Kamis, 19 Juni 2014

ANALISIS KASUS PENYERANGAN LP. CEBONGAN OLEH ANGGOTA KOPASUS PERSPEKTIF LEGAL CULTURE

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
             
Pada tanggal 23 Maret 2013 lalu terjadi peristiwa yang mencengangkan publik, yaitu penyerangan di Lapas Kelas IIB LP. Cebongan  Kabupaten Sleman, yang disangkakan dilakukan oleh 12 anggota Kopasus, perisitiwa ini telah menewaskan empat orang korban, atas nama Hendrik Benyamin Sahetapy Engel alias Deki, Yohanis Juan Mambait alias Juan, Adrianus Chandra Galaja alias Dedi, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi. Beradasrkan fakta di persidangan dari pemeriksaan saksi-saksi serta dari pengakuan tersangka di dapatkan bahwa hal yang melatar belakangi peristiwa ini adalah motif 'balas dendam' setelah sebelumnya 4 korban tersebut melakukan pembunuhan terhadap Serka Heru Santosa dan pembacokan Sertu Seriyono.
              Menanggapi kasus ini Komnas HAM sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya pelanggaran HAM berat, menyimpulkan bahwa dalam kasus ini  tidak terjadi pelanggaran HAM berat, namun yang terjadi adalah pelanggaran HAM biasa. Sedikitnya ada 4 dugaan pelanggaran HAM tersebut, Pertama, yakni menghilangkan hak untuk hidup. Empat tahanan dibunuh dengan cara ditembak berkali-kali di kepala. Penembakan tetap dilakukan meskipun sudah dalam keadaan tewas. Kedua, pelanggaran hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Ketiga, hak untuk memperoleh keadilan. Pembunuhan empat tahanan itu dilakukan di luar proses hukum. Keempat, pelanggaran hak atas rasa aman. Peristiwa di Cebongan, menurut Komnas HAM, menimbulkan rasa ketakutan dan kekhawatiran yang dialami para tahanan, aparat kepolisian, petugas lapas, warga DIY yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, dan masyarakat DIY pada umumnya. Kelima, pelanggaran hak milik. Para pelaku mengambil monitor CCTV, kamera CCTV, perekam CCTV, ponsel, dan melakukan perusakan pintu. Dengan adanya hasil penyelidikan tersebut maka, pengadilan HAM tidak memiliki kompetensi untuk mengadili kasus ini dan dilimpahkan kepada Pengadilan Militer sesuai dengan ketentuan dalam UU. No.31 Tahun 1997.
              Namun dalam persidangan oditur militer mengajukan tuntutan yang tidak maksimal berdasarakn Pasal 340 adalah Hukuman mati, alasannya adalah karena adanaya unsur-unsur peringan di antaranya tidak semua masyarakat mencela perbuatan terdakwa, bahkan sebagian warga Yogya merasa diuntungkan dengan tindakan tersebut terdakwa telah beberapa kali mengikuti tugas operasi militer dan kemanusiaan; para terdakwa belum pernah di hukum dan; secara kesatria mengakui perbuatanya, dan semata-mata untuk membela kehormatan Korps[1].

              Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
              Dalam penegakan hukum kasus penyerangan LP. Cebongan tentu tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan legal culture yang berkembang dikalangan korps kopasus. Sehingga untuk menganalisis kasus ini secara teoritis penyusun ingin mengaitkannya dengan teori yang dikemukakan oleh M. L. Friedman yang memandang hukum sebagai sistem yang tidak terpisahkan satu dan yang lainnya, yaitu structure, substansi dan culture.

B.    Rumusan Masalah
               Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud menganalisis kasus penyerangan LP. Cebongan dari perspektif legal culturenya. Adapun rumusan masalah  dari makalah ini antara lain :
1.     Peran legal culture dalam penegakan hukum ?
2.     Bagaimanakah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tedakwa ditinjau dari perspektif legal culture ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Peran Legal Culture dalam Penegakan Hukum
                    Budaya hukum (legal culture) mempunyai peran yang vital dan sangat penting dalam penegakan hukum di Indonesia karena hukum sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum diabaikan, maka akan terjadi kegagalan sistem hukum modern dan menimbulkan berbagai kejahatan-kejahatan yang baru. Dalam rangka penegakan hukum pidana di Indonesia maka diperlukan peningkatan kualitas peran budaya hukum antara lain melalui budaya kerja dan perilaku yang profesional para aparat penegak hukum, pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan sosial yang luas tidak hanya kepada aparat penegak hukum namun semua elemen masyarakat dan pemerintah.
                    Menurut Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh mengatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum (pidana) di Indonesia antara lain[2]:
1.   Undang-undang yang dihasilkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat lebih mencerminkan kepentingan pengusaha dan penguasa daripada kepentingan rakyat kebanyakan.
2.   Lemahnya kehendak konstitusional dari para pemimpin dan penyelenggara negara di Indonesia.
3.   Rendahnya integritas aparat penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa dan advokat.
4.   Paradigma penegakan hukum yang positivistik atau lebih menekankan pada aspek legal formal.
5.   Minimnya sarana dan prasarana penegakan hukum,
6.   Sistem hukum yang tidak sistematis.
7.   Tingkat kesadaran dan budaya hukum yang kurang di masyarakat.
              Bagi yang mengkaji ilmu hukum, tentunya mengetahui bahwa pemidanaan (penghukuman secara legal di bidang hukum pidana) mempunyai sejumlah tujuan seperti menakut-nakuti warga masyarakat luas agar tidak melakukan suatu tindak kriminal, membuat jera si pelaku agar tidak mengulangi lagi kejahatan yang pernah dilakukannya, merehabilitasi pelaku agar mampu menjadi manusia baru setelah usai menjalankan hukumannya dan lain-lain. Dalam kenyataannya tujuan pemidanaan ini banyak yang sering dijatuhkan oleh pengadilan sama sekali kontras dengan rasa keadilan warga masyarakat. Tuntutan bebas dan putusan bebas untuk terdakwa kasus korupsi misalnya jelas sangat melukai rasa keadilan masyarakat. Dampak langsung dari fenomena itu adalah membawa warga masyarakat membuat bentuk social control sendiri dengan cara-cara kekerasan seperti perilaku kekerasan dalam bentuk penganiayaan, pembunuhan, perusakan barang.
              Hukum yang dibuat pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum diabaikan, maka dapat dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum modern yang ditandai dengan munculnya berbagai gejala seperti : Kekeliruan informasi mengenai isi peraturan hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat, Muncul perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat, Masyarakat lebih memilih untuk tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah menjadi nilai-nilai dan pandangan dalam kehidupan mereka.[3]
              Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para aparat penegak hukum terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia yang dinilai buruk harus segera dikembalikan  dan dipulihkan dengan perbaikan pada aspek struktur dan substansi hukum yang diiringi dengan adanya budaya hukum (Culture Hukum). Aspek budaya hukum inilah yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Menurut Lawrence M. Friedman menjelaskan mengenai konsep budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan, tanpa adanya budaya/kultur hukum maka sistem hukum sendiri tak berdaya[4]. Unsur budaya hukum ini mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak baik dari aparat penegak hukum maupun dari masyarakat.tanpa budaya hukum maka sistem hukum akan kehilangan kekuatannya seperti yang di katakan Lawrence M. Friedman "without legal culture, the legal system is meet-as dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea". Gambaran mengenai budaya hukum  dalam unsur-unsur sistem hukum adalah  struktur hukum diibaratkan sebagai  mesin yang menghasilkan sesuatu,  substansi hukum diibaratkan produk yang di hasilkan oleh mesin, dan budaya hukum merupakan apa saja atau siapa sajayang memutuskan untuk menjalankan mesin serta membatasi penggunaan mesin.
              Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa dalam usaha untuk membenahi hukum di Indonesia kita perlu menaruh perhatian yang seksama terhadap masalah perilaku bangsa, kehidupan hukum tidak hanya menyangkut urusan hukum teknis, seperti pendidikan hukum tetapi menyangkut soal pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan sosial yang luas[5]. Aspek perilaku (budaya hukum) aparat penegak hukum  perlu dilakukan penataan ulang dari perilaku budaya hukum yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum sebelumnya karena seseorang menggunakan hukum atau tidak menggunakan hukum sangat tergantung pada kultur (budaya) hukumnya[6]. Telah terbukti bahwa akibat perilaku hukum aparat penegak hukum yang tidak baik, tidak resisten terhadap suap, konspirasi, dan KKN, menyebabkan banyak perkara tindak pidana korupsi yang tidak dapat dijerat oleh hukum.
              Aparat penegak hukum dalam hal ini berperan dalam membangun  dan menata kembali budaya hukum dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Mereka dituntut untuk mengambil peran melalui budaya kerja yang profesional sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan asas persamaan di bidang hukum (equality before the law) dapat terwujud. Dalam rangka menciptakan peran budaya hukum dari sisi aparat hukum maka perilaku para aparat penegak hukum mencakup polisi, pengacara, jaksa, hakim agar dapat mengembalikan kepercayaannya kepada masyarakat dan menjalankan tugasnya dengan profesional maka hukum harus dikembalikan kepada akar moralitas, kultural dan religius, dan mengembalikan rasa keadilan rakyat. Selanjutnya dalam rangka memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum maka tindakan mengganti semua aparat penegak hukum yang tidak bersih mutlak diperlukan.
              Kualitas budaya hukum menentukan kualitas penegakan hukum. Sebaik apa pun aturan hukum dibuat, sedetail apa pun kelembagaan dan manajemen organisasi disusun, yang akan menjalankan adalah manusia yang hidup dalam budaya tertentu. Ketika budaya belum berubah, aturan dan sistem tidak akan berjalan sesuai harapan. Para aparat penegak hukum harus mampu melepaskan diri dari budaya aparat hukum yang ada selama ini dinilai tidak adil dan buruk dan berubah ke arah peningkatan sumber daya manusia, manajemen yang lebih baik menjadi aset untuk dapat menjalani tugas para aparat penegak hukum yang ideal. Budaya hukum (budaya kerja) dari aparat penegak hukum yang baik akan menghasilkan penegakan hukum yang efektif dan efisien.

B.    Pelanggaran HAM yang Dilakukan Oleh Tedakwa Ditinjau Dari Perspektif Legal Culture    
              Sangat berbeda dengan dugaan pelanggaran HAM yang diajukan oleh Komnas HAM, dalam kasus ini oditur hanya memandang adanya pelanggaran HAM menghilangkan nyawa orang lain, yang di kategorikan dalam pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama, di lain pihak juga tuntutan yang diajukan tidak maksimal, yaitu hanya 12 , 10,dan 8 Tahun dari yang batasan maksimum yang ditentukan oleh Pasal 340 KUHP yaitu Pidana mati, seumur hidup, atau dalam kurun waktu tertentu, maksimal 20 tahun. Menurut oditur tidak maksimalnya penuntutan di sebabakn karena ada nya alasan peringan dianataranya adalah tidak semua masyarakat mencela perbuatan terdakwa, bahkan sebagian warga Yogya merasa diuntungkan dengan tindakan tersebut terdakwa telah beberapa kali mengikuti tugas operasi militer dan kemanusiaan; para terdakwa belum pernah di hukum dan; secara kesatria mengakui perbuatanya, dan semata-mata untuk membela kehormatan Korps.  Dalam hal ini penyusun ingin menganalisis alasan peringan yang menjadi landasan dalam melakukan penuntutan dengan juga melihat legal culture yang ada.
              Dalam kasus pidana ada alasan pemaaf yang dapat meringankan atau bahkan membebaskan pelaku tindak pidana, hal ini di atur dalam BAB III Buku II KUHP Pasal 44-52a, alasan yang meringankan di antarnaya adalah belum dianggap dewasa (dalam Hukum Pidana dianggap dewasa apabila telah mencapai 17 tahun), karena adanya tindakan memaksa, adanya goncangan psikologi, karena melaksanakan ketentuan UU, di perintahkan oleh atasan yang memiliki wewenang, di wajibkan oleh jabatan. Melihat alasan peringan di atas yang diajukan oleh oditur memang tidak tercantum dalam KUHP, namun sudah kelaziman ada peretimbangan-pertimbangan lain yang dapat meringankan hukuman, adapun perbadaannya adalah ketika alasan pembenar dalam KUHP di penuhi dan dapat dibuktikan adanya, maka mutlak pelaku mesti dibebaskan, namun pada hal yang terakhir disebutkan masih perlu penalaran dan analisis oleh hakim terhadap dampaknya kedepan.
              Oleh karena itu, penyusun mencoba untuk melihat legal culture yang ada di masyarakat dan di dalam organisasi seperti korps kopasus sendiri. Sudah bukan rahasia lagi bahwan kopasus merupakan tentara yang dibekali dengan segudang keahliah dan tentunya dalam melaksanakan tugas-tugasnya mereka selalu berada dalam sebuah team yang solid, maka tidak heran rasa saling menghormati dan saling memiliki menjadi sangat kuat dalam kesatuan korp kopasus. Terbongkarnya kasus penyerangan LP. Cebongan yang didalangi oleh anggota kopasus rupanya tidak terlau mengherankan bagi masyarakat alasan Membela kehormatan Korps yang digunakan untuk melakukan penyerangan sepertinya dimaklumi oleh kalangan masyarakat.
              Namun sebanarnya alasan membela kehormatan Korps disini lebih dekat pada, adanya 'jiwa korsa; dalam satuan Kopasus itu sendiri, untuk menafsirkan tindakannnya memproleh alasan pemaaf, maka yang perlu di analisa adalah apakah penerapan jiwa korsa itu sendiri sudah tepat. Dalam hal ini. mantan Jendral Kopasus Letnan jendral (Pur) Sutiyoso memberikan  komentarnya, sebagaimana dikutip berikut ini[7] :
      "Dalam konteks ini kebersamaan atau jiwa korsa yang dilakukan tentu itu barang yang salah,     lebih  hal ini lebih pada merupakan aksi-reaksi. Di pasukan elit seperti Kopasus, satuan kecil direkrut secara ketat, dipersenjatai secara khusus dan diberikan tugas khusus yang tidak mungkin dilakukan pasukan biasa. Sehingga kebersamaan yang dipupuk semakin erat, apalagi makin kecil kesatuannya jiwa korsa juga semakin tinggi. namun dirinya tidak menafikan adanya jiwa kebersamaan dalam peristiwa cebongan ini ". 

                    Dalam melaksanakn tugasnya sendiri prajurit tidak bisa dilepaskan dari kekerasan yang dikenal dengan  "lisence to kill" tapi terdapat batasan-batasan kapan lisence to kill itu diterapkan di antaranya :
                    Pertama, Just war. Keabsahan seorang prajurit untuk melakukan tindak yang dikategorikan sejenis kekerasan/ membunuh lawan dalam suatu peperangan oleh karena konsekwensi logis  sebagai  Kekuatan pertahanan negara    yang memiliki legitimasi untuk berhadapan  dengan musuh dalam situasi perang yang diproklamirkan oleh pemerintah, maka prajurit mendapatkan keabsahanya melakukan penyerangan dalam  pertempuran, dan  terlebih obyek pantas untuk diserang, karena  negara memerlukan perlindungan dari berbagai ancaman.
                    Kedua, Death Penalty, atinya keabsahan prajurit dalam menggunakan otoritasnya mengangkat senjata dan memuntahkan peluru bagi seseorang yang dianggap bersalah/ berbahaya dan mengganggu kesejahteraan umum. Pada praktek ini prajurit biasanya dapat dilibatkan dalam eksekusi mati bagi terdakwa yang dijatuhi hukuman mati oleh penegak hukum/ Negara.
                    Ketiga, Legitimate self defance . artinya otoritas dan keabsahan untuk melakukan pembelaan diri dari ancaman yang membahayakan dirinya pada saat yang ada. Pada situasi ini, nyaris tidak ada pilihan  kecuali menyelamatkan diri dengan melakukan pembelaan yang secukupnya, itupun  pelaksanaanya digunakan secara seimbang.
              Dalam hal ini perlu di pahami betul, bahwa dalam melakukan suatu tindakan tertentu anggota kopasus tentu dipengaruhi oleh legal culture (budaya hukum)  yang ada dalam kops kopasus itu sendiri, tindakan penyerangan yang dilakukan oleh kopasus ini tentu sudah di pikirkan sebelum, mengenai akibat yang akan ditimbulkan.  
              Selain budaya hukum yang ada di dalam korps kopasus perlu juga melihat budaya hukum masyarakat dalam menanggapi kasus penyerangan LP. Cebongan. Sebagian masyarakat ternyata memaklumi tindakan yang dilakukan oleh kopasus walaupun sesungguhnya perbuatan tersebut tidak seharusnya dilakukan karena melanggar peraturan perundang-undangan dan hukum tentunya. Jiwa korsa yang ditunjukkan oleh anggota kopasus dengan mengakui sebua perbuatannya dan siap menangung segala konsekuensi dari perbuatannya merupakan obat bagi masyarakat untuk memaklumi tindakan tersebut, apalagi setelah kejadian tersebut angka keriminalitas menurun drastis, contohnya di pasar tidak ada lagi tukang palak. Tak heran jika dari belasan Ormas yang mendukung terdapat para penarik becak yang pernah kena palak.
              Yang di perlu di perhatikan dari penegakan hukum dari kasus ini adalah fungsi dari hukum itu sendiri, seperti yang kita ketahui salah satu fungsi hukum adalah sebagi alat perubahan masyarakat, walaupun pada kenyataannya hukum tertatih-tatih dalam perkembangan masyarakat, tetapi pada hal tertentu hukum harus mampu membawa masyarakat ke arah perubahan. Hukum pada dasarnya tidak hanya sekedar rumusan hitam di atas putih saja sebagaimana yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, tetapi hendaknya hukum dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam kehidupan masyarakat melalui pola tingkah laku warganya. Hal ini berarti hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum seperti : nilai, sikap, dan pandangan masyarakat yang biasa disebut dengan kultur/budaya hukum. Adanya kultur/budaya hukum inilah yang menyebabkan perbedaan penegakan hukum di antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.[8]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
              Kualitas budaya hukum menentukan kualitas penegakan hukum. Sebaik apa pun aturan hukum dibuat, sedetail apa pun kelembagaan dan manajemen organisasi disusun, yang akan menjalankan adalah manusia yang hidup dalam budaya tertentu. Ketika budaya belum berubah, aturan dan sistem tidak akan berjalan sesuai harapan.
              Cara pandang seseorang atau masyarakat dalam melakukan tindakan dan menilai sesatu kasus juga dipengaruhi oleh budaya hukum yang berkembang di dalam lingkungan masyarakat tersebut.


B.    Saran
                    Budaya hukum harus mampu membawa masyarakat ke arah perubahan untuk memahami hukum secara holistik.







[1] Lihat Kompas Edisi 31 Juli 2013
[2] http://www.antaranews.com/ ANTARA Jateng   KY   Tujuh Faktor Sebabkan Penegakan Hukum Lemah - antarajateng.com.html diakses tanggal 27 Desember 2013
[4] Achmad Ali,  Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 9
[5] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm. 5
[6] Esmi Wirasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sisologis, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010,  hlm. 82
[7] Lihat BeritaSatu.com : Sabtu, 6 April 2013
[8] Lihat Esmi Warassih, Op.Cit., hlm. 68

Tidak ada komentar:

Posting Komentar