PERANAN
AWIG-AWIG DESA
DALAM MENJAGA HUTAN KERAMAT
DI LOMBOK UTARA.
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbagai macam kearifan adat
yang tumbuh dan terus dilestarikan oleh masyarakat adat yang ada di Lombok Utara,
Seperti ; Awig-Awig Desa, dan kearifan-kearifan adat lainnya yang tidak penulis
bahas dalam makalah ini senantiasa dijaga dan dilestarikan, dimana setiap
tahunnya rutin di laksanakan.
Kearifan adat yang ada di
lombok utara merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang mereka, yang
sampai saat ini masih dijaga dan sangat menarik untuk kita kenal lebih dalam,
sehingga dalam makalah ini penulis akan mencoba menjabarkan lebih jauh mengenai
Awig-Awig Desa dalam menjaga hutan keramat yang ada di Lombok Utara.
Beberapa waktu yang lalu, para tokoh kepala desa bertemu
untuk membicarakan masalah degradasi ekosistem hutan yang langsung berbatasan
dengan desa masing-masing. Pertemuan-pertemuan selanjutnya, yang disebut dengan
Pertemuan Masyarakat Adat Lombok Utara semakin banyak melibatkan para tokoh
desa adat, tidak secara khusus berbicara tentang masalah degradasi lingkungan
tetapi pengembangan wacana revitalisasi adat budaya sebagai upaya penggalangan
solidaritas masyarakat dan mencari solusi untuk menangani masalah-masalah kemasyarakatan
yang ada di Lombok utara
B. Maksud
dan Tujuan
Megetahui
bagaimana pranan Awig-Awig Desa dalam menyelamatkan Hutan Keramat yang ada di Lombok Utara
dan pranannya dalam penyelesaian sengketa.
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Peranan
Awig-Awig Desa dalam menjaga hutan keramat yang ada di Lombok Utara.
Kearifan budaya lokal diapresiasikan
oleh sebuah komunitas masyarakat yang terikat kuat secara hukum, sosial, budaya
dalam bentuk seperangkat aturan-aturan yang disebut hukum adat, atau yang di
Lombok dan Bali disebut awig-awig. Implementasi sistem penguatan
institusi masyarakat dan pranata lokal berbasis rakyat dilakukan dengan cara
membuka ruang seluas-luasnya untuk merancang pembangunan di tingkat desa secara
demokratis dan transparatif.
Pada tanggal
6 Mei tahun 2000 terbentuklah Perekat Ombara (Persekutuan Masyarakat Adat
Lombok Utara) yang merupakan sebuah wadah yang dibangun untuk memperkuat
solidaritas masyarakat di Lombok Utara. Perekat Ombara dideklarasikan pada
gundem (pertemuan) tokoh-tokoh kepala
desa dari 25 desa di Lombok Utara tanggal 9 Desember 1999 di desa Bencingah,
kec. Bayan. Berdasarkan hasil gundem Badan Pekerja Perekat Ombara, maka
visi Perekat Ombara adalah Membangun tatanan masyarakat yang berdaulat,
demokratis dan transformatif, misi Perekat Ombara adalah Memberdayakan
masyarakat adat dalam semua aspek pembangunan kekinian. Perekat Ombara
adalah sebuah gerakan masyarakat yang berakar kepada persamaan budaya seluruh
masyarakat yang ada di Lombok Utara. Latar belakang terbentuknya Perekat Ombara
adalah didasari bahwa peran serta masyarakat dan institusinya adalah sebagai
subyek pembangunan. Dengan adanya otonomi pemerintahan desa, seharusnya
dijadikan upaya strategis untuk melaksanakan revitalisasi dan reaktualisasi kearifan
budaya lokal agar sistem perundang-undangan yang dibuat dapat mengakomodir
kepentingan masyarakat.
Demokrasi
ala Lombok Utara adalah dengan menggali roh kehidupan masyarakat dalam sistem
kepemimpinan kolektif. Kekuasaan tidak tunggal dipegang Kepala Desa tetapi
bagian dari kepemimpinan kolektif diantara pemimpin lainnya, yang disebut
dengan wet tu telu (wet = wilayah teritorial; tu = orang; telu
= tiga) atau masing-masing teritorial (wilayah) punya pemimpin sendiri yaitu : wet
agama, wet adat istiadat, dan wet pemerintah. Wet agama
dipimpin oleh kiai, bikku atau pedanda sebagai pemegang norma agama, Wet
adat istiadat dipimpin oleh seorang mangku (aparat) dengan sub-sub
mangkunya, seperti mangkubumi (perairan), mangku alas (lingkungan hutan), dan
lain-lain. Para mangku berperan sebagai perumus dan penentu awig-awig,
pemberian sanksi adat dan pemimpin acara ritual adat. Wet pemerintahan
dipimpin oleh pamusungan (kepala desa, berarti pucuk pimpinan utama).
Kepemimpinan wet tu telu pernah dilakukan pada zaman kolonial Belanda
dan orde lama sebelum diuniformisasi dengan UU no 5/1974 dan UU no 5/1979
tentang pemerintahan desa.
Dalam tubuh
Perekat Ombara tidak saja dihasilkan mengenai kesepakatan, tetapi juga
dihasilkan struktur dan pengurus yang bertugas untuk menggerakkan dan
mendinamisir Perekat Ombara (juru urus), struktur kepengurusan
dilengkapi dengan Mahkamah Adat yang berfungsi sebagai wadah untuk
menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran adat (rat sasak). Revitalisasi majelis
krama adat, sebagai aplikasi dari kekuatan trias politica, dilakukan
dari krama gubug (tingkat RT dan RW ) hingga krama desa.
Uniknya,
seluruh gerakan ini bukan dimulai dari sebuah gagasan besar solidaritas
masyarakat adat, namun dari hasil keprihatinan terhadap degradasi lingkungan
hutan. Menurut Kamardi, Pamusungan (kepala desa) Bentek dan Ketua
Perekat Ombara, masyarakat baru menyadari hutannya rusak oleh aktivitas HPH PT
Ongkowidjojo setelah mereka melakukan pemetaan partisipatif pohon keta
(sejenis bahan baku lokal untuk pembuatan kerajinan masyakat) di hutan sekitar
desa Bentek (Program YLKMP - Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesaan -
yang didukung oleh GEF/SGP). Hutan yang selama ini diakui sebagai bagian dari
kesatuan wilayah adat desa diserahkan sebagai areal konsesi. Sejak mulai
beroperasi pada tahun 1982, ternyata bencana ekologis terjadi di wilayah ini.
Karena lokasi HPH terletak di kawasan pegunungan maka areal di wilayahnya
mengalami kesulitan air pada musim kemarau dan kebanjiran pada musim hujan. Di
kawasan hutan Sekotong petilasan Kedaru yang dikeramatkan (berbentuk
tinggalan menhir) dan makam Bebekeq, di kawasan hutan Sesaot, yang amat
dikeramatkan masuk ke dalam areal konsesi. Akumulasi ketidakpuasan masyarakat
pecah pada saat terjadi peristiwa pembakaran camp HPH pada bulan April 1999.
Keprihatinan
ini menyebabkan beberapa tokoh kepala desa yang memiliki kasus serupa untuk
bertemu untuk membicarakan masalah degradasi ekosistem hutan yang langsung
berbatasan dengan desa masing-masing. Pertemuan-pertemuan selanjutnya, yang
disebut dengan Pertemuan Masyarakat Adat Lombok Utara semakin banyak melibatkan
para tokoh desa adat, tidak secara khusus berbicara tentang masalah degradasi
lingkungan tetapi pengembangan wacana revitalisasi adat budaya sebagai upaya penggalangan
solidaritas masyarakat dan mencari solusi untuk menangani masalah-masalah
kemasyarakatan yang ada di Lombok utara. Dengan adanya peluang dan semangat
otonomi daerah (UU Otonomi Daerah 22/1999) bergulir dan semakin marak
penghimpunan diri 25 komunitas desa dalam wadah Persekutuan yang bersendikan
institusi dan pranata lokal yang disepakati dalam sebuah kesepakata bersama
antar komunitas desa atau yang dikenal dengan Dekrit 5 Juli 2000.
Salah satu
isi Dekrit yang dihasilkan adalah berhubungan dengan pengelolaan wilayah hutan,
yaitu pengawasan hutan tidak perlu dengan kehadiran jagawana tetap
diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat dibawah pemangku alas dan
dikawal oleh lang-lang (pam swakarsa). Keputusan lain yaitu perubahan
nama-nama dan istilah-istilah pada sistem pemerintahana desa dengan
menghapuskan nuansa orde baru dengan nama dan istilah yang akrab dan dikenal
serta dipahami oleh orang desa. Misalnya : kepala desa (menjadi pemusungan),
sekdes (juru tulis), kepala urusan (juru urus), kadus (keliang),
keamanan desa (lang-lang), RT/RW (krama gubug) dan 3A (subak
atau pekasih).
B.
Peran awig-awig desa dalam
penyelesaian sengketa
Seperti
yang telah di ungkapkan sebelumnya bahwa perekat OMBARA telah membentuk sebuah
susunan struktur dan pengurus yang bertugas untuk menggerakkan dan mendinamisir
Perekat Ombara (juru urus), struktur kepengurusan dilengkapi dengan Mahkamah
Adat yang berfungsi sebagai wadah untuk menyelesaikan
pelanggaran-pelanggaran adat (rat sasak). Revitalisasi majelis krama
adat, sebagai aplikasi dari kekuatan trias politica, dilakukan dari krama
gubug (tingkat RT dan RW ) hingga krama desa.
Sesuai dengan
fungsi dari Mahkamah Adat yaitu untuk
menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran adat, maka setiap masalah yang timbul
dimasyarakat terlebih lagi dalam kasus rusaknya hutan yang dianggap keramat
oleh masyarakat itu, harus dibawa dan diselesaikan oleh Mahkamah Adat dimana dalam penyelesaian sengketa melalui jalan
musyawarah untuk mufakat yang dihadiri oleh pemangku
adat, kerama gubug dan kerama desa serta pamusungan ( kepala desa ) yang akan
mengadili sengketa tersebut sesuai dengan awig-awig yang berlaku yang telah
disusun sebelumnya oleh para tokoh adat guna menjaga warisan adat dari nenek
moyang mereka.
Dalam
kasus diatas masyarakat adat berhasil mengusir proyek-proyek pembangunan yang merusak
hutan adat. masyarakat adat melakukan perlawanan keras dan berhasil mengusir
HPH PT. Angka Wijaya karena perusahaan ini melakukan penebangan haram di bagian
kecil kawasan hutan yang sakral secara adat.
BAB 3
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Awig-Awig Desa memiliki peran yang
sangat besar didalam menjaga warisa-warisan adat dari nenek moyang mereka.
Awiq-awiq desa merupakan sebuah peraturan desa yang dibuat dan disepakati oleh
para tokoh adat dengan awiq-awiq itulah mereka memberikan batasan dan mengatur
orang-orang luar yang belum mengerti tentang adat dan kebudayaan yang mereka
junjung tinggi.
Cuplikan cerita dari lapangan ini
merupakan harapan di tengah-tengah semakin tingginya laju kerusakan dan
perubahan fungsi hutan alam di Indonesia. Banyak di antara komunitas-komunitas
masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka
sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam
untuk kebutuhan seluruh mahluk hidup lainnya.
Dibandingkan dengan pihak-pihak
berkepentingan lain, masyarakat adat mempunyai motif yang paling kuat untuk
melindungi hutan adatnya. Bagi masyarakat adat yang tinggal di dalam dan
sekitar hutan, menjaga hutan dari kerusakan merupakan bagian paling penting
mempertahankan keberlanjutan kelangsungan kehidupan mereka sebagai komunitas
adat. Motivasi ini didasari pada dua hal. Pertama adalah keyakinan atas hak-hak
asal usul yang diwarisi dari leluhur. Masyarakat adat berbeda dari kelompok
masyarakat yang lain, bukan semata-mata karena mereka rentan terhadap
intervensi/hegemoni luar, tetapi karena mereka memiliki hak asal usul atau hak
tradisional. Mempertahankan hutan adat bukan sekedar tindakan konservasi tetapi
merupakan tindakan mempertahankan hak adat/hak asal usul/hak tradisional
mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar