Selasa, 08 Juni 2021

Contoh Surat Somasi Pribadi Tanpa Kuasa Hukum

 

Kepada

Yth. Chief Officer Dealer PT. XL Axiata Mataram

Di-

Jl. Sriwijaya No.301A, Kota Mataram.

 

 

Dengan hormat, yang bertanda tangan di bawah ini:

--------------------------------------- Khairul Umam, SH., MH. -------------------------------------------

Owner District Cell yang beralamat di Jalan Unizar Turida Barat RT 005 RW 280 Kelurahan Tuirda Kecamatan Sandubaya Kota Mataram, dengan ini menyampaikan peringatan (somasi) kepada Chief Officer Dealer PT. XL Axiata Mataram, sebagai berikut :

 

1.    Bahwa, Sales XL yang pernah ditugaskan di wilayah kerja Turida Barat atas nama Panji, telah meminjam kartu chip xl yang didalamnya berisi saldo lebih dari Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) sejak Desember 2020;

2.    Bahwa yang bersangkutan berjanji untuk mengembalikan chip tersebut sesuai dengan kondisinya semula pada awal bulan, akan tetapi sampai dengan hari ini, Jum’at 28 Mei 2021 yang bersangkutan belum mengembalikan chip yang telah dipinjam;

3.    Bahwa dengan dipinjamnya chip XL tersebut, konter kami tidak bisa mengklaim program-program yang telah disediakan oleh pihak XL dan tidak bisa melakukan transaksi penjualan dengan aplikasi SiDompul;

4.    Bahwa berdasarkah hal tersebut di atas, kami telah mengalami kerugian secara materil maupun non materil;

5.    Bahwa, apabila yang berdangkutan tidak memiliki iktikad baik untuk mengembalikan chip yang telah dipinjam, maka kami akan menempuh jalur hukum karena berdasarkan bukti-bukti dan keterangan saksi-saksi menurut kami Sales XL a.n Panji diduga melanggar Pasal 372 KUHP tentang penggelapan.

6. Berdasarkan hal-hal di atas, dengan ini kami menyampaikan peringatan (Somasi)  kepada Chief Officer Dealer PT. XL Axiata Mataram untuk segera memerintahkan yang bersangkutan mengembalikan chip tersebut d iatas kepada kami selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kalender sejak surat ini diterbitkan atau sampai dengan tanggal 5 Juni 2021. Apabila sampai dengan batas waktu yang kami berikan tidak mengindahkan-Nya maka Kami akan menempuh jalur hukum sesuai dengan per undang - undangan yang berlaku.


Demikian surat peringatan (somasi) ini di sampaikan agar Chief Officer Dealer PT. XL Axiata Mataram mengindahkannya dan segera melaksanakannya. Atas perhatiannya Kami ucapkan terimakasih.

  

Mataram, 29 Mei 2021

Hormat Kami,



Khairul Umam, SH., MH.

Minggu, 21 Juni 2020

Distorsi Informasi Bisa Gagalkan Penanganan Covid-19



Munculnya Corona Virus Disease (Covid-19) pertama kali di Wuhan, China sejak Desember 2019 lalu telah membuat panik lebih dari 121 negara di dunia. Penyebarannya yang begitu masif dan cepat membuat banyak negara kewalahan menangani banyaknya kasus posistif setiap harinya.

Menurut data World Health Organization (WHO) tercatat 7,145,539 kasus terkonfirmasi diseluruh dunia per 10 Juni 2020 dengan angka kematian mencapai 408,025.

Di Indonesia sendiri, kasus pertama Covid-19 menimpa dua warga Depok, Jawa Barat dan diumumkan langsung Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/3/2020). Setelah sebelumnya banyak tokoh negara mengatakan bahwa Indonesia bebas Covid-19.

Menteri Kesehatan Terawan pun mengklain bahwa Indonesia kebal Covid-19 karena imunitas yang baik, dan doa yang turut membantu menjaga warga Indonesia dari serangan virus yang muncul dari Wuhan itu, Sabtu (15/2/2020).

Data Covid-19 Indonesia Hari ini (11/6), menunjukkan angka 34.316 kasus positif dan 1.959 orang meninggal. Ironisnya gaya komunikasi dan informasi yang disampaikan pemerintah sering berubah-ubah.

Kondisi ini menyebabkan kegaduhan dimasyarakat, terlebih media sosial saat ini memiliki pengaruh informasi yang lebih kuat ketimbang informasi yang diberikan pemerintah. Banyaknya informasi yang beredar dimedia sosial lebih mudah diterima oleh masyarakat dan mudah pula disebarkan kembali.

Namun, informasi di media sosial tidak sepenuhnya baik dikonsumsi, lebih banyak berita yang tidak benar (hoax) beredar dibanding informasi yang falid dan berbasis data. Akibatnya komunikasi yang coba dibangun pemerintah dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 tidak memiliki daya apapun.

Distorsi Informasi

Kondisi pandemi Covid-19 yang kian menghawatirkan diperparah dengan distorsi Informasi (pemutarbalikan suatu fakta, aturan, dan sebagainya; penyimpangan-KBBI) yang terjadi dimasyarakat.

Informasi yang di terima oleh masyarakat tidak di cek kebenarannya terlebih dahulu, justru disebarkan tanpa sumber yang jelas. Hal ini, dapat memicu penyebaran informasi yang salah (misinformasi) dan/atau penyebaran informasi yang sengaja dibuat salah (disinformasi).
Akhirnya, banyak masyarakat yang berspekulasi tentang informasi Covid-19 mulai dari “teori konspirasi”, “Covid-19 adalah proyek rumah sakit”, Dokter terima uang 100 juta”, “semua orang yang masuk rumah sakit divonis positif Covid-19”, sampai kasus terbaru “rumah sakit sogok keluarga pasien agar jenazah dinyatakan posisif”.

Distorsi infomasi ini menyebabkan kegaduhan dimasyarakat bahkan sampai pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang disampaikan pemerintah dalam upaya melakukan pencegahan Covid-19.

Buktinya ada keluarga pasien posisitf Covid-19 yang meninggal dunia menolak  dimakamkan dengan tatacara Covid-19 sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 14 Tahun 2020 mengenai cara mengurus jenazah yang meninggal akibat Covid-19. Ada yang justru mengambil paksa jenazah kemudian memandikan dan mengubukannya bersama masyarakat.

Jika demikian, pemerintah perlu mengupayakan komunikasi ulang (recommunication) kepada masyarakat tentang kondisi yang sedang terjadi dan upaya pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid-19 ini. Jika tidak, bukan tidak mungkin segala upaya penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah akan gagal.

Komunikasi dimasa pandemi

Dimasa pandemi seperti sekarang ini, komunikasi menjadi sangat penting terutama komunikasi elit pemerintah dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Kebijakan yang selalu berubah-ubah berpotensi menghadirkan komunikasi yang buruk.

Selain kebijakan yang berubah-ubah, informasi yang disampaikan sepihak dan bebas juga dapat memperkeruh komunikasi. Padahal pada masa pandami setiap kata menjadi sangat penting. Seperti halnya bentuk komunikasi risiko lainnya, ancaman yang muncul ini menciptakan tantangan bagi komunitas medis dan kesehatan masyarakat untuk berkomunikasi dengan cara yang akurat, kredibel, tepat waktu, dan meyakinkan. (Barbara Reynolds dan Matthew Seeger dalam Crisis and Emergency Risk Communication as an Integrative Model).

Penyampain informasi yang kurang akurat, kridibel, tepat waktu dan meyakinkan menjadi masalah komunikasi yang serius dimasa pandemi. Banyak konten dimedia sosial yang terlanjur viral dan terlambat diklarifikasi sehingga memunculkan perspektif baru dimasyarakat.

Pesan-pesan dengan konten yang misinformasi dan disinformasi dengan mudah menyebar melalui media sosial seperti Facebook dan group Whatsapp. Krisis komunikasi ini sepertinya luput dari perhatian pemerintah untuk segera diklarifikasi dan menyediakan data yang ril.

Informasi teranyar pernah dilontarkan salah seorang Direktur Rumah Sakit di kota mataram mengenai Covid-19. Dalam pernyataannya yang terlanjur viral di media online dan media sosial ia meyakini virus corona tidak berbahaya bagi orang yang tidak memiliki riwayat sakit parah dan menganjurkan agar masyarakat beraktifitas seperti biasa.

Tentu ini bukan langkah bijak dalam berkomunikasi di tengah pandemi, apalagi belakangan pernyataan tersebut mendapat teguran dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) NTB.

Dalam masa pandemi seperti sekarang ini, setiap ahli perlu menahan diri untuk menyampaikan pendapatnya dimuka umum secara bebas, alangkah baiknya jika pandangan-pandangan tersebut disampaikan melalui kanal yang resmi, seperti Tim Gugus Tugas Penanganan Covid atau melalui organisasi profesi seperti IDI sehingga tidak menimbulkan kontrofersi dan membingungkan masyarakat.  

Jika hal serupa terus dilakukan, tak heran, banyak masyarakat yang kemudian mengambil langkah ekstrim mempertahankan pendapatnya mengenai wabah Covid-19 yang bisa jadi merupakan informasi yang salah atau sengaja dibuat salah bahkan bisa saja masyarakat salah menangkap.

Pemerintah sejatinya adalah mata angin bagi masyarakat ditengah pandemi yang patut kita ikuti, oleh karenanya pemerintah perlu menyusun penangan Covid-19 dengan sungguh-sungguh dan mengkomunikaskannya dengan lebih baik dan bijak.

Sabtu, 13 Juni 2020

URGENSI PENDIDIKAN MORAL PANCASILA SEBAGAI REFLEKSI HARI LAHIR PANCASILA


Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia merdeka, yang dinamakannya "Pancasila". Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Junbi Cosakai “Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPK”. Sejak saat itu, 1 Juni diingat sebagai hari lahirnya Pancasila.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pancasila berarti aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa; kelakuan atau perbuatan yang menurut adab (sopan santun); dasar, adab, akhlak, moral. Sedangkan Menurut Ir.Soekarno, Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan barat. Dengan demikian, Pancasila tidak hanya falsafah bangsa tetapi lebih luas lagi yakni falsafah bangsa Indonesia.
Menurut Muhammad Yamin, “Pancasila” dalam bahasa sansekerta memilki dua macam arti secara leksikal yaitu : “panca” yang artinya “lima” dan “syila” vokal i pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”, sedangkan “syiila” dengan vokal i panjang memiliki arti “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”.
Dari pengertian di atas dapatlah dipahami bahwa pancasila bukan sekedar dasar negara melainkan lebih pada aturan tingkah laku, akhlak dan moral bangsa. Oleh karena itu, dengan mengamalkan nilai-nilai pancasila diyakini dapat membentuk karakter manusia yang memiliki tingkah laku yang baik, berakhlakul karimah dan bermoral.
Pada masa sebelum reformasi, Pendidikan Moral Pancasila adalah pelajaran wajib di sekolah-sekolah. Tujuannya tak lain adalah membentuk masyarakat bangsa Indonesia yang berjiwa pancasilais. Bahkan tak hanya Pendidikan Moral Pancasila atau yang dikenal dengan PMP itu, ada juga Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa, yaitu sebuah panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara.
Jika PMP hanya ada di sekolah-sekolah beda halnya dengan P4. Ia merupakan penjabaran dari lima sila pancasila yang berisi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila untuk diamalkan seluruh rakyat Indonesia.


Pendidikan Moral Pancasila dalam Perdebatan

“Waspadalah terhadap orang atau golongan yang selalau mengecam dan mengejek Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah-sekolah, karena pada dasarnya, orang atau golongan tersebut tidak bersedia menerima dan menghayati Pancasila sebagai elemen sistem nilai dan ide vital bangsa dan negara nasional kita.”
Begitulah kata-kata yang pernah diucap Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia ke-16 Daud Yusuf di depan civitas akademika Universitas Nusa Cendana di Kupang (Suara Karya, 22 September 1982). Sebelumnya, beliau juga pernah berucap bahwa Meniadakan PMP sama saja dengan meniadakan Pancasila. (Suara Karya, 10 Juli 1982). Sebagaimana telah disunting oleh Muhammad Cheng Ho, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB).
Kata-kata itu melatarbelakangi Mohammad Natsir menulis sebuah artikel di majalah Panji Masyarakat No. 375 berjudul “ Tolong Dengarkan Pula Suara Kami”. Beliau adalah seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia juga merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, tokoh Islam terkemuka Indonesia. Pernah menjabat sebagai menteri dan perdana menteri Indonesia. Tulisannya itu bisa menjadi sebuah refresi berpikir tentang bagaimana seharusnya menyikapi moral anak bangsa yang telah jauh meninggalkan pancasila.
Pendapat yang akhir-akhir ini bermunculan terkait tuntutan beberapa orang agar mengembalikan Pendidikan Moral Pancasila ke sekolah- sekolah sebagai upaya rehablitasi moral generasi penerus bangsa yang sudah tak sejalan dengan budaya ketimuran. Keinginan tersebut sepertinya perlu diredam dan perlu di pikirkan ulang dulu. Sebab tak banyak orang yang benar-benar tahu mengapa Pendidikan Moral Pacasila  waktu itu dihapuskan.
Pendidikan Moral Pancasila pada waktu itu memiliki berbagai persoalan terutama terkait penafsiran keagamaan, sehingga buku-buku Pendidikan Moral Pancasila yang beredar perlu di tinjau. Tim peninjau buku Pedidikan Moral Pancasila pun telah menemukan berbagai kesalahan yang menjadi perdebatan serius, maka perlu segera untuk diselesaikan.
Oleh karena yang demikian itulah, delegasi para Alim Ulama dan pemimpin-pemimpin Ormas-Ormas Pendidikan Islam pada waktu itu mengajukan suatu petisi sebagai salah satu jalan keluar dari kemelut buku Pendidikan Moral Pancasila, yang berisi:
1.      Buku Pendidikan Moral Pancasila jangan dipakai lagi di sekolah-sekolah. Diganti dengan buku pelajaran kewarganegaraan (civic). Namakanlah “Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila”. Ini lebih cocok dengan materinya. Istilah “moral” mempunyai konotasi lain bagi umat beragama Samawi.
2.      Kosongkan samasekali buku tersebut dari pembicaraan-pembicaraan tentang ajaran agama manapun. Jangan diteruskan menanamkan ajaran aliran kebatinan dan syncretism kepada anak-anak didik dalam mata pelajaran ini atas nama “Moral Pancasila”.
3.      Soal agama adalah soal yang amat sensitif. Serahkan sajalah kepada guru-guru agama yang lebih berhak berbicara tentang agama masing-masing. Besar resikonya bila urusan dalam agama dicampuri oleh orang luar.


Momentum Rekonseptualisasi

Pertanyaan yang muncul saat ini adalah apakah Pendidikan Moral Pancasila perlu dibangkitkan kembali dari tidur panjangnya. Di saat moral generasi penerus bangsa terus menerus mengalami degradasi.
Sebaiknya kita jangan terburu-buru mengatakan bahwa Pendidikan Moral Pancasila perlu ada di sekolah-sekolah saat ini juga. Pandangan Moh. Natsir barangkali bisa menjadi perenungan dan bahan pertimbangan.
Sudah semestinya nilai-nilai pancasila kembali ditumbuhkan dalam segala aspek kehidupan. 1 Juni 2016 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi menetapkan  tanggal 1 juni sebagai hari lahir Pancasila. Momentum ini penting dan menjadi tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia untuk menggelorakan kembali semangat ber-Pancasila.
Konsep Pendidikan Moral Pancasila perlu di koreksi dan di rekonstruksi agar tidak kembali menimbulkan kegaduhan. Konstruksi yang ditawarkan oleh Moh. Natsir untuk mengganti pelajaran Pendidikan Moral Pancasila menggunakan konsep yang lebih tepat dan sesuai dengan tujuan membentuk semangat ber-Pancasila perlu mendapat perhatian.
Sesungguhnya tanpa kata “moral’, Pancasila sudah mengajarkan bagaimana bertingkah laku yang baik, berakhlak dan bermoral. Maka sudah tepatlah konsep pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang sempat dihapus dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Aturan itu menghilangkan pendidikan Pancasila dari kurikulum pendidikan sekolah dan perguruan tinggi dan digantikan dengan pelajaran Kewarganegaraan saja. Konsekuensinya nilai-nilai pancasila, seperti musyawarah, gotong-royong, kerukunan, saling hormat-menghormati ditinggalkan.
Momentum hari lahir pancasila diharapkan mampu mengembalikan pendidikan pancasila ke pangkuan sekolah-sekolah dan di cicipi anak-anak bangsa ini. Konsepnya tentu tak harus melalui Pendidikan Moral Pancasila. Pancasila sendiri sudah mencakup moral dan memperbaiki moral tidak cukup dengan pancasila. Harus ada sentuhan spiritual keagamaan yang dapat berjalan beriringan tanpa saling bersinggungan dengan pendidikan pancasila.

SERDADU KEHIDUPAN


Ia dilahirkan untuk berjuang
Melawan kerasnya kehidupan
Rasa letih adalah kawan seperjuangannya
Putus asa adalah musuh abadinya

Pahitnya perjuangan hanya ia yang rasa
Melawan kebodohan
Melawan kemalasan
Melawan kehinaan
Melawan dosa-dosanya

Namun kemenangan bukan hanya miliknya
Tapi juga...
Milik ibunya
Milik bapaknya
Milik saudaranya
Milik kakek dan neneknya
Milik paman dan bibinya
Bahkan milik tetangga dan desanya

Serdadu kehidupan hanya tersenyum sebentar kemudian kembali berjuang
Sebab selama masih hidup, ia masih serdadu kehidupan

Serdadu kehidupan
Hidup dalam tawanya
Hidup dalam tangisnya
Hidup dalam kemurungan
Hidup dalam kebahagiaan
Tak ada yang abadi banginya

Serdadu kehidupan
Tinggal di bawah kolong jembatan
Tinggal di pinggir sungai
Tinggal di samping rel kereta api
Tinggal di atas grobak
Tidurnya beralaskan kardus dan koran bekas

Ini hidup atau kematian
Menyakitkan juga menyenangkan
Serdadu kehidupan
Bersenjatakan kesyukuran
Bertameng kesabaran

Serdadu kehidupan hanya bersedih sebentar lalu kembali berjuang
Sebab kematian bukan akhir kehidupan, walau sudah mati ia tetaplah serdadu kehidupan.

Minggu, 01 Juli 2018

Tahun Politik Rentan Perpecahan : Perkuat Semangat Persatuan


Segala keberagaman yang ada di Indonesia dapat bersatu dalam bingkai persatuan. Oleh karena itu, persatuan haruslah menjadi simpul bagi setiap perbedaan dan keberagaman di Indonesia. Letak geografis Indonesia yang berada dijantung dunia menyebabkan tumbuhnya berbagai corak tatanan kehidupan. Keberagaman Ras, Suku, Agama, Sosial dan Budaya di Indoesia telah menjadi warna tersendiri bahkan menjadi daya tarik.
Konsep persatuan “Bhinneka Tunggal Ika” sejatinya telah lahir lebih dulu, jauh sebelum Negara Republik Indonesia menjadi dewasa. Adalah Empu Tantular orang yang pertama kali menuliskan sesanti atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam kakawin Sutasoma, disana tertulis “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa,” yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua”.
Semboyan “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa” merupakan prinsip kerajaan Majapahit yang kemudian oleh raja Hayam Wuruk (Maharaja Sri Rajasanagara) digunakan untuk mengantisipasi keanekaragaman agama yang dipeluk rakyat Majapahit pada masa itu. Hal tersebut dibuktikan dengan kerjasama yang baik antara Hayam Wuruk yang beragama Hindu dengan Patihnya Gajah Mada yang beragama Buddha.
Dengan demikian semboyan Bhinneka Tunggal Ika bagi Indonesia merupakan dasar untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia, meskipun Indonesia memiliki keberagaman suku, agama, budaya, ras dan kehidupan sosial.  Untuk itulah pada tahun 1951, pemerintah Indonesia menetapkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951, pemerintah telah menegaskan bahwa sejak tanggal 17 Agustus 1950, Bhinneka Tuggal Ika resmi menjadi semboyan Negara Republik Indonesia yang terdapat pada lambang burung garuda yang menengok ke sebelah kanan, mengalungkan perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai sambil mencengkram pita yang bertuliskan “BHINNEKA TUNGGAL IKA”
Pada perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 konsep persatuan itu juga dituangkan dalam pasal 36A yang berbunyi “ Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika”.
Sejarah singkat semboyan Bhinneka Tunggal Ika di atas semestinya dapat mengingatkan kita akan arti pentingnya persatuan dan kesatuan. Beberapa bulan belakangan kondisi politik bangsa Indonesia sedang memanas, hal ini menyebebkan tumbuhnya benih-benih perpecahan di tengah masyarakat sebagai konsekuensi logis dari demokratisasi dan pertarungan politik.
Keberagaman Indonesia sudah seharusnya dikelola dengan baik sebagaimana Hayam Wuruk mengelola keberagaman Majapahit. Isu SARA yang kemudian muncul kepermukaan semestinya dapat dihindari jika saja sikap tolerasi selalu dikedepankan.
Sikap toleransi dalam kehidupan beragama sebenarnya sudah diajarkan pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bahkan sejak duduk di kelas VII SMP/MTs.  Disebutkan bahwa beberapa perilaku yang perlu diwujudkan ditengan keberagaman agama di Indonesia antara lain, tidak mencela dan merendahkan agama umat agama lain, mengamalkan ajaran agama masing-masing sebaik-baiknya, dan sikap-sikap toleransi lainnya.
Pelajaran bertoleransi menjadi penting untuk dipikirkan kembali sebagai upaya menciptakan tatanan bernegara yang kondusif. Hal ini penting, belajar dari kasus seorang kepala daerah yang dianggap tidak dapat memahami bagaimana cara bertoleransi, hanya karena ingin kembali duduk sebagai kepala daerah, seorang figur yang dihormati dan menjadi contoh bagi masnyarakat secara terang-terangan telah menggunakan kitab agama umat lain yang bukan agamanya sebagai khotbah politik yang berujung pada vonis dua tahun penjara akibat kasus penodaan agama.
Kasus ini kemudian melebar menjadi benturan antar suku, etnis, ras, dan golongan. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja, implikasinya sudah nyata terlihat, kedatangan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah hari sabtu tanggal 13 Mei 2017 ke Manado Sulawesi Utara, mendapat penolakan. Ribuan orang mendatangi Bandara Sam Ratulangi Manado untuk mencari Fahri Hamzah dengan cara  menjebol pagar pembatas bandara kemudian merangsek masuk ke dalam bandara yang seharusnya steril. Diantara massa tersebut ada yang menggunakan pakaian adat dan membawa senjata tajam.
Simbol-simbol kesukuan dan agama sebaiknya tidak ditonjolkan ketika melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai moral dan kepatututan, karena dapat menjurus kepada konflik antar suku, agama dan golongan yang semakin luas.
Belum lagi isu-isu yang sedang viral dimedia sosial, saling serang dengan mengangkat hal-hal yang berbau kesukuan, etnis, agama dan golongan menjadi suguhan rutin diberanda facebook. Sebuah akun facebook dengan nama Andi Setiono Mangoenprasodjo mengunggah tulisan yang dianggap merendahkan suku Sasak dan daerah Lombok juga menjadi viral dan sampai dilaporkan ke polisi. Kasus-kasus semacam inilah yang, dapat menyulut perpecahan dalam masyarakat.
Tentu kita tidak ingin mengulang sejarah perpecahan antar masyarakat akibat isu SARA seperti di Ambon, Poso,  Maluku dan tempat-tempat lainya. Rasa sukuisme, bela agama dan cinta budaya adalah hal yang wajar ada. Faktor terjadinya konflik semacam itu tidak hanya diakibatkan oleh doktrin agama semata melaikan ada foktor non agama justru memiliki peran yang lebih besar, sepert; kesenjangan ekonomi, kepentingan politik, perbedaan nilai sosial budaya, kemajuan teknologi informasi dan transportasi.
Oleh karena itu, konsep-konsep persatuan seperti Bhinneka Tunggal Ika harus kembali ditamankan dengan benar, sehingga benar-benar mengakar dalam keperibadian masyarakat Indonesia yang plural. Sikap toleransi dalam keberagaman Agama, Etnis, Suku, Ras, Budaya dan Kehidupan Sosial harus dikedepankan dan  kembali merajut persatuan dalam bingkai “BHINNEKA TUNGGAL IKA”.   

Jumat, 25 November 2016

PERGERAKAN BUKAN HANYA DENGAN PERLAWANAN



Kata “Pergerakan” merupakan representatif dari perjuangan yang dilakukan oleh kelompok orang atau organisasi menuju arah perbaikan hajat hidup yang lebih baik disebabkan rasa ketidakpuasan terhadap keadaan masyarakat yang ada. Namun, sesungguhnya istilah pergerakan mengandung arti yang sangat luas. Meliputi gerakan dalam baerbagai sektor seperti sosial, ekonomi, pendidikan, agama, budaya, dan sebagainya.
Faktor yang menyebabkan terjadinya suatu pergerakan pun demikian, memiliki bebagai faktor seperti faktor sosial, faktor ekonomi, faktor politik, faktor agama dan lain sebagainya. Dalam sejarah pergerakan nasional faktor-faktor tersebut dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu faktor  yang berasal dari luar negeri (Ekternal) dan Faktor yang berasal dari dalam negeri (Internal).
Faktor eksternal sebelum Indonesia mardeka tentu berbeda dengan faktor eksternal pada saat Indonesia telah mardeka, walaupun sebenarnya Indonesia saat ini masih terjajah secara ekonomi dan politik. pada waktu itu (sebelum Indonesia mardeka) pada umumnya bangsa-bangsa di Asia sedang menghadapi imperialisme Barat sehingga mendorong bangkitnya rasa nasionalisme dan melahirkan pergerakan-pergerakan melawan imprialisme.
Dari sisi faktor internal, pergerakan muncul karena rasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah, rasa ketidakadilan yang diterima, kemiskinan, penjajahan disamping itu juga lahirnya cendikiawan-cendikiawan yang menginginkan kemardekaan dan lain-lain. Dengan demikian muncul organisasi seperti Budi Utomo, Serikat Islam, Muhammadiayah atau berbagai organisasi lainnya, dengan tujuan pergerakan yang berbeda-beda satu sama lainnya.

Pertanyaan yang kemudian perlu dijawab adalah apakah pergerakan harus dilakukan dengan perlawanan. Mungkinkah pergerakan dilakukan tanpa perlawanan. Jawabannya tentu sangat tergantung pada tujuan dan waktu pergerakan itu lahir. jika tujuannya adalah kemardekaan, keluar dari penindasan, merebut keadilan yang tidak diberikan. Maka pergerakan itu mesti dengan perlawanan. Akan tetapi, jika tujuan pergerakan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, memurnikan ajaran agama agar sesaui dengan al-quran dan al-hadist sebagaimna yang dilakukan oleh muhammadiayah tentu tak perlu melalui jalur perlawanan.

Sama halnya dengan istilah “pergerakan”, istilah “perlawanan” atau “melawan” meiliki dimensi yang luas, tergantung pada sudut pandang masing-masing. Meskipun demikian kata “perlawanan” atau “melawan” identik dengan pertentangan (lihat KBBI). Istilah perlawanan  menggambarkan proses atau cara (cara atau proses bisa bermacam-macam) sedangkan istilah melawan menggambarkan tujuan (tujuannya satu yaitu menang) karena dalam KBBI
melawan diartikan sebagai tindakan menghadapi (berperang, bertinju, bergulat, dan sebagainya), menentang.

***
“Pergerakan bukan hanya dengan perlawanan”, statment ini lahir dari pemikiran bahwa pergerakan bukan semata-mata muncul dari konflik kepentingan antara yang superoir dengan inferior. Dimana yang inferoir selalu menjadi tokoh yang melakukan perlawanan. Dalam lingkaran sejarah memang pergerakan lahir sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan sosial. Namun, saat ini apakah pergerakan itu hanya sebatas perlawanan ataukah memiliki bentuk dan cara yang lebih variatif.

Berangkat dari pertanyaan tersebut, saya ingin mengatakan bahwa pergerakan sejatinya memiliki tujuan perubahan, ntah melalui perlawanan atau tidak. Pergerakan yang mencari jalan keluar melalui perlawanan adalah sah-sah saja dan suatu tindakan yang luar biasa selama tujuannya adalah kebaikan, ketertiban, dan kesejahteraan. Pergerakan yang dilakukan dengan jalan yang lebih lembut seperti membentuk dan menjalankan organisasi dengan program-program tertentu dalam rangka mencapi kebaikan, ketertiban dan kesejahteraan pun tidak ada salahnya.

Analogi yang mengatakan menyulap sebidang tanah yang penuh semak belukar menjadi sebuah taman, berarti kita harus “menebas” atau mungkin “membakar” agar tak ada lagi semak belukar yang menggagu dan tercapailah tujuan memiliki taman yang indah adalah sah-sah saja. Namun, jika analoginya adalah sebidang tanah yang tak memiliki semak belukar namun tanah itu hanya gersang, maka mungkin kita tak perlu “parang” atau “api”, melainkan  cukup dengan air untuk menyiram lalu menanam berbagai jenis tanaman yang bisa bermanfaat.

Pertanyaannya apakah menyiram tidak membutuhkan perjuangan? Jawabannya tentu saja butuh perjuangan. Apakah butuh perlawanan? Mungkin saja, jika perlawanan ditafsirkan dalam dimensi ”usaha” atau ‘upaya” untuk menyiram, kita perlu melawan kemalasan kita untuk menyiram.

Kata “melawan” harus diposisikan dalam kondisi yang lebih kontekstual seperti melawan penjajahan, melawan kesewenang-wenangan, melawan ketidak-adilan termasuk melawan tuan tanah yang tidak adil terhadap petani. Sedangkan untuk kondisi-kondisi dimana tidak ada pertentangan yang riil maka saya lebih menggunakan istilah “usaha” atau “upaya”, istilah itu adalah lebih kontekstual. Misalnya seperti memperjuangkan (jika “pergerakan” diidentikkan dengan “perjuangan”) cinta seorang wanita, dimana ayah wanita itu menolak memberikan restunya. Lalu apakah perjuangan yang kita lakukan harus dengan perlawanan. Tentu tidak, mungkin kita perlu usaha yang lebih untuk meyakinkan ayahnya.

Jika kata “melawan” diletakkan pada ranah yang tidak kontekstual, maka kita akan terus menerus menjadi musuh bagi diri kita sendiri. Jadi perjuangan tidak hanya dilakukan dengan melawan. Sangat tergantung pada konteks dan kontektualitasnya.

Semoga tulisan ini bisa mengisi khazanah pemahaman tentang pergerakan, perjuangan, perlawanan dan melawan diantara banyaknya pemahaman kita yang beraneka ragam.