.jpg)
Wenneer in 1596 het eerste schip met de driekleur aan den mast in den
Indischen archiple binnenvalt, is dat land staatsrechtelijk gen “woest en
ledig” land. Het is bordevol instituten van volks-en gezagsordening: bewind
door of over stammen, dorpen, boden, republieken, vorstenrijken. Allerminst een
samenhangend geheel – ondanks den vroegeren machtigen groei en het vroegere
tijdelijk overwicht van majapahit -; maar wel een complex van Oostaziatisch
staatrecht, inheemsch gebleven ondanks Hindoesche en Mohammedaan-sche invloeden
op de bevolking.
(ketika sebuah kapal berbendera tiga warna
masuk daerah Indonesia pada tahun 1596, daerah itu dalam arti kata Hukum Tata
Negara, tidaklah merupakan sebidang “tanah yang kosong dan tandus tidak
tergarap”. Daerah itu penuh padat dengan lembaga-lembaga pengaturan masyarakat
dan pemerintah, yang dikuasai oleh atau berkekuasaan atas suku-suku bangsa,
kesatuan perkampungan, republik-republik dan kerajaan kerajaan. Hanya sifat
kesatuan sama sekali tidak ada meskipun
negara Majapahit dahulu tumbuh dengan kokohnya dan memegang pimpinan
yang kuat , dan yang terdapat adalah justru suatu hukum tata negara Asia Timur
yang jalin berjalin, dan tetap bersifat
asli, walaupun penduduknya banyak terpengaruh oleh kebudayaan Hindu dan Islam).[2]
Nasroen[3]
membenarkan apa yang telah dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven dalam bukunya
Daerah Otonomi Tintkat Terbawah dengan mengungkapkan hal yang senada, yaitu
bahwa:
Desa di Inodesia telah ada sejak
beratus-ratus tahun yang lampau. Dari zaman ke zaman, desa, nagari, marga ini
tetap ada dan tetap ada sampai dewasa ini. Majapahit telah hilang, demikian pun
Seriwijaya, Atjeh, Bugis, Minangkabau, Mataram dan sebagainya. Hindia Blanda,
pendudukan Jepang telah lenyap, tapi desa nagari, marga itu tetap ada. Dari
jalan sejarah ini, sebagai bukti dapat diambil kesimpulan bahwa sesuatu negara
akan tetap ada, selama desa, nagari, marga itu ada, asal negara itu sanggup menyatukan
dirinya dengan desa, nagari, dan marga itu.
Secara konstitusional,
konseptualilasi pemerintahan desa telah diakui secara implisit dalam UUD 1945
pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan:
Negara indonesia mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Menurut
UUD 1945 pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat (termasuk di
dalamnya “desa”) beserta hak-hak tradisionalnya harus didasarkan pada prinsip:
“tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”.[4]
Yang
dimaksud dengan masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2)
tessebut adalah masyarakat hukum (rechtgemeenschap)
yang berdasarkan hukum adat atau adat istiadat, seperti desa, marga, nagari,
kampong, meunasah, huta, negorij dan lain-lain. Masyarakat hukum adalah
kesatuan masyarakat bersifat teritorial atau genealogis yang memiliki kekayaan
sendiri, memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan
dengan warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak ke dalam dan ke luar
sebagai satu kesatuan hukum (subjek hukum) yang mandiri dan memerintah diri
mereka sendiri. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini tidak hanya diakui
tetapi juga dihormati, artinya mempunyai hak hidup yang sederajat dan sama
pentingnya dengan kesatuan pemerintahan lain, seperti kabupaten dan kota.[5]
Pengakuan
dan penghormatan itu di berikan sepanjang masyarakat hukum dan hak-hak tradisional
masih nyata ada dan berfungsi (hidup), dan sesuai dengan prinsip –prinsip
negara kesatuan.[6]
Pembataasan ini perlu, untuk mencegah tuntutan terhadap pengakuan masyarakat
hukum dan hak-hak tradisional yang sebenarnya sudah tidak ada lagi dan kemungkinan
diada-adakannya masyarakat hukum adat baru.
Secara
konstitusional, bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan. Konsekuensi
dari konsep atau gagasan hukum tersebut bukan hanya memberikan desentralisasi
kewenangan kepada daerah otonom yang melahirkan otonomi daerah, melainkan lebih
dari itu yakni pengakuan ataupun perlindungan terhadap adanya otonomi
desasebagai otonomi asli bangsa indonesia sejak sebelum datangnya bangsa
Kolonial Belanda. Pengakuan yang dimaksud bukan hanya di atas kertas saja
seperti kebebasan memberikan nama desa dan sebagainya, tetapi juga harus
memberikan implementasi pengakuan terhadap kewenangan-kewenangan desa, terutama
kewenangan asli (oroginair) yang
telah turun temurun diketahui sebagai kewenangan desa. Dalam hal ini yang harus
dijadikan patokan adalah pengakuan atas keanekaragaman sebagai dasar pemikiran
dalam desain tonomi desa.[7]
Sebagai
sebuah otonomi asli, desa tidak boleh dipandang sebagai cabang dari otonomi
daerah. Otonomi desa harus menjadi pijakan dalam pembagian struktur
ketatanegaraan Indonesia mulai dari pusat sampai ke daerah yang kemudian
bermuara pada regulasi otonomi desa yang tetap berpedoman pada keaslian “desa”
sebagai kesatuan masyarakat hukum.[8]
Namun
fakta yang tercermin dalam setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang desa sangatlah bertolak belakang dengan apa yang dicita-citakan (das sollen). Pemberlakukan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa adalah ‘puncak’ dari
kebijakan intervensi Negara – sejak kolonial hingga nasional – yang melumpuhkan
kekuatan modal sosial, dan sekaligus merampas hak-hak komunal yang melekat pada
ulayat (wilayah kehidupan) dari entitas sosial yang disebut ‘masyarakat hukum
adat’ di Negara ini. Dalam kehidupan sehari-hari, kesatuan masyarakat hukum
adat ini dikenal dengan sebutan desa di Jawa dan
Bali, nagari di
Minangkabau, marga di Sumatera bagian Tengah hingga
Selatan, negeri di Maluku (Tengah), soa di
Maluku Utara, ohoi di Maluku Tenggara, dan lain sebagainya,
yang jumlah sebutnya boleh jadi setara dengan jumlah kelompok etnik yang ada di
Indonesia, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 650an kelompok etnik itu.[9]
Maka,
tidak heranlah jika dalam bagian Mengingat Butir e. yang terdapat pada
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, terdapat pernyataan
yang mengiringi pembatalan pemberlakuan UU No. 5/1979 yang berbunyi sebagai
berikut: “Bahwa Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
(Lembaran Negara Tahun 1979 No. 56; Tambahan Lebaran Negara No. 3153) yang
menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa tidak
sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui
serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu
diganti.[10] Keluarnya
paket kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yang
kemudian disempurnakan dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 telah memberikan
angin segar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana daerah diberikan
kewenangan yang luas untuk mengelola dan mendayagunakan segenap potensinya
untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat yang juga berdampak pada pemerintahan desa.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2014
tentang Desa yang ditetapkan pada
tanggal 18 Desember 2013 lalu adalah undang-undang
pertama pasca-pencabutan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang diamanatkan oleh
reformasi. Sebelumnya, melalui pemberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang
kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desa
hanya diatur oleh peraturan-perundangan setingkat Peraturan Pemerintah.[11]
Problematika
hukum yang terkait dengan pemerintahan desa susungguhnya lahir dari
pengaturan-pengaturan tersebut dengan kata lain problematiaka hukum
pemerintahan desa tidak terlepas (inherent)
dari masalah-masalah yang melekat dalam hukum otonomi daerah. Mengapa demikian?
Karena pada saat membicarakan hukum pemerintahan daerah atau hukum otonomi
daerah dalam tataran dogmatik normatif, terkait di dalamnya substansi materi
hukum pemerintahan daerah.[12]
Problematika
hukum yang prinsipil terdapat dalam Undang-Undang No.
5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Undang-undang ini bertujuan untuk menyeragamkan (unifikasi) nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa.
Undang-undang ini mengatur desa dari segi pemerintahannya, berbeda dengan
pemerintahan Marga di samping mengatur pemerintahan juga mengatur adat
istiadat.[13]
Undang-undang
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XI yang mengatur
mengenai Desa, telah berhasil menyempurnakan berbagai aturan tentang Desa yang
sebelumnya diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Namun dalam
pelaksanaan selama beberapa tahun ini ternyata muncul beberapa lapis
permasalahan yang perlu segera dicermati. Pertama[14],
UU No 32 Tahun 2004 belum secara jelas mengatur tata kewenangan antara
Pemerintah, Pemerintah daerah dan Desa. Berdasarkan prinsip desentralisasi dan
otonomi luas yang dianut oleh UU No. 32/2004, Pemerintah hanya menjalankan lima
kewenangan, dan diluar lima kewenangan itu menjadi kewenangan daerah. Dengan
demikian konsepsi dasar yang dianut UU No. 32/2004, otonomi berhenti di
kabupaten/kota. Kosekuensinya, pengaturan lebih jauh tentang Desa dilakukan
oleh kabupaten/kota, dimana kewenangan Desa adalah kewenangan kabupaten/kota
yang diserahkan kepada Desa.
Semangat
UU No. 32/2004 yang meletakan posisi Desa yang berada di bawah Kabupaten tidak
koheren dan konkruen dengan nafas lain dalam UU No.32/2004 yang justru mengakui
dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal-usul. Pengakuan pada
kewenangan asal-usul ini menunjukkan bahwa UU No. 32/2004 menganut prinsip
pengakuan (rekognisi). Kosekuensi dari pengakuan atas otonomi asli adalah Desa
memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan
asal-usul dan adat-istiadat setempat (self
governing community), dan bukan merupakan kewenangan yang diserahkan
pemerintahan atasan pada Desa.
Kedua,[15]
disain kelembagaan pemerintahan Desa yang tertuang dalam UU No. 32/2004 juga
belum sempurna sebagai visi dan kebijakan untuk membangun kemandirian,
demokrasi dan kesehteraan Desa. Isu keragaman, misalnya, selalu mengundang
pertanyaan tentang format dan disain kelembagannya. Meskipun UU No. 22/1999 dan
UU No. 32/2004 mengedepankan keragaman, tetapi banyak kalangan menilai bahwa
disain yang diambil tetap Desa baku (default
village), sehingga kurang memberi ruang bagi optional village yang sesuai
dengan keragaman lokal. Format bakunya adalah Desa administratif (the local state government) atau disebut
orang Bali sebagai Desa Dinas, yang tentu bukan Desa adat yang mempunyai
otonomi asli (self governing community)
dan bukan juga Desa otonom (local self
government) seperti daerah otonom. UU No. 32/2004 tidak menempatkan Desa
pada posisi yang otonom, dan tidak membolehkan terbentuknya Desa adat sendirian
tanpa kehadiran Desa administratif. Baik UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004
menempatkan Desa sebagai bagian (subsistem) pemerintahan kabupaten/kota.
Posisi
Desa administratif itu membawa konsekuensi atas keterbatasan kewenangan Desa,
terutama pada proses perencanaan dan keuangan. Kewenangan asal-usul (asli)
susah diterjemahkan dan diidentifikasi karena keberagamannya. Kewenangan dalam
bidang-bidang pemerintahan yang diserahkan oleh/dari kabupaten lebih banyak
bersifat kewenangan sisa yang tidak dapat dilaksanakan oleh Kebupaten/Kota dan
mengandung banyak beban karena tidak disertai dengan pendanaan yang semestinya.
Misalnya kewenangan Desa untuk memberikan rekomendasi berbagai surat
administratif, dimana Desa hanya memberi rekomendasi sedangkan keputusan berada
di atasnya. Keterbatasan kewenangan itu juga membuat fungsi Desa menjadi
terbatas dan tidak memberikan ruang gerak bagi Desa untuk mengurus Tata
Pemerintahannya sendiri.
Ketiga,[16]
Desain UU No. 32 Tahun 2004 tentang Desa terlalu umum sehingga dalam banyak hal
pasal-pasal tentang Desa baru bisa dijalankan setelah lahir Peraturan
Pemerintah dan Perda. Kecenderungan ini membuat implementasi kewenangan ke Desa
sangat tergantung pada kecepatan dan kapasitas Pemerintah dan pemerintah daerah
dalam membuat pengaturan lebih lanjut tentang Desa. Berdasarkan UU No. 32/2004
dan PP No. 72/2004 mengamanatkan ada sebanyak 18 buah Peraturan Daerah dan dua
Peraturan Bupati/Walikota yang harus dibentuk oleh kabupaten/kota.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 tentang Desa lahir dalam
rangka memperbaiki (problem solving)
problematika-problematika hukum pemerintahan desa dalam tataran konseptualisasi
yuridis, namun apakah undang-undang yang baru ini sudah benar-benar memperbaiki
problematika hukum pemerintahan desa yang ada atau justru dengan adanya perubahan
pengaturan tata pemerintahan desa akan menambah problematika yang ada karena perubahan
terhadap tata pemerintahan desa pasti berdampak pada perubahan dalam kedudukan,
kewenangan, tugas, fungsi organisasi, keuangan dan sebagainya. Dampaknya, tidak
hanya positif bagi perkembangan dan pembangunan di tingkat desa, tetapi juga
memunculkan konflik dalam hubungannya dengan kedudukan pemerintahan desa dengan
pemerintah di atasnya, pengelolaan dan akuntabelitas keuangan desa serta tata
pemerintahan desa itu sendiri. Sehingga muncul persepsi bahwa penerapan
undang-undang baru ini tidak akan berjalan dengan optimal karena rendahnya
kualitas aparatur pelaksananya di tingkat desa berbanding terbalik dengan besar
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang yang baru ini.
[1] C. Van
Vollenhoven, Staatsrecht Overzee.
Leiden-Amsterdam, H.E. Stenfert Kroese’s uitgevers-Maatschappij N.V., 1934,
hlm. 1.
[4] Ateng
Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa
Pergulatan Hukum Tradisional dan Modern dalam Desain Otonomi Desa. Bandung,
PT. Alumni 2010, hlm. 43
[5] Ni’matul Huda, Otonomi
Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika. Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 21-22
[9] Zakaria, R. Yando, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di
Bawah Rezim Orde Baru.Jakarta: ELSAM. Dalam Zakaria, R. Yando dan Hedar Laudjeng, 2012, “Pengakuan dan perlindungan
masyarakat adat bisa dengan Undang-Undang tentang Desa. Mari lupakan kulit,
bersungguh-sungguhlah dengan substansi” diakses hariRabu tanggal 7 Mei 2014
pukul 13:53 dari laman http://www.facebook.com/notes/yandozakaria/
pengakuan-dan-perlindungan-masyarakat-adat-bisa-dengan-undang-undangtentang-des/10150732219433318
[11] R. Yando
Zakaria, Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013, bahan bacaan
yang dipersiapkan untuk kegiatan sosialisasi UU Desa 2013. Untuk pertama
kalinya disampaikan pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan QBar
(Padang), Perkumpulan HUMA (Jakarta) dan Fakultas Hukum Universitas Andalas,
Padang. Di Padang, tanggal 7 Januari 2014
[13] HAW Widjaja,
Otonomi Desa Merupakan Otonomi Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta, RajaGrafindo
Persada, 2003, hlm. 24.
[14]
Dikutip
dari Naskah Akademik ‘Rancangan Undang-Undang Tentang Desa’, 2007, yang
diedarkan oleh Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen (sekrang Kementerian) Dalam
Negeri. hlm. 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar