BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
![]() |
Add caption |
Perubahan UUD 1945 yang pertama sampai dengan keempat
jelas bersifat mendasar dan mencakup materi yang sangat banyak, sehingga telah
mengubah sistematika, baik perumusan formalnya maupun sistematika berpikir UUD
1945. Dengan demikian, Perubahan UUD 1945 sudah tidak dapat lagi disebut
menggunakan tradisi Amerika Serikat yang dijadikan rujukan dalam rangka
pelaksanaan perubahan UUD 1945. Oleh karena itu, sebaiknya, teknik dan prosedur
yang diacu oleh ketentuan Pasal 37 UUD 1945 itu haruslah dipahami dalam
pengertian model tradisi Eropa, bukan Amerika Serikat[1]
Sejumlah kalangan masyarakat menilai hasil Perubahan
UUD 1945 oleh MPR jauh dari memuaskan. Perubahan konstitusi yang seharusnya
dilakukan oleh lembaga independen semacam Komisi Konstitusi, – belajar dari
pengalaman negara-negara lain yang sukses melakukan reformasi konstitusi
(Thailand, Filipina, Afrika Selatan dll.) – tetapi dalam konteks Indonesia,
perubahan justru dilakukan oleh lembaga yang seharusnya menjadi obyek dari
perubahan. Karena itu menurut Bambang Widjojanto, sejak awal sudah dapat
diduga, arah dan substansi perubahan tidak akan mendasar guna mengabdi secara
utuh pada kedaulatan rakyat serta membangun sistem kekuasaan yang demokratis
dengan cara membenahi carut-marutnya sistem kekuasaan.[2]
Oleh karena itu, gagasan mengenai amandemen ke-5 UUD
1945 seringkali didengungkan. Dengan demikian perlu untuk mengetahui
kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen ke-4, maka
penyusun dalam hal ini akan embahas mengenai kekurangan atau hal-hal yang perlu
disempurnakan dalam rangka memberi masukan untuk amandemen ke-5.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian di atas, penyusun bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah
berikut “Apakah masih ada muatan hasil amandemen
yang masih perlu di sempurnakan” ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Materi
Muatan UUD 1945
Undang-Undang
Dasar merupakan hukum tertulis negara RI yang bersifat mengikat
seluruh warga negara dan pendudukan Indonesia, serta seluruh praktek
penyelenggaraan nagara. Ditetapkan dalam siding PPKI pada tanggal 18
Agustus 1945.
Isi dan
muatan dari UUD 1945 itu terdiri dari tiga bagian :
1. Pembukaan UUD 1945
2. Batang tubuh terdiri atas 16 bab, 37 pasal,
aturan peralihan, dan peraturan tambahan
3. Penjelasan UUD 1945
Namun
setelah perubahan penjelasan UUD 1945 bukan lagi menjadi bagian dari isi atau
muatan dari UUD 1945.
Adapun batang tubuh dibagi kembali
ke dalam empat submateri yaitu:
1. Pengaturan tentang Sistem Pemerintahan Negara
2. Ketentuan fungsi dan kedudukan lembaga negara
3. Hubungan antara negara dan warga negara
4. Ketentuan-ketentuan lain sebagai pelengkap
Pada hakikatnya UUD 1945 berisikan
aturan-aturan yang sifatnya general dan fundamental sehingga
terkadang mengalami kendala dalam aplikasinya di masyarakat Indonesia yang
memiliki permasalahan yang semakin kompleks sehingga dalam perkembangannya
dibutuhkan perubahan untuk penyempurnaan yang merupakan penggerak dinamika
perubahan UUD 1945.
Menurut Miriam Budiardjo
berpendapat bahwa setiap undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan :
1.
Organisasi negara,
misalnya, pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara
bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu
badan pemerintah dan sebagainya.
2.
Hak-hak asasi manusia.
3.
Prosedur mengubah
undang-undang dasar.
4.
Adakalanya memuat
larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar[3].
B. Kelemahan
UUD 1945 Pasca Amandemen
Beberapa Kelemahan
UUD 1945 pasca amandemen antara lain:
1.
Kedaulatan
rakyat tidak jelas berada dimana sehingga pertanggungjawaban tidak jelas, MPR
terdiri dari DPR dan DPD menyebabkan perpecahan. Seharusnya MPR dikembalikan
posisinya sebgai lembaga tertinggi negara dan diberikan kewajiban untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat sehingga kedaulatan rakyat jelas berada ditangan
siapa, dan pertanggungjawabannya menjadi jelas. Selain itu sistem
ketatanegaraan akan menjadi jelas.
2.
Dominasi kekuasaan DPR
atau legislative heavy. Salah satu
bukti adalah Pasal 13 ayat (3) UUD 1945, yakni Presiden menerima penempatan
duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Padahal kewenangan
menerima duta negara lain adalah domain eksekutif atau Presiden, maka ketentuan
adanya pertimbangan DPR menunjukkan dominasi kekuasaan DPR yang telah memasuki
domain Presiden. Seharusnya DPR tidak mencampuri apa yang menjadi domain
presiden.
3.
Pasal 11 ayat (1) dan
ayat (2) tidak sinkron dan terkesan tumpang tindih karena ayat (2) mengatur apa
yang juga sudah diatur oleh ayat (1) mengenai perjanjian dengan negara lain
(perjanjian internasional). Seharusnya cukup mengatur pokok-pokoknya saja
sebagaimana diatur dalam ayat (1).
4. Kelemahan dalam sistem
pemerintahan presidensial. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 20 ayat (5) UUD
1945 yang berisikan:
“Dalam
hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan”.
Walaupun
Presiden berhak mengajukan suatu RUU kepada DPR dan DPD untuk sektor hubungan
pusat dan daerah, akan tetapi dalam sistem pemerintahan presidensial kewenangan
membentuk undang-undang adalam milik badan legislatif. Sehingga Presiden seharusnya
tidak mengambil keputusan terhadap hasil akhir legislasi. Di sisi lain presiden
diberikan hak untuk menolak (hak veto) namun tidak berlaku karena undang-undang
tersebut dinyatakan sah sebagai undang-undang dan wajib diundangkan. Hal ini
juga mencerminkan legislatif heavy serta
ketidak jelasan atau inkonsistensi dari pasal tersebut.
5. Mengenai pengaturan
otonomi daerah masih terdapat kekaburan mengenai pola hubungan pusat, provinsi
dan kabupaten/kota. Apakah pola hubungan hubungan pusat, provinsi dan kabupaten/kota
hierarkis atau tidak, karena seringkali kabupaten/kota melakukan hubungan
dengan pusat tanpa melalui provinsi sehingga provinsi seolah-olah tidak berfungsi
sebagai wakil pusat di daerah. Seharusnya pusat hanya berhubungan dengan
provinsi secara langsung, sedangkan kabupaten/kota harus melalui provinsi.
6. Pengaturan mengenai
pemilu terdapat kekabuaran dalam memaknai arti pemilihan secara demokratis
sehingga menyebabkan multitafsir. Contohnya dalam pemilihan gubernur, ada yang
berpendapat bahwa gubernur seharusnya dipilih secara langsung adapula yang
mengatakan secara tidak langsung. Seharusnya UUD mengatur secara tegas tetang
pemilu, dengan mengatur penyelenggaraan pemilu apa saja yang harus dilakukan
seperti pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR dan DPD,
gubernur, bupati/walikota anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Diman
untuk menyederhanakan pemilu, pelaksanaan pemilu harus dibedakan antara pemilu
nasional dan pemilu di daerah.
7.
Pasal-pasal yang
mengatur mengenai hak asasi manusia (HAM) tumpang tindih dengan pasal-pasal
yang lain serta bab-bab lain yang diatur dalam UUD. Contohnya pasal 28E yang
mengatur tentang agama, dalam bab XI pasal 29 juga mengatur hal yang sama
sehingga tidak efesien. Dan banyak lagi pasal-pasal yang tumbang tindih.
Seharusnya Pengaturan tentang hak asasi manusia mengatur hal-hal pokok saja
tidak perlu dirincikan satu persatu.
8.
Pengaturan mengenai
kebudayaan selama ini belumlah tuntas bahkan di dalam UUD tidak mengatur
bagaimana menjaga kebuadayaan asli indonesia. Seharusnya UUD juga mengatur hal
ini untuk menjaga kebudayaan asli indonesia sehingga tidak mudah untuk dijiplak
atau bahkan dimiliki oleh negara lain
9.
Bab tentang
perekonomian sejauh ini sudah baik namun penafsiran mengenai konsep “menguasai”
oleh negara diterjemahkan terlalu jauh sehingga negara kerap menyalahgunakan
konsep menguasai itu untuk meraih keuntungan pemerintahan saja dan tidak
memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Seharusnya konsep “menguasai” itu
diartikan sebagai kebijakan untuk mengatur, mengurus, mengelola secara mandiri
serta mengawasi cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup masyarakat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. hal ini sekaligus
untuk menghindari penguasaan oleh pihak-pihak tertentu.
10.
Prihal bagian penjelasan
UUD 1945 yang sudah tidak berlaku lagi, namun di dalamnya masih terdapat
hal-hal penting yang masih digunakan seperti bagian dari UUD 1945 pasca-amandemen yang
tidak dapat diubah. Seharusnya dimasukkan di dalam batang tubuh (bagian
pasal-perpasal) sehingga memberikan kejelasan terhadap hal-hal yang boleh
diubah dan tidak boleh diubah.
Kelemahan, kekurangan, dan
ketidaksempurnaan yang bersifat mendasar dari UUD 1945 pasca-amandemen itulah
yang menyebabkan UUD 1945 tidak bisa berlaku sebagai konstitusi yang hidup.
Menurut penyusun selain permasalahan di atas permasalah mengenai sosialisai dan
partsipasi masyarakat dalam pembentukan UUD yang sangat kurang, sehingga tidak
bisa menjadikan UUD sebagai soceity constitution. Oleh karena itu perlu ada
amandemen ke-5 UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kelemahan atau kekurangan yang bersifat mendasar dari UUD 1945
pasca-amandemen menyebabkan UUD 1945 tidak bisa berlaku sebagai konstitusi yang
hidup. Menurut penyusun selain ketidaksempurnaan dari muatan hasil amandemen
tersebut, kekurangan lainnya adalah sosialisai dan partsipasi masyarakat dalam
pembentukan UUD yang sangat kurang, sehingga tidak bisa menjadikan UUD sebagai soceity constitution. Oleh karena itu perlu
ada amandemen ke-5 UUD 1945.
B.
Saran
Amandemen ke-5 UUD 1945 harus dilakukan secara bottom up (dari bawah ke atas), agar UUD menjadi soceity
constitution yang hidup di masyarakat sehingga dapat dimengerti dan
dipatuhi.
[2]
Bambang Widjojanto,
“Komisi Konstitusi, Instrumen untuk Mengatasi Krisis Konstitusional”, dalam
Bambang Widjojanto dkk. (Editor), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi
Independen, Pustaka sinar harapan, 2002, hlm. 198.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar