1.
Perppu
Nomor 1 Tahun 2014 Dilihat Dari Aspek Legal
Policy

Pembentukan
hukum dalam suatu sistem hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut
oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini
berbeda pada setiap kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, pembentukannya
dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum
atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung
melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam masyarakat Eropa
Kontinental pembentukan hukum dilakukan oleh badan legislatif. Sedangkan dalam
masyarakat common law (Anglo saxion) kewenangan terpusat pada
hakim.
Konsepsi
hukum yang dianut oleh suatu negara merupakan hal yang penting, karena hal
tersebut secara langsung akan mempengaruhi politik hukum dan pembentukan
peraturan perundang-undangan dari negara tersebut. Indonesia sendiri telah
memproklamirkan diri sebagai negara hukum (rechtstaat) bukan negara yang
berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat).
Hal ini tertuang di dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang
menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak
asasi manusia dan setiap tindakan dan kebijakan pemerintah harus berdasarkan
atas ketentuan hukum (due process of
law).
Pandangan
yang menganggap hukum sebagai produk politik sebenarnya tidak sepenuhnya benar,
jika menggunakan kacamata das sein (kenyataan). Dengan kata lain,
hukum harus diartikan sebagai undang-undang maka hukum merupakan produk
politik. Namun jika dilihat dari dari segi isi atau jika didasarkan pada
pandangan das sollen (keinginan atau
yang seharusnya), maka jelas hukum bukan merupakan produk politik melainkan
hukum merupakan produk rakyat. Mochtar Kusumaatmadja menyebut bahwa, politik
dan hukum itu interdeterminan (saling mempengaruhi satu sama lain), sebab
politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuh.[1]
Politik
hukum dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan
diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum
yang lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Kebijakan merupakan suatu
kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang atau kelompok politik dalam
usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut. seperti
diungkapkan sebelumnya, konsep hukum yang dianut oleh suatu negara mempengaruhi politik hukumnya, begitu pula
politik hukum tiap negara berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini juga
karena keadaan dari masing-masing negara memiliki permasalahan yang
berbeda-beda yang memerlukan suatu pengaturan yang berbeda pula.
Gejala-gejala
sosial yang terjadi di masyarakat turut mempengaruhi arah kebijakan atau politik
hukum pemerintah, gejala-gejala tersebut dapat berupa; kondisi politik, hukum,
budaya, sosial, ekonomi dan sebagainya. Dengan demikian menurut Mahfud, hukum
dalam arti undang-undang sebenarnya merupakan produk politik, ekonomi, sosial
dan budaya.[2]
Padmo Wahjono
mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah,
bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.[3]
Dalam tulisannya yang lain Padmo Wahjono lanjut menjelaskan mengenai definisi
politik hukum dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan
penyelenggara negara tentang apa yang akan dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan
penegakan hukum.[4]
Sedangkan Moh. Mahfud MD menyebutkan bahwa politik hukum adalah “legal policy, atau garis (kebijakan)
resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru
maupun dengan peggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara”.[5]
Lebih lanjut Mahfud menjelaskan bahwa politik hukum merupakan pilihan tentang
hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang
akan dicabut atau tidak diberlakukan lagi yang kesemuanya dimaksudkan untuk
mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Sedangkan Teuku Muhammad Radhie
mengkonsepsikan politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.[6]
Maka
dapat dikatakan bahwa dari aspek legal
policy Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota merupakan pilihan hukum yang dipilih oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), yang bertujuan semata-mata untuk mencapai tujuan negara, yaitu
untuk menjamin pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara
demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka kedaulatan rakyat serta demokrasi
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama
pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.[7]
Lebih
lanjut, dikatakan dalam konsideran menimbang poin b Perppu No 1 Tahun 2014,
bahwa kedaulatan rakyat dan demokrasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu
ditegaskan dengan pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara
langsung oleh rakyat, dengan tetap melakukan beberapa perbaikan mendasar atas
berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah dijalankan.
Berikut
sepuluh poin perbaikan yang ditawarkan SBY dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014:[8]
1) ada
uji publik calon kepala daerah. Dengan uji publik, dapat dicegah calon dengan integritas buruk dan kemampuan rendah, karena masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup, atau hanya karena yang bersangkutan merupakan keluarga dekat dari incumbent. Uji publik semacam ini diperlukan, meskipun tidak menggugurkan hak seseorang untuk maju sebagai calon Gubernur, Bupati ataupun Walikota;
2) penghematan atau pemotongan anggaran Pilkada secara signifikan, karena dirasakan selama ini biayanya terlalu besar;
3) mengatur kampanye dan pembatasan kampanye terbuka, agar biaya bisa lebih dihemat lagi, dan untuk mencegah benturan antar massa;
4) akuntabilitas penggunaan dana kampanye, termasuk dana sosial yang sering disalahgunakan. Tujuannya adalah juga untuk mencegah korupsi;
5) melarang politik uang, termasuk serangan fajar dan membayar parpol yang mengusung.
Banyak kepala daerah yang akhirnya melakukan korupsi, karena harus menutupi biaya pengeluaran seperti ini;
6) melarang fitnah dan kampanye hitam, karena bias menyesatkan publik dan juga sangat merugikan calon yang difitnah. Demi
keadilan para pelaku fitnah perlu diberikan sanksi hukum;
7) melarang pelibatan aparat birokrasi. Ditengarai banyak calon yang menggunakan aparat birokrasi, sehingga sangat merusak netralitas mereka;
8) melarang pencopotan aparat birokrasi pasca Pilkada, karena pada saat pilkada, calon yang terpilih atau menang merasa tidak didukung oleh aparat birokrasi itu;
9) menyelesaikan sengketa hasil Pilkada secara akuntabel, pasti dan tidak berlarut-larut. Perlu ditetapkan sistem pengawasan yang efektif agar
tidak terjadi korupsi atau penyuapan;
10) mencegah kekerasan dan menuntut tanggung jawab calon atas kepatuhan hukum pendukungnya. Tidak sedikit terjadinya kasus perusakan dan aksi-aksi destruktif karena tidak puas atas hasil Pilkada.
Dengan
demikian, maka pengertian pemilihan secara demokratis telah bergeser maknanya
menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat. Konsekuensi yuridis dari
lahirnya Perppu No 1 Tahun 2014 ini adalah bahwa pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota mau tidak mau harus dilaksanakan melalui pemilihan langsung oleh
rakyat. Karena pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota oleh DPRD tidak sesuai
lagi dengan UUD pasal 18 ayat (4) (Inkonstitutional).
2.
Perppu
Nomor 1 Tahun 2014 Dilihat Dari
Aspek Proses
Pergulatan Politik
Dari aspek proses pergulatan
politik, Perppu No 1 Tahun 2014 dilatarbelakangi oleh kisruh politik
fraksi-fraksi di DPR yang terbagi menjadi dua kubu yaitu kubu Koalisi Merah
Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). KMP yang didukung oleh Partai Golongan
Karya (Golkar), Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
berhasil menguasai parlemen kemudian mengusulkan dalam RUU Pilkada agar
pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD, sedangkan kubu KIH yang diusung
oleh Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), Hati Nurani Rakyat (Hanura),
Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengusulkan agar
pemilihan kepala daerah dilakukan tetap secara langsung oleh rakyat. Hasilnya
terjadi pertikaian politik antara KMP dan KIH yang berujung pada voting RUU
Pilkada yang dimenangkan oleh kubu KMP. Akan tetapi Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) merespon UU Pilkada tersebut (UU No. 22 Tahun 2014 tentang
Pilkada) dengan mengeluarkan dua Perppu.
Perppu No.1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota melalui pemilihan secara
langsung oleh rakyat diterbitkan Presiden SBY menimbulkan berbagai tanggapan
dari banyak pihak. Mulai dari Judicial
Review Perppu No. 1 Tahun 2014, hingga kemungkinan akan ditolak DPR.
Konsekuensi dari hadirnya Perppu
No 1 Tahun 2014 adalah UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pilkada tidak berlaku lagi,
karena sudah dicabut oleh Perppu tersebut. Jika DPR tidak menyetujui Perppu tersebut untuk
dijadikan UU, maka tidak berarti secara otomatis UU UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pilkada berlaku
kembali. Sebagai konsekuensi dari Perppu No. 1 Tahun 2014 dan untuk
menghilangkan ketidakpastian hukum, diterbitkan pula Perppu No 2 Tahun 14
tentang Pemerintahan Daerah yang menghapus tugas dan kewenangan DPRD untuk memilih
kepala daerah sebagaimana tercantum dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda.
Menurut pandangan Saldi Isra
sebagaimana dikutip dalam hukum online[9], jika Perppu tersebut
ditolak oleh DPR, maka tidak serta merta berlaku UU No. 22 Tahun 2014, merujuk pada
Pasal 52 ayat (5), (6), dan (7) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Pasal (5) menyatakan, “Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat
persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku”. Pasal Ayat
(6) menyatakan, ”Dalam hal Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak
berlaku sebagaimana dimaksud ayat (5), DPR atau presiden mengajukan Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”.
Sedangkan ayat (7) menyebutkan, “Rancangan
Undang-Undang tentang pencabutan
Peraturan Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud ayat (6) mengatur
segala akibat hukum dari pencabutan Perppu”.[10]
Dengan demikian, dengan
menggunakan dasar hukum ini, tidak ada alasan bahwa setelah mencabut Perppu,
kemudian secara otomatis UU No.22 Tahun 2014 tentang Pilkada berlaku kembali.
3.
Perpu
Nomor 1 Tahun 2014 Dilihat Dari
Aspek Ius Constitutum Menjadi Ius Constituendum
Sebagai sebuah legal policy yang diambil oleh presiden
SBY, Perppu No. 1 Tahun 2014 merupakan garis (kebijakan) resmi tentang hukum
yang diberlakukan (Ius constitutum)
sebagai pengganti hukum lama atau dalam hal ini UU No 22 Tahun 2014, yang
dianggap tidak sesuai dengan tujuan negara (ius
constituendum). Perppu tersebut diharapkan mampu menjadi sebuah solusi atas
pertikaian politik dan menyelamatkan harapan masyarakat yang menginginkan pemilihan
kepala daerah tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Pada dasarnya politik hukum
meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha menghilangkan pertentangan antar
hukum yang berlaku (positiviteit) dan
kenyataan sosial (sociale werkelijkkheid).
Sebagai sebuah kaedah hukum yang berlaku (ius
constitutum), Perppu tersebut berusaha menghilangkan pertentangan yang
terjadi dalam parlemen di mana pertentangan tersebut berimbas kepada masyarakat
luas.
Dengan demikian ius constitutum masa kini, pada masa
lampaunya merupakan ius constituendum.
Apabila ius constitutum kini
mempunyai kekuatan hukum, maka sebagai ius
constituendum mempunyai nilai sejarah. Proses semacam itu dapat terjadi
dengan berbagai cara, misalnya:[11]
1) digantinya suatu undang-undang dengan undang-undang baru (undang-undang baru pada mulanya
sebagai rancangan merupakan ius
constituendum);
2) perubahan undang-undang yang ada, dengan
jalan memasukkan unsur-unsur baru (unsur-unsur baru pada mulanya merupakan ius constituendum);
3) penafsiran peraturan perundang-undangan. Penafsiran yang
ada kini, mungkin tidak sama dengan penafsiran pada masa lampau (Penafsiran
pada masa kini, dahulu merupakan ius
constituendum);
4) perkembangan doktrin, atau pendapat-pendapat kalangan hukum yang
terkemuka di bidang teori hukum;
Jadi, Perppu No. 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota mulanya merupakan ius constituendum atau hukum yang
dicita-citakan oleh pembentuk hukum tersebut, guna mengatasi masalah kekisruhan
politik dan tidak dapat diakomodirnya aspirasi masyarakat untuk menentukan
sendiri kepala daerah yang akan menjadi pemimpinnya, sebelum disahkan menjadi Perppu
yang berlaku sebagai ius constitutum.
[1]Mochtar Kusumaatmaja, Konsep –
Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung, 2006, hal. 199.
[2]Moh. Mahfud MD, Politk Hukum Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 6.
[3]Padmo Wahjono, Indonesia Negara
Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), Cet. II, hlm. 160
[4]Padmo Wahjono, “Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan
Perundang-Undangan,” dalam majalah Forum
Keadilan, No. 29, April 1991, hlm. 65 dalam Moh. Mahfud MD, Politk Hukum Di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pers, 2012, hlm. 1
[5]Ibid.
[7]Lihat konsideran menimbang poin a,
Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
[8]http://news.okezone.com/read/2014/10/02/337/1047563/10-perbaikan-pilkada-langsung-di-perppu-nomor-1-tahun-2014,
diakses pada tanggal 5 November 2014 pukul 21:30 WIB.
[9]http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt543e4d9ab4d5b/bila-perppu-ditolak-tak-otomatis-berlaku, diakses pada tanggal 6 November 2014
pukul 22:50 WIB.
[10]Lihat
UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.
[11]http://appehutauruk.blogspot.com/2012/09/ius-constitutum-dan-ius-constituendum.html,
diakses pada tanggal 6 November 2014 pukul 22:50 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar