Mata Hukum
Lingkungan
Program
Studi Magister Hukum
Dosen: Dr.
Harry Supriyono, S.H., M.Si.
YOGYAKARTA
2015
1. Pandangan terkait penggabungan Kementerian
Lingkungan dan Kementerian Kehutanan? Buat rancangan struktur organisasi
kementerian baru ini setidaknya untuk tingkat eselon 1. Bila mampu merancang
sampai jabatan eselon 2.
Jawab:
Sejak Indonesia mardeka pada tahun
1945, sistem ketatanegaraan termasuk di dalamnya adalah susunan Lembaga
Kementerian, Lembaga Departemen dan Lembaga Non Departemen senantiasa
berubah-ubah dan mencari bentuk yang sesuai dengan pemerintahan pada masa itu.
Sejak proklamasi kemardekaan sampai dengan lengsernya sang proklamator presiden
Soekarno pada tahun 1966, Indonesia belum memiliki kementerian yang fokus pada
lingkungan hidup. Barulah pada kabinet pembangunan III di bawah presiden
Soeharto, Indonesia memiliki kementerian yang konsen pada lingkungan hidup.
Pada saat itu Kementerian Lingkungan Hidup tidak berdiri sendiri melainkan
digabung dengan Kementerian Pengawasan dan Pembangunan. Pada Kabinet Pembangun
III presiden Soeharto membentuk sebuah kementerian yang diberi nama Kementerian
Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Kemeneg PPLH, 1978-1983).
Kemudian pada era Kabinet Pembangunan IV Kementerian Lingkungan Hidup digabung
dengan Kementerian Kependudukan, sehingga terbentuklah Kementerian Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup (Kemeneg KLH, 1983-1993). Sedangkan Kementerian Kehutanan
baru terbentuk pada Kabinet Pembangunan IV, pada saat itu Kementerian Kehutanan
berdiri sendiri dan terus ada sampai pemerintahan Presiden Habibie.[1]
Setelah lengsernya presiden
Soeharto, BJ. Habibie di daulat menjadi Presiden Indonesia yang ke 3. Di bawah
pemerintahan Presiden Habibie Kementerian Lingkungan Hidup berdiri sendiri
dengan nama Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Kemeneg LH, 1993-2005) dan
dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dengan nama Kementerian Lingkungan Hidup (Kemen LH, 2005-2014). Berbeda halnya
dengan Kementerian Lingkungan Hidup yang mulai berdiri sendiri sejak
pemerintahan Presiden Habibie, Kementerian Kehutanan justru digabungkan dengan
Kementerian Perkebunan sehingga menjadi Kementerian Kehutanan dan Perkebunan
(26 Oktober 1999 - 9 Agustus 2001) pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid. Kemudian Pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri
Kementerian Kehutanan kembali di pisah dan sempat di hapus pada masa Kabinet
Indonesia Bersatu pemerintahan Presiden SBY, namun pada Kabinet Indonesia
Bersatu II Kementerian Kehutanan Kembali diadakan.[2]
Presiden terpilih Joko Widodo
(Jokowi), baru-baru ini telah membuat suatu langkah baru dengan menggabungkan
Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan atau yang saat ini
dikenal dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK). Sejarah
mencatat bahwa sebenarnya sebagian besar kementerian yang ada sekarang telah
mengalami berbagai perubahan, meliputi penggabungan, pemisahan, pergantian
nama, dan pembubaran (baik sementara atau permanen). Jumlah kementerian sendiri
hampir selalu berbeda-beda dalam setiap kabinet, dimulai dari yang hanya
berjumlah belasan hingga pernah mencapai lebih dari 100 Kementerian, sebelum
akhirnya dibatasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 UU No. 39 Tahun 2008
Tentang Kementerian Negara, yaitu sejumlah maksimal 34 kementerian.
Penggabungan Kementerian Lingkungan
Hidup dengan Kementerian Kehutanan sebenarnya bukanlah suatu yang baru di
Indonesia, beberapa pemerintahan sebelumnya juga pernah melakukan penggabungan,
pemisahan bahkan penghapusan kementerian. Hal tersebut merupakan domain dan hak
presiden untuk menentukannya, walaupun setelah terbentuknya UU No. 39 Tahun
2008, untuk mengubah suatu kementerian baik itu menggabungkan atau
memisahkannya harus mendapat pertimbangan dari DPR.[3]
Penggabungan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan tentu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Kekurangannya adalah sulitnya menyatukan pemikiran masing-masing kementerian
yang sebelumnya berdiri sendiri, sehingga ego sektoral seringkali muncul. Oleh
karena itu, tugas Menteri LHK akan sedikit lebih berat untuk melebur dua
birokrasi berbeda dengan kekuatan, kelemahan dan kapasitas yang berbeda pula
merupakan sebuah tantangan yang tidak mudah. Sehingga perlu waktu untuk
mengoptimalkan kinerja kementerian yang baru ini. Adapun kelebihannya adalah
penggabungan kementerian tersebut dapat mengkonsumsi pengelolaan berbagai isu
yang tadinya berada dalam yurisdiksi parsial dari kedua kementerian. Seperti
masalah kebakaran lahan dan
hutan yang selama ini terjadi dapat ditangani dengan baik karena kementerian
tersebut memiliki sumber daya manusia yang memadai karena menggabungkan dua kementerian dapat
membantu mengisi berbagai celah dalam keahlian atau sumber daya yang diperlukan
untuk menyelenggarakan berbagai tugas besar yang menanti (The Jakarta Globe
edisi 7 November). Dengan demikian, tugas Menteri LKH adalah memformulasikan
kekurangan dan kelebihan dari masing-masing kementerian tersebut sehingga
kementerian yang baru ini dapat menjadi kementerian yang kuat dalam struktur
organisasi dan kinerja, serta dapat menyelesaikan masalah-masalah kompleks yang
terjadi berkaitan dengan lingkungan dan kehutanan.
Rancangan
struktur organisasi Kementerian Lingkungan dan Kementerian Kehutanan Tingkat
Eslon I.
Staf Ahli
Menteri Bidang:
1.
Hubungan
Lembaga Antar Pusat dan Daerah
2.
Industri dan
Perdagangan Daerah
3.
Sosial,
Budaya, dan Kesehatan Lingkungan
4.
Perekonomian
dan Pembangunan Berkelanjutan
5.
Revitalisasi
Industri Kehutanan
|
Menteri
Lingkungan
Hidup dan Kehutahan
|
Inspektorat
Jendral
|
Sekretariat
Jendral
|
Ditjen
Planologi
dan Tata Lingkungan
|
Ditjen
Konservasi
SDA dan ekosistem
|
Ditjen
Pengendalian
DAS dan HL
|
Ditjen
Pengendalian Hutan Produksi Lestari
|
Ditjen
Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan
|
Ditjen
Pengelolaan sampah dan Limbah
|
Ditjen
Pengendalian
Perubahan Iklim
|
Ditjen
Perhutanan Sosial & Kemitraan Lingkungan
|
Ditjen
Penegakan Hukum Lingkungan
|
Badan
Penyuluhan dan pengembangan SDM
|
Badan
LITBANG
dan Inovasi
|
Ditjen
Perlindungan Hutan& Konservasi Alam
|
2. Izin Lingkungan dalam UU No. 32 tahun 2009
dimaksudkan untuk mengintegrasikan berbagai perizinan dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan yang sudah ada. Namun tidak mencabut Hinder
Ordonnantie yang memberlakukan izin gangguan yang sesungguhnya juga sebagai
izin dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Lakukan pembahasan mengenai
izin lingkungan ini secara menyeluruh, baik dari aspek normatif berdasar
peraturan perundang-undangan maupun secara teori, serta dengan membandingkan
dengan di Belanda.
Jawab:
Sebagai suatu instrumen, izin
lingkungan berfungsi sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang pelaku usaha
dan/atau kegiatan untuk mencapai tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dan untuk menanggulangi masalah lingkungan disebabkan aktivitas manusia
yang melekat dengan dasar izin dan juga dapat berfungsi sebagai sarana yuridis
untuk mencegah serta menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan.
N.M.Spelt dan JBJM. Ten Berge
membedakan penggunaan istilah perizinan dan izin, dimana perizinan merupakan
pengertian izin dalam arti luas, sedangkan istilah izin digunakan untuk
pengertian izin dalam arti sempit. Pengertian perizinan (izin dalam arti luas)
adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan
pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan
larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang
memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Sedangkan yang pokok dari izin dalam arti sempit
(izin) ialah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan
tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat
dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap-tiap kasus.[4]
Di indonesia dasar pengaturan
perizinan lingkungan ditata dalam UUPLH 1997, mulai dari Pasal 18 hingga Pasal
21. Tidak seperti belanda yang bersifat terpadu dan hanya mengenal satu jenis
perizinan (WM-Vergunning), di Indonesia dikenal dengan berbagai macam
izin. Terdapat berbagai jenis izin yang dapat di kategorikan sebagai perizinan
di bidang lingkungan atas dasar kriteria bahwa izin-izin tersebut dimaksudkan
atau berfungsi untuk pencegahan pencemaran
atau gangguan lingkungan, pencegahan lingkungan akibat pengambilan
sumber daya alam dan penataan ruang. Izin-izin tersebut berupa Izin Hinder
Ordonansi, Izin Usaha, Izin Pembuangan Air Limbah dan Dumping serta Izin
Pengorganisasian Instalasi Pengelolaan Limbah bahan Berbahaya dan Beracun (B3),
Izin Lokasi Izin Mendirikan Bangunan. Dimana berbagai izin yang telah
disebutkan tadi diatur dalam peraturan perundang undangan yang berbeda.[5]
Hinder Ordonnantie (ordonansi
gangguan) Stbl. No. 226 Tahun 1926, sebagaimana telah diubah dengan Stbl. No.
499 Tahun 1927, No. 14 dan 400 Tahun 1940 dan terakhir diubah berdasarkan Stbl.
1949 No. 450 merupakan salah satu peraturan yang bermaksud melindungi
masyarakat dari gangguan tempat-tempat kerja yang mendatangkan polusi,
kebakaran, dan kebisingan. Oleh karena itu tempat-tempat kerja hanya boleh
didirikan dengan izin.[6] Hinder
Ordonnantie memuat ketentuan-ketentuan tentang pencegahan dampak negatif
yang timbul di lingkungan sekitar tempat usaha melalui perizinan. Hinder
Ordonnantie memuat beberapa ketentuan sanksi yang dapat dikenakan pada
pelanggaran ketentuan-ketentuan Hinder Ordonnantie. Bentuk sanksi
tersebut berupa peringatan, pencabutan izin sementara, pencabutan izin
selamanya, denda atau kurungan.
Jika melihat pendapat yang
dikemukakan oleh John Salindeho, Hinder Ordonnantie merupakan sesuatu
yang penting. Menurut beliau pengertian bahaya, kerugian dan/atau gangguan
terhadap lingkungan hidup dan ekosistem sejak dibentuk dan diberlakukannya Hinder
Ordonnantie dapat dileburkan ke dalam pengertian sesuai teori/ilmu yang sudah
dikembangkan sekarang ini dan untuk dapat menampung keadaan atau perubahan di
zaman mendatang. Lebih lanjut John menjelaskan bahwa patokan-patokan pengertian
bahaya, kerugian dan gangguan yang tercantum dalam Hinder Ordonnantie seolah-olah
telah dicabut oleh UU No. 4 Tahun 1982, walaupun hal ini tidak disebut
terang-terangan di dalam Undang-Undang ini.[7]
Hinder Ordonnantie
ini diberlakukan berdasarkan asas konkordansi hukum Belanda ke Indonesia. Di
Belanda peraturan seperti ini yang disebut Hinderwet (HW) ini dibuat
pertama kali berdasarkan S. 1875 No. 95, yang kemudian mengalami perkembangan
perubahan beberapa kali dan terakhir setelah berlakunya Wet Milieubeheer[8]
berdasarkan S. 1992 No. 551 pada 1 Maret 1993, HW tidak berlaku lagi. Izin
lingkungan yang terdapat dalam HW dipadukan menjadi bagian dari Wet
Milieubeher. Sebagai catatan, pengertian dipadukan dalam Wet
Milieubeheer[9]
ini adalah bahwa sejak Wet tersebut diberlakukan pada 1 Maret 1993, maka
di Belanda berlaku sistem di mana semua peraturan perundang-undangan mengenai
pengelolaan lingkungan hanya menetapkan suatu izin secara terpadu, yang disebut
integrale milieuvergunning, perizinannya lazim disebut Wm-Vergunning.
Sistem keterpaduan izin ini semula merupakan jenis-jenis perizinan yang
dikeluarkan secara sektoral, yakni:[10]
1. Hinderwet (Undang-Undang
Gangguan)
2. Wet luchterverontreniging (Undang-Undang
Mengenai Pencemaran Udara)
3. Wet geluidhinder
(Undang-Undang Gangguan Suara)
4. Afvalstoffenwet
(Undang-Undang Bahan Limbah)
5. Wet chemische afvalstoffen
(Undang-Undang Bahan Limbah Kimia)
6. Wet Milieugevarlijke Stofen
(Undang-Undang Bahan Berbahaya Bagi Lingkungan)
Wet Milieubeheer
adalah perubahan dari Wet Algemene Bepalgen
Milieuhigiene (WABM) berdasarkan S. 1979 No. 442, yang berlaku 1
september 1983. WABM ini pada dasarnya mengunifikasikan (unifikasi) dan
mengharmonisasikan perizinan atas semua pengaturan pengelolaan lingkungan di
Belanda.
UUPLH 1997 sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH) mengatur mengenai perizinan dalam pasal 36 sampai Pasal 41.
Dalam UUPPLH ini, Hinder Ordonnantie yang memuat di dalamnya izin
gangguan seolah seperti mayat hidup yang keberadaannya belum jelas.
Namun, dengan adanya undang-undang otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan
kewenangan untuk mengatur sendiri bagaimana sistem perizinan yang meyangkut
izin gangguan ini. Sehingga masing-masing daerah menentukan pengaturan yang
berbeda-beda, seperti di DKI Jakarta dasar hukum mengenai Hinder Ordonnantie
diatur dalam Peraturan Daerah No.3 Tahun 1999 tentang Tarif Retribusi Izin
Undang-Undang Gangguan.[11]
Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, dasar hukumnya adalah Peraturan Daerah
Kabupaten Tingkat II Kulon Progo No. 9 Tahun 1987 Tentang Izin Tempat Usaha/HO
jo. Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Kulon Progo No. 11 Tahun 1991 dan
Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo No. 13 Tahun 1998.[12]
UUPPLH 2009 mengatur 2 (dua) konsep
perizinan, yaitu:
1) Pasal 1 angka 35 UUPPLH bahwa izin lingkungan
adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan yang wajib amdal atau UKL/UPL dalam rangka perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha
dan/atau kegiatan;
2) Pasal 1 angka 36 UUPPLH bahwa izin usaha
dan/atau kegiatan yakni izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk
melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa penetapan perizinan sebagai salah satu instrumen hukum dari
pemerintah ialah untuk mengendalikan kehidupan masyarakat agar tidak menyimpang
dari ketentuan hukum yang berlaku, serta membatasi aktifitas masyarakat agar
tidak merugikan orang lain. Dan izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau
kegiatan mempunyai keterkaitan yang erat satu sama lainnya.
3. Pengaturan penegakkan hukum lingkungan
administratif dalam undang-undang selalu saja menarik untuk didiskusikan, baik
mengenai kelembagaan dan kewenangan, sanksi, dan mekanisme penerapan sanksi.
Dibanding dengan undang-undang sebelumnya, ada yang dipandang lebih progresif
dan dapat memperkuat dalam penegakkan hukum, namun sebagian juga bisa dianggap
kurang tepat. Apa pendapat saudara? Lakukan pembahasan lengkap secara normatif
dan lengkapi dengan penelusuran pustaka.
Jawab:
Menurut Hawkins, istilah penegakan
hukum (law enforcement) dapat dilihat
dari dua sistem atau strategi yang disebut “compliance”
dengan “conciliatory style” sebagai
karakteristiknya, dan “sanctioning”
dengan “penal style” sebagai ciri
utamanya. Conciliatory style bersifat
remedial, suatu metode “social repair and maintenance, assistance of people in trouble” yang
berkaitan dengan “what is necessary to ameliorate
a bad situation”. Sedangkan penal control
“prohibits with punishment”, sifatnya adalah “accusatory”, hasilnya “binary”,
yaitu: “all or nothing punishment or
nothing”.[13]
Dalam penanganan masalah-masalah lingkungan,
penegakan hukum preventif melalui sarana hukum administrasi menduduki posisi yang
penting, karena fungsinya yang bertolak dari asas penanggulangan pada sumber (abatement at the source principle). Asas penanggulangan pada
sumber (abatement at the source principle) terutama bertolak pada
prioritas penanganan secara preventif.
Lebih baik mencegah pencemaran atau menangani
pada sumbernya daripada membersihkan kembali pencemaran yang telah terjadi. Sehingga proses penegakan hukum
melalui sarana hukum administrasi dianggap lebih memenuhi fungsi perlindungan
“hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” sebagai hak konstitusional.[14]
Digunakannya hukum administrasi
dalam penegakan hukum lingkungan administratif berpijak pada beberapa kelebihan
yang dimiliki hukum administrasi, yaitu:[15]
1)
Berfungsi sebagai sarana pengendalian,
pencegahan dan penanggulangan perbuatan yang dilarang.
2)
Instrumen yuridis hukum administrasi yang
bersifat preventif dan berfungsi untuk mengakhiri atau menghentikan pelanggaran
lingkungan.
3)
Bersifat reparatoir (memulihkan pada
keadaan semula).
4)
Sanksi administrasi tidak perlu melalui
proses pengadilan yang memakan waktu lama dan bertele-tele.
5)
Sebagai sarana penecagahan dapat lebih
efisien dari sudut pembiayaan dan waktu penyelesaian dibandingkan penegakan
hukum pidana dan perdata.
6)
Biaya penegakan hukum administrasi yang
meliputi biaya pengawasan di lapangan dan pengujian laboratorium lebih murah
dibandingkan biaya penumpulan bukti, investigasi lapangan, dan biaya saksi ahli
untuk membuktikan aspek kausalitas (hubungan sebab akibat) dalam kasus pidana
dan perdata.
Penegakan hukum melalui instrumen
administratif bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum
atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan
semula (sebelum adanya pelanggaran. Jadi fokus sanksi administrasi adalah
perbuatan berbeda halnya dengan sanksi hukum pidanya yang fokusnya adalah pada
orangnya (dader, offender)[16]
Sebagai instrumen penegakan hukum
preventif, hukum administrasi dalam penegkan hukum lingkungan dikonstruksikan
melalui instrumen pengawasan dan perizinan. Artinya penegakan hukum melalui
instrumen administrasi itu terlatak pada pengwasan dan prizinan. Dalam UUPPLH
tahun 2009, masalah pengawasan diatur dalam Pasal 71 sampai Pasal 74. Pasal 71
ayat (1) menentukan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Selain itu, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota juga dapat mendelegasikan
kewenangannya kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Serta menetapkan pejabat
pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
Hasil pengawan yang telah dilakukan
tentu diikuti sebuah instrument yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku
usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan administrasi, berupa sanksi
administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 76 hingga Pasal 83 UUPPLH. Sanksi
hukum administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh
pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terhadap seorang atau
kegiatan usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan administrasi. Beberapa
contoh dari pelanggaran hukum lingkungan administrasi adalah menjalankan tempat
usaha tanpa memiliki izin-izin yang diperlukan oleh kegiatan usaha misalkan
industri, hotel, dan rumah sakit. Membuang limbah tanpa izin pembuangan air
limbah dan berbagai pelanggaran administrasi lainnya.[17]
UUPPLH dalam Pasal 76 ayat (2)
telah menentukan jeis-jenis sanksi administrasi yang dapat diberikan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan,
yaitu berupa:
a. teguran
tertulis;
b. paksaan
pemerintah;
c. pembekuan
izin lingkungan; atau
d. pencabutan
izin lingkungan.
Dalam praktik penegakan hukum
lingkungan administrasi pada masa berlakunya UULH 1997, pejabat penegak hukum
lingkungan administrasi sering kali menggunakan teguran tertulis untuk
mengingatkan bahwa telah terjadi pelanggaran ketentuan hukum lingkungan
administrasi walaupun tidak diatur dalam UULH 1997. Oleh sebab itu, perancang
UUPPLH 2009 memformulasikan terguran tertulis sebagai salah satu sanksi hukum
administrasi.[18]
Langkah perancang UUPPLH ini, dapat dikatan sebagai sebuah langkah yang
progresif.
Dalam UUPPLH, Kewenangan penjatuhan
sanksi paksaan pemerintah pada tiga pejabat yaitu Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (2). Selanjutnya, Pasal
80 ayat (1) UUPPLH menyebutkan beberapa bentuk tindakan paksaan yang dapat
dikenakan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, yaitu berupa:
a. penghentian
sementara kegiatan produksi;
b. pemindahan
sarana produksi;
c. penutupan
saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. pembongkaran;
e. penyitaan
terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
f. penghentian
sementara seluruh kegiatan; atau
g. tindakan
lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan
fungsi lingkungan hidup.
Adapun sanksi administrasi berupa Pengenaan
sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan
apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan
pemerintah.[19]
sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan adalah
upaya-upaya terakhir dalam penegakan hukum lingkungan administrasi.
4. Dalam penegakkan hukum lingkungan kepidanaan dikenal
asas subsidiaritas sebagai perwujudan dari doktrin “the principle of restraint”. Asas ini juga di akomodasi dari
undang-undang, namun berbeda substansinya dengan dari undang-undang sebelumnya.
Apakah asas ini hanya terhadap pasal-pasal “administratif
dependent crimes” ataukah juga terhadap pasal-pasal mengenai tindak pidana pencemaran/perusakan
lingkungan. Lengkapi pandangan saudara dengan pembahasan secara menyeluruh
termasuk bila perlu perbaikan perumusan tindak pidana pencemaran/perusakan,
serta perlunya sanksi pidana baru yang dianggap lebih memadai dalam tindak
pidana lingkungan.
Jawab:
Penegakan hukum lingkungan kepidanaan yang mengakomodasi asas
subsidiaritas seseungguhnya berawal dari Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yang kemudian direvisi dengan UU
No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau
yang dikenal dengan UUPPLH. Sebagaimana undang-undang sebelumnya UUPPLH memuat
dua jenis rumusan delik yakni delik materil dan delik formil. Delik materil
adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang dianggap sudah
sempurna atau terpenuhi apabila perbuatan itu telah menimbulkan akibat,[20]
delik materil ini disebut juga Administrative Independent Crime. Adapun delik formil adalah delik
atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang dianggap sudah sempurna atau
terpenuhi begitu perbuatan tersebut dilakukan tanpa mengaharuskan adanya akibat
dari perbuatan tersebut.[21]
Delik Formil juga di kenal dengan Administrative Dependent Crime.
Sebagai
penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tersebut tetap sesuai
dengan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan
apabila sanksi bidang hukum lain tidak berhasil. Cara yang demikian itu disebut
juga dengan asas ultimum remedium
atau ultima ratio principle atau yang
dikenal dengan “obat terakhir”.[22]
Dalam penegakan hukum lingkungan kepidanaan sebagaimana diatur dalam UUPPLH
juga menganut asas ini yang sebelumnya dituangkan dalam UUPLH.
Dalam
UUPPLH 2009 tidak memberikan penjelasan tentang defenisi atau pengertian asas ultimum remedium, undang-undang ini
memang tidak menyinggung masalah asas ultimum
remedium atau dikenal dengan asas subsidiaritas secara eksplisit. Namun
dalam ketentuan pidana Pasal 100 ayat (2) UUPPLH tersirat pemberlakuan asas ultimum remedium. Asas tersebut
sesungguhnya merupakan perwujudan dari doktrin “the principle of restraint” atau dikenal dengan asas pengendalian. Asas
ini merupakan salah satu syarat kriminalisasi yang menyatakan bahwa sanksi
pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila sanksi-sanksi perdata dan sanksi
administrasi dan sarana-sarana lain ternyata tidak tepat dan tidak efektif
untuk menangani tindak pidana tertentu.
Rumusan
Pasal 100 UUPPLH telah secara jelas menunjukkan bahwa rumusan tersebut menganut
asas subsidiaritas (ultimum remedium),
sebagaimana dapat dilihat berikut ini:
(1)
Setiap orang
yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan
dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang
telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu
kali”.
Menurut
pasal 100 ayat 2 tersebut maka dapat diketahui bahwa ada pemberlakuan asas ultimum remedium, dimana pemidanaan pada
pasal 100 ayat 1 dapat dikenakan bilamana sanksi administratif yang sudah
diputus oleh pemerintah tidak dipatuhi oleh pemegang usaha dan kegiatan yang
memanfaatkan lingkungan.
Pertanyaannya
adalah apakah penerapan asas ini hanya
terdapat pada delik formil (administratif
dependent crimes) ataukah juga terhadap pasal-pasal
mengenai tindak pidana pencemaran/perusakan lingkungan. Maka menurut penulis
penerapan asas subsidiaritas (ultimum remedium) sebenarnya dapat pula diterapkan pada
pasal-pasal tindak pidana pencemaran atau perusakan lingkungan atau yang
dimaksud dalam hal ini adalah delik materil (administratif independent crimes).
Dalam
UUPPLH rumusan delik materil terkait dengan pencemaran lingkungan hidup tidak
lagi menggunakan kata atau istilah “ pencemaran lingkungan hidup” tetapi secara
konseptual tidak mengubah makna dan tujuan yang diinginkan. Rumusan UUPPLH
dibuat lebih konkrit dengan menggunakan istilah “dilampauina baku mutu ambien
atau baku mutu air”. Dengan kata lain pencemaran lingkungan hidup terjadi
apabila baku mutu ambien terlampaui.[23]
Rumusan delik materil ini dapat ditemukan dalam Pasal 98 ayat (1) dan Pasal
ayat (1) UUPPLH.
Pasal
98
(1)
Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Rumusan
Pasal 98 ayat (1) tersebut di atas tentu tidak mencerminkan asas asas
subsidiaritas (ultimum remedium),
maka untuk membuat rumusan tersebut menganut asas subsidiaritas maka
rumusannya harus diubah. Penulis mencoba untuk membuat rumusan delik materil
dalam Pasal 98 ayat (1) tersebut agar mencerminkan asas subsidiaritas dengan
merubah rumusannya sebagai berikut:
(1)
Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, atau baku mutu air, atau baku mutu air laut, atau kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup di atas ambang batas-batas yang telah
ditentukan dan/atau menimbulkan kerusakan lingkungan, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2)
Tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi
administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan
lebih dari satu kali”.
Rumusan
yang penulis buat di atas bukan rumusan yang sebenarnya, artinya rumusan
tersebut hanya ingin menunjukkan cara yang dapat ditempuh agar delik formil
dapat menganut asas subsidiaritas, yaitu dengan cara menetukan batas-batas baku
mutu yang boleh dilampaui atau dengan kata lain memberikan batas-batas tertentu
terhadap baku mutu sesuai dengan tingkat bahayanya kemudian tingkatan bahaya
dari baku mutu tersebut digunakan untuk merumuskan sanksi administrasi atau
sanksi perdata terlebih dahulu sebleum menentukan sanksi pidana. Sebagaimana
asas subsidiaritas yang menghendaki bahwa hukum pidana sebagai langkah terakhir
dalam penegakan hukum lingkungan hidup.
SARAN
PERBAIKAN
1.
Penggabungan,
pemisahan atau penghapusan suatu kementerian harus dapat memberikan pengaruh
yang besar bagi suatu pemerintahan demi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena
itu setiap kemeterian harus diisi oleh orang-orang yang ahli dibidangnya bukan
semata mata karena pertimbangan politik.
2.
Pengaturan
mengenai Hinder Ordonnantie harus di perjelas bila perlu mengaturnya dalam
sebuah undang-undang baru, dengan kata lain mengganti Hinder Ordonnantie yang
belum dicabut keberlakuannya. Karena izin gangguan ini sering kali digunakan
oleh pemerintah daerah untuk meraup keuntungan pribadi bukan untuk kepentingan
perlingungan lingkungan hidup.
3.
Penegakan
hukum lingkungan administrasi harus lebih menekankan pada perbaikan lingkungan
sehingga lingkungan yang telah rusak akobat dari kegiatan usaha dan sebagainya
dapat kembali seperti semula.
4.
Penegakan
hukum lingkungan kepidanaan harus mulai mengarah ke arah yang lebih progresif
dengan menerapkan asas subsidiaritas tidak hanya kepada delik formil melainkan
juga delik materil.
SUMBER
REFRENSI
BUKU
Berge,
NM Spelt., dan JBJM Ten., 1993, Pengantar
Sanksi Perizinan, Yuridika, Surabaya.
Hamzah,
Andi, Penegakan Hukum Lingkungan,
Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Hawkins,
Keith., 1984, Environment and Enforcement,
Oxford: Clarendon Press.
.
Rahmadi,
Takdir., Hukum Lingkungan di Indonesia,
Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Rangkuti,
Siti Sundari., 1987, Hukum Lingkungan dan
Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia,
Airlangga University Press, Surabaya.
Ratnawati,
Rosa Vivien., 2009, Penegakan Hukum
Administrasi di Bidang Lingkungan Hidup, Jakarta: Kementerian Negara
Lingkungan Hidup.
Salindeho,
John., Undang-Undang Gangguan dan Masalah
Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 1989.
Siahaan,
N H T., Hukum lingkungan dan ekologi
pembangunan, Jakarta: Erlangga, 2004
Siswosoediro,
Henry S., Mengurus Surat-Surat Perizinan,
Visimedia: Jakarta, 2007.
Supriyono,
Harry., Bahan Ajar Hukum Lingkungan, yogyakarta, 2010. Sebagaimana yang telah
dijelaskan juga dalam perkuliahan magister hukum kenegaraan di fakultas hukum
UGM.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Undang
Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
INTERNET
http://kepustakaanpresiden.pnri.go.id/cabinet_minister/?box=detail&id=41&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=6&presiden=sby
[1] Data diperoleh dan diolah dari
website http://kepustakaanpresiden.pnri.go.id/cabinet_minister/?
box=detail&id=41&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=6&presiden=sby diakses pada tanggal 18/01/2015
[2] Ibid.
[3] Pasal 19 ayat (1) UU No. 39
Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.
[4] NM Spelt, dan JBJM Ten Berge,
1993, Pengantar Sanksi Perizinan,
disunting oleh Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya, hal.2.
[5] Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pers, 2011 hlm. 105-106
[6] Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm.
114-115
[7] John Salindeho, Undang-Undang
Gangguan dan Masalah Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 1989,
[9] Siti Sundari Rangkuti, 1987, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan
Lingkungan dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Airlangga
University Press, Surabaya, hlm. 126-151.
Mata Hukum
Lingkungan
Program
Studi Magister Hukum
Dosen: Dr.
Harry Supriyono, S.H., M.Si.
TTD :
YOGYAKARTA
2015
1. Pandangan terkait penggabungan Kementerian
Lingkungan dan Kementerian Kehutanan? Buat rancangan struktur organisasi
kementerian baru ini setidaknya untuk tingkat eselon 1. Bila mampu merancang
sampai jabatan eselon 2.
Jawab:
Sejak Indonesia mardeka pada tahun
1945, sistem ketatanegaraan termasuk di dalamnya adalah susunan Lembaga
Kementerian, Lembaga Departemen dan Lembaga Non Departemen senantiasa
berubah-ubah dan mencari bentuk yang sesuai dengan pemerintahan pada masa itu.
Sejak proklamasi kemardekaan sampai dengan lengsernya sang proklamator presiden
Soekarno pada tahun 1966, Indonesia belum memiliki kementerian yang fokus pada
lingkungan hidup. Barulah pada kabinet pembangunan III di bawah presiden
Soeharto, Indonesia memiliki kementerian yang konsen pada lingkungan hidup.
Pada saat itu Kementerian Lingkungan Hidup tidak berdiri sendiri melainkan
digabung dengan Kementerian Pengawasan dan Pembangunan. Pada Kabinet Pembangun
III presiden Soeharto membentuk sebuah kementerian yang diberi nama Kementerian
Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Kemeneg PPLH, 1978-1983).
Kemudian pada era Kabinet Pembangunan IV Kementerian Lingkungan Hidup digabung
dengan Kementerian Kependudukan, sehingga terbentuklah Kementerian Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup (Kemeneg KLH, 1983-1993). Sedangkan Kementerian Kehutanan
baru terbentuk pada Kabinet Pembangunan IV, pada saat itu Kementerian Kehutanan
berdiri sendiri dan terus ada sampai pemerintahan Presiden Habibie.[1]
Setelah lengsernya presiden
Soeharto, BJ. Habibie di daulat menjadi Presiden Indonesia yang ke 3. Di bawah
pemerintahan Presiden Habibie Kementerian Lingkungan Hidup berdiri sendiri
dengan nama Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Kemeneg LH, 1993-2005) dan
dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dengan nama Kementerian Lingkungan Hidup (Kemen LH, 2005-2014). Berbeda halnya
dengan Kementerian Lingkungan Hidup yang mulai berdiri sendiri sejak
pemerintahan Presiden Habibie, Kementerian Kehutanan justru digabungkan dengan
Kementerian Perkebunan sehingga menjadi Kementerian Kehutanan dan Perkebunan
(26 Oktober 1999 - 9 Agustus 2001) pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid. Kemudian Pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri
Kementerian Kehutanan kembali di pisah dan sempat di hapus pada masa Kabinet
Indonesia Bersatu pemerintahan Presiden SBY, namun pada Kabinet Indonesia
Bersatu II Kementerian Kehutanan Kembali diadakan.[2]
Presiden terpilih Joko Widodo
(Jokowi), baru-baru ini telah membuat suatu langkah baru dengan menggabungkan
Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan atau yang saat ini
dikenal dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK). Sejarah
mencatat bahwa sebenarnya sebagian besar kementerian yang ada sekarang telah
mengalami berbagai perubahan, meliputi penggabungan, pemisahan, pergantian
nama, dan pembubaran (baik sementara atau permanen). Jumlah kementerian sendiri
hampir selalu berbeda-beda dalam setiap kabinet, dimulai dari yang hanya
berjumlah belasan hingga pernah mencapai lebih dari 100 Kementerian, sebelum
akhirnya dibatasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 UU No. 39 Tahun 2008
Tentang Kementerian Negara, yaitu sejumlah maksimal 34 kementerian.
Penggabungan Kementerian Lingkungan
Hidup dengan Kementerian Kehutanan sebenarnya bukanlah suatu yang baru di
Indonesia, beberapa pemerintahan sebelumnya juga pernah melakukan penggabungan,
pemisahan bahkan penghapusan kementerian. Hal tersebut merupakan domain dan hak
presiden untuk menentukannya, walaupun setelah terbentuknya UU No. 39 Tahun
2008, untuk mengubah suatu kementerian baik itu menggabungkan atau
memisahkannya harus mendapat pertimbangan dari DPR.[3]
Penggabungan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan tentu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Kekurangannya adalah sulitnya menyatukan pemikiran masing-masing kementerian
yang sebelumnya berdiri sendiri, sehingga ego sektoral seringkali muncul. Oleh
karena itu, tugas Menteri LHK akan sedikit lebih berat untuk melebur dua
birokrasi berbeda dengan kekuatan, kelemahan dan kapasitas yang berbeda pula
merupakan sebuah tantangan yang tidak mudah. Sehingga perlu waktu untuk
mengoptimalkan kinerja kementerian yang baru ini. Adapun kelebihannya adalah
penggabungan kementerian tersebut dapat mengkonsumsi pengelolaan berbagai isu
yang tadinya berada dalam yurisdiksi parsial dari kedua kementerian. Seperti
masalah kebakaran lahan dan
hutan yang selama ini terjadi dapat ditangani dengan baik karena kementerian
tersebut memiliki sumber daya manusia yang memadai karena menggabungkan dua kementerian dapat
membantu mengisi berbagai celah dalam keahlian atau sumber daya yang diperlukan
untuk menyelenggarakan berbagai tugas besar yang menanti (The Jakarta Globe
edisi 7 November). Dengan demikian, tugas Menteri LKH adalah memformulasikan
kekurangan dan kelebihan dari masing-masing kementerian tersebut sehingga
kementerian yang baru ini dapat menjadi kementerian yang kuat dalam struktur
organisasi dan kinerja, serta dapat menyelesaikan masalah-masalah kompleks yang
terjadi berkaitan dengan lingkungan dan kehutanan.
Rancangan
struktur organisasi Kementerian Lingkungan dan Kementerian Kehutanan Tingkat
Eslon I.
Staf Ahli
Menteri Bidang:
1.
Hubungan
Lembaga Antar Pusat dan Daerah
2.
Industri dan
Perdagangan Daerah
3.
Sosial,
Budaya, dan Kesehatan Lingkungan
4.
Perekonomian
dan Pembangunan Berkelanjutan
5.
Revitalisasi
Industri Kehutanan
|
Menteri
Lingkungan
Hidup dan Kehutahan
|
Inspektorat
Jendral
|
Sekretariat
Jendral
|
Ditjen
Planologi
dan Tata Lingkungan
|
Ditjen
Konservasi
SDA dan ekosistem
|
Ditjen
Pengendalian
DAS dan HL
|
Ditjen
Pengendalian Hutan Produksi Lestari
|
Ditjen
Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan
|
Ditjen
Pengelolaan sampah dan Limbah
|
Ditjen
Pengendalian
Perubahan Iklim
|
Ditjen
Perhutanan Sosial & Kemitraan Lingkungan
|
Ditjen
Penegakan Hukum Lingkungan
|
Badan
Penyuluhan dan pengembangan SDM
|
Badan
LITBANG
dan Inovasi
|
Ditjen
Perlindungan Hutan& Konservasi Alam
|
2. Izin Lingkungan dalam UU No. 32 tahun 2009
dimaksudkan untuk mengintegrasikan berbagai perizinan dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan yang sudah ada. Namun tidak mencabut Hinder
Ordonnantie yang memberlakukan izin gangguan yang sesungguhnya juga sebagai
izin dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Lakukan pembahasan mengenai
izin lingkungan ini secara menyeluruh, baik dari aspek normatif berdasar
peraturan perundang-undangan maupun secara teori, serta dengan membandingkan
dengan di Belanda.
Jawab:
Sebagai suatu instrumen, izin
lingkungan berfungsi sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang pelaku usaha
dan/atau kegiatan untuk mencapai tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dan untuk menanggulangi masalah lingkungan disebabkan aktivitas manusia
yang melekat dengan dasar izin dan juga dapat berfungsi sebagai sarana yuridis
untuk mencegah serta menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan.
N.M.Spelt dan JBJM. Ten Berge
membedakan penggunaan istilah perizinan dan izin, dimana perizinan merupakan
pengertian izin dalam arti luas, sedangkan istilah izin digunakan untuk
pengertian izin dalam arti sempit. Pengertian perizinan (izin dalam arti luas)
adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan
pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan
larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang
memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Sedangkan yang pokok dari izin dalam arti sempit
(izin) ialah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan
tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat
dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap-tiap kasus.[4]
Di indonesia dasar pengaturan
perizinan lingkungan ditata dalam UUPLH 1997, mulai dari Pasal 18 hingga Pasal
21. Tidak seperti belanda yang bersifat terpadu dan hanya mengenal satu jenis
perizinan (WM-Vergunning), di Indonesia dikenal dengan berbagai macam
izin. Terdapat berbagai jenis izin yang dapat di kategorikan sebagai perizinan
di bidang lingkungan atas dasar kriteria bahwa izin-izin tersebut dimaksudkan
atau berfungsi untuk pencegahan pencemaran
atau gangguan lingkungan, pencegahan lingkungan akibat pengambilan
sumber daya alam dan penataan ruang. Izin-izin tersebut berupa Izin Hinder
Ordonansi, Izin Usaha, Izin Pembuangan Air Limbah dan Dumping serta Izin
Pengorganisasian Instalasi Pengelolaan Limbah bahan Berbahaya dan Beracun (B3),
Izin Lokasi Izin Mendirikan Bangunan. Dimana berbagai izin yang telah
disebutkan tadi diatur dalam peraturan perundang undangan yang berbeda.[5]
Hinder Ordonnantie (ordonansi
gangguan) Stbl. No. 226 Tahun 1926, sebagaimana telah diubah dengan Stbl. No.
499 Tahun 1927, No. 14 dan 400 Tahun 1940 dan terakhir diubah berdasarkan Stbl.
1949 No. 450 merupakan salah satu peraturan yang bermaksud melindungi
masyarakat dari gangguan tempat-tempat kerja yang mendatangkan polusi,
kebakaran, dan kebisingan. Oleh karena itu tempat-tempat kerja hanya boleh
didirikan dengan izin.[6] Hinder
Ordonnantie memuat ketentuan-ketentuan tentang pencegahan dampak negatif
yang timbul di lingkungan sekitar tempat usaha melalui perizinan. Hinder
Ordonnantie memuat beberapa ketentuan sanksi yang dapat dikenakan pada
pelanggaran ketentuan-ketentuan Hinder Ordonnantie. Bentuk sanksi
tersebut berupa peringatan, pencabutan izin sementara, pencabutan izin
selamanya, denda atau kurungan.
Jika melihat pendapat yang
dikemukakan oleh John Salindeho, Hinder Ordonnantie merupakan sesuatu
yang penting. Menurut beliau pengertian bahaya, kerugian dan/atau gangguan
terhadap lingkungan hidup dan ekosistem sejak dibentuk dan diberlakukannya Hinder
Ordonnantie dapat dileburkan ke dalam pengertian sesuai teori/ilmu yang sudah
dikembangkan sekarang ini dan untuk dapat menampung keadaan atau perubahan di
zaman mendatang. Lebih lanjut John menjelaskan bahwa patokan-patokan pengertian
bahaya, kerugian dan gangguan yang tercantum dalam Hinder Ordonnantie seolah-olah
telah dicabut oleh UU No. 4 Tahun 1982, walaupun hal ini tidak disebut
terang-terangan di dalam Undang-Undang ini.[7]
Hinder Ordonnantie
ini diberlakukan berdasarkan asas konkordansi hukum Belanda ke Indonesia. Di
Belanda peraturan seperti ini yang disebut Hinderwet (HW) ini dibuat
pertama kali berdasarkan S. 1875 No. 95, yang kemudian mengalami perkembangan
perubahan beberapa kali dan terakhir setelah berlakunya Wet Milieubeheer[8]
berdasarkan S. 1992 No. 551 pada 1 Maret 1993, HW tidak berlaku lagi. Izin
lingkungan yang terdapat dalam HW dipadukan menjadi bagian dari Wet
Milieubeher. Sebagai catatan, pengertian dipadukan dalam Wet
Milieubeheer[9]
ini adalah bahwa sejak Wet tersebut diberlakukan pada 1 Maret 1993, maka
di Belanda berlaku sistem di mana semua peraturan perundang-undangan mengenai
pengelolaan lingkungan hanya menetapkan suatu izin secara terpadu, yang disebut
integrale milieuvergunning, perizinannya lazim disebut Wm-Vergunning.
Sistem keterpaduan izin ini semula merupakan jenis-jenis perizinan yang
dikeluarkan secara sektoral, yakni:[10]
1. Hinderwet (Undang-Undang
Gangguan)
2. Wet luchterverontreniging (Undang-Undang
Mengenai Pencemaran Udara)
3. Wet geluidhinder
(Undang-Undang Gangguan Suara)
4. Afvalstoffenwet
(Undang-Undang Bahan Limbah)
5. Wet chemische afvalstoffen
(Undang-Undang Bahan Limbah Kimia)
6. Wet Milieugevarlijke Stofen
(Undang-Undang Bahan Berbahaya Bagi Lingkungan)
Wet Milieubeheer
adalah perubahan dari Wet Algemene Bepalgen
Milieuhigiene (WABM) berdasarkan S. 1979 No. 442, yang berlaku 1
september 1983. WABM ini pada dasarnya mengunifikasikan (unifikasi) dan
mengharmonisasikan perizinan atas semua pengaturan pengelolaan lingkungan di
Belanda.
UUPLH 1997 sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH) mengatur mengenai perizinan dalam pasal 36 sampai Pasal 41.
Dalam UUPPLH ini, Hinder Ordonnantie yang memuat di dalamnya izin
gangguan seolah seperti mayat hidup yang keberadaannya belum jelas.
Namun, dengan adanya undang-undang otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan
kewenangan untuk mengatur sendiri bagaimana sistem perizinan yang meyangkut
izin gangguan ini. Sehingga masing-masing daerah menentukan pengaturan yang
berbeda-beda, seperti di DKI Jakarta dasar hukum mengenai Hinder Ordonnantie
diatur dalam Peraturan Daerah No.3 Tahun 1999 tentang Tarif Retribusi Izin
Undang-Undang Gangguan.[11]
Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, dasar hukumnya adalah Peraturan Daerah
Kabupaten Tingkat II Kulon Progo No. 9 Tahun 1987 Tentang Izin Tempat Usaha/HO
jo. Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Kulon Progo No. 11 Tahun 1991 dan
Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo No. 13 Tahun 1998.[12]
UUPPLH 2009 mengatur 2 (dua) konsep
perizinan, yaitu:
1) Pasal 1 angka 35 UUPPLH bahwa izin lingkungan
adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan yang wajib amdal atau UKL/UPL dalam rangka perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha
dan/atau kegiatan;
2) Pasal 1 angka 36 UUPPLH bahwa izin usaha
dan/atau kegiatan yakni izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk
melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa penetapan perizinan sebagai salah satu instrumen hukum dari
pemerintah ialah untuk mengendalikan kehidupan masyarakat agar tidak menyimpang
dari ketentuan hukum yang berlaku, serta membatasi aktifitas masyarakat agar
tidak merugikan orang lain. Dan izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau
kegiatan mempunyai keterkaitan yang erat satu sama lainnya.
3. Pengaturan penegakkan hukum lingkungan
administratif dalam undang-undang selalu saja menarik untuk didiskusikan, baik
mengenai kelembagaan dan kewenangan, sanksi, dan mekanisme penerapan sanksi.
Dibanding dengan undang-undang sebelumnya, ada yang dipandang lebih progresif
dan dapat memperkuat dalam penegakkan hukum, namun sebagian juga bisa dianggap
kurang tepat. Apa pendapat saudara? Lakukan pembahasan lengkap secara normatif
dan lengkapi dengan penelusuran pustaka.
Jawab:
Menurut Hawkins, istilah penegakan
hukum (law enforcement) dapat dilihat
dari dua sistem atau strategi yang disebut “compliance”
dengan “conciliatory style” sebagai
karakteristiknya, dan “sanctioning”
dengan “penal style” sebagai ciri
utamanya. Conciliatory style bersifat
remedial, suatu metode “social repair and maintenance, assistance of people in trouble” yang
berkaitan dengan “what is necessary to ameliorate
a bad situation”. Sedangkan penal control
“prohibits with punishment”, sifatnya adalah “accusatory”, hasilnya “binary”,
yaitu: “all or nothing punishment or
nothing”.[13]
Dalam penanganan masalah-masalah lingkungan,
penegakan hukum preventif melalui sarana hukum administrasi menduduki posisi yang
penting, karena fungsinya yang bertolak dari asas penanggulangan pada sumber (abatement at the source principle). Asas penanggulangan pada
sumber (abatement at the source principle) terutama bertolak pada
prioritas penanganan secara preventif.
Lebih baik mencegah pencemaran atau menangani
pada sumbernya daripada membersihkan kembali pencemaran yang telah terjadi. Sehingga proses penegakan hukum
melalui sarana hukum administrasi dianggap lebih memenuhi fungsi perlindungan
“hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” sebagai hak konstitusional.[14]
Digunakannya hukum administrasi
dalam penegakan hukum lingkungan administratif berpijak pada beberapa kelebihan
yang dimiliki hukum administrasi, yaitu:[15]
1)
Berfungsi sebagai sarana pengendalian,
pencegahan dan penanggulangan perbuatan yang dilarang.
2)
Instrumen yuridis hukum administrasi yang
bersifat preventif dan berfungsi untuk mengakhiri atau menghentikan pelanggaran
lingkungan.
3)
Bersifat reparatoir (memulihkan pada
keadaan semula).
4)
Sanksi administrasi tidak perlu melalui
proses pengadilan yang memakan waktu lama dan bertele-tele.
5)
Sebagai sarana penecagahan dapat lebih
efisien dari sudut pembiayaan dan waktu penyelesaian dibandingkan penegakan
hukum pidana dan perdata.
6)
Biaya penegakan hukum administrasi yang
meliputi biaya pengawasan di lapangan dan pengujian laboratorium lebih murah
dibandingkan biaya penumpulan bukti, investigasi lapangan, dan biaya saksi ahli
untuk membuktikan aspek kausalitas (hubungan sebab akibat) dalam kasus pidana
dan perdata.
Penegakan hukum melalui instrumen
administratif bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum
atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan
semula (sebelum adanya pelanggaran. Jadi fokus sanksi administrasi adalah
perbuatan berbeda halnya dengan sanksi hukum pidanya yang fokusnya adalah pada
orangnya (dader, offender)[16]
Sebagai instrumen penegakan hukum
preventif, hukum administrasi dalam penegkan hukum lingkungan dikonstruksikan
melalui instrumen pengawasan dan perizinan. Artinya penegakan hukum melalui
instrumen administrasi itu terlatak pada pengwasan dan prizinan. Dalam UUPPLH
tahun 2009, masalah pengawasan diatur dalam Pasal 71 sampai Pasal 74. Pasal 71
ayat (1) menentukan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Selain itu, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota juga dapat mendelegasikan
kewenangannya kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Serta menetapkan pejabat
pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
Hasil pengawan yang telah dilakukan
tentu diikuti sebuah instrument yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku
usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan administrasi, berupa sanksi
administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 76 hingga Pasal 83 UUPPLH. Sanksi
hukum administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh
pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terhadap seorang atau
kegiatan usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan administrasi. Beberapa
contoh dari pelanggaran hukum lingkungan administrasi adalah menjalankan tempat
usaha tanpa memiliki izin-izin yang diperlukan oleh kegiatan usaha misalkan
industri, hotel, dan rumah sakit. Membuang limbah tanpa izin pembuangan air
limbah dan berbagai pelanggaran administrasi lainnya.[17]
UUPPLH dalam Pasal 76 ayat (2)
telah menentukan jeis-jenis sanksi administrasi yang dapat diberikan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan,
yaitu berupa:
a. teguran
tertulis;
b. paksaan
pemerintah;
c. pembekuan
izin lingkungan; atau
d. pencabutan
izin lingkungan.
Dalam praktik penegakan hukum
lingkungan administrasi pada masa berlakunya UULH 1997, pejabat penegak hukum
lingkungan administrasi sering kali menggunakan teguran tertulis untuk
mengingatkan bahwa telah terjadi pelanggaran ketentuan hukum lingkungan
administrasi walaupun tidak diatur dalam UULH 1997. Oleh sebab itu, perancang
UUPPLH 2009 memformulasikan terguran tertulis sebagai salah satu sanksi hukum
administrasi.[18]
Langkah perancang UUPPLH ini, dapat dikatan sebagai sebuah langkah yang
progresif.
Dalam UUPPLH, Kewenangan penjatuhan
sanksi paksaan pemerintah pada tiga pejabat yaitu Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (2). Selanjutnya, Pasal
80 ayat (1) UUPPLH menyebutkan beberapa bentuk tindakan paksaan yang dapat
dikenakan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, yaitu berupa:
a. penghentian
sementara kegiatan produksi;
b. pemindahan
sarana produksi;
c. penutupan
saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. pembongkaran;
e. penyitaan
terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
f. penghentian
sementara seluruh kegiatan; atau
g. tindakan
lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan
fungsi lingkungan hidup.
Adapun sanksi administrasi berupa Pengenaan
sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan
apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan
pemerintah.[19]
sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan adalah
upaya-upaya terakhir dalam penegakan hukum lingkungan administrasi.
4. Dalam penegakkan hukum lingkungan kepidanaan dikenal
asas subsidiaritas sebagai perwujudan dari doktrin “the principle of restraint”. Asas ini juga di akomodasi dari
undang-undang, namun berbeda substansinya dengan dari undang-undang sebelumnya.
Apakah asas ini hanya terhadap pasal-pasal “administratif
dependent crimes” ataukah juga terhadap pasal-pasal mengenai tindak pidana pencemaran/perusakan
lingkungan. Lengkapi pandangan saudara dengan pembahasan secara menyeluruh
termasuk bila perlu perbaikan perumusan tindak pidana pencemaran/perusakan,
serta perlunya sanksi pidana baru yang dianggap lebih memadai dalam tindak
pidana lingkungan.
Jawab:
Penegakan hukum lingkungan kepidanaan yang mengakomodasi asas
subsidiaritas seseungguhnya berawal dari Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yang kemudian direvisi dengan UU
No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau
yang dikenal dengan UUPPLH. Sebagaimana undang-undang sebelumnya UUPPLH memuat
dua jenis rumusan delik yakni delik materil dan delik formil. Delik materil
adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang dianggap sudah
sempurna atau terpenuhi apabila perbuatan itu telah menimbulkan akibat,[20]
delik materil ini disebut juga Administrative Independent Crime. Adapun delik formil adalah delik
atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang dianggap sudah sempurna atau
terpenuhi begitu perbuatan tersebut dilakukan tanpa mengaharuskan adanya akibat
dari perbuatan tersebut.[21]
Delik Formil juga di kenal dengan Administrative Dependent Crime.
Sebagai
penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tersebut tetap sesuai
dengan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan
apabila sanksi bidang hukum lain tidak berhasil. Cara yang demikian itu disebut
juga dengan asas ultimum remedium
atau ultima ratio principle atau yang
dikenal dengan “obat terakhir”.[22]
Dalam penegakan hukum lingkungan kepidanaan sebagaimana diatur dalam UUPPLH
juga menganut asas ini yang sebelumnya dituangkan dalam UUPLH.
Dalam
UUPPLH 2009 tidak memberikan penjelasan tentang defenisi atau pengertian asas ultimum remedium, undang-undang ini
memang tidak menyinggung masalah asas ultimum
remedium atau dikenal dengan asas subsidiaritas secara eksplisit. Namun
dalam ketentuan pidana Pasal 100 ayat (2) UUPPLH tersirat pemberlakuan asas ultimum remedium. Asas tersebut
sesungguhnya merupakan perwujudan dari doktrin “the principle of restraint” atau dikenal dengan asas pengendalian. Asas
ini merupakan salah satu syarat kriminalisasi yang menyatakan bahwa sanksi
pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila sanksi-sanksi perdata dan sanksi
administrasi dan sarana-sarana lain ternyata tidak tepat dan tidak efektif
untuk menangani tindak pidana tertentu.
Rumusan
Pasal 100 UUPPLH telah secara jelas menunjukkan bahwa rumusan tersebut menganut
asas subsidiaritas (ultimum remedium),
sebagaimana dapat dilihat berikut ini:
(1)
Setiap orang
yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan
dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang
telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu
kali”.
Menurut
pasal 100 ayat 2 tersebut maka dapat diketahui bahwa ada pemberlakuan asas ultimum remedium, dimana pemidanaan pada
pasal 100 ayat 1 dapat dikenakan bilamana sanksi administratif yang sudah
diputus oleh pemerintah tidak dipatuhi oleh pemegang usaha dan kegiatan yang
memanfaatkan lingkungan.
Pertanyaannya
adalah apakah penerapan asas ini hanya
terdapat pada delik formil (administratif
dependent crimes) ataukah juga terhadap pasal-pasal
mengenai tindak pidana pencemaran/perusakan lingkungan. Maka menurut penulis
penerapan asas subsidiaritas (ultimum remedium) sebenarnya dapat pula diterapkan pada
pasal-pasal tindak pidana pencemaran atau perusakan lingkungan atau yang
dimaksud dalam hal ini adalah delik materil (administratif independent crimes).
Dalam
UUPPLH rumusan delik materil terkait dengan pencemaran lingkungan hidup tidak
lagi menggunakan kata atau istilah “ pencemaran lingkungan hidup” tetapi secara
konseptual tidak mengubah makna dan tujuan yang diinginkan. Rumusan UUPPLH
dibuat lebih konkrit dengan menggunakan istilah “dilampauina baku mutu ambien
atau baku mutu air”. Dengan kata lain pencemaran lingkungan hidup terjadi
apabila baku mutu ambien terlampaui.[23]
Rumusan delik materil ini dapat ditemukan dalam Pasal 98 ayat (1) dan Pasal
ayat (1) UUPPLH.
Pasal
98
(1)
Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Rumusan
Pasal 98 ayat (1) tersebut di atas tentu tidak mencerminkan asas asas
subsidiaritas (ultimum remedium),
maka untuk membuat rumusan tersebut menganut asas subsidiaritas maka
rumusannya harus diubah. Penulis mencoba untuk membuat rumusan delik materil
dalam Pasal 98 ayat (1) tersebut agar mencerminkan asas subsidiaritas dengan
merubah rumusannya sebagai berikut:
(1)
Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, atau baku mutu air, atau baku mutu air laut, atau kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup di atas ambang batas-batas yang telah
ditentukan dan/atau menimbulkan kerusakan lingkungan, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2)
Tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi
administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan
lebih dari satu kali”.
Rumusan
yang penulis buat di atas bukan rumusan yang sebenarnya, artinya rumusan
tersebut hanya ingin menunjukkan cara yang dapat ditempuh agar delik formil
dapat menganut asas subsidiaritas, yaitu dengan cara menetukan batas-batas baku
mutu yang boleh dilampaui atau dengan kata lain memberikan batas-batas tertentu
terhadap baku mutu sesuai dengan tingkat bahayanya kemudian tingkatan bahaya
dari baku mutu tersebut digunakan untuk merumuskan sanksi administrasi atau
sanksi perdata terlebih dahulu sebleum menentukan sanksi pidana. Sebagaimana
asas subsidiaritas yang menghendaki bahwa hukum pidana sebagai langkah terakhir
dalam penegakan hukum lingkungan hidup.
SARAN
PERBAIKAN
1.
Penggabungan,
pemisahan atau penghapusan suatu kementerian harus dapat memberikan pengaruh
yang besar bagi suatu pemerintahan demi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena
itu setiap kemeterian harus diisi oleh orang-orang yang ahli dibidangnya bukan
semata mata karena pertimbangan politik.
2.
Pengaturan
mengenai Hinder Ordonnantie harus di perjelas bila perlu mengaturnya dalam
sebuah undang-undang baru, dengan kata lain mengganti Hinder Ordonnantie yang
belum dicabut keberlakuannya. Karena izin gangguan ini sering kali digunakan
oleh pemerintah daerah untuk meraup keuntungan pribadi bukan untuk kepentingan
perlingungan lingkungan hidup.
3.
Penegakan
hukum lingkungan administrasi harus lebih menekankan pada perbaikan lingkungan
sehingga lingkungan yang telah rusak akobat dari kegiatan usaha dan sebagainya
dapat kembali seperti semula.
4.
Penegakan
hukum lingkungan kepidanaan harus mulai mengarah ke arah yang lebih progresif
dengan menerapkan asas subsidiaritas tidak hanya kepada delik formil melainkan
juga delik materil.
SUMBER
REFRENSI
BUKU
Berge,
NM Spelt., dan JBJM Ten., 1993, Pengantar
Sanksi Perizinan, Yuridika, Surabaya.
Hamzah,
Andi, Penegakan Hukum Lingkungan,
Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Hawkins,
Keith., 1984, Environment and Enforcement,
Oxford: Clarendon Press.
.
Rahmadi,
Takdir., Hukum Lingkungan di Indonesia,
Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Rangkuti,
Siti Sundari., 1987, Hukum Lingkungan dan
Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia,
Airlangga University Press, Surabaya.
Ratnawati,
Rosa Vivien., 2009, Penegakan Hukum
Administrasi di Bidang Lingkungan Hidup, Jakarta: Kementerian Negara
Lingkungan Hidup.
Salindeho,
John., Undang-Undang Gangguan dan Masalah
Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 1989.
Siahaan,
N H T., Hukum lingkungan dan ekologi
pembangunan, Jakarta: Erlangga, 2004
Siswosoediro,
Henry S., Mengurus Surat-Surat Perizinan,
Visimedia: Jakarta, 2007.
Supriyono,
Harry., Bahan Ajar Hukum Lingkungan, yogyakarta, 2010. Sebagaimana yang telah
dijelaskan juga dalam perkuliahan magister hukum kenegaraan di fakultas hukum
UGM.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Undang
Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
INTERNET
http://kepustakaanpresiden.pnri.go.id/cabinet_minister/?box=detail&id=41&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=6&presiden=sby
[1] Data diperoleh dan diolah dari
website http://kepustakaanpresiden.pnri.go.id/cabinet_minister/?
box=detail&id=41&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=6&presiden=sby diakses pada tanggal 18/01/2015
[2] Ibid.
[3] Pasal 19 ayat (1) UU No. 39
Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.
[4] NM Spelt, dan JBJM Ten Berge,
1993, Pengantar Sanksi Perizinan,
disunting oleh Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya, hal.2.
[5] Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pers, 2011 hlm. 105-106
[6] Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm.
114-115
[7] John Salindeho, Undang-Undang
Gangguan dan Masalah Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 1989,
[9] Siti Sundari Rangkuti, 1987, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan
Lingkungan dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Airlangga
University Press, Surabaya, hlm. 126-151.
[10] N H T Siahaan, Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan, loc.cit. lihat juga Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, op.cit., hlm 24-25.
[11] Henry S. Siswosoediro, Mengurus Surat-Surat Perizinan,
Visimedia: Jakarta, 2007, hlm 71.
[12] Ibid., hlm 69
[13] Keith Hawkins,
1984, Environment and Enforcement, Oxford: Clarendon Press, hlm. 3-4
[14] Hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat dalam UUD 1945 dirumuskan dalam
Pasal 28H ayat (1) Bab XA tentang Hak Asasi Manusia,
yang dirumuskan sebagai berikut: Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan
[15] Rosa Vivien
Ratnawati, 2009, Penegakan Hukum Administrasi di Bidang Lingkungan Hidup,
Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup, hlm. 2-3
[18]
Ibid., hlm. 213
[19]
UUPLH, Pasal 79.
[20] Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, op.cit.,
hlm. 224
[22] Harry Supriyono, Bahan Ajar
Hukum Lingkungan, yogyakarta, 2010. Sebagaimana yang telah dijelaskan juga
dalam perkuliahan magister hukum kenegaraan di fakultas hukum UGM.
[23] Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, op.cit.,
hlm. 227, Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan, loc.cit. lihat juga Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, op.cit., hlm 24-25.
[11] Henry S. Siswosoediro, Mengurus Surat-Surat Perizinan,
Visimedia: Jakarta, 2007, hlm 71.
[12] Ibid., hlm 69
[13] Keith Hawkins,
1984, Environment and Enforcement, Oxford: Clarendon Press, hlm. 3-4
[14] Hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat dalam UUD 1945 dirumuskan dalam
Pasal 28H ayat (1) Bab XA tentang Hak Asasi Manusia,
yang dirumuskan sebagai berikut: Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan
[15] Rosa Vivien
Ratnawati, 2009, Penegakan Hukum Administrasi di Bidang Lingkungan Hidup,
Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup, hlm. 2-3
[18]
Ibid., hlm. 213
[19]
UUPLH, Pasal 79.
[20] Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, op.cit.,
hlm. 224
[22] Harry Supriyono, Bahan Ajar
Hukum Lingkungan, yogyakarta, 2010. Sebagaimana yang telah dijelaskan juga
dalam perkuliahan magister hukum kenegaraan di fakultas hukum UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar