Munculnya Corona Virus Disease (Covid-19) pertama kali di Wuhan, China sejak Desember 2019 lalu telah membuat panik lebih dari 121 negara di dunia. Penyebarannya yang begitu masif dan cepat membuat banyak negara kewalahan menangani banyaknya kasus posistif setiap harinya.
Menurut data World Health
Organization (WHO) tercatat 7,145,539 kasus terkonfirmasi diseluruh dunia
per 10 Juni 2020 dengan angka kematian mencapai 408,025.
Di Indonesia sendiri, kasus pertama Covid-19 menimpa dua warga Depok,
Jawa Barat dan diumumkan langsung Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan,
Jakarta, Senin (2/3/2020). Setelah sebelumnya banyak tokoh negara mengatakan
bahwa Indonesia bebas Covid-19.
Menteri Kesehatan Terawan pun mengklain bahwa Indonesia kebal Covid-19
karena imunitas yang baik, dan doa yang turut membantu menjaga warga Indonesia
dari serangan virus yang muncul dari Wuhan itu, Sabtu (15/2/2020).
Data Covid-19 Indonesia Hari ini (11/6), menunjukkan angka 34.316 kasus
positif dan 1.959 orang meninggal. Ironisnya gaya komunikasi dan informasi yang
disampaikan pemerintah sering berubah-ubah.
Kondisi ini menyebabkan kegaduhan dimasyarakat, terlebih media sosial
saat ini memiliki pengaruh informasi yang lebih kuat ketimbang informasi yang
diberikan pemerintah. Banyaknya informasi yang beredar dimedia sosial lebih
mudah diterima oleh masyarakat dan mudah pula disebarkan kembali.
Namun, informasi di media sosial tidak sepenuhnya baik dikonsumsi, lebih
banyak berita yang tidak benar (hoax)
beredar dibanding informasi yang falid dan berbasis data. Akibatnya komunikasi
yang coba dibangun pemerintah dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 tidak
memiliki daya apapun.
Distorsi Informasi
Kondisi pandemi Covid-19 yang kian menghawatirkan diperparah dengan
distorsi Informasi (pemutarbalikan suatu fakta, aturan, dan sebagainya;
penyimpangan-KBBI) yang terjadi dimasyarakat.
Informasi yang di terima oleh masyarakat tidak di cek
kebenarannya terlebih dahulu, justru disebarkan tanpa sumber yang jelas. Hal
ini, dapat memicu penyebaran informasi yang salah (misinformasi) dan/atau
penyebaran informasi yang sengaja dibuat salah (disinformasi).
Akhirnya, banyak masyarakat yang berspekulasi tentang
informasi Covid-19 mulai dari “teori konspirasi”, “Covid-19 adalah proyek rumah
sakit”, Dokter terima uang 100 juta”, “semua orang yang masuk rumah sakit
divonis positif Covid-19”, sampai kasus terbaru “rumah sakit sogok keluarga
pasien agar jenazah dinyatakan posisif”.
Distorsi infomasi ini menyebabkan kegaduhan dimasyarakat
bahkan sampai pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang
disampaikan pemerintah dalam upaya melakukan pencegahan Covid-19.
Buktinya ada keluarga pasien posisitf Covid-19 yang
meninggal dunia menolak dimakamkan dengan
tatacara Covid-19 sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 14
Tahun 2020 mengenai cara mengurus jenazah yang meninggal akibat Covid-19. Ada
yang justru mengambil paksa jenazah kemudian memandikan dan mengubukannya
bersama masyarakat.
Jika demikian, pemerintah perlu mengupayakan komunikasi
ulang (recommunication) kepada
masyarakat tentang kondisi yang sedang terjadi dan upaya pemerintah dalam
menanggulangi wabah Covid-19 ini. Jika tidak, bukan tidak mungkin segala upaya penanganan
Covid-19 yang dilakukan pemerintah akan gagal.
Komunikasi dimasa pandemi
Dimasa pandemi seperti
sekarang ini, komunikasi menjadi sangat penting terutama komunikasi elit
pemerintah dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Kebijakan yang selalu
berubah-ubah berpotensi menghadirkan komunikasi yang buruk.
Selain kebijakan yang
berubah-ubah, informasi yang disampaikan sepihak dan bebas juga dapat
memperkeruh komunikasi. Padahal pada masa pandami setiap kata menjadi sangat
penting. Seperti halnya bentuk komunikasi risiko lainnya, ancaman yang muncul
ini menciptakan tantangan bagi komunitas medis dan kesehatan masyarakat untuk
berkomunikasi dengan cara yang akurat, kredibel, tepat waktu, dan meyakinkan. (Barbara
Reynolds dan Matthew Seeger dalam Crisis
and Emergency Risk Communication as an Integrative Model).
Penyampain informasi yang
kurang akurat, kridibel, tepat waktu dan meyakinkan menjadi masalah komunikasi yang
serius dimasa pandemi. Banyak konten dimedia sosial yang terlanjur viral dan
terlambat diklarifikasi sehingga memunculkan perspektif baru dimasyarakat.
Pesan-pesan dengan konten
yang misinformasi dan disinformasi dengan mudah menyebar melalui media sosial
seperti Facebook dan group Whatsapp. Krisis komunikasi ini sepertinya luput
dari perhatian pemerintah untuk segera diklarifikasi dan menyediakan data yang
ril.
Informasi teranyar pernah
dilontarkan salah seorang Direktur Rumah Sakit di kota mataram mengenai Covid-19.
Dalam pernyataannya yang terlanjur viral di media online dan media sosial ia
meyakini virus corona tidak berbahaya bagi orang yang tidak memiliki riwayat
sakit parah dan menganjurkan agar masyarakat beraktifitas seperti biasa.
Tentu ini bukan langkah bijak dalam
berkomunikasi di tengah pandemi, apalagi belakangan pernyataan tersebut
mendapat teguran dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) NTB.
Dalam masa pandemi seperti sekarang ini, setiap
ahli perlu menahan diri untuk menyampaikan pendapatnya dimuka umum secara
bebas, alangkah baiknya jika pandangan-pandangan tersebut disampaikan melalui
kanal yang resmi, seperti Tim Gugus Tugas Penanganan Covid atau melalui
organisasi profesi seperti IDI sehingga tidak menimbulkan kontrofersi dan
membingungkan masyarakat.
Jika hal serupa terus
dilakukan, tak heran, banyak masyarakat yang kemudian mengambil langkah ekstrim
mempertahankan pendapatnya mengenai wabah Covid-19 yang bisa jadi merupakan
informasi yang salah atau sengaja dibuat salah bahkan bisa saja masyarakat
salah menangkap.
Pemerintah sejatinya adalah
mata angin bagi masyarakat ditengah pandemi yang patut kita ikuti, oleh
karenanya pemerintah perlu menyusun penangan Covid-19 dengan sungguh-sungguh
dan mengkomunikaskannya dengan lebih baik dan bijak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar