Minggu, 01 Juli 2018

Tahun Politik Rentan Perpecahan : Perkuat Semangat Persatuan


Segala keberagaman yang ada di Indonesia dapat bersatu dalam bingkai persatuan. Oleh karena itu, persatuan haruslah menjadi simpul bagi setiap perbedaan dan keberagaman di Indonesia. Letak geografis Indonesia yang berada dijantung dunia menyebabkan tumbuhnya berbagai corak tatanan kehidupan. Keberagaman Ras, Suku, Agama, Sosial dan Budaya di Indoesia telah menjadi warna tersendiri bahkan menjadi daya tarik.
Konsep persatuan “Bhinneka Tunggal Ika” sejatinya telah lahir lebih dulu, jauh sebelum Negara Republik Indonesia menjadi dewasa. Adalah Empu Tantular orang yang pertama kali menuliskan sesanti atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam kakawin Sutasoma, disana tertulis “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa,” yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua”.
Semboyan “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa” merupakan prinsip kerajaan Majapahit yang kemudian oleh raja Hayam Wuruk (Maharaja Sri Rajasanagara) digunakan untuk mengantisipasi keanekaragaman agama yang dipeluk rakyat Majapahit pada masa itu. Hal tersebut dibuktikan dengan kerjasama yang baik antara Hayam Wuruk yang beragama Hindu dengan Patihnya Gajah Mada yang beragama Buddha.
Dengan demikian semboyan Bhinneka Tunggal Ika bagi Indonesia merupakan dasar untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia, meskipun Indonesia memiliki keberagaman suku, agama, budaya, ras dan kehidupan sosial.  Untuk itulah pada tahun 1951, pemerintah Indonesia menetapkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951, pemerintah telah menegaskan bahwa sejak tanggal 17 Agustus 1950, Bhinneka Tuggal Ika resmi menjadi semboyan Negara Republik Indonesia yang terdapat pada lambang burung garuda yang menengok ke sebelah kanan, mengalungkan perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai sambil mencengkram pita yang bertuliskan “BHINNEKA TUNGGAL IKA”
Pada perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 konsep persatuan itu juga dituangkan dalam pasal 36A yang berbunyi “ Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika”.
Sejarah singkat semboyan Bhinneka Tunggal Ika di atas semestinya dapat mengingatkan kita akan arti pentingnya persatuan dan kesatuan. Beberapa bulan belakangan kondisi politik bangsa Indonesia sedang memanas, hal ini menyebebkan tumbuhnya benih-benih perpecahan di tengah masyarakat sebagai konsekuensi logis dari demokratisasi dan pertarungan politik.
Keberagaman Indonesia sudah seharusnya dikelola dengan baik sebagaimana Hayam Wuruk mengelola keberagaman Majapahit. Isu SARA yang kemudian muncul kepermukaan semestinya dapat dihindari jika saja sikap tolerasi selalu dikedepankan.
Sikap toleransi dalam kehidupan beragama sebenarnya sudah diajarkan pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bahkan sejak duduk di kelas VII SMP/MTs.  Disebutkan bahwa beberapa perilaku yang perlu diwujudkan ditengan keberagaman agama di Indonesia antara lain, tidak mencela dan merendahkan agama umat agama lain, mengamalkan ajaran agama masing-masing sebaik-baiknya, dan sikap-sikap toleransi lainnya.
Pelajaran bertoleransi menjadi penting untuk dipikirkan kembali sebagai upaya menciptakan tatanan bernegara yang kondusif. Hal ini penting, belajar dari kasus seorang kepala daerah yang dianggap tidak dapat memahami bagaimana cara bertoleransi, hanya karena ingin kembali duduk sebagai kepala daerah, seorang figur yang dihormati dan menjadi contoh bagi masnyarakat secara terang-terangan telah menggunakan kitab agama umat lain yang bukan agamanya sebagai khotbah politik yang berujung pada vonis dua tahun penjara akibat kasus penodaan agama.
Kasus ini kemudian melebar menjadi benturan antar suku, etnis, ras, dan golongan. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja, implikasinya sudah nyata terlihat, kedatangan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah hari sabtu tanggal 13 Mei 2017 ke Manado Sulawesi Utara, mendapat penolakan. Ribuan orang mendatangi Bandara Sam Ratulangi Manado untuk mencari Fahri Hamzah dengan cara  menjebol pagar pembatas bandara kemudian merangsek masuk ke dalam bandara yang seharusnya steril. Diantara massa tersebut ada yang menggunakan pakaian adat dan membawa senjata tajam.
Simbol-simbol kesukuan dan agama sebaiknya tidak ditonjolkan ketika melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai moral dan kepatututan, karena dapat menjurus kepada konflik antar suku, agama dan golongan yang semakin luas.
Belum lagi isu-isu yang sedang viral dimedia sosial, saling serang dengan mengangkat hal-hal yang berbau kesukuan, etnis, agama dan golongan menjadi suguhan rutin diberanda facebook. Sebuah akun facebook dengan nama Andi Setiono Mangoenprasodjo mengunggah tulisan yang dianggap merendahkan suku Sasak dan daerah Lombok juga menjadi viral dan sampai dilaporkan ke polisi. Kasus-kasus semacam inilah yang, dapat menyulut perpecahan dalam masyarakat.
Tentu kita tidak ingin mengulang sejarah perpecahan antar masyarakat akibat isu SARA seperti di Ambon, Poso,  Maluku dan tempat-tempat lainya. Rasa sukuisme, bela agama dan cinta budaya adalah hal yang wajar ada. Faktor terjadinya konflik semacam itu tidak hanya diakibatkan oleh doktrin agama semata melaikan ada foktor non agama justru memiliki peran yang lebih besar, sepert; kesenjangan ekonomi, kepentingan politik, perbedaan nilai sosial budaya, kemajuan teknologi informasi dan transportasi.
Oleh karena itu, konsep-konsep persatuan seperti Bhinneka Tunggal Ika harus kembali ditamankan dengan benar, sehingga benar-benar mengakar dalam keperibadian masyarakat Indonesia yang plural. Sikap toleransi dalam keberagaman Agama, Etnis, Suku, Ras, Budaya dan Kehidupan Sosial harus dikedepankan dan  kembali merajut persatuan dalam bingkai “BHINNEKA TUNGGAL IKA”.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar