Jumat, 18 April 2014

AKUNTABILITAS KINERJA LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA PASCA AMANDEMEN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia akuntabilitas kinerja lembaga negara hanya dapat dijumpai pada MPR selaku lembaga tertinggi negara dan pemangku asas kedaulatan rakyat (pra amandemen). Dimana pada saat itu presiden sebagai mandataris MPR bertanggung jawab kepada MPR atas tugas-tugas yang telah dijalankannya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pertanggungjawaban ini didasarkan pada tugas dan wewenang yang dimiliki oleh MPR pada saat itu yaitu: Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut.
Setelah amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali pertanggungjawaban Presiden tidak juga diatur secara eksplisit dan tegas. justru Setelah amandemen UUD 194 kewenangan MPR untuk meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara menjadi tidak ada lagi, hal ini sebagai konsekuensi logis dari perubahan struktur kelembagaan negara. Padahal, pertanggungjawaban merupakan ciri dari paham demokrasi konstitusional, tidak ada ruang bagi kekuasaan tanpa pertanggungjawaban, sekecil apapun kekuasaan itu, terlebih lagi terhadap Presiden yang memiliki kekuasaan yang cukup besar. Apabila kita melihat kembali beberapa Undang-Undang Dasar yang pernah diberlakukan di Indonesia, pengaturan mengenai hal ini juga tidak dijelaskan secara eksplisit. Hal ini dipengaruhi oleh labilnya pemerintahan pada saat itu, yang menyebabkan Indonesia sempat berubah bentuk dan sistem pemerintahannya.[1] Atas dasar itulah perlu dikaji secara dalam tentang pengaturan pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia, yaitu bentuk, sistem, dan prosedurnya, berdasarkan pada beberapa Undang-Undang Dasar yang pernah dan/atau sedang berlaku di Indonesia.

B.    Rumusan Masalah
Bagaimanakah akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara pasca amandemen ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Akuntabilitas Kinerja Lembaga-Lembaga Negara Pasca Amandemen
               UUD 1945 sebagai landasan hukum tertinggi sekaligus merupakan landasan utama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara bagi Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Reformasi di bidang hukum yang terjadi mendorong terbentuknya suatu struktur ketatanegaraan yang demokratis, melalui perubahan UUD 1945 sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali, yaitu: Perubahan Pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, Perubahan Kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001, dan Perubahan Keempat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.[2]
               Hasil dari perubahan UUD 1945 menjadikan struktur kelembagaan Negara berada pada posisi yang setara dengan saling melakukan kontrol (cheks and balance), guna mewujudkan supermasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Perubahan UUD 1945 selain merubah struktur kelembagaan Negara menjadi lebih demokratis juga mempertegas prinsip negara hukum (rechtsstaat) yang semula hanya ada di dalam penjelasan UUD 1945, menjadi bagian dari batang tubuh UUD 1945. Hal ini tertuang di dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah negara hukum”.[3] Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi mansuia dan setiap tindakan dan kebijakan pemerintah harus berdasarkan atas ketentuan hukum (due process of law).
               Oleh karena itu, perubahan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dilakukan, yaitu perubahan dari “Kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, menjadi “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya, yaitu: Badan Pemeriksa Keuangan [BPK], Dewan Perwakilan Rakyat [DPR], Dewan Perwakilan Daerah [DPD], Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung [MA], dan Mahkamah Konstitusi [MK] serta Komisi Yudisial [KY].
               Perubahan terhadap kedudukan MPR secara otomatis mempengaruhi fungsi dan kewenangannya, secara jelas UUD 1945 dalam Pasal 3 menetapkan tugas MPR yaitu; a). Mengubah dan Menetapkan Undang-Undang Dasar; b).Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; c). Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.  Amandemen UUD 1945 menyebabkan hilangnya kewenangan MPR untuk mengeluarkan Ketetapan MPR (selanjutnya disebut sebagai Tap MPR)  yang selama ini menjadi salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai penentu arah kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
               Sebelum amandemen MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden. Dengan kata lain MPR merupakan penjelmaan pendapat dari seluruh warga Indonesia.
Wewenang MPR yang dapat dilacak sebelum amandemen antara lain :[4]
1.          Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
2.          Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis.
3.          Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden.
4.          Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut.
5.          Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
6.          Mengubah Undang-Undang Dasar 1945.
7.          Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
8.          Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.
9.          Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji anggota.

               Setelah terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2004, MPR tidak berwenang lagi menetapkan GBHN. Akibatnya, tidak ada lagi peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai arah kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka dengan demikian tolak ukur untuk melihat keberhasilan dari kinerja lembaga-lembaga negara menjadi tidak ada, sedangkan program kerja yang telah dibuat oleh Presiden pada saat menyampaikan janji-janji politik kepada masyarakat tidak jelas arahnya dan cenderung digunakan hanya untuk menarik suara masyarakat agar memilihnya. Sehingga yang terjadi adalah Presiden dan DPR tidak bisa mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada MPR karena MPR bukan lagi merupakan lembaga yang menjalankan kedaulatan rakyat.  Kalaupun akan mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada rakyat, siapakah yang mewakili rakyat ?. Saat ini satu-satunya lembaga negara yang dianggap sebagai perwakilan dari seluruh rakyat indonesia adalah DPR maka hal ini tidak sesuai dengan konstitusi, karena menurut sistem pemerintahan presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetapi presiden bekerja sama dengan dewan. Dalam hal pembuatan undang-undang dan menetapkan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara presiden harus mendapat persetujuan DPR. 
               Agar akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara dapat dilakukan, maka ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan. Pertma, melakukan amandemen ke lima UUD 1945, dengan mengatur kembali kedudukan, fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh MPR dan lembaga-lembaga negara lainnya sehingga akuntabilitas yang ingin dicapai dapat terwujud. Bukan berarti harus kembali kapada UUD 1945 pra amandemen, akan tetapi mengatur dan memberikan kewenagan yang lebih besar kepada MPR sebagai lembaga negara yang dapat mewadahi akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara, khususnya presiden selaku kepala pemerintahan. Saat ini presiden hanya bertanggung jawab kepada rakyat yang melihat kinerjanya, kinerja tersebut dapat dikatakan berhasil apabila presiden yang menjabat terpilih untuk kedua kalinya. Hal ini tentu tidak memberikan akuntabilitas yang jelas kepada masyarakat karena dipilihnya kembali seorang presiden untuk yang kedua kalinya dapat saja dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Kedua, mengubah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Bagaimanapun, akuntabilitas kinerja lembaga-lebaga negara harus tetap ada. Ketidaktahuan rakyat mengenai apa yang telah, sedang dan yang akan dikerjakan pemerintah dan wakil-wakilnya akan memicu timbulnya ketidakpuasan rakyat terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang jika dibiarkan terus-menerus dapat memicu timbulnya konflik.
               Akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara pasca amandemen bagaikan sebuah pribahasa “jauh panggang dari api”, karena dalam UUD 1945 dan juga peraturan perundang-undangan lainnya tidak di atur secara tegas mengenai proses dan prosedur untuk melakukan akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara, sehingga yang berkembang hanya konsepsi pemikiran tentang pertanggungjawaban kepada rakyat, yang proses, tata cara dan mekanismenya tidak pernah pernah diatur. Sejarah mencatat bahwa satu-satunya lembaga yang melakukan pertanggungjawaban secara rill dan nyata adalah presiden (pra amandemen), sedangkan lembaga-lembaga lain tidak terlacak oleh sejarah pernah melakukan pertanggungjawaban, bahkan sampai detik ini.
               MPR sebagai lembaga negara yang pernah berkedudukan sebagai lembaga tertinggi, dapat saja di kembalikan kewenangannya seperti dahulu sebagian atau seluruhnya dengan mekanisme yang telah paparkan di atas. Bukan berarti kembali ke UUD 1945 yang asli dengan struktur ketatanegaraannya yang dulu, tapi perlu adanya suatu langkah baru untuk menciptakan akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara. Menurut pandangan penulis, kewenagan untuk mewadahi pertanggungjawaban hasil kinerja lemabaga-lembaga negara yang ada selama menyelenggarakan pemerinthan, pantas diberikan kepada MPR, karena MPR merupakan satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD dan oleh karena Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, yang mana UUD sendiri dapat saja dirubah melalui lembaga MPR.
  

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
                Akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara pasca amandemen bagaikan sebuah pribahasa “jauh panggang dari api”, karena dalam UUD 1945 dan juga peraturan perundang-undangan lainnya tidak di atur secara tegas mengenai proses dan prosedur untuk melakukan akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara, sehingga yang berkembang hanya konsepsi pemikiran tentang pertanggungjawaban kepada rakyat, yang proses, tata cara dan mekanismenya tidak pernah pernah diatur. Sejarah mencatat bahwa satu-satunya lembaga yang melakukan pertanggungjawaban secara rill dan nyata adalah presiden (pra amandemen), sedangkan lembaga-lembaga lain tidak terlacak oleh sejarah pernah melakukan pertanggungjawaban, bahkan sampai detik ini.

B.    Saran
                  Agar akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara dapat dilakukan, maka ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan. Pertma, melakukan amandemen ke lima UUD 1945, dengan mengatur kembali kedudukan, fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh MPR dan lembaga-lembaga negara lainnya sehingga akuntabilitas yang ingin dicapai dapat terwujud. Kedua, mengubah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.




[1] Irma Latifah Sihite, “Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945”, artikel, tanpa tahun.


[2] Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen. Jakarta: Kencana. 2010, hlm. 1

                           [3]Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps.1 Ayat (3).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar