Jumat, 24 April 2015

UJIAN HUKUM LINGKUNGAN

Mata Hukum Lingkungan
Program Studi Magister Hukum
Dosen: Dr. Harry Supriyono, S.H., M.Si.





YOGYAKARTA
2015

1.   Pandangan terkait penggabungan Kementerian Lingkungan dan Kementerian Kehutanan? Buat rancangan struktur organisasi kementerian baru ini setidaknya untuk tingkat eselon 1. Bila mampu merancang sampai jabatan eselon 2.

Jawab:
             Sejak Indonesia mardeka pada tahun 1945, sistem ketatanegaraan termasuk di dalamnya adalah susunan Lembaga Kementerian, Lembaga Departemen dan Lembaga Non Departemen senantiasa berubah-ubah dan mencari bentuk yang sesuai dengan pemerintahan pada masa itu. Sejak proklamasi kemardekaan sampai dengan lengsernya sang proklamator presiden Soekarno pada tahun 1966, Indonesia belum memiliki kementerian yang fokus pada lingkungan hidup. Barulah pada kabinet pembangunan III di bawah presiden Soeharto, Indonesia memiliki kementerian yang konsen pada lingkungan hidup. Pada saat itu Kementerian Lingkungan Hidup tidak berdiri sendiri melainkan digabung dengan Kementerian Pengawasan dan Pembangunan. Pada Kabinet Pembangun III presiden Soeharto membentuk sebuah kementerian yang diberi nama Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Kemeneg PPLH, 1978-1983). Kemudian pada era Kabinet Pembangunan IV Kementerian Lingkungan Hidup digabung dengan Kementerian Kependudukan, sehingga terbentuklah Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Kemeneg KLH, 1983-1993). Sedangkan Kementerian Kehutanan baru terbentuk pada Kabinet Pembangunan IV, pada saat itu Kementerian Kehutanan berdiri sendiri dan terus ada sampai pemerintahan Presiden Habibie.[1]
             Setelah lengsernya presiden Soeharto, BJ. Habibie di daulat menjadi Presiden Indonesia yang ke 3. Di bawah pemerintahan Presiden Habibie Kementerian Lingkungan Hidup berdiri sendiri dengan nama Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Kemeneg LH, 1993-2005) dan dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan nama Kementerian Lingkungan Hidup (Kemen LH, 2005-2014). Berbeda halnya dengan Kementerian Lingkungan Hidup yang mulai berdiri sendiri sejak pemerintahan Presiden Habibie, Kementerian Kehutanan justru digabungkan dengan Kementerian Perkebunan sehingga menjadi Kementerian Kehutanan dan Perkebunan (26 Oktober 1999 - 9 Agustus 2001) pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Kemudian Pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri Kementerian Kehutanan kembali di pisah dan sempat di hapus pada masa Kabinet Indonesia Bersatu pemerintahan Presiden SBY, namun pada Kabinet Indonesia Bersatu II Kementerian Kehutanan Kembali diadakan.[2]
             Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi), baru-baru ini telah membuat suatu langkah baru dengan menggabungkan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan atau yang saat ini dikenal dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK). Sejarah mencatat bahwa sebenarnya sebagian besar kementerian yang ada sekarang telah mengalami berbagai perubahan, meliputi penggabungan, pemisahan, pergantian nama, dan pembubaran (baik sementara atau permanen). Jumlah kementerian sendiri hampir selalu berbeda-beda dalam setiap kabinet, dimulai dari yang hanya berjumlah belasan hingga pernah mencapai lebih dari 100 Kementerian, sebelum akhirnya dibatasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, yaitu sejumlah maksimal 34 kementerian.
             Penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan sebenarnya bukanlah suatu yang baru di Indonesia, beberapa pemerintahan sebelumnya juga pernah melakukan penggabungan, pemisahan bahkan penghapusan kementerian. Hal tersebut merupakan domain dan hak presiden untuk menentukannya, walaupun setelah terbentuknya UU No. 39 Tahun 2008, untuk mengubah suatu kementerian baik itu menggabungkan atau memisahkannya harus mendapat pertimbangan dari DPR.[3]
             Penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Kekurangannya adalah sulitnya menyatukan pemikiran masing-masing kementerian yang sebelumnya berdiri sendiri, sehingga ego sektoral seringkali muncul. Oleh karena itu, tugas Menteri LHK akan sedikit lebih berat untuk melebur dua birokrasi berbeda dengan kekuatan, kelemahan dan kapasitas yang berbeda pula merupakan sebuah tantangan yang tidak mudah. Sehingga perlu waktu untuk mengoptimalkan kinerja kementerian yang baru ini. Adapun kelebihannya adalah penggabungan kementerian tersebut dapat mengkonsumsi pengelolaan berbagai isu yang tadinya berada dalam yurisdiksi parsial dari kedua kementerian. Seperti masalah kebakaran lahan dan hutan yang selama ini terjadi dapat ditangani dengan baik karena kementerian tersebut memiliki sumber daya manusia yang memadai karena menggabungkan dua kementerian dapat membantu mengisi berbagai celah dalam keahlian atau sumber daya yang diperlukan untuk menyelenggarakan berbagai tugas besar yang menanti (The Jakarta Globe edisi 7 November). Dengan demikian, tugas Menteri LKH adalah memformulasikan kekurangan dan kelebihan dari masing-masing kementerian tersebut sehingga kementerian yang baru ini dapat menjadi kementerian yang kuat dalam struktur organisasi dan kinerja, serta dapat menyelesaikan masalah-masalah kompleks yang terjadi berkaitan dengan lingkungan dan kehutanan.
Rancangan struktur organisasi Kementerian Lingkungan dan Kementerian Kehutanan Tingkat Eslon I.

Staf Ahli Menteri Bidang:
1.      Hubungan Lembaga Antar Pusat dan Daerah
2.      Industri dan Perdagangan Daerah
3.      Sosial, Budaya, dan Kesehatan Lingkungan
4.      Perekonomian dan Pembangunan Berkelanjutan
5.      Revitalisasi Industri Kehutanan

Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutahan

Inspektorat Jendral

Sekretariat Jendral

Ditjen
Planologi dan Tata Lingkungan

Ditjen
Konservasi SDA dan ekosistem

Ditjen
Pengendalian DAS dan HL

Ditjen Pengendalian Hutan Produksi Lestari

Ditjen Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan

Ditjen Pengelolaan sampah dan Limbah

Ditjen
Pengendalian Perubahan Iklim

Ditjen Perhutanan Sosial & Kemitraan Lingkungan

Ditjen Penegakan Hukum Lingkungan

Badan Penyuluhan dan pengembangan SDM

Badan
LITBANG dan Inovasi

Ditjen Perlindungan Hutan& Konservasi Alam
 























2.   Izin Lingkungan dalam UU No. 32 tahun 2009 dimaksudkan untuk mengintegrasikan berbagai perizinan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang sudah ada. Namun tidak mencabut Hinder Ordonnantie yang memberlakukan izin gangguan yang sesungguhnya juga sebagai izin dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Lakukan pembahasan mengenai izin lingkungan ini secara menyeluruh, baik dari aspek normatif berdasar peraturan perundang-undangan maupun secara teori, serta dengan membandingkan dengan di Belanda.

Jawab:
             Sebagai suatu instrumen, izin lingkungan berfungsi sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang pelaku usaha dan/atau kegiatan untuk mencapai tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan untuk menanggulangi masalah lingkungan disebabkan aktivitas manusia yang melekat dengan dasar izin dan juga dapat berfungsi sebagai sarana yuridis untuk mencegah serta menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan.
             N.M.Spelt dan JBJM. Ten Berge membedakan penggunaan istilah perizinan dan izin, dimana perizinan merupakan pengertian izin dalam arti luas, sedangkan istilah izin digunakan untuk pengertian izin dalam arti sempit. Pengertian perizinan (izin dalam arti luas) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Sedangkan yang pokok dari izin dalam arti sempit (izin) ialah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap-tiap kasus.[4]
             Di indonesia dasar pengaturan perizinan lingkungan ditata dalam UUPLH 1997, mulai dari Pasal 18 hingga Pasal 21. Tidak seperti belanda yang bersifat terpadu dan hanya mengenal satu jenis perizinan (WM-Vergunning), di Indonesia dikenal dengan berbagai macam izin. Terdapat berbagai jenis izin yang dapat di kategorikan sebagai perizinan di bidang lingkungan atas dasar kriteria bahwa izin-izin tersebut dimaksudkan atau berfungsi untuk pencegahan pencemaran  atau gangguan lingkungan, pencegahan lingkungan akibat pengambilan sumber daya alam dan penataan ruang. Izin-izin tersebut berupa Izin Hinder Ordonansi, Izin Usaha, Izin Pembuangan Air Limbah dan Dumping serta Izin Pengorganisasian Instalasi Pengelolaan Limbah bahan Berbahaya dan Beracun (B3), Izin Lokasi Izin Mendirikan Bangunan. Dimana berbagai izin yang telah disebutkan tadi diatur dalam peraturan perundang undangan yang berbeda.[5]
             Hinder Ordonnantie (ordonansi gangguan) Stbl. No. 226 Tahun 1926, sebagaimana telah diubah dengan Stbl. No. 499 Tahun 1927, No. 14 dan 400 Tahun 1940 dan terakhir diubah berdasarkan Stbl. 1949 No. 450 merupakan salah satu peraturan yang bermaksud melindungi masyarakat dari gangguan tempat-tempat kerja yang mendatangkan polusi, kebakaran, dan kebisingan. Oleh karena itu tempat-tempat kerja hanya boleh didirikan dengan izin.[6] Hinder Ordonnantie memuat ketentuan-ketentuan tentang pencegahan dampak negatif yang timbul di lingkungan sekitar tempat usaha melalui perizinan. Hinder Ordonnantie memuat beberapa ketentuan sanksi yang dapat dikenakan pada pelanggaran ketentuan-ketentuan Hinder Ordonnantie. Bentuk sanksi tersebut berupa peringatan, pencabutan izin sementara, pencabutan izin selamanya, denda atau kurungan.
             Jika melihat pendapat yang dikemukakan oleh John Salindeho, Hinder Ordonnantie merupakan sesuatu yang penting. Menurut beliau pengertian bahaya, kerugian dan/atau gangguan terhadap lingkungan hidup dan ekosistem sejak dibentuk dan diberlakukannya Hinder Ordonnantie dapat dileburkan ke dalam pengertian sesuai teori/ilmu yang sudah dikembangkan sekarang ini dan untuk dapat menampung keadaan atau perubahan di zaman mendatang. Lebih lanjut John menjelaskan bahwa patokan-patokan pengertian bahaya, kerugian dan gangguan yang tercantum dalam Hinder Ordonnantie seolah-olah telah dicabut oleh UU No. 4 Tahun 1982, walaupun hal ini tidak disebut terang-terangan di dalam Undang-Undang ini.[7]
             Hinder Ordonnantie ini diberlakukan berdasarkan asas konkordansi hukum Belanda ke Indonesia. Di Belanda peraturan seperti ini yang disebut Hinderwet (HW) ini dibuat pertama kali berdasarkan S. 1875 No. 95, yang kemudian mengalami perkembangan perubahan beberapa kali dan terakhir setelah berlakunya Wet Milieubeheer[8] berdasarkan S. 1992 No. 551 pada 1 Maret 1993, HW tidak berlaku lagi. Izin lingkungan yang terdapat dalam HW dipadukan menjadi bagian dari Wet Milieubeher. Sebagai catatan, pengertian dipadukan dalam Wet Milieubeheer[9] ini adalah bahwa sejak Wet tersebut diberlakukan pada 1 Maret 1993, maka di Belanda berlaku sistem di mana semua peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan lingkungan hanya menetapkan suatu izin secara terpadu, yang disebut integrale milieuvergunning, perizinannya lazim disebut Wm-Vergunning. Sistem keterpaduan izin ini semula merupakan jenis-jenis perizinan yang dikeluarkan secara sektoral, yakni:[10]
1.   Hinderwet (Undang-Undang Gangguan)
2.   Wet luchterverontreniging (Undang-Undang Mengenai Pencemaran Udara)
3.   Wet geluidhinder (Undang-Undang Gangguan Suara)
4.   Afvalstoffenwet (Undang-Undang Bahan Limbah)
5.   Wet chemische afvalstoffen (Undang-Undang Bahan Limbah Kimia)
6.   Wet Milieugevarlijke Stofen (Undang-Undang Bahan Berbahaya Bagi Lingkungan)
             Wet Milieubeheer adalah perubahan dari Wet Algemene Bepalgen  Milieuhigiene (WABM) berdasarkan S. 1979 No. 442, yang berlaku 1 september 1983. WABM ini pada dasarnya mengunifikasikan (unifikasi) dan mengharmonisasikan perizinan atas semua pengaturan pengelolaan lingkungan di Belanda.
             UUPLH 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) mengatur mengenai perizinan dalam pasal 36 sampai Pasal 41. Dalam UUPPLH ini, Hinder Ordonnantie yang memuat di dalamnya izin gangguan seolah seperti mayat hidup yang keberadaannya belum jelas. Namun, dengan adanya undang-undang otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur sendiri bagaimana sistem perizinan yang meyangkut izin gangguan ini. Sehingga masing-masing daerah menentukan pengaturan yang berbeda-beda, seperti di DKI Jakarta dasar hukum mengenai Hinder Ordonnantie diatur dalam Peraturan Daerah No.3 Tahun 1999 tentang Tarif Retribusi Izin Undang-Undang Gangguan.[11] Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, dasar hukumnya adalah Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Kulon Progo No. 9 Tahun 1987 Tentang Izin Tempat Usaha/HO jo. Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Kulon Progo No. 11 Tahun 1991 dan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo No. 13 Tahun 1998.[12]
             UUPPLH 2009 mengatur 2 (dua) konsep perizinan, yaitu:
1)   Pasal 1 angka 35 UUPPLH bahwa izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL/UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan;
2)   Pasal 1 angka 36 UUPPLH bahwa izin usaha dan/atau kegiatan yakni izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.
             Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penetapan perizinan sebagai salah satu instrumen hukum dari pemerintah ialah untuk mengendalikan kehidupan masyarakat agar tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku, serta membatasi aktifitas masyarakat agar tidak merugikan orang lain. Dan izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau kegiatan mempunyai keterkaitan yang erat satu sama lainnya.
            






3.   Pengaturan penegakkan hukum lingkungan administratif dalam undang-undang selalu saja menarik untuk didiskusikan, baik mengenai kelembagaan dan kewenangan, sanksi, dan mekanisme penerapan sanksi. Dibanding dengan undang-undang sebelumnya, ada yang dipandang lebih progresif dan dapat memperkuat dalam penegakkan hukum, namun sebagian juga bisa dianggap kurang tepat. Apa pendapat saudara? Lakukan pembahasan lengkap secara normatif dan lengkapi dengan penelusuran pustaka.

Jawab:
             Menurut Hawkins, istilah penegakan hukum (law enforcement) dapat dilihat dari dua sistem atau strategi yang disebut “compliance” dengan “conciliatory style” sebagai karakteristiknya, dan “sanctioning” dengan “penal style” sebagai ciri utamanya. Conciliatory style bersifat remedial, suatu metode “social repair and maintenance, assistance of people in trouble” yang berkaitan dengan “what is necessary to ameliorate a bad situation”. Sedangkan penal control “prohibits with punishment”, sifatnya adalah “accusatory”, hasilnya “binary”, yaitu: “all or nothing punishment or nothing”.[13]
             Dalam penanganan masalah-masalah lingkungan, penegakan hukum preventif melalui sarana hukum administrasi menduduki posisi yang penting, karena fungsinya yang bertolak dari asas penanggulangan pada sumber (abatement at the source principle). Asas penanggulangan pada sumber (abatement at the source principle) terutama bertolak pada prioritas penanganan secara preventif. Lebih baik mencegah pencemaran atau menangani pada sumbernya daripada membersihkan kembali pencemaran yang telah terjadi. Sehingga proses penegakan hukum melalui sarana hukum administrasi dianggap lebih memenuhi fungsi perlindungan “hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” sebagai hak konstitusional.[14]
             Digunakannya hukum administrasi dalam penegakan hukum lingkungan administratif berpijak pada beberapa kelebihan yang dimiliki hukum administrasi, yaitu:[15]
1)      Berfungsi sebagai sarana pengendalian, pencegahan dan penanggulangan perbuatan yang dilarang.
2)      Instrumen yuridis hukum administrasi yang bersifat preventif dan berfungsi untuk mengakhiri atau menghentikan pelanggaran lingkungan.
3)      Bersifat reparatoir (memulihkan pada keadaan semula).
4)      Sanksi administrasi tidak perlu melalui proses pengadilan yang memakan waktu lama dan bertele-tele.
5)      Sebagai sarana penecagahan dapat lebih efisien dari sudut pembiayaan dan waktu penyelesaian dibandingkan penegakan hukum pidana dan perdata.
6)      Biaya penegakan hukum administrasi yang meliputi biaya pengawasan di lapangan dan pengujian laboratorium lebih murah dibandingkan biaya penumpulan bukti, investigasi lapangan, dan biaya saksi ahli untuk membuktikan aspek kausalitas (hubungan sebab akibat) dalam kasus pidana dan perdata.
             Penegakan hukum melalui instrumen administratif bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum adanya pelanggaran. Jadi fokus sanksi administrasi adalah perbuatan berbeda halnya dengan sanksi hukum pidanya yang fokusnya adalah pada orangnya (dader, offender)[16]
             Sebagai instrumen penegakan hukum preventif, hukum administrasi dalam penegkan hukum lingkungan dikonstruksikan melalui instrumen pengawasan dan perizinan. Artinya penegakan hukum melalui instrumen administrasi itu terlatak pada pengwasan dan prizinan. Dalam UUPPLH tahun 2009, masalah pengawasan diatur dalam Pasal 71 sampai Pasal 74. Pasal 71 ayat (1) menentukan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota juga dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Serta menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
             Hasil pengawan yang telah dilakukan tentu diikuti sebuah instrument yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan administrasi, berupa sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 76 hingga Pasal 83 UUPPLH. Sanksi hukum administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terhadap seorang atau kegiatan usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan administrasi. Beberapa contoh dari pelanggaran hukum lingkungan administrasi adalah menjalankan tempat usaha tanpa memiliki izin-izin yang diperlukan oleh kegiatan usaha misalkan industri, hotel, dan rumah sakit. Membuang limbah tanpa izin pembuangan air limbah dan berbagai pelanggaran administrasi lainnya.[17]
             UUPPLH dalam Pasal 76 ayat (2) telah menentukan jeis-jenis sanksi administrasi yang dapat diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, yaitu berupa:
a.       teguran tertulis;
b.      paksaan pemerintah;
c.       pembekuan izin lingkungan; atau
d.      pencabutan izin lingkungan.
             Dalam praktik penegakan hukum lingkungan administrasi pada masa berlakunya UULH 1997, pejabat penegak hukum lingkungan administrasi sering kali menggunakan teguran tertulis untuk mengingatkan bahwa telah terjadi pelanggaran ketentuan hukum lingkungan administrasi walaupun tidak diatur dalam UULH 1997. Oleh sebab itu, perancang UUPPLH 2009 memformulasikan terguran tertulis sebagai salah satu sanksi hukum administrasi.[18] Langkah perancang UUPPLH ini, dapat dikatan sebagai sebuah langkah yang progresif.
             Dalam UUPPLH, Kewenangan penjatuhan sanksi paksaan pemerintah pada tiga pejabat yaitu Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (2). Selanjutnya, Pasal 80 ayat (1) UUPPLH menyebutkan beberapa bentuk tindakan paksaan yang dapat dikenakan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, yaitu berupa:
a.       penghentian sementara kegiatan produksi;
b.      pemindahan sarana produksi;
c.       penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d.      pembongkaran;
e.       penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
f.       penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g.      tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
             Adapun sanksi administrasi berupa Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.[19] sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan adalah upaya-upaya terakhir dalam penegakan hukum lingkungan administrasi.
            















4.   Dalam penegakkan hukum lingkungan kepidanaan dikenal asas subsidiaritas sebagai perwujudan dari doktrin “the principle of restraint”. Asas ini juga di akomodasi dari undang-undang, namun berbeda substansinya dengan dari undang-undang sebelumnya. Apakah asas ini hanya terhadap pasal-pasal “administratif dependent crimes” ataukah juga terhadap pasal-pasal mengenai tindak pidana pencemaran/perusakan lingkungan. Lengkapi pandangan saudara dengan pembahasan secara menyeluruh termasuk bila perlu perbaikan perumusan tindak pidana pencemaran/perusakan, serta perlunya sanksi pidana baru yang dianggap lebih memadai dalam tindak pidana lingkungan.

Jawab:
             Penegakan hukum lingkungan kepidanaan yang mengakomodasi asas subsidiaritas seseungguhnya berawal dari Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau yang dikenal dengan UUPPLH. Sebagaimana undang-undang sebelumnya UUPPLH memuat dua jenis rumusan delik yakni delik materil dan delik formil. Delik materil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang dianggap sudah sempurna atau terpenuhi apabila perbuatan itu telah menimbulkan akibat,[20] delik materil ini disebut juga Administrative Independent Crime. Adapun delik formil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang dianggap sudah sempurna atau terpenuhi begitu perbuatan tersebut dilakukan tanpa mengaharuskan adanya akibat dari perbuatan tersebut.[21] Delik Formil juga di kenal dengan Administrative Dependent Crime.
             Sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tersebut tetap sesuai dengan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain tidak berhasil. Cara yang demikian itu disebut juga dengan asas ultimum remedium atau ultima ratio principle atau yang  dikenal dengan “obat terakhir”.[22] Dalam penegakan hukum lingkungan kepidanaan sebagaimana diatur dalam UUPPLH juga menganut asas ini yang sebelumnya dituangkan dalam UUPLH.
             Dalam UUPPLH 2009 tidak memberikan penjelasan tentang defenisi atau pengertian asas ultimum remedium, undang-undang ini memang tidak menyinggung masalah asas ultimum remedium atau dikenal dengan asas subsidiaritas secara eksplisit. Namun dalam ketentuan pidana Pasal 100 ayat (2) UUPPLH tersirat pemberlakuan asas ultimum remedium. Asas tersebut sesungguhnya merupakan perwujudan dari doktrin “the principle of restraint” atau dikenal dengan asas pengendalian. Asas ini merupakan salah satu syarat kriminalisasi yang menyatakan bahwa sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila sanksi-sanksi perdata dan sanksi administrasi dan sarana-sarana lain ternyata tidak tepat dan tidak efektif untuk menangani tindak pidana tertentu.
             Rumusan Pasal 100 UUPPLH telah secara jelas menunjukkan bahwa rumusan tersebut menganut asas subsidiaritas (ultimum remedium), sebagaimana dapat dilihat berikut ini:
(1)   Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali”.
             Menurut pasal 100 ayat 2 tersebut maka dapat diketahui bahwa ada pemberlakuan asas ultimum remedium, dimana pemidanaan pada pasal 100 ayat 1 dapat dikenakan bilamana sanksi administratif yang sudah diputus oleh pemerintah tidak dipatuhi oleh pemegang usaha dan kegiatan yang memanfaatkan lingkungan.
             Pertanyaannya adalah  apakah penerapan asas ini hanya terdapat pada delik formil (administratif dependent crimes) ataukah juga terhadap pasal-pasal mengenai tindak pidana pencemaran/perusakan lingkungan. Maka menurut penulis penerapan asas subsidiaritas (ultimum remedium) sebenarnya dapat pula diterapkan pada pasal-pasal tindak pidana pencemaran atau perusakan lingkungan atau yang dimaksud dalam hal ini adalah delik materil (administratif independent crimes).
             Dalam UUPPLH rumusan delik materil terkait dengan pencemaran lingkungan hidup tidak lagi menggunakan kata atau istilah “ pencemaran lingkungan hidup” tetapi secara konseptual tidak mengubah makna dan tujuan yang diinginkan. Rumusan UUPPLH dibuat lebih konkrit dengan menggunakan istilah “dilampauina baku mutu ambien atau baku mutu air”. Dengan kata lain pencemaran lingkungan hidup terjadi apabila baku mutu ambien terlampaui.[23] Rumusan delik materil ini dapat ditemukan dalam Pasal 98 ayat (1) dan Pasal ayat (1) UUPPLH.
Pasal 98
(1)   Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
             Rumusan Pasal 98 ayat (1) tersebut di atas tentu tidak mencerminkan asas asas subsidiaritas (ultimum remedium), maka untuk membuat rumusan tersebut menganut asas subsidiaritas maka rumusannya harus diubah. Penulis mencoba untuk membuat rumusan delik materil dalam Pasal 98 ayat (1) tersebut agar mencerminkan asas  subsidiaritas dengan merubah rumusannya sebagai berikut:
(1)   Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, atau baku mutu air, atau baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup di atas ambang batas-batas yang telah ditentukan dan/atau menimbulkan kerusakan lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali”.
             Rumusan yang penulis buat di atas bukan rumusan yang sebenarnya, artinya rumusan tersebut hanya ingin menunjukkan cara yang dapat ditempuh agar delik formil dapat menganut asas subsidiaritas, yaitu dengan cara menetukan batas-batas baku mutu yang boleh dilampaui atau dengan kata lain memberikan batas-batas tertentu terhadap baku mutu sesuai dengan tingkat bahayanya kemudian tingkatan bahaya dari baku mutu tersebut digunakan untuk merumuskan sanksi administrasi atau sanksi perdata terlebih dahulu sebleum menentukan sanksi pidana. Sebagaimana asas subsidiaritas yang menghendaki bahwa hukum pidana sebagai langkah terakhir dalam penegakan hukum lingkungan hidup.

ž  SARAN PERBAIKAN
1.      Penggabungan, pemisahan atau penghapusan suatu kementerian harus dapat memberikan pengaruh yang besar bagi suatu pemerintahan demi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu setiap kemeterian harus diisi oleh orang-orang yang ahli dibidangnya bukan semata mata karena pertimbangan politik.
2.      Pengaturan mengenai Hinder Ordonnantie harus di perjelas bila perlu mengaturnya dalam sebuah undang-undang baru, dengan kata lain mengganti Hinder Ordonnantie yang belum dicabut keberlakuannya. Karena izin gangguan ini sering kali digunakan oleh pemerintah daerah untuk meraup keuntungan pribadi bukan untuk kepentingan perlingungan lingkungan hidup.
3.      Penegakan hukum lingkungan administrasi harus lebih menekankan pada perbaikan lingkungan sehingga lingkungan yang telah rusak akobat dari kegiatan usaha dan sebagainya dapat kembali seperti semula.
4.      Penegakan hukum lingkungan kepidanaan harus mulai mengarah ke arah yang lebih progresif dengan menerapkan asas subsidiaritas tidak hanya kepada delik formil melainkan juga delik materil.







SUMBER REFRENSI
BUKU
Berge, NM Spelt., dan JBJM Ten., 1993, Pengantar Sanksi Perizinan, Yuridika, Surabaya.

Hamzah, Andi, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Hawkins, Keith., 1984, Environment and Enforcement, Oxford: Clarendon Press.
.
Rahmadi, Takdir., Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Rangkuti, Siti Sundari., 1987, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya.
Ratnawati, Rosa Vivien., 2009, Penegakan Hukum Administrasi di Bidang Lingkungan Hidup, Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Salindeho, John., Undang-Undang Gangguan dan Masalah Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 1989.

Siahaan, N H T., Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan, Jakarta: Erlangga, 2004

Siswosoediro, Henry S., Mengurus Surat-Surat Perizinan, Visimedia: Jakarta, 2007.

Supriyono, Harry., Bahan Ajar Hukum Lingkungan, yogyakarta, 2010. Sebagaimana yang telah dijelaskan juga dalam perkuliahan magister hukum kenegaraan di fakultas hukum UGM.


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

INTERNET
http://kepustakaanpresiden.pnri.go.id/cabinet_minister/?box=detail&id=41&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=6&presiden=sby




[2] Ibid.
[3] Pasal 19 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.

[4] NM Spelt, dan JBJM Ten Berge, 1993, Pengantar Sanksi Perizinan, disunting oleh Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya, hal.2.
[5] Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2011 hlm. 105-106
[6] Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 114-115
[7] John Salindeho, Undang-Undang Gangguan dan Masalah Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 1989,
[8] N H T Siahaan, Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan, Jakarta: Erlangga, 2004, hlm. 186-189.
[9] Siti Sundari Rangkuti, 1987, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 126-151.
[10] N H T SiahaanUJIAN HUKUM LINGKUNGAN

Mata Hukum Lingkungan
Program Studi Magister Hukum
Dosen: Dr. Harry Supriyono, S.H., M.Si.


 



TTD                :




YOGYAKARTA
2015
1.   Pandangan terkait penggabungan Kementerian Lingkungan dan Kementerian Kehutanan? Buat rancangan struktur organisasi kementerian baru ini setidaknya untuk tingkat eselon 1. Bila mampu merancang sampai jabatan eselon 2.

Jawab:
             Sejak Indonesia mardeka pada tahun 1945, sistem ketatanegaraan termasuk di dalamnya adalah susunan Lembaga Kementerian, Lembaga Departemen dan Lembaga Non Departemen senantiasa berubah-ubah dan mencari bentuk yang sesuai dengan pemerintahan pada masa itu. Sejak proklamasi kemardekaan sampai dengan lengsernya sang proklamator presiden Soekarno pada tahun 1966, Indonesia belum memiliki kementerian yang fokus pada lingkungan hidup. Barulah pada kabinet pembangunan III di bawah presiden Soeharto, Indonesia memiliki kementerian yang konsen pada lingkungan hidup. Pada saat itu Kementerian Lingkungan Hidup tidak berdiri sendiri melainkan digabung dengan Kementerian Pengawasan dan Pembangunan. Pada Kabinet Pembangun III presiden Soeharto membentuk sebuah kementerian yang diberi nama Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Kemeneg PPLH, 1978-1983). Kemudian pada era Kabinet Pembangunan IV Kementerian Lingkungan Hidup digabung dengan Kementerian Kependudukan, sehingga terbentuklah Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Kemeneg KLH, 1983-1993). Sedangkan Kementerian Kehutanan baru terbentuk pada Kabinet Pembangunan IV, pada saat itu Kementerian Kehutanan berdiri sendiri dan terus ada sampai pemerintahan Presiden Habibie.[1]
             Setelah lengsernya presiden Soeharto, BJ. Habibie di daulat menjadi Presiden Indonesia yang ke 3. Di bawah pemerintahan Presiden Habibie Kementerian Lingkungan Hidup berdiri sendiri dengan nama Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Kemeneg LH, 1993-2005) dan dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan nama Kementerian Lingkungan Hidup (Kemen LH, 2005-2014). Berbeda halnya dengan Kementerian Lingkungan Hidup yang mulai berdiri sendiri sejak pemerintahan Presiden Habibie, Kementerian Kehutanan justru digabungkan dengan Kementerian Perkebunan sehingga menjadi Kementerian Kehutanan dan Perkebunan (26 Oktober 1999 - 9 Agustus 2001) pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Kemudian Pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri Kementerian Kehutanan kembali di pisah dan sempat di hapus pada masa Kabinet Indonesia Bersatu pemerintahan Presiden SBY, namun pada Kabinet Indonesia Bersatu II Kementerian Kehutanan Kembali diadakan.[2]
             Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi), baru-baru ini telah membuat suatu langkah baru dengan menggabungkan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan atau yang saat ini dikenal dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK). Sejarah mencatat bahwa sebenarnya sebagian besar kementerian yang ada sekarang telah mengalami berbagai perubahan, meliputi penggabungan, pemisahan, pergantian nama, dan pembubaran (baik sementara atau permanen). Jumlah kementerian sendiri hampir selalu berbeda-beda dalam setiap kabinet, dimulai dari yang hanya berjumlah belasan hingga pernah mencapai lebih dari 100 Kementerian, sebelum akhirnya dibatasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, yaitu sejumlah maksimal 34 kementerian.
             Penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan sebenarnya bukanlah suatu yang baru di Indonesia, beberapa pemerintahan sebelumnya juga pernah melakukan penggabungan, pemisahan bahkan penghapusan kementerian. Hal tersebut merupakan domain dan hak presiden untuk menentukannya, walaupun setelah terbentuknya UU No. 39 Tahun 2008, untuk mengubah suatu kementerian baik itu menggabungkan atau memisahkannya harus mendapat pertimbangan dari DPR.[3]
             Penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Kekurangannya adalah sulitnya menyatukan pemikiran masing-masing kementerian yang sebelumnya berdiri sendiri, sehingga ego sektoral seringkali muncul. Oleh karena itu, tugas Menteri LHK akan sedikit lebih berat untuk melebur dua birokrasi berbeda dengan kekuatan, kelemahan dan kapasitas yang berbeda pula merupakan sebuah tantangan yang tidak mudah. Sehingga perlu waktu untuk mengoptimalkan kinerja kementerian yang baru ini. Adapun kelebihannya adalah penggabungan kementerian tersebut dapat mengkonsumsi pengelolaan berbagai isu yang tadinya berada dalam yurisdiksi parsial dari kedua kementerian. Seperti masalah kebakaran lahan dan hutan yang selama ini terjadi dapat ditangani dengan baik karena kementerian tersebut memiliki sumber daya manusia yang memadai karena menggabungkan dua kementerian dapat membantu mengisi berbagai celah dalam keahlian atau sumber daya yang diperlukan untuk menyelenggarakan berbagai tugas besar yang menanti (The Jakarta Globe edisi 7 November). Dengan demikian, tugas Menteri LKH adalah memformulasikan kekurangan dan kelebihan dari masing-masing kementerian tersebut sehingga kementerian yang baru ini dapat menjadi kementerian yang kuat dalam struktur organisasi dan kinerja, serta dapat menyelesaikan masalah-masalah kompleks yang terjadi berkaitan dengan lingkungan dan kehutanan.
Rancangan struktur organisasi Kementerian Lingkungan dan Kementerian Kehutanan Tingkat Eslon I.

Staf Ahli Menteri Bidang:
1.      Hubungan Lembaga Antar Pusat dan Daerah
2.      Industri dan Perdagangan Daerah
3.      Sosial, Budaya, dan Kesehatan Lingkungan
4.      Perekonomian dan Pembangunan Berkelanjutan
5.      Revitalisasi Industri Kehutanan

Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutahan

Inspektorat Jendral

Sekretariat Jendral

Ditjen
Planologi dan Tata Lingkungan

Ditjen
Konservasi SDA dan ekosistem

Ditjen
Pengendalian DAS dan HL

Ditjen Pengendalian Hutan Produksi Lestari

Ditjen Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan

Ditjen Pengelolaan sampah dan Limbah

Ditjen
Pengendalian Perubahan Iklim

Ditjen Perhutanan Sosial & Kemitraan Lingkungan

Ditjen Penegakan Hukum Lingkungan

Badan Penyuluhan dan pengembangan SDM

Badan
LITBANG dan Inovasi

Ditjen Perlindungan Hutan& Konservasi Alam
 






















2.   Izin Lingkungan dalam UU No. 32 tahun 2009 dimaksudkan untuk mengintegrasikan berbagai perizinan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang sudah ada. Namun tidak mencabut Hinder Ordonnantie yang memberlakukan izin gangguan yang sesungguhnya juga sebagai izin dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Lakukan pembahasan mengenai izin lingkungan ini secara menyeluruh, baik dari aspek normatif berdasar peraturan perundang-undangan maupun secara teori, serta dengan membandingkan dengan di Belanda.

Jawab:
             Sebagai suatu instrumen, izin lingkungan berfungsi sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang pelaku usaha dan/atau kegiatan untuk mencapai tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan untuk menanggulangi masalah lingkungan disebabkan aktivitas manusia yang melekat dengan dasar izin dan juga dapat berfungsi sebagai sarana yuridis untuk mencegah serta menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan.
             N.M.Spelt dan JBJM. Ten Berge membedakan penggunaan istilah perizinan dan izin, dimana perizinan merupakan pengertian izin dalam arti luas, sedangkan istilah izin digunakan untuk pengertian izin dalam arti sempit. Pengertian perizinan (izin dalam arti luas) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Sedangkan yang pokok dari izin dalam arti sempit (izin) ialah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap-tiap kasus.[4]
             Di indonesia dasar pengaturan perizinan lingkungan ditata dalam UUPLH 1997, mulai dari Pasal 18 hingga Pasal 21. Tidak seperti belanda yang bersifat terpadu dan hanya mengenal satu jenis perizinan (WM-Vergunning), di Indonesia dikenal dengan berbagai macam izin. Terdapat berbagai jenis izin yang dapat di kategorikan sebagai perizinan di bidang lingkungan atas dasar kriteria bahwa izin-izin tersebut dimaksudkan atau berfungsi untuk pencegahan pencemaran  atau gangguan lingkungan, pencegahan lingkungan akibat pengambilan sumber daya alam dan penataan ruang. Izin-izin tersebut berupa Izin Hinder Ordonansi, Izin Usaha, Izin Pembuangan Air Limbah dan Dumping serta Izin Pengorganisasian Instalasi Pengelolaan Limbah bahan Berbahaya dan Beracun (B3), Izin Lokasi Izin Mendirikan Bangunan. Dimana berbagai izin yang telah disebutkan tadi diatur dalam peraturan perundang undangan yang berbeda.[5]
             Hinder Ordonnantie (ordonansi gangguan) Stbl. No. 226 Tahun 1926, sebagaimana telah diubah dengan Stbl. No. 499 Tahun 1927, No. 14 dan 400 Tahun 1940 dan terakhir diubah berdasarkan Stbl. 1949 No. 450 merupakan salah satu peraturan yang bermaksud melindungi masyarakat dari gangguan tempat-tempat kerja yang mendatangkan polusi, kebakaran, dan kebisingan. Oleh karena itu tempat-tempat kerja hanya boleh didirikan dengan izin.[6] Hinder Ordonnantie memuat ketentuan-ketentuan tentang pencegahan dampak negatif yang timbul di lingkungan sekitar tempat usaha melalui perizinan. Hinder Ordonnantie memuat beberapa ketentuan sanksi yang dapat dikenakan pada pelanggaran ketentuan-ketentuan Hinder Ordonnantie. Bentuk sanksi tersebut berupa peringatan, pencabutan izin sementara, pencabutan izin selamanya, denda atau kurungan.
             Jika melihat pendapat yang dikemukakan oleh John Salindeho, Hinder Ordonnantie merupakan sesuatu yang penting. Menurut beliau pengertian bahaya, kerugian dan/atau gangguan terhadap lingkungan hidup dan ekosistem sejak dibentuk dan diberlakukannya Hinder Ordonnantie dapat dileburkan ke dalam pengertian sesuai teori/ilmu yang sudah dikembangkan sekarang ini dan untuk dapat menampung keadaan atau perubahan di zaman mendatang. Lebih lanjut John menjelaskan bahwa patokan-patokan pengertian bahaya, kerugian dan gangguan yang tercantum dalam Hinder Ordonnantie seolah-olah telah dicabut oleh UU No. 4 Tahun 1982, walaupun hal ini tidak disebut terang-terangan di dalam Undang-Undang ini.[7]
             Hinder Ordonnantie ini diberlakukan berdasarkan asas konkordansi hukum Belanda ke Indonesia. Di Belanda peraturan seperti ini yang disebut Hinderwet (HW) ini dibuat pertama kali berdasarkan S. 1875 No. 95, yang kemudian mengalami perkembangan perubahan beberapa kali dan terakhir setelah berlakunya Wet Milieubeheer[8] berdasarkan S. 1992 No. 551 pada 1 Maret 1993, HW tidak berlaku lagi. Izin lingkungan yang terdapat dalam HW dipadukan menjadi bagian dari Wet Milieubeher. Sebagai catatan, pengertian dipadukan dalam Wet Milieubeheer[9] ini adalah bahwa sejak Wet tersebut diberlakukan pada 1 Maret 1993, maka di Belanda berlaku sistem di mana semua peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan lingkungan hanya menetapkan suatu izin secara terpadu, yang disebut integrale milieuvergunning, perizinannya lazim disebut Wm-Vergunning. Sistem keterpaduan izin ini semula merupakan jenis-jenis perizinan yang dikeluarkan secara sektoral, yakni:[10]
1.   Hinderwet (Undang-Undang Gangguan)
2.   Wet luchterverontreniging (Undang-Undang Mengenai Pencemaran Udara)
3.   Wet geluidhinder (Undang-Undang Gangguan Suara)
4.   Afvalstoffenwet (Undang-Undang Bahan Limbah)
5.   Wet chemische afvalstoffen (Undang-Undang Bahan Limbah Kimia)
6.   Wet Milieugevarlijke Stofen (Undang-Undang Bahan Berbahaya Bagi Lingkungan)
             Wet Milieubeheer adalah perubahan dari Wet Algemene Bepalgen  Milieuhigiene (WABM) berdasarkan S. 1979 No. 442, yang berlaku 1 september 1983. WABM ini pada dasarnya mengunifikasikan (unifikasi) dan mengharmonisasikan perizinan atas semua pengaturan pengelolaan lingkungan di Belanda.
             UUPLH 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) mengatur mengenai perizinan dalam pasal 36 sampai Pasal 41. Dalam UUPPLH ini, Hinder Ordonnantie yang memuat di dalamnya izin gangguan seolah seperti mayat hidup yang keberadaannya belum jelas. Namun, dengan adanya undang-undang otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur sendiri bagaimana sistem perizinan yang meyangkut izin gangguan ini. Sehingga masing-masing daerah menentukan pengaturan yang berbeda-beda, seperti di DKI Jakarta dasar hukum mengenai Hinder Ordonnantie diatur dalam Peraturan Daerah No.3 Tahun 1999 tentang Tarif Retribusi Izin Undang-Undang Gangguan.[11] Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, dasar hukumnya adalah Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Kulon Progo No. 9 Tahun 1987 Tentang Izin Tempat Usaha/HO jo. Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Kulon Progo No. 11 Tahun 1991 dan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo No. 13 Tahun 1998.[12]
             UUPPLH 2009 mengatur 2 (dua) konsep perizinan, yaitu:
1)   Pasal 1 angka 35 UUPPLH bahwa izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL/UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan;
2)   Pasal 1 angka 36 UUPPLH bahwa izin usaha dan/atau kegiatan yakni izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.
             Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penetapan perizinan sebagai salah satu instrumen hukum dari pemerintah ialah untuk mengendalikan kehidupan masyarakat agar tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku, serta membatasi aktifitas masyarakat agar tidak merugikan orang lain. Dan izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau kegiatan mempunyai keterkaitan yang erat satu sama lainnya.
            






3.   Pengaturan penegakkan hukum lingkungan administratif dalam undang-undang selalu saja menarik untuk didiskusikan, baik mengenai kelembagaan dan kewenangan, sanksi, dan mekanisme penerapan sanksi. Dibanding dengan undang-undang sebelumnya, ada yang dipandang lebih progresif dan dapat memperkuat dalam penegakkan hukum, namun sebagian juga bisa dianggap kurang tepat. Apa pendapat saudara? Lakukan pembahasan lengkap secara normatif dan lengkapi dengan penelusuran pustaka.

Jawab:
             Menurut Hawkins, istilah penegakan hukum (law enforcement) dapat dilihat dari dua sistem atau strategi yang disebut “compliance” dengan “conciliatory style” sebagai karakteristiknya, dan “sanctioning” dengan “penal style” sebagai ciri utamanya. Conciliatory style bersifat remedial, suatu metode “social repair and maintenance, assistance of people in trouble” yang berkaitan dengan “what is necessary to ameliorate a bad situation”. Sedangkan penal control “prohibits with punishment”, sifatnya adalah “accusatory”, hasilnya “binary”, yaitu: “all or nothing punishment or nothing”.[13]
             Dalam penanganan masalah-masalah lingkungan, penegakan hukum preventif melalui sarana hukum administrasi menduduki posisi yang penting, karena fungsinya yang bertolak dari asas penanggulangan pada sumber (abatement at the source principle). Asas penanggulangan pada sumber (abatement at the source principle) terutama bertolak pada prioritas penanganan secara preventif. Lebih baik mencegah pencemaran atau menangani pada sumbernya daripada membersihkan kembali pencemaran yang telah terjadi. Sehingga proses penegakan hukum melalui sarana hukum administrasi dianggap lebih memenuhi fungsi perlindungan “hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” sebagai hak konstitusional.[14]
             Digunakannya hukum administrasi dalam penegakan hukum lingkungan administratif berpijak pada beberapa kelebihan yang dimiliki hukum administrasi, yaitu:[15]
1)      Berfungsi sebagai sarana pengendalian, pencegahan dan penanggulangan perbuatan yang dilarang.
2)      Instrumen yuridis hukum administrasi yang bersifat preventif dan berfungsi untuk mengakhiri atau menghentikan pelanggaran lingkungan.
3)      Bersifat reparatoir (memulihkan pada keadaan semula).
4)      Sanksi administrasi tidak perlu melalui proses pengadilan yang memakan waktu lama dan bertele-tele.
5)      Sebagai sarana penecagahan dapat lebih efisien dari sudut pembiayaan dan waktu penyelesaian dibandingkan penegakan hukum pidana dan perdata.
6)      Biaya penegakan hukum administrasi yang meliputi biaya pengawasan di lapangan dan pengujian laboratorium lebih murah dibandingkan biaya penumpulan bukti, investigasi lapangan, dan biaya saksi ahli untuk membuktikan aspek kausalitas (hubungan sebab akibat) dalam kasus pidana dan perdata.
             Penegakan hukum melalui instrumen administratif bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum adanya pelanggaran. Jadi fokus sanksi administrasi adalah perbuatan berbeda halnya dengan sanksi hukum pidanya yang fokusnya adalah pada orangnya (dader, offender)[16]
             Sebagai instrumen penegakan hukum preventif, hukum administrasi dalam penegkan hukum lingkungan dikonstruksikan melalui instrumen pengawasan dan perizinan. Artinya penegakan hukum melalui instrumen administrasi itu terlatak pada pengwasan dan prizinan. Dalam UUPPLH tahun 2009, masalah pengawasan diatur dalam Pasal 71 sampai Pasal 74. Pasal 71 ayat (1) menentukan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota juga dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Serta menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
             Hasil pengawan yang telah dilakukan tentu diikuti sebuah instrument yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan administrasi, berupa sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 76 hingga Pasal 83 UUPPLH. Sanksi hukum administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terhadap seorang atau kegiatan usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan administrasi. Beberapa contoh dari pelanggaran hukum lingkungan administrasi adalah menjalankan tempat usaha tanpa memiliki izin-izin yang diperlukan oleh kegiatan usaha misalkan industri, hotel, dan rumah sakit. Membuang limbah tanpa izin pembuangan air limbah dan berbagai pelanggaran administrasi lainnya.[17]
             UUPPLH dalam Pasal 76 ayat (2) telah menentukan jeis-jenis sanksi administrasi yang dapat diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, yaitu berupa:
a.       teguran tertulis;
b.      paksaan pemerintah;
c.       pembekuan izin lingkungan; atau
d.      pencabutan izin lingkungan.
             Dalam praktik penegakan hukum lingkungan administrasi pada masa berlakunya UULH 1997, pejabat penegak hukum lingkungan administrasi sering kali menggunakan teguran tertulis untuk mengingatkan bahwa telah terjadi pelanggaran ketentuan hukum lingkungan administrasi walaupun tidak diatur dalam UULH 1997. Oleh sebab itu, perancang UUPPLH 2009 memformulasikan terguran tertulis sebagai salah satu sanksi hukum administrasi.[18] Langkah perancang UUPPLH ini, dapat dikatan sebagai sebuah langkah yang progresif.
             Dalam UUPPLH, Kewenangan penjatuhan sanksi paksaan pemerintah pada tiga pejabat yaitu Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (2). Selanjutnya, Pasal 80 ayat (1) UUPPLH menyebutkan beberapa bentuk tindakan paksaan yang dapat dikenakan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, yaitu berupa:
a.       penghentian sementara kegiatan produksi;
b.      pemindahan sarana produksi;
c.       penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d.      pembongkaran;
e.       penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
f.       penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g.      tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
             Adapun sanksi administrasi berupa Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.[19] sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan adalah upaya-upaya terakhir dalam penegakan hukum lingkungan administrasi.
            















4.   Dalam penegakkan hukum lingkungan kepidanaan dikenal asas subsidiaritas sebagai perwujudan dari doktrin “the principle of restraint”. Asas ini juga di akomodasi dari undang-undang, namun berbeda substansinya dengan dari undang-undang sebelumnya. Apakah asas ini hanya terhadap pasal-pasal “administratif dependent crimes” ataukah juga terhadap pasal-pasal mengenai tindak pidana pencemaran/perusakan lingkungan. Lengkapi pandangan saudara dengan pembahasan secara menyeluruh termasuk bila perlu perbaikan perumusan tindak pidana pencemaran/perusakan, serta perlunya sanksi pidana baru yang dianggap lebih memadai dalam tindak pidana lingkungan.

Jawab:
             Penegakan hukum lingkungan kepidanaan yang mengakomodasi asas subsidiaritas seseungguhnya berawal dari Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau yang dikenal dengan UUPPLH. Sebagaimana undang-undang sebelumnya UUPPLH memuat dua jenis rumusan delik yakni delik materil dan delik formil. Delik materil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang dianggap sudah sempurna atau terpenuhi apabila perbuatan itu telah menimbulkan akibat,[20] delik materil ini disebut juga Administrative Independent Crime. Adapun delik formil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang dianggap sudah sempurna atau terpenuhi begitu perbuatan tersebut dilakukan tanpa mengaharuskan adanya akibat dari perbuatan tersebut.[21] Delik Formil juga di kenal dengan Administrative Dependent Crime.
             Sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tersebut tetap sesuai dengan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain tidak berhasil. Cara yang demikian itu disebut juga dengan asas ultimum remedium atau ultima ratio principle atau yang  dikenal dengan “obat terakhir”.[22] Dalam penegakan hukum lingkungan kepidanaan sebagaimana diatur dalam UUPPLH juga menganut asas ini yang sebelumnya dituangkan dalam UUPLH.
             Dalam UUPPLH 2009 tidak memberikan penjelasan tentang defenisi atau pengertian asas ultimum remedium, undang-undang ini memang tidak menyinggung masalah asas ultimum remedium atau dikenal dengan asas subsidiaritas secara eksplisit. Namun dalam ketentuan pidana Pasal 100 ayat (2) UUPPLH tersirat pemberlakuan asas ultimum remedium. Asas tersebut sesungguhnya merupakan perwujudan dari doktrin “the principle of restraint” atau dikenal dengan asas pengendalian. Asas ini merupakan salah satu syarat kriminalisasi yang menyatakan bahwa sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila sanksi-sanksi perdata dan sanksi administrasi dan sarana-sarana lain ternyata tidak tepat dan tidak efektif untuk menangani tindak pidana tertentu.
             Rumusan Pasal 100 UUPPLH telah secara jelas menunjukkan bahwa rumusan tersebut menganut asas subsidiaritas (ultimum remedium), sebagaimana dapat dilihat berikut ini:
(1)   Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali”.
             Menurut pasal 100 ayat 2 tersebut maka dapat diketahui bahwa ada pemberlakuan asas ultimum remedium, dimana pemidanaan pada pasal 100 ayat 1 dapat dikenakan bilamana sanksi administratif yang sudah diputus oleh pemerintah tidak dipatuhi oleh pemegang usaha dan kegiatan yang memanfaatkan lingkungan.
             Pertanyaannya adalah  apakah penerapan asas ini hanya terdapat pada delik formil (administratif dependent crimes) ataukah juga terhadap pasal-pasal mengenai tindak pidana pencemaran/perusakan lingkungan. Maka menurut penulis penerapan asas subsidiaritas (ultimum remedium) sebenarnya dapat pula diterapkan pada pasal-pasal tindak pidana pencemaran atau perusakan lingkungan atau yang dimaksud dalam hal ini adalah delik materil (administratif independent crimes).
             Dalam UUPPLH rumusan delik materil terkait dengan pencemaran lingkungan hidup tidak lagi menggunakan kata atau istilah “ pencemaran lingkungan hidup” tetapi secara konseptual tidak mengubah makna dan tujuan yang diinginkan. Rumusan UUPPLH dibuat lebih konkrit dengan menggunakan istilah “dilampauina baku mutu ambien atau baku mutu air”. Dengan kata lain pencemaran lingkungan hidup terjadi apabila baku mutu ambien terlampaui.[23] Rumusan delik materil ini dapat ditemukan dalam Pasal 98 ayat (1) dan Pasal ayat (1) UUPPLH.
Pasal 98
(1)   Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
             Rumusan Pasal 98 ayat (1) tersebut di atas tentu tidak mencerminkan asas asas subsidiaritas (ultimum remedium), maka untuk membuat rumusan tersebut menganut asas subsidiaritas maka rumusannya harus diubah. Penulis mencoba untuk membuat rumusan delik materil dalam Pasal 98 ayat (1) tersebut agar mencerminkan asas  subsidiaritas dengan merubah rumusannya sebagai berikut:
(1)   Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, atau baku mutu air, atau baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup di atas ambang batas-batas yang telah ditentukan dan/atau menimbulkan kerusakan lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali”.
             Rumusan yang penulis buat di atas bukan rumusan yang sebenarnya, artinya rumusan tersebut hanya ingin menunjukkan cara yang dapat ditempuh agar delik formil dapat menganut asas subsidiaritas, yaitu dengan cara menetukan batas-batas baku mutu yang boleh dilampaui atau dengan kata lain memberikan batas-batas tertentu terhadap baku mutu sesuai dengan tingkat bahayanya kemudian tingkatan bahaya dari baku mutu tersebut digunakan untuk merumuskan sanksi administrasi atau sanksi perdata terlebih dahulu sebleum menentukan sanksi pidana. Sebagaimana asas subsidiaritas yang menghendaki bahwa hukum pidana sebagai langkah terakhir dalam penegakan hukum lingkungan hidup.

ž  SARAN PERBAIKAN
1.      Penggabungan, pemisahan atau penghapusan suatu kementerian harus dapat memberikan pengaruh yang besar bagi suatu pemerintahan demi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu setiap kemeterian harus diisi oleh orang-orang yang ahli dibidangnya bukan semata mata karena pertimbangan politik.
2.      Pengaturan mengenai Hinder Ordonnantie harus di perjelas bila perlu mengaturnya dalam sebuah undang-undang baru, dengan kata lain mengganti Hinder Ordonnantie yang belum dicabut keberlakuannya. Karena izin gangguan ini sering kali digunakan oleh pemerintah daerah untuk meraup keuntungan pribadi bukan untuk kepentingan perlingungan lingkungan hidup.
3.      Penegakan hukum lingkungan administrasi harus lebih menekankan pada perbaikan lingkungan sehingga lingkungan yang telah rusak akobat dari kegiatan usaha dan sebagainya dapat kembali seperti semula.
4.      Penegakan hukum lingkungan kepidanaan harus mulai mengarah ke arah yang lebih progresif dengan menerapkan asas subsidiaritas tidak hanya kepada delik formil melainkan juga delik materil.







SUMBER REFRENSI
BUKU
Berge, NM Spelt., dan JBJM Ten., 1993, Pengantar Sanksi Perizinan, Yuridika, Surabaya.

Hamzah, Andi, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Hawkins, Keith., 1984, Environment and Enforcement, Oxford: Clarendon Press.
.
Rahmadi, Takdir., Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Rangkuti, Siti Sundari., 1987, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya.
Ratnawati, Rosa Vivien., 2009, Penegakan Hukum Administrasi di Bidang Lingkungan Hidup, Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Salindeho, John., Undang-Undang Gangguan dan Masalah Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 1989.

Siahaan, N H T., Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan, Jakarta: Erlangga, 2004

Siswosoediro, Henry S., Mengurus Surat-Surat Perizinan, Visimedia: Jakarta, 2007.

Supriyono, Harry., Bahan Ajar Hukum Lingkungan, yogyakarta, 2010. Sebagaimana yang telah dijelaskan juga dalam perkuliahan magister hukum kenegaraan di fakultas hukum UGM.


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

INTERNET
http://kepustakaanpresiden.pnri.go.id/cabinet_minister/?box=detail&id=41&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=6&presiden=sby



[2] Ibid.
[3] Pasal 19 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.

[4] NM Spelt, dan JBJM Ten Berge, 1993, Pengantar Sanksi Perizinan, disunting oleh Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya, hal.2.
[5] Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2011 hlm. 105-106
[6] Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 114-115
[7] John Salindeho, Undang-Undang Gangguan dan Masalah Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 1989,
[8] N H T Siahaan, Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan, Jakarta: Erlangga, 2004, hlm. 186-189.
[9] Siti Sundari Rangkuti, 1987, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 126-151.
[10] N H T Siahaan, Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan, loc.cit. lihat juga Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, op.cit., hlm 24-25.

[11] Henry S. Siswosoediro, Mengurus Surat-Surat Perizinan, Visimedia: Jakarta, 2007, hlm 71.
[12] Ibid., hlm 69
[13] Keith Hawkins, 1984, Environment and Enforcement, Oxford: Clarendon Press, hlm. 3-4
[14] Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam UUD 1945 dirumuskan dalam Pasal 28H ayat (1) Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, yang dirumuskan sebagai berikut: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan

[15] Rosa Vivien Ratnawati, 2009, Penegakan Hukum Administrasi di Bidang Lingkungan Hidup, Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup, hlm. 2-3
[16] Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan,op.cit., hlm. 82
[17] Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, op.cit., hlm. 212
[18] Ibid., hlm. 213
[19] UUPLH, Pasal 79.
[20] Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, op.cit., hlm. 224
[21] Ibid.
[22] Harry Supriyono, Bahan Ajar Hukum Lingkungan, yogyakarta, 2010. Sebagaimana yang telah dijelaskan juga dalam perkuliahan magister hukum kenegaraan di fakultas hukum UGM.
[23] Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, op.cit., hlm. 227, Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan, loc.cit. lihat juga Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, op.cit., hlm 24-25.

[11] Henry S. Siswosoediro, Mengurus Surat-Surat Perizinan, Visimedia: Jakarta, 2007, hlm 71.
[12] Ibid., hlm 69
[13] Keith Hawkins, 1984, Environment and Enforcement, Oxford: Clarendon Press, hlm. 3-4
[14] Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam UUD 1945 dirumuskan dalam Pasal 28H ayat (1) Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, yang dirumuskan sebagai berikut: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan

[15] Rosa Vivien Ratnawati, 2009, Penegakan Hukum Administrasi di Bidang Lingkungan Hidup, Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup, hlm. 2-3
[16] Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan,op.cit., hlm. 82
[17] Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, op.cit., hlm. 212
[18] Ibid., hlm. 213
[19] UUPLH, Pasal 79.
[20] Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, op.cit., hlm. 224
[21] Ibid.
[22] Harry Supriyono, Bahan Ajar Hukum Lingkungan, yogyakarta, 2010. Sebagaimana yang telah dijelaskan juga dalam perkuliahan magister hukum kenegaraan di fakultas hukum UGM.
[23] Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, op.cit., hlm. 227

Tidak ada komentar:

Posting Komentar