Rabu, 22 April 2015

PERPU NO 1 TAHUN 2014 DALAM BERBAGAI ASPEK

1.     Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Dilihat  Dari Aspek Legal Policy
Politik hukum baru yang berisi upaya pembaharuan hukum menjadi keharusan ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasarnya. Proklamasi kemerdekaan menuntut pembaruan atau penggantian atas hukum-hukum peninggalan zaman penjajahan Jepang dan Belanda, sebab jika dilihat dari sudut tata hukum maka proklamasi merupakan tindakan perombakan secara total. Proklamasi kemerdekaan telah membawa indonesia pada idealita dan realita hukum yang lain dari yang sebelumnya. proklamasi kemerdekaan telah merubah tradisi masyarakat dari keadaan terjajah menjadi masyarakat yang bebas (merdeka).
Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, pembentukannya dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam masyarakat Eropa Kontinental pembentukan hukum dilakukan oleh badan legislatif. Sedangkan dalam masyarakat common law (Anglo saxion) kewenangan terpusat pada hakim. 
Konsepsi hukum yang dianut oleh suatu negara merupakan hal yang penting, karena hal tersebut secara langsung akan mempengaruhi politik hukum dan pembentukan peraturan perundang-undangan dari negara tersebut. Indonesia sendiri telah memproklamirkan diri sebagai negara hukum (rechtstaat) bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat). Hal ini tertuang di dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”.  Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi manusia dan setiap tindakan dan kebijakan pemerintah harus berdasarkan atas ketentuan hukum (due process of law).
Pandangan yang menganggap hukum sebagai produk politik sebenarnya tidak sepenuhnya benar, jika menggunakan kacamata das sein (kenyataan). Dengan kata lain, hukum harus diartikan sebagai undang-undang maka hukum merupakan produk politik. Namun jika dilihat dari dari segi isi atau jika didasarkan pada pandangan das sollen (keinginan atau yang seharusnya), maka jelas hukum bukan merupakan produk politik melainkan hukum merupakan produk rakyat. Mochtar Kusumaatmadja menyebut bahwa, politik dan hukum itu interdeterminan (saling mempengaruhi satu sama lain), sebab politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuh.[1]
Politik hukum dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum yang lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Kebijakan merupakan suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut. seperti diungkapkan sebelumnya, konsep hukum yang dianut oleh suatu negara  mempengaruhi politik hukumnya, begitu pula politik hukum tiap negara berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini juga karena keadaan dari masing-masing negara memiliki permasalahan yang berbeda-beda yang memerlukan suatu pengaturan yang berbeda pula.           
Gejala-gejala sosial yang terjadi di masyarakat turut mempengaruhi arah kebijakan atau politik hukum pemerintah, gejala-gejala tersebut dapat berupa; kondisi politik, hukum, budaya, sosial, ekonomi dan sebagainya. Dengan demikian menurut Mahfud, hukum dalam arti undang-undang sebenarnya merupakan produk politik, ekonomi, sosial dan budaya.[2]
Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.[3] Dalam tulisannya yang lain Padmo Wahjono lanjut menjelaskan mengenai definisi politik hukum dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang akan dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.[4]
Sedangkan Moh. Mahfud MD menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy, atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan peggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara”.[5] Lebih lanjut Mahfud menjelaskan bahwa politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan lagi yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsikan politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.[6]
Maka dapat dikatakan bahwa dari aspek legal policy Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota merupakan pilihan hukum yang dipilih oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang bertujuan semata-mata untuk mencapai tujuan negara, yaitu untuk menjamin pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.[7]
Lebih lanjut, dikatakan dalam konsideran menimbang poin b Perppu No 1 Tahun 2014, bahwa kedaulatan rakyat dan demokrasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu ditegaskan dengan pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan tetap melakukan beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah dijalankan.
Berikut sepuluh poin perbaikan yang ditawarkan SBY dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014:[8]
1)    ada uji publik calon kepala daerah. Dengan uji publik, dapat dicegah calon dengan integritas buruk dan kemampuan rendah, karena masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup, atau hanya karena yang bersangkutan merupakan keluarga dekat dari incumbent. Uji publik semacam ini diperlukan, meskipun tidak menggugurkan hak seseorang untuk maju sebagai calon Gubernur, Bupati ataupun Walikota;
2)    penghematan atau pemotongan anggaran Pilkada secara signifikan, karena dirasakan selama ini biayanya terlalu besar;
3)    mengatur kampanye dan pembatasan kampanye terbuka, agar biaya bisa lebih dihemat lagi, dan untuk mencegah benturan antar massa;
4)    akuntabilitas penggunaan dana kampanye, termasuk dana sosial yang sering disalahgunakan. Tujuannya adalah juga untuk mencegah korupsi;
5)    melarang politik uang, termasuk serangan fajar dan membayar parpol yang mengusung. Banyak kepala daerah yang akhirnya melakukan korupsi, karena harus menutupi biaya pengeluaran seperti ini;
6)    melarang fitnah dan kampanye hitam, karena bias menyesatkan publik dan juga sangat merugikan calon yang difitnah. Demi keadilan para pelaku fitnah perlu diberikan sanksi hukum;
7)    melarang pelibatan aparat birokrasi. Ditengarai banyak calon yang menggunakan aparat birokrasi, sehingga sangat merusak netralitas mereka;
8)    melarang pencopotan aparat birokrasi pasca Pilkada, karena pada saat pilkada, calon yang terpilih atau menang merasa tidak didukung oleh aparat birokrasi itu;
9)    menyelesaikan sengketa hasil Pilkada secara akuntabel, pasti dan tidak berlarut-larut. Perlu ditetapkan sistem pengawasan yang efektif agar tidak terjadi korupsi atau penyuapan;
10) mencegah kekerasan dan menuntut tanggung jawab calon atas kepatuhan hukum pendukungnya. Tidak sedikit terjadinya kasus perusakan dan aksi-aksi destruktif karena tidak puas atas hasil Pilkada.
Dengan demikian, maka pengertian pemilihan secara demokratis telah bergeser maknanya menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat. Konsekuensi yuridis dari lahirnya Perppu No 1 Tahun 2014 ini adalah bahwa pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota mau tidak mau harus dilaksanakan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Karena pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota oleh DPRD tidak sesuai lagi dengan UUD pasal 18 ayat (4)  (Inkonstitutional).
2.     Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Dilihat Dari Aspek Proses Pergulatan Politik
Dari aspek proses pergulatan politik, Perppu No 1 Tahun 2014 dilatarbelakangi oleh kisruh politik fraksi-fraksi di DPR yang terbagi menjadi dua kubu yaitu kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). KMP yang didukung oleh Partai Golongan Karya (Golkar), Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berhasil menguasai parlemen kemudian mengusulkan dalam RUU Pilkada agar pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD, sedangkan kubu KIH yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), Hati Nurani Rakyat (Hanura), Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dilakukan tetap secara langsung oleh rakyat. Hasilnya terjadi pertikaian politik antara KMP dan KIH yang berujung pada voting RUU Pilkada yang dimenangkan oleh kubu KMP. Akan tetapi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merespon UU Pilkada tersebut (UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pilkada) dengan mengeluarkan dua Perppu.
Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat diterbitkan Presiden SBY menimbulkan berbagai tanggapan dari banyak pihak. Mulai dari Judicial Review Perppu No. 1 Tahun 2014, hingga kemungkinan akan ditolak DPR.
Konsekuensi dari hadirnya Perppu No 1 Tahun 2014 adalah UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pilkada tidak berlaku lagi, karena sudah dicabut oleh Perppu tersebut. Jika  DPR tidak menyetujui Perppu tersebut untuk dijadikan UU, maka tidak berarti secara otomatis UU  UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pilkada berlaku kembali. Sebagai konsekuensi dari Perppu No. 1 Tahun 2014 dan untuk menghilangkan ketidakpastian hukum, diterbitkan pula Perppu No 2 Tahun 14 tentang Pemerintahan Daerah yang menghapus tugas dan kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah sebagaimana tercantum dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda.
Menurut pandangan Saldi Isra sebagaimana dikutip dalam hukum online[9], jika Perppu tersebut ditolak oleh DPR, maka tidak serta merta berlaku UU No. 22 Tahun 2014, merujuk pada Pasal 52 ayat (5), (6), dan (7) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal (5) menyatakan, “Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku”. Pasal Ayat (6) menyatakan, ”Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud ayat (5), DPR atau presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”. Sedangkan ayat (7) menyebutkan, “Rancangan Undang-Undang tentang pencabutan  Peraturan Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perppu”.[10]
Dengan demikian, dengan menggunakan dasar hukum ini, tidak ada alasan bahwa setelah mencabut Perppu, kemudian secara otomatis UU No.22 Tahun 2014 tentang Pilkada berlaku kembali.
3.    Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Dilihat Dari Aspek Ius Constitutum Menjadi Ius Constituendum
Sebagai sebuah legal policy yang diambil oleh presiden SBY, Perppu No. 1 Tahun 2014 merupakan garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang diberlakukan (Ius constitutum) sebagai pengganti hukum lama atau dalam hal ini UU No 22 Tahun 2014, yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan negara (ius constituendum). Perppu tersebut diharapkan mampu menjadi sebuah solusi atas pertikaian politik dan menyelamatkan harapan masyarakat yang menginginkan pemilihan kepala daerah tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat.  
Pada dasarnya politik hukum meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha menghilangkan pertentangan antar hukum yang berlaku (positiviteit) dan kenyataan sosial (sociale werkelijkkheid). Sebagai sebuah kaedah hukum yang berlaku (ius constitutum), Perppu tersebut berusaha menghilangkan pertentangan yang terjadi dalam parlemen di mana pertentangan tersebut berimbas kepada masyarakat luas.  
Dengan demikian ius constitutum masa kini, pada masa lampaunya merupakan ius constituendum. Apabila ius constitutum kini mempunyai kekuatan hukum, maka sebagai ius constituendum mempunyai nilai sejarah. Proses semacam itu dapat terjadi dengan berbagai cara, misalnya:[11]
1)    digantinya suatu undang-undang dengan undang-undang baru (undang-undang baru pada mulanya sebagai rancangan merupakan ius constituendum);
2)    perubahan undang-undang yang ada, dengan jalan memasukkan unsur-unsur  baru (unsur-unsur baru pada mulanya merupakan ius constituendum);
3)    penafsiran peraturan perundang-undangan. Penafsiran yang ada kini, mungkin tidak sama dengan penafsiran pada masa lampau (Penafsiran pada masa kini, dahulu merupakan ius constituendum);
4)    perkembangan doktrin, atau pendapat-pendapat kalangan hukum yang terkemuka di bidang teori hukum;
Jadi, Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota mulanya merupakan ius constituendum atau hukum yang dicita-citakan oleh pembentuk hukum tersebut, guna mengatasi masalah kekisruhan politik dan tidak dapat diakomodirnya aspirasi masyarakat untuk menentukan sendiri kepala daerah yang akan menjadi pemimpinnya, sebelum disahkan menjadi Perppu yang berlaku sebagai ius constitutum.



[1]Mochtar Kusumaatmaja, Konsep – Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung, 2006, hal. 199.
[2]Moh. Mahfud MD, Politk Hukum Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012,  hlm. 6.
[3]Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), Cet. II, hlm. 160
[4]Padmo Wahjono, “Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-Undangan,” dalam majalah Forum Keadilan, No. 29, April 1991, hlm. 65 dalam Moh. Mahfud MD, Politk Hukum Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 1
[5]Ibid.
[6]Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahunkeI-II, Desember 1973,hlm.3.
[7]Lihat konsideran menimbang poin a, Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
[8]http://news.okezone.com/read/2014/10/02/337/1047563/10-perbaikan-pilkada-langsung-di-perppu-nomor-1-tahun-2014, diakses pada tanggal 5 November 2014 pukul 21:30 WIB.
[10]Lihat  UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.
[11]http://appehutauruk.blogspot.com/2012/09/ius-constitutum-dan-ius-constituendum.html, diakses pada tanggal 6 November 2014 pukul 22:50 WIB.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar