pemangku
kepentingan.
Pasal
89
(1)
Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh
DPR
dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan
DPR yang khusus menangani bidang
legislasi.
(2)
Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan
oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang
legislasi.
(3)
Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang
berasal
dari Presiden dilaksanakan oleh instansi
pemrakarsa.
Pasal
90
(1)
Penyebarluasan Undang-Undang yang telah
diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia
dilakukan secara bersama-sama oleh DPR
dan
Pemerintah.
(2)
Penyebarluasan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh DPD sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Pasal
91
(1)
Dalam hal Peraturan Perundang-undangan perlu
diterjemahkan
ke dalam bahasa asing, penerjemahannya dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.
(2)
Terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan terjemahan resmi.
Bagian
Kedua Penyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Provinsi atau
Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota
Pasal
92
(1)
Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak
penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah, hingga Pengundangan Peraturan Daerah.
(2)
Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat
memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku
kepentingan.
Pasal
93
(1)
Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh
DPRD
dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh
alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang
legislasi.
(2)
Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan
oleh alat kelengkapan DPRD.
(3)
Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau
Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
Pasal
94
Penyebarluasan
Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan
dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah
Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Bagian
Ketiga
Naskah
yang Disebarluaskan
Pasal
95
Naskah
Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus merupakan salinan
naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan
Lembaran Daerah, dan Berita Daerah.
|
|
BAB
XI
|
KETENTUAN
LAIN-LAIN
Pasal
54
Teknik
penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat,
Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan Ketua Mahkamah Agung,
Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa
Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, keputusan kepala
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota,
Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat harus berpedoman pada teknik
penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini.
|
PARTISIPASI
MASYARAKAT
Pasal
96
(1)
Masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan
dan/atau tertulis dalam Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan.
(2)
Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui:
a.
rapat dengar pendapat umum;
b.
kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d.
seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3)
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah
orang perseorangan atau kelompok orang yang
mempunyai
kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(4)
Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan
harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
|
|
BAB
XII
|
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
55
Pengundangan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau
Berita Negara Republik Indonesia oleh menteri yang tugas dan tanggung
jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dilaksanakan paling lambat 1
(satu) tahun terhitang sejak diundangkannya Undang- Undang ini.
|
KETENTUAN
LAIN-LAIN
Pasal
97
Teknik
penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara
mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan
Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan
Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah
Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa
Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan
Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang
setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan
Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala
Desa atau yang setingkat.
Pasal
98
(1)
Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundangundangan mengikutsertakan
Perancang Peraturan Perundang-undangan.
(2)
Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
99
Selain
Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (1), tahapan pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli.
|
|
BAB
XIII
|
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
56
Semua
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan
Bupati/walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini
berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang
ini.
Pasal
57
Pada
saat Undang-Undang int mulai berlaku maka:
a.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang
Dikeluarkan
oleh
Pemerintah Pusat;
b.
Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan
Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia
Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang
Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal dan
Peraturan Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal (Lembaran Negara Tahun
1950 Nomor 1), sepanjang yang telah diatur dalam Undang-Undang ini;
dan
c.
Peraturan Perundang-undangan lain yang ketentuannya telah diatur dalam
Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
58
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yang mulai dilaksanakan pada
tanggal 1 November 2004. Agar sedap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
|
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
100
Semua
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota,
atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang
sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus
dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang- Undang
ini.
Pasal 101
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389),
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.
Pasal
102
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
103
Peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan
paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal
104
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar