Rabu, 11 Juni 2014

PROBLEMATIKA HUKUM PEMERINTAHAN DESA DALAM KONSEPTUALISASI YURIDIS PASCA UU NO 4 TAHUN 2014 TETANG DESA

             
            Menelaah konseptualisasi hukum perintahan desa dan problematika yang timbul di dalamnya bukan merupakan perkara yang mudah untuk dilakukan. Sebab, berbicara tentang cikal bakal pemerintahan desa di Indonesia harus menoleh jauh kebelakang untuk melihat dimanakah sumber desa itu dilahirkan. Sesungguhnya cikal bakal pemerintahan desa di Indonesia itu ada jauh sebelum bangsa Kolonial Belanda masuk ke Indonesia, sebagaimana Cornelis van Vollenhoven[1] dalam bukunya “Staatsrecht Overzee” mengatakan bahwa:
Wenneer in 1596 het eerste schip met de driekleur aan den mast in den Indischen archiple binnenvalt, is dat land staatsrechtelijk gen “woest en ledig” land. Het is bordevol instituten van volks-en gezagsordening: bewind door of over stammen, dorpen, boden, republieken, vorstenrijken. Allerminst een samenhangend geheel – ondanks den vroegeren machtigen groei en het vroegere tijdelijk overwicht van majapahit -; maar wel een complex van Oostaziatisch staatrecht, inheemsch gebleven ondanks Hindoesche en Mohammedaan-sche invloeden op de bevolking.
(ketika sebuah kapal berbendera tiga warna masuk daerah Indonesia pada tahun 1596, daerah itu dalam arti kata Hukum Tata Negara, tidaklah merupakan sebidang “tanah yang kosong dan tandus tidak tergarap”. Daerah itu penuh padat dengan lembaga-lembaga pengaturan masyarakat dan pemerintah, yang dikuasai oleh atau berkekuasaan atas suku-suku bangsa, kesatuan perkampungan, republik-republik dan kerajaan kerajaan. Hanya sifat kesatuan sama sekali tidak ada meskipun  negara Majapahit dahulu tumbuh dengan kokohnya dan memegang pimpinan yang kuat , dan yang terdapat adalah justru suatu hukum tata negara Asia Timur yang jalin berjalin, dan tetap  bersifat asli, walaupun penduduknya banyak terpengaruh oleh kebudayaan Hindu dan Islam).[2]

             Nasroen[3] membenarkan apa yang telah dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven dalam bukunya Daerah Otonomi Tintkat Terbawah dengan mengungkapkan hal yang senada, yaitu bahwa:
Desa di Inodesia telah ada sejak beratus-ratus tahun yang lampau. Dari zaman ke zaman, desa, nagari, marga ini tetap ada dan tetap ada sampai dewasa ini. Majapahit telah hilang, demikian pun Seriwijaya, Atjeh, Bugis, Minangkabau, Mataram dan sebagainya. Hindia Blanda, pendudukan Jepang telah lenyap, tapi desa nagari, marga itu tetap ada. Dari jalan sejarah ini, sebagai bukti dapat diambil kesimpulan bahwa sesuatu negara akan tetap ada, selama desa, nagari, marga itu ada, asal negara itu sanggup menyatukan dirinya dengan desa, nagari, dan marga itu.  
            
             Secara konstitusional, konseptualilasi pemerintahan desa telah diakui secara implisit dalam UUD 1945 pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan:
Negara indonesia mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

             Menurut UUD 1945 pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat (termasuk di dalamnya “desa”) beserta hak-hak tradisionalnya harus didasarkan pada prinsip: “tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”.[4]            
             Yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) tessebut adalah masyarakat hukum (rechtgemeenschap) yang berdasarkan hukum adat atau adat istiadat, seperti desa, marga, nagari, kampong, meunasah, huta, negorij dan lain-lain. Masyarakat hukum adalah kesatuan masyarakat bersifat teritorial atau genealogis yang memiliki kekayaan sendiri, memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan dengan warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak ke dalam dan ke luar sebagai satu kesatuan hukum (subjek hukum) yang mandiri dan memerintah diri mereka sendiri. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini tidak hanya diakui tetapi juga dihormati, artinya mempunyai hak hidup yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintahan lain, seperti kabupaten dan kota.[5]
             Pengakuan dan penghormatan itu di berikan sepanjang masyarakat hukum dan hak-hak tradisional masih nyata ada dan berfungsi (hidup), dan sesuai dengan prinsip –prinsip negara kesatuan.[6] Pembataasan ini perlu, untuk mencegah tuntutan terhadap pengakuan masyarakat hukum dan hak-hak tradisional yang sebenarnya sudah tidak ada lagi dan kemungkinan diada-adakannya masyarakat hukum adat baru.
             Secara konstitusional, bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan. Konsekuensi dari konsep atau gagasan hukum tersebut bukan hanya memberikan desentralisasi kewenangan kepada daerah otonom yang melahirkan otonomi daerah, melainkan lebih dari itu yakni pengakuan ataupun perlindungan terhadap adanya otonomi desasebagai otonomi asli bangsa indonesia sejak sebelum datangnya bangsa Kolonial Belanda. Pengakuan yang dimaksud bukan hanya di atas kertas saja seperti kebebasan memberikan nama desa dan sebagainya, tetapi juga harus memberikan implementasi pengakuan terhadap kewenangan-kewenangan desa, terutama kewenangan asli (oroginair) yang telah turun temurun diketahui sebagai kewenangan desa. Dalam hal ini yang harus dijadikan patokan adalah pengakuan atas keanekaragaman sebagai dasar pemikiran dalam desain tonomi desa.[7]
             Sebagai sebuah otonomi asli, desa tidak boleh dipandang sebagai cabang dari otonomi daerah. Otonomi desa harus menjadi pijakan dalam pembagian struktur ketatanegaraan Indonesia mulai dari pusat sampai ke daerah yang kemudian bermuara pada regulasi otonomi desa yang tetap berpedoman pada keaslian “desa” sebagai kesatuan masyarakat hukum.[8]
             Namun fakta yang tercermin dalam setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa sangatlah bertolak belakang dengan apa yang dicita-citakan (das sollen). Pemberlakukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa adalah ‘puncak’ dari kebijakan intervensi Negara – sejak kolonial hingga nasional – yang melumpuhkan kekuatan modal sosial, dan sekaligus merampas hak-hak komunal yang melekat pada ulayat (wilayah kehidupan) dari entitas sosial yang disebut ‘masyarakat hukum adat’ di Negara ini. Dalam kehidupan sehari-hari, kesatuan masyarakat hukum adat ini dikenal dengan sebutan desa  di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera bagian Tengah hingga Selatan, negeri di Maluku (Tengah), soa di Maluku Utara, ohoi di Maluku Tenggara, dan lain sebagainya, yang jumlah sebutnya boleh jadi setara dengan jumlah kelompok etnik yang ada di Indonesia, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 650an kelompok etnik itu.[9]              
             Maka, tidak heranlah jika dalam bagian Mengingat Butir e. yang terdapat pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, terdapat pernyataan yang mengiringi pembatalan pemberlakuan UU No. 5/1979 yang berbunyi sebagai berikut: “Bahwa Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 No. 56; Tambahan Lebaran Negara No. 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti.[10] Keluarnya paket kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 telah memberikan angin segar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana daerah diberikan kewenangan yang luas untuk mengelola dan mendayagunakan segenap potensinya untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat yang juga berdampak pada pemerintahan desa.
             Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 tentang Desa yang ditetapkan pada tanggal 18 Desember 2013 lalu adalah undang-undang pertama pasca-pencabutan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang diamanatkan oleh reformasi. Sebelumnya, melalui pemberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desa hanya diatur oleh peraturan-perundangan setingkat Peraturan Pemerintah.[11]
             Problematika hukum yang terkait dengan pemerintahan desa susungguhnya lahir dari pengaturan-pengaturan tersebut dengan kata lain problematiaka hukum pemerintahan desa tidak terlepas (inherent) dari masalah-masalah yang melekat dalam hukum otonomi daerah. Mengapa demikian? Karena pada saat membicarakan hukum pemerintahan daerah atau hukum otonomi daerah dalam tataran dogmatik normatif, terkait di dalamnya substansi materi hukum pemerintahan daerah.[12]
             Problematika hukum yang prinsipil terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini bertujuan untuk menyeragamkan (unifikasi) nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa. Undang-undang ini mengatur desa dari segi pemerintahannya, berbeda dengan pemerintahan Marga di samping mengatur pemerintahan juga mengatur adat istiadat.[13]
             Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XI yang mengatur mengenai Desa, telah berhasil menyempurnakan berbagai aturan tentang Desa yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Namun dalam pelaksanaan selama beberapa tahun ini ternyata muncul beberapa lapis permasalahan yang perlu segera dicermati. Pertama[14], UU No 32 Tahun 2004 belum secara jelas mengatur tata kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah daerah dan Desa. Berdasarkan prinsip desentralisasi dan otonomi luas yang dianut oleh UU No. 32/2004, Pemerintah hanya menjalankan lima kewenangan, dan diluar lima kewenangan itu menjadi kewenangan daerah. Dengan demikian konsepsi dasar yang dianut UU No. 32/2004, otonomi berhenti di kabupaten/kota. Kosekuensinya, pengaturan lebih jauh tentang Desa dilakukan oleh kabupaten/kota, dimana kewenangan Desa adalah kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan kepada Desa.
             Semangat UU No. 32/2004 yang meletakan posisi Desa yang berada di bawah Kabupaten tidak koheren dan konkruen dengan nafas lain dalam UU No.32/2004 yang justru mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal-usul. Pengakuan pada kewenangan asal-usul ini menunjukkan bahwa UU No. 32/2004 menganut prinsip pengakuan (rekognisi). Kosekuensi dari pengakuan atas otonomi asli adalah Desa memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat (self governing community), dan bukan merupakan kewenangan yang diserahkan pemerintahan atasan pada Desa.
             Kedua,[15] disain kelembagaan pemerintahan Desa yang tertuang dalam UU No. 32/2004 juga belum sempurna sebagai visi dan kebijakan untuk membangun kemandirian, demokrasi dan kesehteraan Desa. Isu keragaman, misalnya, selalu mengundang pertanyaan tentang format dan disain kelembagannya. Meskipun UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 mengedepankan keragaman, tetapi banyak kalangan menilai bahwa disain yang diambil tetap Desa baku (default village), sehingga kurang memberi ruang bagi optional village yang sesuai dengan keragaman lokal. Format bakunya adalah Desa administratif (the local state government) atau disebut orang Bali sebagai Desa Dinas, yang tentu bukan Desa adat yang mempunyai otonomi asli (self governing community) dan bukan juga Desa otonom (local self government) seperti daerah otonom. UU No. 32/2004 tidak menempatkan Desa pada posisi yang otonom, dan tidak membolehkan terbentuknya Desa adat sendirian tanpa kehadiran Desa administratif. Baik UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004 menempatkan Desa sebagai bagian (subsistem) pemerintahan kabupaten/kota.
             Posisi Desa administratif itu membawa konsekuensi atas keterbatasan kewenangan Desa, terutama pada proses perencanaan dan keuangan. Kewenangan asal-usul (asli) susah diterjemahkan dan diidentifikasi karena keberagamannya. Kewenangan dalam bidang-bidang pemerintahan yang diserahkan oleh/dari kabupaten lebih banyak bersifat kewenangan sisa yang tidak dapat dilaksanakan oleh Kebupaten/Kota dan mengandung banyak beban karena tidak disertai dengan pendanaan yang semestinya. Misalnya kewenangan Desa untuk memberikan rekomendasi berbagai surat administratif, dimana Desa hanya memberi rekomendasi sedangkan keputusan berada di atasnya. Keterbatasan kewenangan itu juga membuat fungsi Desa menjadi terbatas dan tidak memberikan ruang gerak bagi Desa untuk mengurus Tata Pemerintahannya sendiri.
             Ketiga,[16] Desain UU No. 32 Tahun 2004 tentang Desa terlalu umum sehingga dalam banyak hal pasal-pasal tentang Desa baru bisa dijalankan setelah lahir Peraturan Pemerintah dan Perda. Kecenderungan ini membuat implementasi kewenangan ke Desa sangat tergantung pada kecepatan dan kapasitas Pemerintah dan pemerintah daerah dalam membuat pengaturan lebih lanjut tentang Desa. Berdasarkan UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2004 mengamanatkan ada sebanyak 18 buah Peraturan Daerah dan dua Peraturan Bupati/Walikota yang harus dibentuk oleh kabupaten/kota.
            Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 tentang Desa lahir dalam rangka memperbaiki (problem solving) problematika-problematika hukum pemerintahan desa dalam tataran konseptualisasi yuridis, namun apakah undang-undang yang baru ini sudah benar-benar memperbaiki problematika hukum pemerintahan desa yang ada atau justru dengan adanya perubahan pengaturan tata pemerintahan desa akan menambah problematika yang ada karena perubahan terhadap tata pemerintahan desa pasti berdampak pada perubahan dalam kedudukan, kewenangan, tugas, fungsi organisasi, keuangan dan sebagainya. Dampaknya, tidak hanya positif bagi perkembangan dan pembangunan di tingkat desa, tetapi juga memunculkan konflik dalam hubungannya dengan kedudukan pemerintahan desa dengan pemerintah di atasnya, pengelolaan dan akuntabelitas keuangan desa serta tata pemerintahan desa itu sendiri. Sehingga muncul persepsi bahwa penerapan undang-undang baru ini tidak akan berjalan dengan optimal karena rendahnya kualitas aparatur pelaksananya di tingkat desa berbanding terbalik dengan besar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang yang baru ini.


[1] C. Van Vollenhoven, Staatsrecht Overzee. Leiden-Amsterdam, H.E. Stenfert Kroese’s uitgevers-Maatschappij N.V., 1934, hlm. 1.
[2] Ateng Syafrudin, Penguatan Koordinasi Pemerintahan di Daerah. Bandung, Tarsito, 1976, hlm. 6.
[3] Nasroen, Daerah Otonom Tingkat Terbawah. Jakarta, Bringin Trading Company, 1955, hlm. 41.
[4] Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa Pergulatan Hukum Tradisional dan Modern dalam Desain Otonomi Desa. Bandung, PT. Alumni 2010, hlm. 43
[5] Ni’matul Huda, Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 21-22
[6] Ibid,
[7] Ibid, hlm. 11-12
[8] Ibid, hlm. 12
[9] Zakaria, R. Yando, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru.Jakarta: ELSAM. Dalam Zakaria, R. Yando dan Hedar Laudjeng, 2012, “Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat bisa dengan Undang-Undang tentang Desa. Mari lupakan kulit, bersungguh-sungguhlah dengan substansi” diakses hariRabu tanggal 7 Mei 2014 pukul 13:53 dari laman http://www.facebook.com/notes/yandozakaria/ pengakuan-dan-perlindungan-masyarakat-adat-bisa-dengan-undang-undangtentang-des/10150732219433318
[10] Ibid,
[11] R. Yando Zakaria, Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013, bahan bacaan yang dipersiapkan untuk kegiatan sosialisasi UU Desa 2013. Untuk pertama kalinya disampaikan pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan QBar (Padang), Perkumpulan HUMA (Jakarta) dan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Di Padang, tanggal 7 Januari 2014
[12] Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa... Op.Cit., hlm. 13.
[13] HAW Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2003, hlm. 24.
[14] Dikutip dari Naskah Akademik ‘Rancangan Undang-Undang Tentang Desa’, 2007, yang diedarkan oleh Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen (sekrang Kementerian) Dalam Negeri. hlm. 4
[15] Ibid, hlm. 6
[16] Ibid, hlm. 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar