Minggu, 06 April 2014

Dua Sumber Pemikiran Faham Konstitusionalime

1.     John Locke

A.    Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke
       Negara di dalam pandangan Locke dibatasi oleh warga masyarakat yang merupakan pembuatnya. Untuk itu, sistem negara perlu dibangun dengan adanya pembatasan kekuasaan negara, dan bentuk pembatasan kekuasaan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah dengan membentuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang ditentukan oleh parlemen berdasarkan prinsip mayoritas.[1] Cara kedua adalah adanya pembagian kekuasaan dalam tiga unsur: legistlatif, eksekutif, dan federatif.[2]
       Lebih jauh mengenai cara yang kedua, John Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu:
1.     Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2.     Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3.     Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).
       Unsur legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang dan merupakan kekuasaan tertinggi. Kekuasaan ini dijalankan oleh Parlemen yang mewakili golongan kaya dan kaum bangsawan sebab mereka, dengan kekayaannya, paling banyak menyumbangkan sesuatu kepada negara. Dalam membuat undang-undang, kekuasaan legislatif terikat kepada tuntutan hukum alam yaitu keharusan menghormati hak-hak dasar manusia. Unsur eksekutif adalah pemerintah yang melaksanakan undang-undang, yaitu raja dan para bawahannya. Terakhir, unsur federatif adalah kekuasaan yang mengatur masalah-masalah bilateral, seperti mengadakan perjanjian damai, kesepakatan kerja sama, atau menyatakan perang. Menurut Locke, kekuasaan federatif dapat dipegang oleh pihak eksekutif, di mana dalam keadaan darurat pihak eksekutif dapat mengambil tindakan yang melampaui wewenang hukum yang dimilikinya.
      
B.    Teori Hukum Yang Mempengaruhi Pemikiran Jhon Locke
       Pemikiran Jhon locke banyak dipengaruhi oleh filsafat alam, namun dalam perkembangannya pandanganya mengenai cara pembatasannya kekuasaan memperlihatkan bahwa dia juga menganut mazhab positivisme.
       Sebagai penganut hukum alam abad ke-18[3], Locke berpegang pada prinsip hukum alam zaman itu, yakni kebebasan individu dan keutamaan rasio[4]. Cara berfikir abad ke-18 berbeda dengan teori hukum alam abad 17. Kerangka berfikir teori hukum abad ke-17 bersifat induktif. Teorisasi didasarkan pada realitas kenyataan, dan dengan teori yang dibangung secara indktif tersebut, dikembangkan ekplanasi (penjelasan) terhadap realitas. Sedangkan teori abad ke-18 mengambil posisi diskusi. Para pemikir era ini tidak menerima dan menerangkan begitu saja kenyataan yang diamati, melainkan menggunakan rasio untuk menilai kebenaran dan kenyataan tersebut. dengan mengandalkan rasio, mereka membangun ideal-ideal tentang kenyataan yang sesuai dengan kenyataan yang dimaksud.
       Jhon locke dan thomas hobbes berangkat dari  konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamaiah" atau yang lebih dikenal dengan konsep State of Nature. Namun dalam perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang satu sama lainnya. Jika Hobbes menganggap manusia itu sebagai manusia yang sering mengalami perang antar sesamanya, dalam bukunya The Second Treatise of Government Locke membayangkan keadaan asli manusia sebagai sebuah firdaus. Dalam keadaan yang damai itu, manusia hidup bermasyarakat dengan diatur oleh hukum-hukum kodrat dan masing-masing individu memiliki hak-hak yang tidak boleh dirampas, dan dalam keadaan yang demikian terdapat kesamaan dan kebebasan.
             Negara, menurut Locke dibutuhkan untuk mempertahankan keadaan asali yang bebas dan indevenden itu dalam masyarakat lewat kontrak sosial yang diadakan oleh setiap individu. Inilah gagasan Locke mengenai asal usul berdirinya sebuah Negara. Locke menetapkan bahwa pemerintahan merupakan hasil sebuah kesepakatan, dalam hal ini kontrak sosial dan murni merupakan urusan duniawi, serta bukan sesuatu yang ditetapkan otoritas suci[5].
             Pemerintahan yang terbentuk dibatasi oleh hukum-hukum dasar tertentu. Hukum-hukum itu melarang pemerintah merampas hak individu atau hak milik. Karena tujuan pertama dan utama dari orang-orang yang bersatu dalam sebuah Negara, dan menempatkan diri mereka di bawah pemerintahan adalah penjagaan harta milik mereka. Locke menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi tidak dapat mengambilalih hak milik seseorang tanpa persetujuan si pemilik.
             Fungsi pokok pemerintah adalah menjaga hak milik pribadi[6]. Agar pemerintah dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan tentu saja untuk tidak menjadi otoriter, tirani, maupun totaliter, Locke menerapkan konsep atau doktrin Trias Politika. Trias Politika merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan atau functions tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahangunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dan dengan demikian diharapkan hak-ahak asasi warga Negara lebih terjamin.




2.     Montesquieu

A.    Pembagian Kekuasaan Menurut Montesquieu
             Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a.      Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b.     Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c.      Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
             Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu[7]:
a.      Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yudikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b.     Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
            
             Trias Politica merupakan salah satu gagasan brillian Montesquieu yang intinya bahwa agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan dan terbentuknya kekuasaan mutlak yang sewenang-wenang, maka kekuasaan harus dipisahkan menjadi tiga bagian, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang tugas utamanya adalah membuat undang-undang. Lembaga legislatif merupakan refleksi dari kedaulatan rakyat, meski rakyat yang dimaksud Montesquieu disini adalah dewan rakyat yang terdiri dari wakil-wakil rakyat dan kaum bangsawan. Montesquieu dalam hal ini mengacu pada dewan rakyat di zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno[8].
             Gagasan ini muncul karena demi terjaminnya kebebasan politik rakyat, perlu ada pemisahan kekuasaan. Kebebasan merupakan hal penting dalam pemikiran Montesquieu. Sehingga hal ini pulalah yang menjadi dasar bagi pemikirannya mengenai perlunya pemisahan kekuasaan. Gagasan ini dilatarbelakangi oleh respon terhadap wacana kekuasaan yang hidup di masanya. Montesquieu hidup di zaman raja-raja Eropa abad XVIII yang dipenuhi dengan kekuasaan yang absolut dan anti kritik. Untuk menghindari itu semua, menurut Montesquieu diperlukan pemisahan kekuasaan agar kekuasaan raja dapat dibatasi dan tidak bersifat mutlak[9].
             Montesquieu juga sepakat bahwa prinsip dasar dari demokrasi adalah kebebasan. Ancaman bagi kebebasan jika kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan. Begitu pula jika kekuasaan yudikatif dan eksekutif serta legislatif tak dipisahkan akan terjadi absolutisme hukum dimana hakim akan menjadi orang yang membuat hukum[10]. Prinsi demokrasi lain adalah  rule of law, yang artinya negara harus berdasarkan pada hukum. Hukum menjadi salah satu gagasan penting dalam pemikiran Montesquieu. Ia memandang hukum sebagai sesuatu yang kompleks, selalu berubah-ubah, dan dinamik. Karena itu, hukum sangat tergantung pada konteksnya, seperti perbedaan tempat, waktu, adat istiadat dan tradisi, bahkan perbedaan iklim dan letak geografisnya. Dalam konteks ini Montesquieu berpendapat bahwa hukum memiliki dua sifat, yakni sifat umum dan sifat khusus. Khusus artinya hukum harus pula mempertimbangkan iklim dan letak geografis suatu tempat serta adat istiadat dimana hukum tersebut diberlakukan. Jika tidak, hukum menjadi tidak efektif. Namun, Montesquieu juga mengemukakan adanya hukum universal, berlaku umum untuk semua masyarakat[11].
             Gagasan lain yang tak kalah pentingnya adalah mengenai bentuk negara, yang oleh Montesquieu di klaim bahwa bentuk negara terbaik adalah republik. Di dalam republik, rakyatlah yang berkuasa, memegang kedaulatan dan memberikan legitimasi kepada orang-orang yang bisa dipercaya untuk memerintah. Gagasan ini dilatarbelakangi oleh degradasi negara-negara berbentuk monarki yang hancur akibat penguasanya yang tidak mematuhi hukum, tidak menghormati rakyatnya dan masih berkuasa sewenang-wenang. Montesquieu mengacu pada bentuk negara Monarki di Eropa, terutama Inggris dan Perancis[12].


B.    Teori Hukum Yang Mempengaruhi Pemikiran Jhon Locke
Dalam filsafat ilmu politik pemikiran Montesquieu mengenai Trias Politika berkaitan dengan aliran filsafat idealisme karena sangat menekankan kepada demokrasi dalam tubuh pemerintahan yang tidak dapat ditemui dalam aliran filsafat lainnya.[13]
Montesquieu yang nama lengkapnya: Charles-Louis de Secondat de la Brede et de Montesquieu, adalah pemikir bidang hukum dan politik era Aufklarung di Prancis. Dalam karya monumentalnya L'Esprit des Lois (Roh Hukum), la membahas raison d’etre bagi hukum. la menegaskan, dalam suatu bentuk pemerintahan, suatu sistem hukum harus ditemukan lebih daripada bisa ditemukan. Apa sebab? Karena sejatinya sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia. Dengan `ilham' metode empiris dari Aristoteles, Montesquieu berusaha menemukan apa sebabnya suatu negara memiliki seperangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu? la bertolak dari sisi watak masyarakat. Menurutnya, ada dua faktor utama yang membentuk watak suatu masyarakat. Pertama, faktor fisik. Faktor fisik yang utama adalah iklim, yang menghasilkan akibat-akibat fisiologis mental tertentu. Selain faktor iklim, keadaan daratan, kepadatan penduduk, dan daerah kekuasaan suatu masyarakat juga turut berpengaruh[14].
Kedua, adalah faktor moral. Menurut Montesquieu, seorang legislator yang baik, bisa membatasi pengaruh faktor fisik sekecil mungkin dan bahkan bisa membatasi akibat-akibat karena iklim tertentu. Dalam faktor moral ini, terhimpun antara lain: agama, adat-istiadat, kebiasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir, serta suasana yang tercipta di pengadilan.
Di samping teori yang bersifat sosiologis di atas, Montesquieu juga berbicara tentang hukum alam. Perdamaian, menurut Montesquieu, merupakan hukum kodrat yang pertama. Sedangkan hukum kodrat yang kedua adalah mencari nafkah. Daya tarik yang timbul dari perbedaan jenis kelamin, merupakan hukum kodrat yang ketiga. Meski manusia dan hewan sama-sama memiliki insting sosialitas, namun manusia memiliki kelebihan berupa pengetahuan dan moralitas. Kesadaran akali dan etis untuk hidup bersama, memunculkan hukum kodrat keempat, yakni motif hidup bermasyarakat yang dipagari oleh norma-norma sosial. Perlu pula diingat, dalam konsep Montesquieu, hukum yang memunculkan gagasan tentang Sang Pencipta pada pikiran manusia serta membuat manusia condong kepada-Nya, adalah hukum yang paling penting, kendati bukan yang pertama dalam tatanan hukum alam.[15]







[1]Simon Petrus L. Tjahjadi. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius. 2004 dalam  http://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke#cite_ref-Simon_7-61 diakses tanggal 10/10/13 pukul 20;52
[2] Harun Hadiwijono. 1983. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 36-39

[3] Dalam Bernard L. Tanya, Dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generas, 2010. Jhon locke dan montesquieu berada pada era yang sama yakni era Aufklarung akhir abad ke-17, dimana montesquieu muncul dengan teori trias politikanya setelah jhon locke di awal abad ke-18.
[4] Lihat Bernard L. Tanya, Dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm.72
                   [5] Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Penerjemah Sigit Jatmiko, dkk, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 824
                   [6] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2007, hlm. 81
                   [8] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran, Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 228-229
                   [9] Ibid, hlm. 229
                   [10] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 100
                   [11] Ahmad Suhelmi, Op.Cit., hlm. 230-231
                   [12] Disarikan dari Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 34-35
                   [14] Bernard L. Tanya, Dkk, Op.Cit., hlm. 81
                   [15] Ibid, hlm 83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar