BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang

Melalui
ketiga undang-undang tersebut, pemerintah berupaya untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan pemerintah selama
ini yaitu: kelemahan di bidang perencanaan dan pengganggaran, kelemahan di
bidang perbendaharaan, dan kelemahan di bidang pemeriksaan/audit (Andie
Megantara, dkk, LPKPAP-BPPK, Departemen Keuangan RI, 2006).
Dalam
sebuah organisasi besar seperti negara, pengelolaan keuangan negara yang baik
merupakan suatu hal yang sangat penting, karena berawal dari sanalah
penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan dengan baik pula. Oleh karena yang
demikian itu, perencanaan, penyusunan, penetapan, pelaksanaan, pengawasan dan
pertanggungjawabannya sebagai sebuah siklus penganggaran haruslah dirangkum
dalam sebuah APBN dan APBD yang baik sehingga
tujuan negara sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 yaitu
memajukan kesejahteraan umum dapat benar-benar tercapai serta dapat dikontrol
dan dipertangungjawabkan secara hukum.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penyusun bermaksud
membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut: “Bagaimanakah penyusunan APBN
yang baik dalam rangka melakukan pengelolaan terhadap keuangan negara di Indonesia”
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyusunan APBN Yang Baik Dalam
Rangka Melakukan Pengelolaan Terhadap Keuangan Negara di Indonesia
Penganggaran adalah sebuah Proses untuk mengalokasikan sumber daya yang
dimiliki kedalam kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas (the process of
allocation resources to unlimited demands). Oleh karena itu, anggaran mempunyai fungsi dan peran yang strategis
untuk memberikan pelayanan yang optimal ditengah keterbatasan sumber daya.
Pada
dasarnya UU No. 17/2003 dan UU No. 1/2004 beserta peraturan-peraturan
pendukungnya telah memberikan landasan yang cukup kuat untuk memperbaiki
kinerja pengelolaan keuangan negara RI. Dalam UU No. 17/2003 Penyusunan dan Penetapan APBN diatur dalam
BAB III dari pasal 11 sampai 15. Dalam BAB ini diatur mengenai hal-hal pokok
dalam pengelolaan APBN, terkait dengan penyusunan, Pengajuan, pembahasan dan
penetapan APBN. Secara umum pengaturan tersebut sudah baik namun terdapat
hal-hal yang dalam proses pelaksanaannya justru menimbulkan ketidak konsistenan
dalam pengelolaan APBN.
Dalam tahap pembicaraan
pendahuluan antara Pemerintah dan DPR, pemerintah pusat menyampaikan
pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro oleh Pemerintah kepada
DPR. (Pasal 13 ayat (1) UU No. 17/2003). Kemudian pada ayat (2) dan (3)
disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka
ekonomi makro dan pokokpokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah
Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah
Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas
anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam
penyusunan usulan anggaran. Dari ketentuan pasal di atas penulis berkesimpulan
bahwa DPR seharusnya hanya membahas dan menentukan kerangka ekonomi makro saja,
akan tetapi dalam pasal 15 ayat (5) DPR memberikan dirinya kewenangan untuk
menentukan apabila APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit
organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Padahal dalam sistem
ketatanegaran dinegara manapun tidak ada yang memberikan kewenangan kepada
DPR-nya untuk membahas ekonomi mikro. Menurut penulis, kewenangan DPR yang
besar tersebut dapat memicu timbulnya praktik-praktik koruptif dan nepotisme, melalui
praktik perbintangan dan penentuan pemenang tender.
Dalam pasal 11
ayat (2) UU No. 17/2003 dijelaskan bahwa APBN terdiri atas
anggaran pendapatan, anggaran belanja dan pembiayaan. Dalam hal ini,
pengelolaan APBN harus memperhatikan ketiga hal tersebut, artinya suatu APBN
yang baik akan mengatur dengan sebaik mungkin ketiga hal tersebut. Selama ini sektor
pendapatan negara masih sangat didominasi oleh perpajakan, sedangkan pendapatan
negara bukan pajak (PNBP) masih belum digali secara optimal. Untuk meningkatkan
PNBP, maka perlu dilakukan peninjauan terkait mekanisme penganggaran PNBP,
penyetoran dan pertanggungjawaban serta ketentuan penetapan tarif dan
sanksi-sanksi atas keterlambatan penyetoran. Hal ini harus dilakukan pada
pemerintah pusat dan daerah agar tercapai sinkronisasi dan sinergi dalam rangka
peningkatan PNBP untuk mendukung kebijakan fiskal pemerintah. Dalam rangka
meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, mekanisme pengawasan terhadap
aparatur dan segala sendi perpajakan harus diatur secara ketat dan sanksi yang
berat. Karena selama ini telah terjadi kebocoran pendaptan negara dari sektor
pajak yang tidak bisa dikatakan sedikit.
Anggaran
belanja atau sektor pengeluaran adalah salah satu faktor yang sangat penting
dalam pengelolaan APBN, dimana pada kenseptualisasinya anggaran belanja selalu
dibuat dalam sekala maksimal, sedangkan pendapatan selalu dibuat dalam sekala
yang minimal. Hal ini untuk menutupi anggaran belanja. Akan tetapi perlu
disadari bahwa dalam pengelolaan anggaran belanja, penyusunan anggaran harus
melihat sekala prioritas atau pilihan strategis dengan dengan berpedoman pada
target jangka menengah dan jangka panjang, sehingga pembangun dapat berjalan
secara berkesinambungan.
Kemudian pradigma anggaran belanja rutin yang
terkait dengan subsidi harus diubah, dari melakukan subsidi terhadap harga
barang menjadi subsidi terhadap orang. Artinya bahwa subsidi tidak lagi
diberikan untuk barang-barang ttertentu seperti BBM dan sebagainya, akan tetapi
subsidi dialihkan kepada orang-orang yang dikategorikan sebagai orang yang
tidak mampu. Agar subsidi tersebut tepat sasaran maka dibutuhkan database yang
lengkap dan jelas menganai pendapatan dan pengeluaran seluruh penduduk
indonesia, hal ini dapat dilakukan dengan mencotoh sistem databese yang
dilakukan oleh inggris, dengan menggunakan one
number identity, semua masyarakat inggris dan bahkan pendatang dapat
diketahui sumber pendapatan dan pengelurannya sehingga sangat mudah menentukan
dan mengkatagorikan seseorang sebagai orang kaya atau orang miskin.
BAB III
PENUTUP
Dari
uraian pembahasan di atas, penulis dapat mengabil beberapa kesimpulan yaitu:
1. DPR seharusnya hanya membahas dan menentukan
kerangka ekonomi makro saja, akan tetapi dalam pasal 15 ayat (5) DPR memberikan
dirinya kewenangan untuk menentukan apabila APBN yang disetujui oleh DPR
terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis
belanja. Padahal dalam sistem ketatanegaran dinegara manapun tidak ada yang memberikan
kewenangan kepada DPR-nya untuk membahas ekonomi mikro. Menurut penulis,
kewenangan DPR yang besar tersebut dapat memicu timbulnya praktik-praktik koruptif
dan nepotisme. Melalui praktik perbintangan dan penentuan pemenang tender.
2.
Untuk meningkatkan PNBP, maka perlu
dilakukan peninjauan terkait mekanisme penganggaran PNBP, penyetoran dan
pertanggungjawaban serta ketentuan penetapan tarif dan sanksi-sanksi atas
keterlambatan penyetoran. Hal ini harus dilakukan pada pemerintah pusat dan
daerah agar tercapai sinkronisasi dan sinergi dalam rangka peningkatan PNBP
untuk mendukung kebijakan fiskal pemerintah. Dalam rangka meningkatkan
pendapatan negara dari sektor pajak, mekanisme pengawasan terhadap aparatur dan
segala sendi perpajakan harus diatur secara ketat dan sanksi yang berat. Karena
selama ini telah terjadi kebocoran pendaptan negara dari sektor pajak yang
tidak bisa dikatakan sedikit.
3.
Pradigma anggaran belanja rutin yang
terkait dengan subsidi harus diubah, dari melakukan subsidi terhadap harga
barang menjadi subsidi terhadap orang. Artinya bahwa subsidi tidak lagi
diberikan untuk barang-barang ttertentu seperti BBM dan sebagainya, akan tetapi
subsidi dialihkan kepada orang-orang yang dikategorikan sebagai orang yang
tidak mampu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar