Sabtu, 13 Juni 2020

URGENSI PENDIDIKAN MORAL PANCASILA SEBAGAI REFLEKSI HARI LAHIR PANCASILA


Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia merdeka, yang dinamakannya "Pancasila". Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Junbi Cosakai “Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPK”. Sejak saat itu, 1 Juni diingat sebagai hari lahirnya Pancasila.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pancasila berarti aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa; kelakuan atau perbuatan yang menurut adab (sopan santun); dasar, adab, akhlak, moral. Sedangkan Menurut Ir.Soekarno, Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan barat. Dengan demikian, Pancasila tidak hanya falsafah bangsa tetapi lebih luas lagi yakni falsafah bangsa Indonesia.
Menurut Muhammad Yamin, “Pancasila” dalam bahasa sansekerta memilki dua macam arti secara leksikal yaitu : “panca” yang artinya “lima” dan “syila” vokal i pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”, sedangkan “syiila” dengan vokal i panjang memiliki arti “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”.
Dari pengertian di atas dapatlah dipahami bahwa pancasila bukan sekedar dasar negara melainkan lebih pada aturan tingkah laku, akhlak dan moral bangsa. Oleh karena itu, dengan mengamalkan nilai-nilai pancasila diyakini dapat membentuk karakter manusia yang memiliki tingkah laku yang baik, berakhlakul karimah dan bermoral.
Pada masa sebelum reformasi, Pendidikan Moral Pancasila adalah pelajaran wajib di sekolah-sekolah. Tujuannya tak lain adalah membentuk masyarakat bangsa Indonesia yang berjiwa pancasilais. Bahkan tak hanya Pendidikan Moral Pancasila atau yang dikenal dengan PMP itu, ada juga Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa, yaitu sebuah panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara.
Jika PMP hanya ada di sekolah-sekolah beda halnya dengan P4. Ia merupakan penjabaran dari lima sila pancasila yang berisi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila untuk diamalkan seluruh rakyat Indonesia.


Pendidikan Moral Pancasila dalam Perdebatan

“Waspadalah terhadap orang atau golongan yang selalau mengecam dan mengejek Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah-sekolah, karena pada dasarnya, orang atau golongan tersebut tidak bersedia menerima dan menghayati Pancasila sebagai elemen sistem nilai dan ide vital bangsa dan negara nasional kita.”
Begitulah kata-kata yang pernah diucap Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia ke-16 Daud Yusuf di depan civitas akademika Universitas Nusa Cendana di Kupang (Suara Karya, 22 September 1982). Sebelumnya, beliau juga pernah berucap bahwa Meniadakan PMP sama saja dengan meniadakan Pancasila. (Suara Karya, 10 Juli 1982). Sebagaimana telah disunting oleh Muhammad Cheng Ho, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB).
Kata-kata itu melatarbelakangi Mohammad Natsir menulis sebuah artikel di majalah Panji Masyarakat No. 375 berjudul “ Tolong Dengarkan Pula Suara Kami”. Beliau adalah seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia juga merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, tokoh Islam terkemuka Indonesia. Pernah menjabat sebagai menteri dan perdana menteri Indonesia. Tulisannya itu bisa menjadi sebuah refresi berpikir tentang bagaimana seharusnya menyikapi moral anak bangsa yang telah jauh meninggalkan pancasila.
Pendapat yang akhir-akhir ini bermunculan terkait tuntutan beberapa orang agar mengembalikan Pendidikan Moral Pancasila ke sekolah- sekolah sebagai upaya rehablitasi moral generasi penerus bangsa yang sudah tak sejalan dengan budaya ketimuran. Keinginan tersebut sepertinya perlu diredam dan perlu di pikirkan ulang dulu. Sebab tak banyak orang yang benar-benar tahu mengapa Pendidikan Moral Pacasila  waktu itu dihapuskan.
Pendidikan Moral Pancasila pada waktu itu memiliki berbagai persoalan terutama terkait penafsiran keagamaan, sehingga buku-buku Pendidikan Moral Pancasila yang beredar perlu di tinjau. Tim peninjau buku Pedidikan Moral Pancasila pun telah menemukan berbagai kesalahan yang menjadi perdebatan serius, maka perlu segera untuk diselesaikan.
Oleh karena yang demikian itulah, delegasi para Alim Ulama dan pemimpin-pemimpin Ormas-Ormas Pendidikan Islam pada waktu itu mengajukan suatu petisi sebagai salah satu jalan keluar dari kemelut buku Pendidikan Moral Pancasila, yang berisi:
1.      Buku Pendidikan Moral Pancasila jangan dipakai lagi di sekolah-sekolah. Diganti dengan buku pelajaran kewarganegaraan (civic). Namakanlah “Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila”. Ini lebih cocok dengan materinya. Istilah “moral” mempunyai konotasi lain bagi umat beragama Samawi.
2.      Kosongkan samasekali buku tersebut dari pembicaraan-pembicaraan tentang ajaran agama manapun. Jangan diteruskan menanamkan ajaran aliran kebatinan dan syncretism kepada anak-anak didik dalam mata pelajaran ini atas nama “Moral Pancasila”.
3.      Soal agama adalah soal yang amat sensitif. Serahkan sajalah kepada guru-guru agama yang lebih berhak berbicara tentang agama masing-masing. Besar resikonya bila urusan dalam agama dicampuri oleh orang luar.


Momentum Rekonseptualisasi

Pertanyaan yang muncul saat ini adalah apakah Pendidikan Moral Pancasila perlu dibangkitkan kembali dari tidur panjangnya. Di saat moral generasi penerus bangsa terus menerus mengalami degradasi.
Sebaiknya kita jangan terburu-buru mengatakan bahwa Pendidikan Moral Pancasila perlu ada di sekolah-sekolah saat ini juga. Pandangan Moh. Natsir barangkali bisa menjadi perenungan dan bahan pertimbangan.
Sudah semestinya nilai-nilai pancasila kembali ditumbuhkan dalam segala aspek kehidupan. 1 Juni 2016 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi menetapkan  tanggal 1 juni sebagai hari lahir Pancasila. Momentum ini penting dan menjadi tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia untuk menggelorakan kembali semangat ber-Pancasila.
Konsep Pendidikan Moral Pancasila perlu di koreksi dan di rekonstruksi agar tidak kembali menimbulkan kegaduhan. Konstruksi yang ditawarkan oleh Moh. Natsir untuk mengganti pelajaran Pendidikan Moral Pancasila menggunakan konsep yang lebih tepat dan sesuai dengan tujuan membentuk semangat ber-Pancasila perlu mendapat perhatian.
Sesungguhnya tanpa kata “moral’, Pancasila sudah mengajarkan bagaimana bertingkah laku yang baik, berakhlak dan bermoral. Maka sudah tepatlah konsep pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang sempat dihapus dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Aturan itu menghilangkan pendidikan Pancasila dari kurikulum pendidikan sekolah dan perguruan tinggi dan digantikan dengan pelajaran Kewarganegaraan saja. Konsekuensinya nilai-nilai pancasila, seperti musyawarah, gotong-royong, kerukunan, saling hormat-menghormati ditinggalkan.
Momentum hari lahir pancasila diharapkan mampu mengembalikan pendidikan pancasila ke pangkuan sekolah-sekolah dan di cicipi anak-anak bangsa ini. Konsepnya tentu tak harus melalui Pendidikan Moral Pancasila. Pancasila sendiri sudah mencakup moral dan memperbaiki moral tidak cukup dengan pancasila. Harus ada sentuhan spiritual keagamaan yang dapat berjalan beriringan tanpa saling bersinggungan dengan pendidikan pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar