Jumat, 18 April 2014

PERANAN AWIG-AWIG DESA DALAM MENJAGA HUTAN KERAMAT DI LOMBOK UTARA SUATU KAJIAN SOSIOLOGIS MAGIS

PERANAN AWIG-AWIG DESA
 DALAM MENJAGA HUTAN KERAMAT DI LOMBOK UTARA.

BAB 1
PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang
Berbagai macam kearifan adat yang tumbuh dan terus dilestarikan oleh masyarakat adat yang ada di Lombok Utara, Seperti ; Awig-Awig Desa, dan kearifan-kearifan adat lainnya yang tidak penulis bahas dalam makalah ini senantiasa dijaga dan dilestarikan, dimana setiap tahunnya rutin di laksanakan.
Kearifan adat yang ada di lombok utara merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang mereka, yang sampai saat ini masih dijaga dan sangat menarik untuk kita kenal lebih dalam, sehingga dalam makalah ini penulis akan mencoba menjabarkan lebih jauh mengenai Awig-Awig Desa dalam menjaga hutan keramat yang ada di Lombok Utara.
Beberapa waktu yang lalu, para tokoh kepala desa bertemu untuk membicarakan masalah degradasi ekosistem hutan yang langsung berbatasan dengan desa masing-masing. Pertemuan-pertemuan selanjutnya, yang disebut dengan Pertemuan Masyarakat Adat Lombok Utara semakin banyak melibatkan para tokoh desa adat, tidak secara khusus berbicara tentang masalah degradasi lingkungan tetapi pengembangan wacana revitalisasi adat budaya sebagai upaya penggalangan solidaritas masyarakat dan mencari solusi untuk menangani masalah-masalah kemasyarakatan yang ada di Lombok utara

B.    Maksud dan Tujuan
            Megetahui bagaimana pranan Awig-Awig Desa dalam menyelamatkan Hutan Keramat yang ada di Lombok Utara dan pranannya dalam penyelesaian sengketa.

BAB 2
PEMBAHASAN
    A.    Peranan Awig-Awig Desa dalam menjaga hutan keramat yang ada di Lombok Utara.
            Kearifan budaya lokal diapresiasikan oleh sebuah komunitas masyarakat yang terikat kuat secara hukum, sosial, budaya dalam bentuk seperangkat aturan-aturan yang disebut hukum adat, atau yang di Lombok dan Bali disebut awig-awig. Implementasi sistem penguatan institusi masyarakat dan pranata lokal berbasis rakyat dilakukan dengan cara membuka ruang seluas-luasnya untuk merancang pembangunan di tingkat desa secara demokratis dan transparatif.

            Pada tanggal 6 Mei tahun 2000 terbentuklah Perekat Ombara (Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara) yang merupakan sebuah wadah yang dibangun untuk memperkuat solidaritas masyarakat di Lombok Utara. Perekat Ombara dideklarasikan pada gundem (pertemuan)  tokoh-tokoh kepala desa dari 25 desa di Lombok Utara tanggal 9 Desember 1999 di desa Bencingah, kec. Bayan. Berdasarkan hasil gundem Badan Pekerja Perekat Ombara, maka visi Perekat Ombara adalah Membangun tatanan masyarakat yang berdaulat, demokratis dan transformatif, misi Perekat Ombara adalah Memberdayakan masyarakat adat dalam semua aspek pembangunan kekinian. Perekat Ombara adalah sebuah gerakan masyarakat yang berakar kepada persamaan budaya seluruh masyarakat yang ada di Lombok Utara. Latar belakang terbentuknya Perekat Ombara adalah didasari bahwa peran serta masyarakat dan institusinya adalah sebagai subyek pembangunan. Dengan adanya otonomi pemerintahan desa, seharusnya dijadikan upaya strategis untuk melaksanakan revitalisasi dan reaktualisasi kearifan budaya lokal agar sistem perundang-undangan yang dibuat dapat mengakomodir kepentingan masyarakat.
            Demokrasi ala Lombok Utara adalah dengan menggali roh kehidupan masyarakat dalam sistem kepemimpinan kolektif. Kekuasaan tidak tunggal dipegang Kepala Desa tetapi bagian dari kepemimpinan kolektif diantara pemimpin lainnya, yang disebut dengan wet tu telu (wet = wilayah teritorial; tu = orang; telu = tiga) atau masing-masing teritorial (wilayah) punya pemimpin sendiri yaitu : wet agama, wet adat istiadat, dan wet pemerintah. Wet agama dipimpin oleh kiai, bikku atau pedanda sebagai pemegang norma agama, Wet adat istiadat dipimpin oleh seorang mangku (aparat) dengan sub-sub mangkunya, seperti mangkubumi (perairan), mangku alas (lingkungan hutan), dan lain-lain. Para mangku berperan sebagai perumus dan penentu awig-awig, pemberian sanksi adat dan pemimpin acara ritual adat. Wet pemerintahan dipimpin oleh pamusungan (kepala desa, berarti pucuk pimpinan utama). Kepemimpinan wet tu telu pernah dilakukan pada zaman kolonial Belanda dan orde lama sebelum diuniformisasi dengan UU no 5/1974 dan UU no 5/1979 tentang pemerintahan desa.
            Dalam tubuh Perekat Ombara tidak saja dihasilkan mengenai kesepakatan, tetapi juga dihasilkan struktur dan pengurus yang bertugas untuk menggerakkan dan mendinamisir Perekat Ombara (juru urus), struktur kepengurusan dilengkapi dengan Mahkamah Adat yang berfungsi sebagai wadah untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran adat (rat sasak). Revitalisasi majelis krama adat, sebagai aplikasi dari kekuatan trias politica, dilakukan dari krama gubug (tingkat RT dan RW ) hingga krama desa.
            Uniknya, seluruh gerakan ini bukan dimulai dari sebuah gagasan besar solidaritas masyarakat adat, namun dari hasil keprihatinan terhadap degradasi lingkungan hutan. Menurut Kamardi, Pamusungan (kepala desa) Bentek dan Ketua Perekat Ombara, masyarakat baru menyadari hutannya rusak oleh aktivitas HPH PT Ongkowidjojo setelah mereka melakukan pemetaan partisipatif pohon keta (sejenis bahan baku lokal untuk pembuatan kerajinan masyakat) di hutan sekitar desa Bentek (Program YLKMP - Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesaan - yang didukung oleh GEF/SGP). Hutan yang selama ini diakui sebagai bagian dari kesatuan wilayah adat desa diserahkan sebagai areal konsesi. Sejak mulai beroperasi pada tahun 1982, ternyata bencana ekologis terjadi di wilayah ini. Karena lokasi HPH terletak di kawasan pegunungan maka areal di wilayahnya mengalami kesulitan air pada musim kemarau dan kebanjiran pada musim hujan. Di kawasan hutan Sekotong petilasan Kedaru yang dikeramatkan (berbentuk tinggalan menhir) dan makam Bebekeq, di kawasan hutan Sesaot, yang amat dikeramatkan masuk ke dalam areal konsesi. Akumulasi ketidakpuasan masyarakat pecah pada saat terjadi peristiwa pembakaran camp HPH pada bulan April 1999.
            Keprihatinan ini menyebabkan beberapa tokoh kepala desa yang memiliki kasus serupa untuk bertemu untuk membicarakan masalah degradasi ekosistem hutan yang langsung berbatasan dengan desa masing-masing. Pertemuan-pertemuan selanjutnya, yang disebut dengan Pertemuan Masyarakat Adat Lombok Utara semakin banyak melibatkan para tokoh desa adat, tidak secara khusus berbicara tentang masalah degradasi lingkungan tetapi pengembangan wacana revitalisasi adat budaya sebagai upaya penggalangan solidaritas masyarakat dan mencari solusi untuk menangani masalah-masalah kemasyarakatan yang ada di Lombok utara. Dengan adanya peluang dan semangat otonomi daerah (UU Otonomi Daerah 22/1999) bergulir dan semakin marak penghimpunan diri 25 komunitas desa dalam wadah Persekutuan yang bersendikan institusi dan pranata lokal yang disepakati dalam sebuah kesepakata bersama antar komunitas desa atau yang dikenal dengan Dekrit 5 Juli 2000.
            Salah satu isi Dekrit yang dihasilkan adalah berhubungan dengan pengelolaan wilayah hutan, yaitu pengawasan hutan tidak perlu dengan kehadiran jagawana tetap diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat dibawah pemangku alas dan dikawal oleh lang-lang (pam swakarsa). Keputusan lain yaitu perubahan nama-nama dan istilah-istilah pada sistem pemerintahana desa dengan menghapuskan nuansa orde baru dengan nama dan istilah yang akrab dan dikenal serta dipahami oleh orang desa. Misalnya : kepala desa (menjadi pemusungan), sekdes (juru tulis), kepala urusan (juru urus), kadus (keliang), keamanan desa (lang-lang), RT/RW (krama gubug) dan 3A (subak atau pekasih).

   B.    Peran awig-awig desa dalam penyelesaian sengketa
            Seperti yang telah di ungkapkan sebelumnya bahwa perekat OMBARA telah membentuk sebuah susunan struktur dan pengurus yang bertugas untuk menggerakkan dan mendinamisir Perekat Ombara (juru urus), struktur kepengurusan dilengkapi dengan Mahkamah Adat yang berfungsi sebagai wadah untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran adat (rat sasak). Revitalisasi majelis krama adat, sebagai aplikasi dari kekuatan trias politica, dilakukan dari krama gubug (tingkat RT dan RW ) hingga krama desa.    
            Sesuai dengan fungsi dari Mahkamah Adat yaitu untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran adat, maka setiap masalah yang timbul dimasyarakat terlebih lagi dalam kasus rusaknya hutan yang dianggap keramat oleh masyarakat itu, harus dibawa dan diselesaikan oleh Mahkamah Adat dimana dalam penyelesaian sengketa melalui jalan musyawarah untuk mufakat yang dihadiri oleh pemangku adat, kerama gubug dan kerama desa serta pamusungan ( kepala desa ) yang akan mengadili sengketa tersebut sesuai dengan awig-awig yang berlaku yang telah disusun sebelumnya oleh para tokoh adat guna menjaga warisan adat dari nenek moyang mereka.
            Dalam kasus diatas masyarakat adat berhasil mengusir proyek-proyek pembangunan yang merusak hutan adat. masyarakat adat melakukan perlawanan keras dan berhasil mengusir HPH PT. Angka Wijaya karena perusahaan ini melakukan penebangan haram di bagian kecil kawasan hutan yang sakral secara adat.

BAB 3
PENUTUP   
     A.    Kesimpulan
            Awig-Awig Desa memiliki peran yang sangat besar didalam menjaga warisa-warisan adat dari nenek moyang mereka. Awiq-awiq desa merupakan sebuah peraturan desa yang dibuat dan disepakati oleh para tokoh adat dengan awiq-awiq itulah mereka memberikan batasan dan mengatur orang-orang luar yang belum mengerti tentang adat dan kebudayaan yang mereka junjung tinggi.
            Cuplikan cerita dari lapangan ini merupakan harapan di tengah-tengah semakin tingginya laju kerusakan dan perubahan fungsi hutan alam di Indonesia. Banyak di antara komunitas-komunitas masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk hidup lainnya.

            Dibandingkan dengan pihak-pihak berkepentingan lain, masyarakat adat mempunyai motif yang paling kuat untuk melindungi hutan adatnya. Bagi masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, menjaga hutan dari kerusakan merupakan bagian paling penting mempertahankan keberlanjutan kelangsungan kehidupan mereka sebagai komunitas adat. Motivasi ini didasari pada dua hal. Pertama adalah keyakinan atas hak-hak asal usul yang diwarisi dari leluhur. Masyarakat adat berbeda dari kelompok masyarakat yang lain, bukan semata-mata karena mereka rentan terhadap intervensi/hegemoni luar, tetapi karena mereka memiliki hak asal usul atau hak tradisional. Mempertahankan hutan adat bukan sekedar tindakan konservasi tetapi merupakan tindakan mempertahankan hak adat/hak asal usul/hak tradisional mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar