Kamis, 10 April 2014

KONSEKUENSI YURIDIS YANG MUNCUL SEBAGAI AKIBAT POSISI POLITIK HUKUM MASUK DALAM SKIN OUT SYSTEM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
             Politik hukum baru yang berisi upaya pembaharuan hukum menjadi keharusan ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasarnya. Proklamasi kemardekaan menuntut pembaruan atau penggantian atas hukum-hukum peninggalan zaman penajahan Jepang dan Belanda, sebab jika dilihat dari sudut tata hukum maka proklamasi merupakan tindakan perombakan secara total. Proklamasi kemardekaan telah membawa indonesia pada idealita dan realita hukum yang lain dari yang sebelumnya.[1]proklamasi kemardekaan telah merubah tradisi masyarakat daari keadaan terjajah mendaji masyarakat yang bebas (mardeka).
             Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, pembentukanya dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam masyarakat Eropa Kontinental pembentukan hukum dilakukan oleh badan legeslatif. Sedangkan dalam masyarakat common law (Anglo saxion) kewenangan terpusat pada hakim.[2]
             Konsepsi hukum yang dianut oleh suatu negara merupakan hal yang urgent, karena hal tersebut secara langsung akan mempengaruhi politik hukum dan pembentukan peraturan perundang-undangan dari negara tersebut. Indonesia sendiri telah memproklamirkan diri sebagai negara hukum (rechtstaat) bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat). Hal ini tertuang di dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah negara hukum”.[3] Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi mansuia dan setiap tindakan dan kebijakan pemerintah harus berdasarkan atas ketentuan hukum (due process of law).
             Pandangan yang menganggap hukum sebagai produk politik sebenarnya tidak sepenuhnya benar, jika menggunakan kacamata das sein (kenyataan) dengan kata lain hukum harus diartikan sebagai undang-undang maka hukum merupakan produk politik. Namun jika dilihat dari dari segi isi atau jika didasarkan pada pandangan das sollen (keinginan atau yang seharusnya), maka jelas hukum bukan merupakan produk politik melainkan hukum merupakan produk rakyat. Mochtar Kusumaatmadja menyebut bahwa, polotik dan hukum itu interdeterminan, sebab politik tanpa hukum itu dzolim, sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuh.
             Politik hukum dapat diartikan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum yang lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Kebijakan merupakan suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut. seperti diungkapkan sebelumnya, konsep hukum yang dianut oleh suatu negara  mempengaruhi politik hukumnya, begitupula politik hukum tiap negara berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini juga karena keadaan dari masing-masing negara memiliki permasalahan yang berbeda-beda yang memerlukan suatu pengaturan yang berbeda pula.          
             Gejala-gelasa sosial yang terjadi dimasyarakat turut mempengaruhi arah kebijakan atau politik hukum pemerintah, gejala-gelaja tersebut dapat berupa; kondisi politik, hukum, budaya, sosial, ekonomi dan sebagainya. Dengan demikian menurut Mahfud, hukum dalam arti undang-undang sebenarnya merupakan produk poleksosbud.
             Didalam bukunya, General Theory Of Law and State, Hans Kelsen mengatakan sebagai berikut:
If the new government is able to maintain the new constitution in an efficacious manner, then this government and this cionstitution are, according to international law, the legitimate government and the valid consitution of te state.[4]
             Suatu keadaan politik yang menimbulkan pemerintah dan hukum baru   dapat sah sebagai pemerintah dan konstitusi baru sejauh pemerintah tersebut secara politik bisa mempertahankan dan memberlakukannya.
B.    Rumusan Masalah
             Berdasarkan uraian di atas, penyusun bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut “Bagaimanakah Konsekuensi Yuridis Yang Muncul Sebagai Akibat Posisi Politik Hukum Masuk Dalam Skin Out System’’?
           
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Politik Hukum
     Terdapat berbagai definisi yang dikemukakan oleh para pakar hukum mengenai pengertian dari politik hukum, diantaranya sebagaimana yang didefiniskan oleh LJ. van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebut dengan istilah politik perundang-undangan.[5] Pengertian yang demikian dapat dimengerti mengingat bahwa di Belanda hukum dianggap identik dengan undang-undang; hukum kebiasaan tidak tertulis diakui juga akan tetapi hanya apabila diakui oleh Undang-undang.[6] Politik hukum juga dikonsepsi sebagai kebijaksanaan negara untuk menerapkan hukum.[7]
     Sedangkan Padmo wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah , bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.[8] Dalam tulisannya yang lain Padmo Wahjono lanjut menjelaskan mengenai definisi politik hukum dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang akan dijadikan kreteria untuk menghukumkan sesutu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.[9]
Moh. Mahfud MD menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy”, atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan peggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara”.[10] Lebih lanjut Mahfud menjelaskan bahwa politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujaun negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu Negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.[11]
     Pengertian lain tentang politik hukum dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, beliau memberikan pengertian politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Pengertian yang aplikatif juga disampaikan oleh Hikmahanto. Menurutnya, peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Oleh karena itu pembuatan dari peraturan perundang-undangan tersebut memiliki tujuan dan alasan tertentu yang dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan alasan yang menjadi dasar dibentuknya peraturan perundang-undangan ini disebut dengan politik hukum.[12]
     Definisi tersebut diatas disempurnakan dengan pandangan dari Prof. Muchsan yang melihat politik hukum dari segi teori hukum murni (pure yuridis theoritis) yang menyatakan bahwa politik hukum adalah ilmu hukum yang merangkai perbuatan aparat yang berwewenang dalam memilih beberapa alternatif yang tersedia dalam menciptakan suatu produk hukum guna mewujudkan tujuan Negara.[13] Dari pengertian tersebut Prof. Muchsan menyipulkan bahwa di dalam Politik Hukum harus terdapat 4 unsur sebagaimana berikut:
1.     Berbentuk perbuatan aparat yang berwewenang (kompetensi)
2.     Ada alternative yang dapat dipilih
3.     Harus ada hukum baru yang dilahirkan[14]
4.     Tujuan Negara .
     Berdasarkan pelbagai pengertian tentang politik hukum di atas, Penyusun sendiri memberikan pengertian bahwa Politik Hukum adalah merupakan serangkain kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang menyangkut pembentukan hukum baru dalam rangka mencapai tujuan negara.
     Adapun tujuan dari politik hukum, Soehino mengemukakan 3 (tiga) tujuan pengkajian politik hukum, yaitu: [15]
     Agar orang mampu memahami pemikiran-pemikiran masa lampau, yang melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum yang sedang berlaku. Dengan demikian orang mampu mengaplikasikan atau menerapkan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana mestinya.
Agar orang mampu menentukan dan memilih pemikiran-pemikiran tersebut diatas, yang dapat dipergunakan sebagai atau menjadi dasar penetapan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum ius constitutum dari ius constituendum yang berlaku dalam rangka menghadapi perkembangan, perubahan, atau pertumbuhan kehidupan bermasyarakat. Sehingga mampu menetapkan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum baru sesuai dengan kebutuhan kehidupan bermasyarakat.
     Agar orang mampu memahami kebijakan yang menggariskan kerangka dan arah tata hukum yang berlaku. Sehingga dapat menerapkan dan mengembangkan hukum sesuai dengan kebutuhan hidup bermasyarakat dalam satu sistem.
B.    Korelasi (Hubungan) Gejala-Gejala Sosial Yang Satu dengan Yang Lain
     Hukum sendiri dapat dipelajari dan diteliti sebagai suatu ”skin in system” (studi mengenai Law In The Book) dan “skin out system” (studi mengenai Law In Action).
     Skin in system merupakan hubungan antara geja-gejala sosial, dimana hukum sebagai gejala sosial adalah merupakan gejala yang paling dominan, sehingga hukum akan mempengaruhi, memberikan sifat dan corak kepada gejala-gejala sosial yang lain. Sedangkan skin out system mengandung perngertian bahwa, didalam kehidupan masyarakat, masing-masing gejala-gejala siosial saling berinteraksi (aktif bersama-sama) dan saling berindependensi (berhubungan) dengan kata lain semua gejala-gejala sosial saling mempengaruhi.[16]



C.    Konsekuensi Yuridis Yang Muncul Sebagai Akibat Posisi Politik Hukum Masuk Dalam Skin Out System
     Gejala-gejala sosial seperti politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya itu berada dan saling mempengaruhi di dalam kehidupan masyarakat (Skin Out System). Oleh karena itu, perkembangan dan kemajuan dari masing-masing gejala sosial sangat ditentukan oleh perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh masyarakat. Gejala-gejala sosial tersebut (politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya) tumbuh dan berkembang di masyarakat. Maka untuk mengatur gejala-gejala sosial tersebut pemerintah perlu mengaturnya dalam suatu peraturan yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Sehingga tepat kiranya apa yang dikemukakan di awal bahwa hukum adalah produk rakyat dan bukan sekedar produk politik atau produk hasil kepentingan elit politik.
     Politik Hukum terletak di dalam sistem tata hukum dan berkembang di dalam skin out system, yang artinya Perbuatan aparat yang berwenang dengan memilih beberapa alternatif yang tersedia, memproduksi suatu produk hukum guna mewujudkan tujuan negara, akan saling mempengaruhi dan berinterdependensi dengan gejala-gejala sosial yang ada di tengah kehidupan rakyat (masyarakat).
     Hukum memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan kekuasaan politik membuat hukum menjadi efektif, atau dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan yang diam dan politik adalah hukum yang in action dan kehadirannya dirasakan nyata serta berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan. Hukum dan politik mempunyai kedudukan yang sejajar. Hukum tidak dapat ditafsirkan sebagai bagian dari sistem politik, demikian sebaliknya. Realitas hubungan hukum dan politik tidak sepenuhnya ditentukan oleh prinsip-prinsip yang diatur dalam suatu sistem konstitusi, tetapi lebih ditentukan oleh komitmen rakyat dan elit politik untuk melaksanakan konstitusi agar sesuai dengan semangat dan jiwanya. Sebab suatu sistem konstitusi hanya mengasumsikan ditegakkannya prinsip-prinsip tertentu, tetapi tidak bisa secara otomatis mewujudkan prinsip-prinsip tersebut[17].
     Dengan posisi politik hukum yang masuk dalam skin out system, maka serangkain kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang menyangkut pembentukan hukum baru atau penggantian hukum yang lama dalam rangka mencapai tujuan negara haruslah memperhatikan semua gejala-gejala sosial yang ada dalam masyarakat sehingga dapat tebentuk suatu produk hukum yang visioner yang merangkul semua kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
     Konsekuensi yuridis yang muncul sebagai akibat posisi politik hukum masuk dalam skin out system adalah bahwa, dalam setiap legal policy”, atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan peggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara, haruslah memperhatikan semua gejala-gejala sosial yang ada dalam masyarakat sehingga dapat tebentuk suatu produk hukum yang visioner yang merangkul semua kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
B.    Saran
Pelaksanaan politik hukum di Indonesia harus mengacu dan mengedepankan pembentukan produk hukum yang sesuai dengan tujuan negara daripada tujuan politik masing-masing partai di DPR.






               [1] Moh. Koesnoe, “Pokok Permasalahan Hukum Kita Dewasa Ini”, dalam Moh. Mahfud MD, Politk Hukum Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 17
         [3]Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps.1 Ayat (3)
               [4] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (Cambridge; Harvard University Press.1945), hlm. 368.
[5] LJ. van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), (Jakarta: Pradnya
Paramitha), cet. Ke-18, 1981, hlm. 390.
[6] A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis Publishers, 2002),
hlm. 9.
[7] David Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York: Pantheon Books, 1990), hlm. xi.
[8] Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), Cet. II, hlm. 160
[9] Padmo Wahjono, “Meyelisisk Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-Undangan,” dalam majalah Forum Keadailan, No. 29, April 1991, hlm. 65 dalam Moh. Mahfud MD, Politk Hukum Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 1
[10] Moh. Mahfud MD, Politk Hukum Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 1
[11] Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973, hlm. 3.

[12] Hikmahanto Juwono, “Politik Hukum Undang-undang Bidang ekonomi di Indonesia”.
Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor (S3) UII. Diperoleh dari http://lawismyway.blogspot.com/2011/01/peranan-politik-hukum-dalam-mewujudkan.html
[13] Disampaikan oleh Prof. Muchsan dalam  Perkuliahan Politik Hukum Magister Hukum UGM, (Yogyakarta. Jum’at 13 September 2013)
[14] Alasan Prof. Muchsan mengatakan bahwa dalam Politik Hukum darus ada hukum baru yang lahir adalah karena; 1) banyak hukum yang belum diatur (Recth vacum), 2) Indonesia adalah negara berkembang, 3) Indonesia belum memiliki hukum nasional.
[16] Disampaikan oleh Prof. Muchsan dalam  Perkuliahan Politik Hukum Magister Hukum UGM, (Yogyakarta. Jum’at 13 September 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar