BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang

Setelah amandemen UUD
1945 sebanyak empat kali pertanggungjawaban Presiden tidak juga diatur secara
eksplisit dan tegas. justru Setelah amandemen UUD 194 kewenangan MPR untuk meminta
pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis
Besar Haluan Negara menjadi tidak ada
lagi, hal ini sebagai konsekuensi logis dari perubahan struktur kelembagaan
negara. Padahal, pertanggungjawaban merupakan ciri dari paham demokrasi
konstitusional, tidak ada ruang bagi kekuasaan tanpa pertanggungjawaban,
sekecil apapun kekuasaan itu, terlebih lagi terhadap Presiden yang memiliki
kekuasaan yang cukup besar. Apabila kita melihat kembali beberapa Undang-Undang
Dasar yang pernah diberlakukan di Indonesia, pengaturan mengenai hal ini juga
tidak dijelaskan secara eksplisit. Hal ini dipengaruhi oleh labilnya
pemerintahan pada saat itu, yang menyebabkan Indonesia sempat berubah bentuk
dan sistem pemerintahannya.[1]
Atas dasar itulah perlu dikaji secara dalam tentang pengaturan
pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia, yaitu bentuk, sistem, dan
prosedurnya, berdasarkan pada beberapa Undang-Undang Dasar yang pernah dan/atau
sedang berlaku di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara
pasca amandemen ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Akuntabilitas Kinerja Lembaga-Lembaga Negara Pasca
Amandemen
UUD 1945 sebagai landasan hukum
tertinggi sekaligus merupakan landasan utama dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara bagi Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Reformasi di
bidang hukum yang terjadi mendorong terbentuknya suatu struktur ketatanegaraan
yang demokratis, melalui perubahan UUD 1945 sejak reformasi telah dilakukan
sebanyak empat kali, yaitu: Perubahan Pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober
1999, Perubahan Kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga
disahkan pada tanggal 10 November 2001, dan Perubahan Keempat disahkan pada
tanggal 10 Agustus 2002.[2]
Hasil dari perubahan UUD 1945
menjadikan struktur kelembagaan Negara berada pada posisi yang setara dengan
saling melakukan kontrol (cheks and
balance), guna mewujudkan supermasi hukum dan keadilan serta menjamin dan
melindungi hak asasi manusia. Perubahan UUD 1945 selain merubah struktur
kelembagaan Negara menjadi lebih demokratis juga mempertegas prinsip negara
hukum (rechtsstaat) yang semula hanya
ada di dalam penjelasan UUD 1945, menjadi bagian dari batang tubuh UUD 1945.
Hal ini tertuang di dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “ Negara
Indonesia adalah negara hukum”.[3] Negara hukum yang dimaksud adalah
negara yang menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka,
menghormati hak asasi mansuia dan setiap tindakan dan kebijakan pemerintah
harus berdasarkan atas ketentuan hukum (due
process of law).
Oleh karena itu, perubahan Pasal
1 Ayat (2) UUD 1945 dilakukan, yaitu perubahan dari “Kedaulatan ditangan rakyat
dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, menjadi “Kedaulatan di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini membawa implikasi terhadap
kedudukan, tugas, dan wewenang MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga
tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini MPR
berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya,
yaitu: Badan Pemeriksa Keuangan [BPK], Dewan Perwakilan Rakyat [DPR], Dewan
Perwakilan Daerah [DPD], Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung [MA], dan
Mahkamah Konstitusi [MK] serta Komisi Yudisial [KY].
Perubahan terhadap kedudukan MPR
secara otomatis mempengaruhi fungsi dan kewenangannya, secara jelas UUD 1945
dalam Pasal 3 menetapkan tugas MPR yaitu; a). Mengubah dan Menetapkan Undang-Undang
Dasar; b).Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; c). Memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Amandemen UUD 1945 menyebabkan hilangnya
kewenangan MPR untuk mengeluarkan Ketetapan MPR (selanjutnya disebut sebagai
Tap MPR) yang selama ini menjadi salah
satu jenis peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai penentu arah
kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sebelum amandemen MPR merupakan
lembaga tertinggi negara yang diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di
tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan
dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat
presiden dan wakil presiden. Dengan kata lain MPR merupakan penjelmaan pendapat
dari seluruh warga Indonesia.
1.
Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh
lembaga negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara
yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
2.
Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap
putusan-putusan Majelis.
3.
Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden
Wakil Presiden.
4.
Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris
mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai
pertanggungjawaban tersebut.
5.
Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan
memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris
sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
6.
Mengubah Undang-Undang Dasar 1945.
7.
Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
8.
Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh
anggota.
9.
Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar
sumpah/janji anggota.
Setelah terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2004,
MPR tidak berwenang lagi menetapkan GBHN. Akibatnya, tidak ada lagi peraturan
perundang-undangan yang digunakan sebagai arah kebijakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan, maka dengan demikian tolak ukur untuk melihat keberhasilan dari
kinerja lembaga-lembaga negara menjadi tidak ada, sedangkan program kerja yang
telah dibuat oleh Presiden pada saat menyampaikan janji-janji politik kepada
masyarakat tidak jelas arahnya dan cenderung digunakan hanya untuk menarik
suara masyarakat agar memilihnya. Sehingga yang terjadi adalah Presiden dan DPR
tidak bisa mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada MPR karena MPR bukan lagi
merupakan lembaga yang menjalankan kedaulatan rakyat. Kalaupun akan mempertanggung jawabkan
kinerjanya kepada rakyat, siapakah yang mewakili rakyat ?. Saat ini
satu-satunya lembaga negara yang dianggap sebagai perwakilan dari seluruh
rakyat indonesia adalah DPR maka hal ini tidak sesuai dengan konstitusi, karena
menurut sistem pemerintahan presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) tetapi presiden bekerja sama dengan dewan. Dalam hal
pembuatan undang-undang dan menetapkan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara
presiden harus mendapat persetujuan DPR.
Agar akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara
dapat dilakukan, maka ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan. Pertma, melakukan amandemen ke lima UUD
1945, dengan mengatur kembali kedudukan, fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh
MPR dan lembaga-lembaga negara lainnya sehingga akuntabilitas yang ingin
dicapai dapat terwujud. Bukan berarti harus kembali kapada UUD 1945 pra
amandemen, akan tetapi mengatur dan memberikan kewenagan yang lebih besar
kepada MPR sebagai lembaga negara yang dapat mewadahi akuntabilitas kinerja
lembaga-lembaga negara, khususnya presiden selaku kepala pemerintahan. Saat ini
presiden hanya bertanggung jawab kepada rakyat yang melihat kinerjanya, kinerja
tersebut dapat dikatakan berhasil apabila presiden yang menjabat terpilih untuk
kedua kalinya. Hal ini tentu tidak memberikan akuntabilitas yang jelas kepada
masyarakat karena dipilihnya kembali seorang presiden untuk yang kedua kalinya
dapat saja dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Kedua, mengubah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD. Bagaimanapun,
akuntabilitas kinerja lembaga-lebaga negara harus tetap ada. Ketidaktahuan rakyat mengenai apa yang telah, sedang dan yang akan dikerjakan pemerintah dan wakil-wakilnya akan memicu timbulnya ketidakpuasan rakyat terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang jika dibiarkan terus-menerus dapat memicu timbulnya
konflik.
Akuntabilitas
kinerja lembaga-lembaga negara pasca amandemen bagaikan sebuah pribahasa “jauh
panggang dari api”, karena dalam UUD 1945 dan juga peraturan perundang-undangan
lainnya tidak di atur secara tegas mengenai proses dan prosedur untuk melakukan
akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara, sehingga yang berkembang hanya
konsepsi pemikiran tentang pertanggungjawaban kepada rakyat, yang proses, tata
cara dan mekanismenya tidak pernah pernah diatur. Sejarah mencatat bahwa
satu-satunya lembaga yang melakukan pertanggungjawaban secara rill dan nyata
adalah presiden (pra amandemen), sedangkan lembaga-lembaga lain tidak terlacak oleh
sejarah pernah melakukan pertanggungjawaban, bahkan sampai detik ini.
MPR sebagai lembaga negara yang pernah berkedudukan
sebagai lembaga tertinggi, dapat saja di kembalikan kewenangannya seperti dahulu
sebagian atau seluruhnya dengan mekanisme yang telah paparkan di atas. Bukan
berarti kembali ke UUD 1945 yang asli dengan struktur ketatanegaraannya yang
dulu, tapi perlu adanya suatu langkah baru untuk menciptakan akuntabilitas
kinerja lembaga-lembaga negara. Menurut pandangan penulis, kewenagan untuk
mewadahi pertanggungjawaban hasil kinerja lemabaga-lembaga negara yang ada selama
menyelenggarakan pemerinthan, pantas diberikan kepada MPR, karena MPR merupakan
satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD
dan oleh karena Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, yang mana UUD sendiri dapat saja
dirubah melalui lembaga MPR.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Akuntabilitas
kinerja lembaga-lembaga negara pasca amandemen bagaikan sebuah pribahasa “jauh
panggang dari api”, karena dalam UUD 1945 dan juga peraturan perundang-undangan
lainnya tidak di atur secara tegas mengenai proses dan prosedur untuk melakukan
akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara, sehingga yang berkembang hanya
konsepsi pemikiran tentang pertanggungjawaban kepada rakyat, yang proses, tata
cara dan mekanismenya tidak pernah pernah diatur. Sejarah mencatat bahwa
satu-satunya lembaga yang melakukan pertanggungjawaban secara rill dan nyata
adalah presiden (pra amandemen), sedangkan lembaga-lembaga lain tidak terlacak
oleh sejarah pernah melakukan pertanggungjawaban, bahkan sampai detik ini.
B.
Saran
Agar akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara dapat dilakukan, maka ada
beberapa alternatif yang dapat dilakukan. Pertma,
melakukan amandemen ke lima UUD 1945, dengan mengatur kembali kedudukan, fungsi
dan wewenang yang dimiliki oleh MPR dan lembaga-lembaga negara lainnya sehingga
akuntabilitas yang ingin dicapai dapat terwujud. Kedua, mengubah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
[1] Irma Latifah Sihite, “Pola
Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan
UUD Negara RI Tahun 1945”, artikel, tanpa tahun.
[2]
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum
Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen. Jakarta: Kencana. 2010, hlm. 1
[4] http://rio-mamdoeh.blogspot.com/2012/10/lembaga-lembaga-negara-sebelum-dan_7301.html diakses
tanggal 27 November 2013. Pukul 20:24 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar