Selasa, 17 Juni 2014

Penyusunan APBN Yang Baik Dalam Rangka Melakukan Pengelolaan Terhadap Keuangan Negara di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
                 Sejalan dengan kebutuhan terhadap pengaturan pengelolaan keuangan negara, pemerintah Indonesia telah mengundangkan sebuah Undang-Undang fenomenal yaitu Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. kemudian dua paket undang-undang lainnya, yang merupakan bagian dari 3 paket undang-undang dibidang keuangan negara yang telah lama disiapkan, diundangkan oleh pemerintah yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Melalui ketiga undang-undang tersebut, pemerintah berupaya untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan pemerintah selama ini yaitu: kelemahan di bidang perencanaan dan pengganggaran, kelemahan di bidang perbendaharaan, dan kelemahan di bidang pemeriksaan/audit (Andie Megantara, dkk, LPKPAP-BPPK, Departemen Keuangan RI, 2006).
Dalam sebuah organisasi besar seperti negara, pengelolaan keuangan negara yang baik merupakan suatu hal yang sangat penting, karena berawal dari sanalah penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan dengan baik pula. Oleh karena yang demikian itu, perencanaan, penyusunan, penetapan, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawabannya sebagai sebuah siklus penganggaran haruslah dirangkum dalam sebuah APBN dan APBD yang baik  sehingga tujuan negara sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum dapat benar-benar tercapai serta dapat dikontrol dan dipertangungjawabkan secara hukum.
B.    Perumusan Masalah
                    Berdasarkan uraian di atas, penyusun bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut: “Bagaimanakah penyusunan APBN yang baik dalam rangka melakukan pengelolaan terhadap keuangan negara di Indonesia”

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penyusunan APBN Yang Baik Dalam Rangka Melakukan Pengelolaan Terhadap Keuangan Negara di Indonesia
                    Penganggaran adalah sebuah Proses untuk mengalokasikan sumber daya yang dimiliki kedalam kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas (the process of allocation resources to unlimited demands). Oleh karena itu, anggaran mempunyai fungsi dan peran yang strategis untuk memberikan pelayanan yang optimal ditengah keterbatasan sumber daya.
                    Pada dasarnya UU No. 17/2003 dan UU No. 1/2004 beserta peraturan-peraturan pendukungnya telah memberikan landasan yang cukup kuat untuk memperbaiki kinerja pengelolaan keuangan negara RI. Dalam UU No. 17/2003 Penyusunan dan Penetapan APBN diatur dalam BAB III dari pasal 11 sampai 15. Dalam BAB ini diatur mengenai hal-hal pokok dalam pengelolaan APBN, terkait dengan penyusunan, Pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN. Secara umum pengaturan tersebut sudah baik namun terdapat hal-hal yang dalam proses pelaksanaannya justru menimbulkan ketidak konsistenan dalam pengelolaan APBN.
                    Dalam tahap pembicaraan pendahuluan antara Pemerintah dan DPR, pemerintah pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro oleh Pemerintah kepada DPR. (Pasal 13 ayat (1) UU No. 17/2003). Kemudian pada ayat (2) dan (3) disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan pokokpokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya. Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran. Dari ketentuan pasal di atas penulis berkesimpulan bahwa DPR seharusnya hanya membahas dan menentukan kerangka ekonomi makro saja, akan tetapi dalam pasal 15 ayat (5) DPR memberikan dirinya kewenangan untuk menentukan apabila APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Padahal dalam sistem ketatanegaran dinegara manapun tidak ada yang memberikan kewenangan kepada DPR-nya untuk membahas ekonomi mikro. Menurut penulis, kewenangan DPR yang besar tersebut dapat memicu timbulnya praktik-praktik koruptif dan nepotisme, melalui praktik perbintangan dan penentuan pemenang tender.
                    Dalam pasal 11 ayat (2) UU No. 17/2003 dijelaskan bahwa APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja dan pembiayaan. Dalam hal ini, pengelolaan APBN harus memperhatikan ketiga hal tersebut, artinya suatu APBN yang baik akan mengatur dengan sebaik mungkin ketiga hal tersebut. Selama ini sektor pendapatan negara masih sangat didominasi oleh perpajakan, sedangkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) masih belum digali secara optimal. Untuk meningkatkan PNBP, maka perlu dilakukan peninjauan terkait mekanisme penganggaran PNBP, penyetoran dan pertanggungjawaban serta  ketentuan penetapan tarif dan sanksi-sanksi atas keterlambatan penyetoran. Hal ini harus dilakukan pada pemerintah pusat dan daerah agar tercapai sinkronisasi dan sinergi dalam rangka peningkatan PNBP untuk mendukung kebijakan fiskal pemerintah. Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, mekanisme pengawasan terhadap aparatur dan segala sendi perpajakan harus diatur secara ketat dan sanksi yang berat. Karena selama ini telah terjadi kebocoran pendaptan negara dari sektor pajak yang tidak bisa dikatakan sedikit.
                    Anggaran belanja atau sektor pengeluaran adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam pengelolaan APBN, dimana pada kenseptualisasinya anggaran belanja selalu dibuat dalam sekala maksimal, sedangkan pendapatan selalu dibuat dalam sekala yang minimal. Hal ini untuk menutupi anggaran belanja. Akan tetapi perlu disadari bahwa dalam pengelolaan anggaran belanja, penyusunan anggaran harus melihat sekala prioritas atau pilihan strategis dengan dengan berpedoman pada target jangka menengah dan jangka panjang, sehingga pembangun dapat berjalan secara berkesinambungan.
                    Kemudian pradigma anggaran belanja rutin yang terkait dengan subsidi harus diubah, dari melakukan subsidi terhadap harga barang menjadi subsidi terhadap orang. Artinya bahwa subsidi tidak lagi diberikan untuk barang-barang ttertentu seperti BBM dan sebagainya, akan tetapi subsidi dialihkan kepada orang-orang yang dikategorikan sebagai orang yang tidak mampu. Agar subsidi tersebut tepat sasaran maka dibutuhkan database yang lengkap dan jelas menganai pendapatan dan pengeluaran seluruh penduduk indonesia, hal ini dapat dilakukan dengan mencotoh sistem databese yang dilakukan oleh inggris, dengan menggunakan one number identity, semua masyarakat inggris dan bahkan pendatang dapat diketahui sumber pendapatan dan pengelurannya sehingga sangat mudah menentukan dan mengkatagorikan seseorang sebagai orang kaya atau orang miskin. 




BAB III
PENUTUP
                    Dari uraian pembahasan di atas, penulis dapat mengabil beberapa kesimpulan yaitu:         
1.     DPR seharusnya hanya membahas dan menentukan kerangka ekonomi makro saja, akan tetapi dalam pasal 15 ayat (5) DPR memberikan dirinya kewenangan untuk menentukan apabila APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Padahal dalam sistem ketatanegaran dinegara manapun tidak ada yang memberikan kewenangan kepada DPR-nya untuk membahas ekonomi mikro. Menurut penulis, kewenangan DPR yang besar tersebut dapat memicu timbulnya praktik-praktik koruptif dan nepotisme. Melalui praktik perbintangan dan penentuan pemenang tender.
2.     Untuk meningkatkan PNBP, maka perlu dilakukan peninjauan terkait mekanisme penganggaran PNBP, penyetoran dan pertanggungjawaban serta  ketentuan penetapan tarif dan sanksi-sanksi atas keterlambatan penyetoran. Hal ini harus dilakukan pada pemerintah pusat dan daerah agar tercapai sinkronisasi dan sinergi dalam rangka peningkatan PNBP untuk mendukung kebijakan fiskal pemerintah. Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, mekanisme pengawasan terhadap aparatur dan segala sendi perpajakan harus diatur secara ketat dan sanksi yang berat. Karena selama ini telah terjadi kebocoran pendaptan negara dari sektor pajak yang tidak bisa dikatakan sedikit.
3.     Pradigma anggaran belanja rutin yang terkait dengan subsidi harus diubah, dari melakukan subsidi terhadap harga barang menjadi subsidi terhadap orang. Artinya bahwa subsidi tidak lagi diberikan untuk barang-barang ttertentu seperti BBM dan sebagainya, akan tetapi subsidi dialihkan kepada orang-orang yang dikategorikan sebagai orang yang tidak mampu.
                   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar