Minggu, 21 Juni 2020

Distorsi Informasi Bisa Gagalkan Penanganan Covid-19



Munculnya Corona Virus Disease (Covid-19) pertama kali di Wuhan, China sejak Desember 2019 lalu telah membuat panik lebih dari 121 negara di dunia. Penyebarannya yang begitu masif dan cepat membuat banyak negara kewalahan menangani banyaknya kasus posistif setiap harinya.

Menurut data World Health Organization (WHO) tercatat 7,145,539 kasus terkonfirmasi diseluruh dunia per 10 Juni 2020 dengan angka kematian mencapai 408,025.

Di Indonesia sendiri, kasus pertama Covid-19 menimpa dua warga Depok, Jawa Barat dan diumumkan langsung Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/3/2020). Setelah sebelumnya banyak tokoh negara mengatakan bahwa Indonesia bebas Covid-19.

Menteri Kesehatan Terawan pun mengklain bahwa Indonesia kebal Covid-19 karena imunitas yang baik, dan doa yang turut membantu menjaga warga Indonesia dari serangan virus yang muncul dari Wuhan itu, Sabtu (15/2/2020).

Data Covid-19 Indonesia Hari ini (11/6), menunjukkan angka 34.316 kasus positif dan 1.959 orang meninggal. Ironisnya gaya komunikasi dan informasi yang disampaikan pemerintah sering berubah-ubah.

Kondisi ini menyebabkan kegaduhan dimasyarakat, terlebih media sosial saat ini memiliki pengaruh informasi yang lebih kuat ketimbang informasi yang diberikan pemerintah. Banyaknya informasi yang beredar dimedia sosial lebih mudah diterima oleh masyarakat dan mudah pula disebarkan kembali.

Namun, informasi di media sosial tidak sepenuhnya baik dikonsumsi, lebih banyak berita yang tidak benar (hoax) beredar dibanding informasi yang falid dan berbasis data. Akibatnya komunikasi yang coba dibangun pemerintah dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 tidak memiliki daya apapun.

Distorsi Informasi

Kondisi pandemi Covid-19 yang kian menghawatirkan diperparah dengan distorsi Informasi (pemutarbalikan suatu fakta, aturan, dan sebagainya; penyimpangan-KBBI) yang terjadi dimasyarakat.

Informasi yang di terima oleh masyarakat tidak di cek kebenarannya terlebih dahulu, justru disebarkan tanpa sumber yang jelas. Hal ini, dapat memicu penyebaran informasi yang salah (misinformasi) dan/atau penyebaran informasi yang sengaja dibuat salah (disinformasi).
Akhirnya, banyak masyarakat yang berspekulasi tentang informasi Covid-19 mulai dari “teori konspirasi”, “Covid-19 adalah proyek rumah sakit”, Dokter terima uang 100 juta”, “semua orang yang masuk rumah sakit divonis positif Covid-19”, sampai kasus terbaru “rumah sakit sogok keluarga pasien agar jenazah dinyatakan posisif”.

Distorsi infomasi ini menyebabkan kegaduhan dimasyarakat bahkan sampai pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang disampaikan pemerintah dalam upaya melakukan pencegahan Covid-19.

Buktinya ada keluarga pasien posisitf Covid-19 yang meninggal dunia menolak  dimakamkan dengan tatacara Covid-19 sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 14 Tahun 2020 mengenai cara mengurus jenazah yang meninggal akibat Covid-19. Ada yang justru mengambil paksa jenazah kemudian memandikan dan mengubukannya bersama masyarakat.

Jika demikian, pemerintah perlu mengupayakan komunikasi ulang (recommunication) kepada masyarakat tentang kondisi yang sedang terjadi dan upaya pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid-19 ini. Jika tidak, bukan tidak mungkin segala upaya penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah akan gagal.

Komunikasi dimasa pandemi

Dimasa pandemi seperti sekarang ini, komunikasi menjadi sangat penting terutama komunikasi elit pemerintah dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Kebijakan yang selalu berubah-ubah berpotensi menghadirkan komunikasi yang buruk.

Selain kebijakan yang berubah-ubah, informasi yang disampaikan sepihak dan bebas juga dapat memperkeruh komunikasi. Padahal pada masa pandami setiap kata menjadi sangat penting. Seperti halnya bentuk komunikasi risiko lainnya, ancaman yang muncul ini menciptakan tantangan bagi komunitas medis dan kesehatan masyarakat untuk berkomunikasi dengan cara yang akurat, kredibel, tepat waktu, dan meyakinkan. (Barbara Reynolds dan Matthew Seeger dalam Crisis and Emergency Risk Communication as an Integrative Model).

Penyampain informasi yang kurang akurat, kridibel, tepat waktu dan meyakinkan menjadi masalah komunikasi yang serius dimasa pandemi. Banyak konten dimedia sosial yang terlanjur viral dan terlambat diklarifikasi sehingga memunculkan perspektif baru dimasyarakat.

Pesan-pesan dengan konten yang misinformasi dan disinformasi dengan mudah menyebar melalui media sosial seperti Facebook dan group Whatsapp. Krisis komunikasi ini sepertinya luput dari perhatian pemerintah untuk segera diklarifikasi dan menyediakan data yang ril.

Informasi teranyar pernah dilontarkan salah seorang Direktur Rumah Sakit di kota mataram mengenai Covid-19. Dalam pernyataannya yang terlanjur viral di media online dan media sosial ia meyakini virus corona tidak berbahaya bagi orang yang tidak memiliki riwayat sakit parah dan menganjurkan agar masyarakat beraktifitas seperti biasa.

Tentu ini bukan langkah bijak dalam berkomunikasi di tengah pandemi, apalagi belakangan pernyataan tersebut mendapat teguran dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) NTB.

Dalam masa pandemi seperti sekarang ini, setiap ahli perlu menahan diri untuk menyampaikan pendapatnya dimuka umum secara bebas, alangkah baiknya jika pandangan-pandangan tersebut disampaikan melalui kanal yang resmi, seperti Tim Gugus Tugas Penanganan Covid atau melalui organisasi profesi seperti IDI sehingga tidak menimbulkan kontrofersi dan membingungkan masyarakat.  

Jika hal serupa terus dilakukan, tak heran, banyak masyarakat yang kemudian mengambil langkah ekstrim mempertahankan pendapatnya mengenai wabah Covid-19 yang bisa jadi merupakan informasi yang salah atau sengaja dibuat salah bahkan bisa saja masyarakat salah menangkap.

Pemerintah sejatinya adalah mata angin bagi masyarakat ditengah pandemi yang patut kita ikuti, oleh karenanya pemerintah perlu menyusun penangan Covid-19 dengan sungguh-sungguh dan mengkomunikaskannya dengan lebih baik dan bijak.

Sabtu, 13 Juni 2020

URGENSI PENDIDIKAN MORAL PANCASILA SEBAGAI REFLEKSI HARI LAHIR PANCASILA


Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia merdeka, yang dinamakannya "Pancasila". Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Junbi Cosakai “Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPK”. Sejak saat itu, 1 Juni diingat sebagai hari lahirnya Pancasila.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pancasila berarti aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa; kelakuan atau perbuatan yang menurut adab (sopan santun); dasar, adab, akhlak, moral. Sedangkan Menurut Ir.Soekarno, Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan barat. Dengan demikian, Pancasila tidak hanya falsafah bangsa tetapi lebih luas lagi yakni falsafah bangsa Indonesia.
Menurut Muhammad Yamin, “Pancasila” dalam bahasa sansekerta memilki dua macam arti secara leksikal yaitu : “panca” yang artinya “lima” dan “syila” vokal i pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”, sedangkan “syiila” dengan vokal i panjang memiliki arti “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”.
Dari pengertian di atas dapatlah dipahami bahwa pancasila bukan sekedar dasar negara melainkan lebih pada aturan tingkah laku, akhlak dan moral bangsa. Oleh karena itu, dengan mengamalkan nilai-nilai pancasila diyakini dapat membentuk karakter manusia yang memiliki tingkah laku yang baik, berakhlakul karimah dan bermoral.
Pada masa sebelum reformasi, Pendidikan Moral Pancasila adalah pelajaran wajib di sekolah-sekolah. Tujuannya tak lain adalah membentuk masyarakat bangsa Indonesia yang berjiwa pancasilais. Bahkan tak hanya Pendidikan Moral Pancasila atau yang dikenal dengan PMP itu, ada juga Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa, yaitu sebuah panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara.
Jika PMP hanya ada di sekolah-sekolah beda halnya dengan P4. Ia merupakan penjabaran dari lima sila pancasila yang berisi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila untuk diamalkan seluruh rakyat Indonesia.


Pendidikan Moral Pancasila dalam Perdebatan

“Waspadalah terhadap orang atau golongan yang selalau mengecam dan mengejek Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah-sekolah, karena pada dasarnya, orang atau golongan tersebut tidak bersedia menerima dan menghayati Pancasila sebagai elemen sistem nilai dan ide vital bangsa dan negara nasional kita.”
Begitulah kata-kata yang pernah diucap Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia ke-16 Daud Yusuf di depan civitas akademika Universitas Nusa Cendana di Kupang (Suara Karya, 22 September 1982). Sebelumnya, beliau juga pernah berucap bahwa Meniadakan PMP sama saja dengan meniadakan Pancasila. (Suara Karya, 10 Juli 1982). Sebagaimana telah disunting oleh Muhammad Cheng Ho, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB).
Kata-kata itu melatarbelakangi Mohammad Natsir menulis sebuah artikel di majalah Panji Masyarakat No. 375 berjudul “ Tolong Dengarkan Pula Suara Kami”. Beliau adalah seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia juga merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, tokoh Islam terkemuka Indonesia. Pernah menjabat sebagai menteri dan perdana menteri Indonesia. Tulisannya itu bisa menjadi sebuah refresi berpikir tentang bagaimana seharusnya menyikapi moral anak bangsa yang telah jauh meninggalkan pancasila.
Pendapat yang akhir-akhir ini bermunculan terkait tuntutan beberapa orang agar mengembalikan Pendidikan Moral Pancasila ke sekolah- sekolah sebagai upaya rehablitasi moral generasi penerus bangsa yang sudah tak sejalan dengan budaya ketimuran. Keinginan tersebut sepertinya perlu diredam dan perlu di pikirkan ulang dulu. Sebab tak banyak orang yang benar-benar tahu mengapa Pendidikan Moral Pacasila  waktu itu dihapuskan.
Pendidikan Moral Pancasila pada waktu itu memiliki berbagai persoalan terutama terkait penafsiran keagamaan, sehingga buku-buku Pendidikan Moral Pancasila yang beredar perlu di tinjau. Tim peninjau buku Pedidikan Moral Pancasila pun telah menemukan berbagai kesalahan yang menjadi perdebatan serius, maka perlu segera untuk diselesaikan.
Oleh karena yang demikian itulah, delegasi para Alim Ulama dan pemimpin-pemimpin Ormas-Ormas Pendidikan Islam pada waktu itu mengajukan suatu petisi sebagai salah satu jalan keluar dari kemelut buku Pendidikan Moral Pancasila, yang berisi:
1.      Buku Pendidikan Moral Pancasila jangan dipakai lagi di sekolah-sekolah. Diganti dengan buku pelajaran kewarganegaraan (civic). Namakanlah “Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila”. Ini lebih cocok dengan materinya. Istilah “moral” mempunyai konotasi lain bagi umat beragama Samawi.
2.      Kosongkan samasekali buku tersebut dari pembicaraan-pembicaraan tentang ajaran agama manapun. Jangan diteruskan menanamkan ajaran aliran kebatinan dan syncretism kepada anak-anak didik dalam mata pelajaran ini atas nama “Moral Pancasila”.
3.      Soal agama adalah soal yang amat sensitif. Serahkan sajalah kepada guru-guru agama yang lebih berhak berbicara tentang agama masing-masing. Besar resikonya bila urusan dalam agama dicampuri oleh orang luar.


Momentum Rekonseptualisasi

Pertanyaan yang muncul saat ini adalah apakah Pendidikan Moral Pancasila perlu dibangkitkan kembali dari tidur panjangnya. Di saat moral generasi penerus bangsa terus menerus mengalami degradasi.
Sebaiknya kita jangan terburu-buru mengatakan bahwa Pendidikan Moral Pancasila perlu ada di sekolah-sekolah saat ini juga. Pandangan Moh. Natsir barangkali bisa menjadi perenungan dan bahan pertimbangan.
Sudah semestinya nilai-nilai pancasila kembali ditumbuhkan dalam segala aspek kehidupan. 1 Juni 2016 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi menetapkan  tanggal 1 juni sebagai hari lahir Pancasila. Momentum ini penting dan menjadi tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia untuk menggelorakan kembali semangat ber-Pancasila.
Konsep Pendidikan Moral Pancasila perlu di koreksi dan di rekonstruksi agar tidak kembali menimbulkan kegaduhan. Konstruksi yang ditawarkan oleh Moh. Natsir untuk mengganti pelajaran Pendidikan Moral Pancasila menggunakan konsep yang lebih tepat dan sesuai dengan tujuan membentuk semangat ber-Pancasila perlu mendapat perhatian.
Sesungguhnya tanpa kata “moral’, Pancasila sudah mengajarkan bagaimana bertingkah laku yang baik, berakhlak dan bermoral. Maka sudah tepatlah konsep pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang sempat dihapus dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Aturan itu menghilangkan pendidikan Pancasila dari kurikulum pendidikan sekolah dan perguruan tinggi dan digantikan dengan pelajaran Kewarganegaraan saja. Konsekuensinya nilai-nilai pancasila, seperti musyawarah, gotong-royong, kerukunan, saling hormat-menghormati ditinggalkan.
Momentum hari lahir pancasila diharapkan mampu mengembalikan pendidikan pancasila ke pangkuan sekolah-sekolah dan di cicipi anak-anak bangsa ini. Konsepnya tentu tak harus melalui Pendidikan Moral Pancasila. Pancasila sendiri sudah mencakup moral dan memperbaiki moral tidak cukup dengan pancasila. Harus ada sentuhan spiritual keagamaan yang dapat berjalan beriringan tanpa saling bersinggungan dengan pendidikan pancasila.

SERDADU KEHIDUPAN


Ia dilahirkan untuk berjuang
Melawan kerasnya kehidupan
Rasa letih adalah kawan seperjuangannya
Putus asa adalah musuh abadinya

Pahitnya perjuangan hanya ia yang rasa
Melawan kebodohan
Melawan kemalasan
Melawan kehinaan
Melawan dosa-dosanya

Namun kemenangan bukan hanya miliknya
Tapi juga...
Milik ibunya
Milik bapaknya
Milik saudaranya
Milik kakek dan neneknya
Milik paman dan bibinya
Bahkan milik tetangga dan desanya

Serdadu kehidupan hanya tersenyum sebentar kemudian kembali berjuang
Sebab selama masih hidup, ia masih serdadu kehidupan

Serdadu kehidupan
Hidup dalam tawanya
Hidup dalam tangisnya
Hidup dalam kemurungan
Hidup dalam kebahagiaan
Tak ada yang abadi banginya

Serdadu kehidupan
Tinggal di bawah kolong jembatan
Tinggal di pinggir sungai
Tinggal di samping rel kereta api
Tinggal di atas grobak
Tidurnya beralaskan kardus dan koran bekas

Ini hidup atau kematian
Menyakitkan juga menyenangkan
Serdadu kehidupan
Bersenjatakan kesyukuran
Bertameng kesabaran

Serdadu kehidupan hanya bersedih sebentar lalu kembali berjuang
Sebab kematian bukan akhir kehidupan, walau sudah mati ia tetaplah serdadu kehidupan.