MENANAM
BENIH ANTI KORUPSI
LEWAT
PENDIDIKAN TINGGI HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
.jpg)
Menurut Lawrence M. Friedman
komponen sistem hukum meliputi 3 hal, yaitu: 1). Strukur; 2). Substansi dan; 3).
Kultur hukum (budaya hukum). Dimana diantara ketiganya harus berjalan
beriringan yaitu struktur harus kuat, substansi harus selaras dengan rasa
keadailan masyarakat sedang budaya hukumnya harus mendukung tegaknya hukum,
jika salah satunya timpang mustahil hukum bisa ditegakkan. Oleh Prof. Sajtipto
Rahardjo ditambahkan satu lagi komponen sistem hukum yang tidak kalah penting
yaitu pendidikan tinggi hukum.[1]
Dari pendidikan tinggi hukum inilah diharapkan pembangunan hukum yang sejatinya
akan melahirkan budaya hukum dan sistem hukum yang baik bagi Indonesia dapat
terwujud.
Semangat pembangunan hukum lebih
ia tekankan melalui lembaga pendidikan pendidikan tinggi hukum yang di isi oleh
para ilmuan yang diharapkan mampu menyelaraskan kembali hukum dan lingkungan
sebagaimana dalam sebuah tulisannya Sajtipto Rahardjo mengatakan bahwa:[2]
“Sejak
hukum itu dijarah oleh banjir rasionalisme dan rasionalisasi, maka ia menjadi
institusi yang terisolasi dan asing…maka menjadi tugas para ilmuwannya untuk
mengutuhkan kembali hukum, menyatukan kembali hukum dengan lingkungan, alam dan
orde kehidupan yang lebih besar.”
Lembaga pendidikan pendidikan
tinggi hukum memang merupakan tempat yang tepat untuk menyemai bibit-bibit
unggul, untuk disebar dan ditanam pada institusi-institusi hukun dan non hukum.
Dari idialisme yang ditanamkan pada mereka di perguruan tinggi mengenai cita
hukum (rechtidee), budaya hukum, dan
tujuan hukum yang sesungguhnya diharapkan mampu tetap dijaga dan disebarkan
sehingga pemahaman tentang hukum tidak lagi setengah-setengah artinya bahwa
nilai hukum yang sebenarnya akan menjadi sempurna apabila telah menjadi satu
dengan budaya hukum di masyarakat.
Bukan suatu hal yang berlebihan jika menjadikan pendidikan
tinggi hukum sebagai ujung tombak pembangunan hukum di Indonesia. Dengan
melihat kenyataan bahwa selama ini institusi pendidikan tinggi hukum telah
menjadi gerbang utama pencetak ahli-ahli hukum yang profesional dan memiliki
kredibilitas yang tinggi (high
credibelity) seperti Prof Sajtipto Rahardjo, Prof. Dr. Mochtar Kusuma Atmadja
dan banyak lagi para ahli hukum yang lahir dari pendidikan tinggi hukum yang
tidak bisa disebutkan satu persatu. Yang mana berkat sumbangan pemikiran dari
mereka pembaharuan mengenai hukum dapat berjalan dan terus berlangsung.
Namun selama ini, pendidikan tinggi hukum seringkali
ditempatkan di luar sistem hukum yang ada, akibatnya kontribusi dan fungsi yang
seharusnya dapat dicapai dalam pembangunan hukun di Indonesia tidak maksimal. Misalnkan
dalam upaya pemberantasan korupsi dan tindakan-tindakan yang menyimpang dari
ketentuan hukum lainnya dapat dicegah sedari awal, dengan menanmkan benih-benih
anti korupsi dalam setiap jiwa para mahasiswa. Sebagaimana pandangan progresif
memandang hukum sebagai sistem perilaku (systems
of behavior) dan bagian dari moralitas sosial.
Untuk itu, penulis tertatik untuk menyelami lebih dalam
mengenai peran pendidikan tinggi hukum dalam upaya prefentif pembentuk karakter
anti korupsi, dengan menelaah secara kritis perjalanan hukum yang ada di
Indonesia dan merangkumnya menjadi sebuah pupuk progresif yang akan menyuburkan
benih-benih anti korupsi dan meyemainya menjadi sebuah tindakan anti korupsi.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis
bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut:
1.
Bagaimanakah pendidikan hukum di
Indonesia ?
2.
Menanam Benih Anti Korupsi Lewat
Pendidikan Hukum ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
Hukum di Indonesia
Pendidikan hukum di Indonesia
dewasa ini sebagian besar masih berkisar pada pemahaman dan analisis hukum
secara dogmatis yang melihat hukum sebagai lembaga yang benar-benar otonom
terlepas dengan hal-hal di luar peraturan. Hukum di lihat sebgai suatu sistem
yang logis konsisten, ada kecendrungan untuk mengarahkan pendidikan hukum pada
apa yang disebut vocational training.
Arah pendidikan hukum yang demikian memang dapat mencetak tenaga-tenaga
profesional di bidang hukum, tetapi bukan ilmuan hukum dalam arti sebenarnya
sebagaimana yang dikatakan oleh Sajtipto Rahardjo yaitu ilmuwan yang mampu
mengutuhkan kembali hukum, menyatukan kembali hukum dengan lingkungan, alam dan
orde kehidupan yang lebih besar. Tentunya dalam pembangunan hukum di Indonesia
dibutuhkan keduanya, tenaga-tenaga hukum yang profesional dan ilmuan yang
handal.[3]
Pendidikan hukum di Indonesia yang
tertutup dari pandangan bahwa ada hal-hal dari luar yang mempengaruhi hukum
selain peraturan selaras dengan apa yang disampaikan oleh Bagir Manan bahwa, struktur dan isi
pendidikan hukum dari dahulu sampai sekarang sangat ditekankan pada sistimatik
dan isi kaedah hukum. Sadar atau tidak sadar, keadaan tersebut menumbuhkan pola
pikir bahwa sistem hukum tidak lain dari kumpulan tatanan aturan hukum tertulis
dan tidak tertulis[4].
Dengan demikian, harus disadari benar bahwa pemikiran
tentang hukum, tidak lagi sebagai ajaran-ajaran hukum (rechtslehre) semata. Hukum harus mulai dikaji secara
interdisipliner, karena memang hukum akan selalu menyatu dalam setiap sendi
kehidupan masyarakat seperti politik, sosial budaya bahkan ekonomi. Sebagaiman
sebuah adagium yang mengatakan bahwa dimana ada masyarakat disana ada hukum (ubi sociatas ibi ius).
Mengenai hal ini Sinzheimer mengatakan bahwa hukum
tidak bergerak dalam ruang yang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang
abstrak. Melainkan, ia selalu berada dan berhadapan dengan tatanan sosial
tertentu dan manusia-manusia yang hidup[5].
Jadi, karena hukum mengatur banyak hal tentang kehidupan manusia sudah tentu membutuhkan
kajian yang tidak hanya terbatas pada hukum sebagai sebuah undang-undang
melainkan kajian hukum yang interdisipliner sebagai konsekuensi skin out sistem.
Harus diakui, tawaran tersebut mungkin dianggap
berlebihan untuk sebuah tradisi akademik yang melulu rechtsdogmatick. Sebab, sejak didominasi oleh alam pikiran
positivisme yuridis, pemikiran hukum di dunia akademik di indonesia memang
cenderung berhenti pada pada logika internal aturan formal. Orang hukum
cenderung membaca hukum secara literatur menurut logika aturan yang sudah
dibakukan.[6]
Seolah ilmu hukum hanya merupakan aturan formal belaka yang tercermin dalam
bentuk pasal-pasal.
Maka perlu adanya trobosan baru yang mampu
mengakomodir segala kebutuhan mengenai ilmu hukum yang interdisipliner, untuk
membentuk lulusan pendidikan hukum yang kompeten dan mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum, tidak hanya dalam spesialisasi hukum yang di
gelutinya saja tetapi juga hukum dalam arti yang kompleks.
B. Menanam Benih Anti Korupsi Lewat
Pendidikan Tinggi Hukum
Sejak Indonesia menyatakan
kemardekaannya isu korupsi terus berhembus dan saat ini hasil pengumuman
negara-negara korup yang dikeluarkan oleh Transparency International, sebuah
organisasi internasional yang bertujuan untuk memerangi korupsi- pada tahun 2013
Indonesia tercatat sebagai negara terkorup ke-114 di dunia, memang posisi ini
tidak terlalu buruk namun sampai kapan kita harus membiarkan korupsi terus
menerus terjadi. Pemberantasan korupsi melalui lembaga peradilan dirasakan kurang
efektif karena semakin lama semikin banyak saja orang-orang yang terjerat kasus
korupsi ini membuktikan bahwa lembaga peradilan tidak cukup efektif untuk
memberantas korupsi secara tuntas.
Perlu ada sebuah langkah solutif
yang harus segera dijalankan, guna meredam hasrat korupsi yang dimiliki oleh
setiap orang. Korupsi di Indonesia memang ibarat pohon yang akarnya menghujam
jauh ke pusat bumi, adalah sangat sulit untuk mencabut akar-akar yang sudah
menyebar kemana-mana, dan bahkan akar-akar baru terus tumbuh. Cara terbaik
untuk mematiakan akar-akar tersebut adalah dengan meracuninya dengan
spiritualisme dan/atau memberikannya obat anti korupsi. Dan tempat terbaik
untuk menanamkan kedua hal tersebut adalah pendidikan tinggi hukum.
Pendidikan tinggi hukum di
Indonesia memang telah terdoktrinisasi oleh paham legal-positivism sehingga logika berfikirnya adalah memberantas
bukan mencegah. Prof. Sajtipto Rahardjo memandang hukum sebagai sistem perilaku
(systems of behavior) dan bagian dari
moralitas sosial. Ketaatan berhukum adalah sebuah behavior yang terbentuk dari sebuah proses panjang dari
pemahamannya terhadap hukum.
Memahami hukum secara holistik,
bercermin dari kearifan filsafati barat dan spiritualisme timur dan lebih
mementingkan hati nurani dari pada ego nalar manusia yang miskin keadilan
adalah pokok ajaran dari hukum progresif yang selama ini telah ditamankan melalui
pendidikan tinggi hukum di Indonesia oleh Prof. Sajtipto Rahardjo.
Memberikan pemahaman mengenai anti
korupsi jelas bukan cuma berkutat pada pemberian wawasan dan pemahaman pada
mahasiswa. Tidak sekedar menghafal arti dari antikorupsi, Memberikan pemahaman
mengenai antikorupsi tidak berhenti pada penanaman nilai-nilai. Lebih dari itu,
pendidikan anti korupsi menyentuh pula ranah afektif dan psikomotorik. Dokrin-doktrin kearifan dan spiritualisme
yang di tanamkan lewat pendidikan tinggi hukum sebagai langkah menuju tindakan anti
korupsi akan melahirkan sebuah sikap yang jujur dalam berhukum, ikhlas dalam
beramal dan pengabdian yang tulus. Sehingga secara kodrati sikap, sifat dan
tindakan anti korupsi akan tumbuh dan berkembang menjadi sebuah mental positif untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran.
Akhirnya melalui institusi
pendidikan tinggi hukum dapat memutus mata rantai korupsi yang telah mengakar
jauh ke dalam semua aspek kehidupan manusia, seperti politik, ekonomi dan
hukum.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hingga saat ini kebiasaan dan
pemahaman hukum sebagai rechtsdogmatick
masih terus berkembang di sebagian besar pendidikan tinggi hukum yang ada di
Indonesia. Mahasiswa hanya dicekoki dengan pemahaman-pemahaman mengenai aturan legal-positivsm, sehingga yang terjadi
adalah mahasiswa hanya menjadi mesin pembuat aturan bukan sebagai engineer yang memahami seluk beluk
aturan yang di ciptakan, menyangkut nilai-nilai yang ada dibalik pasal-pasal
tersebut dan juga ikut mengembangkan hukum melalui pemahaman hukum (legal doctrine) dan analisis hukum (analytical law) yang dimiliki.
Dokrin-doktrin kearifan dan
spiritualisme yang di tanamkan lewat pendidikan tinggi hukum sebagai langkah
menuju tindakan anti korupsi akan melahirkan sebuah sikap yang jujur dalam
berhukum, ikhlas dalam beramal dan pengabdian yang tulus. Sehingga secara
kodrati sikap, sifat dan tindakan anti korupsi akan tumbuh dan berkembang
menjadi sebuah mental positif untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Manan, Bagir., “
Peranan Pendidikan Hukum dalam
Pembangunan dan Penegakkan Hukum untuk Masa Depan Indonesia”, Makalah
Disampaikan Pada Peresmian Digital Campus Univ. Pelita Harapan, Jumat, 20 Pebruari 2004.
Rahardjo,
Satjipto., “ Hukum Dalam Kerangka
Ilmu-Ilmu Sosial Dan Budaya”, Dalam Majalah Ilmiah Masalah-Masalah Hukum,
Nomor 1 tahun 1972.
________________., Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta:
UKI Press, 2006.
Tanya, Bernard
L. Dkk., Teori Hukum Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010
Wirasih, Esmi., Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sisologis,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010.
[1]
Disampaikan oleh DR.
Sulastriyono dalam Perkuliahan Sosiologi Hukum Magister Hukum
UGM, (Yogyakarta. Jum’at 4 Oktober 2013)
[2]
Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta:
UKI Press, 2006, hlm.34-35.
[3] Dalam Esmi Wirasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sisologis,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010, hlm. 141
[4] Prof. Bagir Manan, “ Peranan Pendidikan Hukum dalam Pembangunan
dan Penegakkan Hukum untuk Masa Depan Indonesia”, Makalah Disampaikan Pada
Peresmian Digital Campus Univ. Pelita Harapan,
Jumat, 20 Pebruari 2004, tanpa nomor
halaman
[5] Satjipto Rahardjo, “ Hukum Dalam Kerangka Ilmu-Ilmu Sosial Dan
Budaya”, Dalam Majalah Ilmiah Masalah-Masalah Hukum, Nomor 1 tahun 1972,
hlm. 23.
[6]
Dalam Bernard L. Tanya,
Dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang Dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar