1. John Locke
A. Pembagian
Kekuasaan Menurut John Locke
.jpg)
Lebih jauh mengenai cara yang kedua, John
Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two
Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu
dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda.
Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan
pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu:
1.
Kekuasaan Legislatif (membuat
undang-undang)
2.
Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan
undang-undang)
3.
Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan
diplomtik dengan negara-negara lain).
Unsur legislatif adalah kekuasaan untuk
membuat undang-undang dan merupakan kekuasaan tertinggi. Kekuasaan ini
dijalankan oleh Parlemen yang mewakili golongan kaya dan kaum bangsawan sebab
mereka, dengan kekayaannya, paling banyak menyumbangkan sesuatu kepada negara. Dalam
membuat undang-undang, kekuasaan legislatif terikat kepada tuntutan hukum alam
yaitu keharusan menghormati hak-hak dasar manusia. Unsur eksekutif adalah
pemerintah yang melaksanakan undang-undang, yaitu raja dan para bawahannya.
Terakhir, unsur federatif adalah kekuasaan yang mengatur masalah-masalah
bilateral, seperti mengadakan perjanjian damai, kesepakatan kerja sama, atau
menyatakan perang. Menurut Locke, kekuasaan federatif dapat
dipegang oleh pihak eksekutif, di mana dalam keadaan darurat pihak eksekutif
dapat mengambil tindakan yang melampaui wewenang hukum yang dimilikinya.
B. Teori Hukum Yang Mempengaruhi
Pemikiran Jhon Locke
Pemikiran Jhon locke banyak dipengaruhi
oleh filsafat alam, namun dalam perkembangannya pandanganya mengenai cara
pembatasannya kekuasaan memperlihatkan bahwa dia juga menganut mazhab
positivisme.
Sebagai penganut hukum alam abad ke-18[3],
Locke berpegang pada prinsip hukum alam zaman itu, yakni kebebasan individu dan
keutamaan rasio[4].
Cara berfikir abad ke-18 berbeda dengan teori hukum alam abad 17. Kerangka
berfikir teori hukum abad ke-17 bersifat induktif. Teorisasi didasarkan pada
realitas kenyataan, dan dengan teori yang dibangung secara indktif tersebut,
dikembangkan ekplanasi (penjelasan) terhadap realitas. Sedangkan teori abad
ke-18 mengambil posisi diskusi. Para pemikir era ini tidak menerima dan
menerangkan begitu saja kenyataan yang diamati, melainkan menggunakan rasio
untuk menilai kebenaran dan kenyataan tersebut. dengan mengandalkan rasio,
mereka membangun ideal-ideal tentang kenyataan yang sesuai dengan kenyataan
yang dimaksud.
Jhon locke dan thomas hobbes berangkat
dari konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara
alamaiah" atau yang lebih dikenal dengan konsep State of
Nature. Namun dalam perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran
yang sama sekali bertolak belakang satu sama lainnya. Jika Hobbes menganggap
manusia itu sebagai manusia yang sering mengalami perang antar sesamanya, dalam
bukunya The Second Treatise of Government Locke membayangkan keadaan asli
manusia sebagai sebuah firdaus. Dalam keadaan yang damai itu, manusia hidup
bermasyarakat dengan diatur oleh hukum-hukum kodrat dan masing-masing individu
memiliki hak-hak yang tidak boleh dirampas, dan dalam keadaan yang demikian
terdapat kesamaan dan kebebasan.
Negara, menurut Locke dibutuhkan untuk mempertahankan
keadaan asali yang bebas dan indevenden itu dalam masyarakat lewat kontrak
sosial yang diadakan oleh setiap individu. Inilah gagasan Locke mengenai asal
usul berdirinya sebuah Negara. Locke menetapkan bahwa pemerintahan merupakan
hasil sebuah kesepakatan, dalam hal ini kontrak sosial dan murni merupakan
urusan duniawi, serta bukan sesuatu yang ditetapkan otoritas suci[5].
Pemerintahan yang terbentuk dibatasi oleh hukum-hukum
dasar tertentu. Hukum-hukum itu melarang pemerintah merampas hak individu atau
hak milik. Karena tujuan pertama dan utama dari orang-orang yang bersatu dalam
sebuah Negara, dan menempatkan diri mereka di bawah pemerintahan adalah
penjagaan harta milik mereka. Locke menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi tidak
dapat mengambilalih hak milik seseorang tanpa persetujuan si pemilik.
Fungsi pokok pemerintah adalah menjaga hak milik pribadi[6].
Agar pemerintah dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan tentu saja untuk
tidak menjadi otoriter, tirani, maupun totaliter, Locke menerapkan konsep atau
doktrin Trias Politika. Trias Politika merupakan suatu prinsip normatif bahwa
kekuasaan-kekuasaan atau functions tidak diserahkan kepada orang yang sama
untuk mencegah penyalahangunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dan dengan
demikian diharapkan hak-ahak asasi warga Negara lebih terjamin.
2.
Montesquieu
A. Pembagian
Kekuasaan Menurut Montesquieu
Menurut
Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang
disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada
tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke.
Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan
kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a.
Kekuasaan
Legislatif (membuat undang-undang).
b.
Kekuasaan
Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c.
Kekuasaaan
yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep
yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu[7]:
a.
Menurut John Locke
kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yudikatif
karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan
federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b.
Menurut Montesquieu
kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan
luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif
harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
Trias Politica merupakan salah satu gagasan
brillian Montesquieu yang intinya bahwa agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan
dan terbentuknya kekuasaan mutlak yang sewenang-wenang, maka kekuasaan harus
dipisahkan menjadi tiga bagian, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang tugas utamanya adalah
membuat undang-undang. Lembaga legislatif merupakan refleksi dari kedaulatan
rakyat, meski rakyat yang dimaksud Montesquieu disini adalah dewan rakyat yang
terdiri dari wakil-wakil rakyat dan kaum bangsawan. Montesquieu dalam hal ini
mengacu pada dewan rakyat di zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno[8].
Gagasan ini muncul karena demi terjaminnya kebebasan
politik rakyat, perlu ada pemisahan kekuasaan. Kebebasan merupakan hal penting
dalam pemikiran Montesquieu. Sehingga hal ini pulalah yang menjadi dasar bagi
pemikirannya mengenai perlunya pemisahan kekuasaan. Gagasan ini
dilatarbelakangi oleh respon terhadap wacana kekuasaan yang hidup di masanya.
Montesquieu hidup di zaman raja-raja Eropa abad XVIII yang dipenuhi dengan
kekuasaan yang absolut dan anti kritik. Untuk menghindari itu semua, menurut
Montesquieu diperlukan pemisahan kekuasaan agar kekuasaan raja dapat dibatasi
dan tidak bersifat mutlak[9].
Montesquieu juga sepakat bahwa prinsip dasar dari
demokrasi adalah kebebasan. Ancaman bagi kebebasan jika kekuasaan legislatif
dan eksekutif disatukan. Begitu pula jika kekuasaan yudikatif dan eksekutif
serta legislatif tak dipisahkan akan terjadi absolutisme hukum dimana hakim
akan menjadi orang yang membuat hukum[10].
Prinsi demokrasi lain adalah rule of law, yang artinya negara harus
berdasarkan pada hukum. Hukum menjadi salah satu gagasan penting dalam
pemikiran Montesquieu. Ia memandang hukum sebagai sesuatu yang kompleks, selalu
berubah-ubah, dan dinamik. Karena itu, hukum sangat tergantung pada konteksnya,
seperti perbedaan tempat, waktu, adat istiadat dan tradisi, bahkan perbedaan
iklim dan letak geografisnya. Dalam konteks ini Montesquieu berpendapat bahwa
hukum memiliki dua sifat, yakni sifat umum dan sifat khusus. Khusus artinya
hukum harus pula mempertimbangkan iklim dan letak geografis suatu tempat serta
adat istiadat dimana hukum tersebut diberlakukan. Jika tidak, hukum menjadi
tidak efektif. Namun, Montesquieu juga mengemukakan adanya hukum universal,
berlaku umum untuk semua masyarakat[11].
Gagasan lain yang tak kalah pentingnya adalah mengenai
bentuk negara, yang oleh Montesquieu di klaim bahwa bentuk negara terbaik
adalah republik. Di dalam republik, rakyatlah yang berkuasa, memegang
kedaulatan dan memberikan legitimasi kepada orang-orang yang bisa dipercaya
untuk memerintah. Gagasan ini dilatarbelakangi oleh degradasi negara-negara
berbentuk monarki yang hancur akibat penguasanya yang tidak mematuhi hukum,
tidak menghormati rakyatnya dan masih berkuasa sewenang-wenang. Montesquieu
mengacu pada bentuk negara Monarki di Eropa, terutama Inggris dan Perancis[12].
B.
Teori
Hukum Yang Mempengaruhi Pemikiran Jhon Locke
Dalam filsafat ilmu politik pemikiran Montesquieu mengenai Trias
Politika berkaitan dengan aliran filsafat idealisme karena sangat menekankan
kepada demokrasi dalam tubuh pemerintahan yang tidak dapat ditemui dalam aliran
filsafat lainnya.[13]
Montesquieu yang nama lengkapnya: Charles-Louis de Secondat
de la Brede et de Montesquieu, adalah pemikir bidang hukum dan politik era
Aufklarung di Prancis. Dalam karya monumentalnya L'Esprit des Lois (Roh Hukum), la membahas raison d’etre bagi
hukum. la menegaskan, dalam suatu bentuk pemerintahan, suatu sistem hukum harus
ditemukan lebih daripada bisa ditemukan. Apa sebab? Karena sejatinya sistem
hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan
manusia. Dengan `ilham' metode empiris dari Aristoteles, Montesquieu berusaha
menemukan apa sebabnya suatu negara memiliki seperangkat hukum atau struktur
sosial dan politik tertentu? la bertolak dari sisi watak masyarakat.
Menurutnya, ada dua faktor utama yang membentuk watak suatu masyarakat.
Pertama, faktor fisik. Faktor fisik yang utama adalah iklim, yang menghasilkan
akibat-akibat fisiologis mental tertentu. Selain faktor iklim, keadaan daratan,
kepadatan penduduk, dan daerah kekuasaan suatu masyarakat juga turut
berpengaruh[14].
Kedua, adalah faktor moral. Menurut Montesquieu, seorang
legislator yang baik, bisa membatasi pengaruh faktor fisik sekecil mungkin dan
bahkan bisa membatasi akibat-akibat karena iklim tertentu. Dalam faktor moral
ini, terhimpun antara lain: agama, adat-istiadat, kebiasaan, ekonomi dan
perdagangan, cara berpikir, serta suasana yang tercipta di pengadilan.
Di samping teori yang bersifat sosiologis di atas,
Montesquieu juga berbicara tentang hukum alam. Perdamaian, menurut Montesquieu,
merupakan hukum kodrat yang pertama. Sedangkan hukum kodrat yang kedua adalah
mencari nafkah. Daya tarik yang timbul dari perbedaan jenis kelamin, merupakan
hukum kodrat yang ketiga. Meski manusia dan hewan sama-sama memiliki insting
sosialitas, namun manusia memiliki kelebihan berupa pengetahuan dan moralitas.
Kesadaran akali dan etis untuk hidup bersama, memunculkan hukum kodrat keempat,
yakni motif hidup bermasyarakat yang dipagari oleh norma-norma sosial. Perlu
pula diingat, dalam konsep Montesquieu, hukum yang memunculkan gagasan tentang
Sang Pencipta pada pikiran manusia serta membuat manusia condong kepada-Nya,
adalah hukum yang paling penting, kendati bukan yang pertama dalam tatanan
hukum alam.[15]
[1]Simon Petrus L. Tjahjadi. Petualangan Intelektual.
Yogyakarta: Kanisius. 2004 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke#cite_ref-Simon_7-61
diakses tanggal 10/10/13 pukul 20;52
[3]
Dalam
Bernard L. Tanya, Dkk, Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generas, 2010. Jhon locke dan
montesquieu berada pada era yang sama yakni era Aufklarung akhir abad ke-17,
dimana montesquieu muncul dengan teori trias politikanya setelah jhon locke di
awal abad ke-18.
[4]
Lihat
Bernard L. Tanya, Dkk, Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010, hlm.72
[7]
http://abstractive-sense.blogspot.com/2009/11/teori-kontrak-sosial-dari-jj-rousseau.html
diakses tanggal 10/10/13 pukul 20;52
[13]http://felixsharieff.wordpress.com/2009/12/15/pemikiran-montesqieu-mengenai-trias-politika/
diakses tanggal 10/10/13 pukul 20;52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar