Pada tanggal 1
Juni 1945, Bung Karno menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia
merdeka, yang dinamakannya "Pancasila". Pidato yang tidak
dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh
segenap anggota Dokuritsu Junbi Cosakai “Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia atau BPUPK”. Sejak saat itu, 1 Juni diingat sebagai hari
lahirnya Pancasila.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pancasila berarti aturan yang melatarbelakangi
perilaku seseorang atau bangsa; kelakuan atau perbuatan yang menurut adab
(sopan santun); dasar, adab, akhlak, moral. Sedangkan Menurut Ir.Soekarno,
Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian lamanya
terpendam bisu oleh kebudayaan barat. Dengan demikian, Pancasila tidak hanya
falsafah bangsa tetapi lebih luas lagi yakni falsafah bangsa Indonesia.
Menurut Muhammad
Yamin, “Pancasila” dalam bahasa sansekerta memilki dua macam arti secara
leksikal yaitu : “panca” yang artinya “lima” dan “syila” vokal i pendek artinya
“batu sendi”, “alas”, atau “dasar”, sedangkan “syiila” dengan vokal i panjang
memiliki arti “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang
senonoh”.
Dari pengertian
di atas dapatlah dipahami bahwa pancasila bukan sekedar dasar negara melainkan
lebih pada aturan tingkah laku, akhlak dan moral bangsa. Oleh karena itu,
dengan mengamalkan nilai-nilai pancasila diyakini dapat membentuk karakter
manusia yang memiliki tingkah laku yang baik, berakhlakul karimah dan bermoral.
Pada masa
sebelum reformasi, Pendidikan Moral Pancasila adalah pelajaran wajib di
sekolah-sekolah. Tujuannya tak lain adalah membentuk masyarakat bangsa
Indonesia yang berjiwa pancasilais. Bahkan tak hanya Pendidikan Moral Pancasila
atau yang dikenal dengan PMP itu, ada juga Pedoman Penghayatan dan Pengalaman
Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa, yaitu sebuah panduan tentang
pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara.
Jika PMP hanya
ada di sekolah-sekolah beda halnya dengan P4. Ia merupakan penjabaran dari lima
sila pancasila yang berisi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi
pelaksanaan Pancasila untuk diamalkan seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan Moral Pancasila dalam Perdebatan
“Waspadalah terhadap orang atau
golongan yang selalau mengecam dan mengejek Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di
sekolah-sekolah, karena pada dasarnya, orang atau golongan tersebut tidak
bersedia menerima dan menghayati Pancasila sebagai elemen sistem nilai dan ide
vital bangsa dan negara nasional kita.”
Begitulah kata-kata
yang pernah diucap Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia ke-16 Daud
Yusuf di depan civitas akademika Universitas Nusa Cendana di Kupang (Suara
Karya, 22 September 1982). Sebelumnya, beliau juga pernah berucap bahwa Meniadakan
PMP sama saja dengan meniadakan Pancasila. (Suara Karya, 10 Juli
1982). Sebagaimana telah disunting oleh Muhammad Cheng Ho, Pegiat Jejak Islam
untuk Bangsa (JIB).
Kata-kata itu melatarbelakangi Mohammad Natsir menulis sebuah artikel
di majalah Panji Masyarakat No. 375 berjudul “ Tolong Dengarkan Pula Suara
Kami”. Beliau adalah seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan
Indonesia. Ia juga merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi,
tokoh Islam terkemuka Indonesia. Pernah menjabat sebagai menteri dan perdana
menteri Indonesia. Tulisannya itu bisa menjadi sebuah refresi berpikir tentang
bagaimana seharusnya menyikapi moral anak bangsa yang telah jauh meninggalkan
pancasila.
Pendapat yang akhir-akhir ini bermunculan terkait tuntutan beberapa
orang agar mengembalikan Pendidikan Moral Pancasila ke sekolah- sekolah sebagai
upaya rehablitasi moral generasi penerus bangsa yang sudah tak sejalan dengan
budaya ketimuran. Keinginan tersebut sepertinya perlu diredam dan perlu di
pikirkan ulang dulu. Sebab tak banyak orang yang benar-benar tahu mengapa Pendidikan
Moral Pacasila waktu itu dihapuskan.
Pendidikan Moral Pancasila pada waktu itu memiliki berbagai persoalan terutama
terkait penafsiran keagamaan, sehingga buku-buku Pendidikan Moral Pancasila
yang beredar perlu di tinjau. Tim peninjau buku Pedidikan Moral Pancasila pun
telah menemukan berbagai kesalahan yang menjadi perdebatan serius, maka perlu
segera untuk diselesaikan.
Oleh karena yang
demikian itulah, delegasi para Alim Ulama dan pemimpin-pemimpin Ormas-Ormas
Pendidikan Islam pada waktu itu mengajukan suatu petisi sebagai salah satu
jalan keluar dari kemelut buku Pendidikan Moral Pancasila, yang berisi:
1. Buku
Pendidikan Moral Pancasila jangan dipakai lagi di sekolah-sekolah. Diganti
dengan buku pelajaran kewarganegaraan (civic). Namakanlah “Pendidikan
Kewarganegaraan Pancasila”. Ini lebih cocok dengan materinya. Istilah “moral”
mempunyai konotasi lain bagi umat beragama Samawi.
2. Kosongkan
samasekali buku tersebut dari pembicaraan-pembicaraan tentang ajaran agama
manapun. Jangan diteruskan menanamkan ajaran aliran kebatinan dan syncretism
kepada anak-anak didik dalam mata pelajaran ini atas nama “Moral Pancasila”.
3.
Soal agama adalah soal
yang amat sensitif. Serahkan sajalah kepada guru-guru agama yang lebih berhak
berbicara tentang agama masing-masing. Besar resikonya bila urusan dalam agama
dicampuri oleh orang luar.
Momentum Rekonseptualisasi
Pertanyaan yang muncul saat ini adalah apakah Pendidikan Moral
Pancasila perlu dibangkitkan kembali dari tidur panjangnya. Di saat moral
generasi penerus bangsa terus menerus mengalami degradasi.
Sebaiknya kita jangan terburu-buru mengatakan bahwa Pendidikan Moral
Pancasila perlu ada di sekolah-sekolah saat ini juga. Pandangan Moh. Natsir
barangkali bisa menjadi perenungan dan bahan pertimbangan.
Sudah semestinya nilai-nilai pancasila kembali ditumbuhkan dalam segala
aspek kehidupan. 1 Juni 2016 lalu, Presiden Joko
Widodo (Jokowi) secara resmi menetapkan
tanggal 1 juni sebagai hari lahir Pancasila. Momentum ini penting dan
menjadi tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia untuk menggelorakan kembali
semangat ber-Pancasila.
Konsep
Pendidikan Moral Pancasila perlu di koreksi dan di rekonstruksi agar tidak
kembali menimbulkan kegaduhan. Konstruksi yang ditawarkan oleh Moh. Natsir
untuk mengganti pelajaran Pendidikan Moral Pancasila menggunakan konsep yang
lebih tepat dan sesuai dengan tujuan membentuk semangat ber-Pancasila perlu
mendapat perhatian.
Sesungguhnya
tanpa kata “moral’, Pancasila sudah mengajarkan bagaimana bertingkah laku yang
baik, berakhlak dan bermoral. Maka sudah tepatlah konsep pelajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan yang sempat dihapus dengan terbitnya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Aturan
itu menghilangkan pendidikan Pancasila dari kurikulum pendidikan sekolah dan
perguruan tinggi dan digantikan dengan pelajaran Kewarganegaraan saja. Konsekuensinya
nilai-nilai pancasila, seperti musyawarah, gotong-royong, kerukunan,
saling hormat-menghormati ditinggalkan.
Momentum hari lahir pancasila diharapkan mampu
mengembalikan pendidikan pancasila ke pangkuan sekolah-sekolah dan di cicipi
anak-anak bangsa ini. Konsepnya tentu tak harus melalui Pendidikan Moral
Pancasila. Pancasila sendiri sudah mencakup moral dan memperbaiki moral tidak
cukup dengan pancasila. Harus ada sentuhan spiritual keagamaan yang dapat
berjalan beriringan tanpa saling bersinggungan dengan pendidikan pancasila.