Jumat, 11 November 2016

PENDIDIKAN AGAMA SEBAGAI PENDIDIKAN MORAL

Jika kita mempertanyakan mengapa kita secara terus menerus mengkaji dan membicarakan mengenai pendidikan tentu itu karena pendidikan merupakan suatu hal yang aksiomatis dari waktu ke waktu. Ia merupakan dogma suci yang diterima sebagai sesatu yang benar dan mapan, yang akan membawa kepada perubahan-perubahan besar, seperti ketertiban  dan peradaban baru.
Kepercayaan dan keyakinan bahwa pendidikan akan mampu membawa seseorang ke jalan terbaik dalam hidup dan kehidupannya memunculkan sesuatu yang disebut oleh dunia barat sebagai school, education, atau lyceum ala aristoteles. Sedangkan di timur melahirkan madrasah, pondok pesantren, majelis ta’lim dan berbagai institusi pendidikan baik formal maupun non fomal.
Pendidikan merupakan suatu alat yang selama ini digunakan untuk mencetak orang-orang terdidik dan pendidik yang handal. Harapan besar yang digantungkan kapada dunia pendidikan seolah menjadi cita- cita agung yang harus diwujudkan. Ada yang berpendapat bahwa pendidikan sejatinya tidak hanya bicara soal nilai. Pendidikan sesungguhnya hadir untuk mencerahkan. Pendidikan menjadi pelita ditengah gelapnya kebodohan. Pendidikan menjadi pelita menuntun pada jalan terang, menjadi lebih baik, menjadi makin bermanfaat, dan bermartabat. (Lombok Post, Selasa 3/5/2016)
Pendidikan sebagai tools memiliki berbagai macam bentuk baik formal maupun non formal, negeri maupun swasta. Ada yang menyebutnya sebagai “sekolah” atau “kampus”, ada pula yang menamainya sebagai “madrasah” atau “pesanten” tempat dimana orang yang terdidik dilatih dan dibina menjadi pribadi yang berbudi luhur dan berakhlakul karimah.  
Dalam sejarah, kata “pendidikan” disinyalir berasal dari istilah “pedagogi” (paedagogie, bahasa latin) yang berarti pendidikan. Pedagogia berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu paedos yang berarti “anak” dan agoge yang berarti “saya membimbing”  atau “memimpin anak”. Sedangkan paedagogos adalah istilah yang digunakan untuk menyebut seorang pelayan atau pemuda yang bertugas mengantar dan menjemput  anak-anak (siswa) ke sekolah. Kata paedagogos yang semula berkonotasi rendah (pelayan, pembantu), kemudian digunakan sebagai nama pekerjaan mulia, yaitu paedagoog (pendidik, ahli didik, guru). (teguh wangsa Gandhi W., 2013;62).
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003, memberikan pengertian pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia.
Pendidikan, diyakini oleh K.H. Ahmad Dahlan sebagai salah satu cara efektif untuk  memperbaiki akhlak dan perilaku setiap manusia, bahkan manusia yang paling jahat  sekalipun, dapat diperbaiki dengan cara memberikannya pendidikan agama, serta pendidikan  tentang perilaku yang baik.
K.H. Ahmad Dahlan berpandangan bahwa keadaan masyarakat yang menyedihkan  secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya akibat penjajahan dan kehidupan agama yang  kurang sesuai dengan Qur’an dan Hadits menyebabkan sikap yang fatalistik dan statis, yaitu  menerima keadaan buruk dan penderitaan sebagai pemberian. Bagi orang yang taat agama, kembali pada ajaran Qur’an  dan Hadits diyakini sebagai cara membangun kembali jati diri (self identity) dan kepercayaan  diri, keberanian untuk berjuang melawan kemungkaran (penindasan) serta mempunyai  kemauan untuk membangun kebaikan (kemerdekaan) (Sodiq A. Kuntoro, 2006:138).
Kondisi tersebut di atas yang melatarbelakangi pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan. K.H. Ahmad Dahlan adalah pelopor pendidikan Islam yang memadukan  antara pendidikan agama dan ilmu pengetahuan umum. Dalam pendidikan Muhammadiyah,  dua sisi kebutuhan dasar hidup manusia, kebutuhan material dan spiritual berusaha  dikembangkan secara harmonis (Sodiq A. Kuntoro, 2006:135)
Dunia pendidikan di Indonesia saat ini, memang sedang mengalami distorsi dan disparitas dari yang seharusnya. Oleh karena itu, dunia pendidikan perlu dikoreksi agar menjadi lebih baik dan tak mengulang sejarah yang tidak baik di masa lalu. Dengan demikian, generasi baru dapat tumbuh menjadi generasi yang terdidik sekaligus bermoral.
Baru-baru ini, seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) membunuh dosennya sendiri karena motif dendam. Ini membuktikan tidak adanya jalinan kerjasama yang baik antara pendidik dan anak didik. Seorang pendidik hendaknya mengayomi, memberi teladan, memberi bimbingan dan dorongan sebagaimana semboyan pendidikan yang ditanamkan Kihajar Dewantara “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani”, “Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan”. Pun demikian dengan anak didik, hendaknya ia menghormati dan memuliakan ahli didiknya agar mendapat ilmu yang berkah sebagaimana yang telah di ajarkan dalam pendidikan agama.
Ada juga berita yang tak kalah menyedihkan, sekelompok remaja yang tega memperkosa seorang anak perempuan berumur 14 tahun, tak hanya memperkosa meraka juga membunuh gadis kecil itu. Hal ini dilatarbelakangi minuman keras yang mereka konsumsi sebelumnya dan kegemaran mereka menonton video porno. Degradasi moral yang terjadi di kalangan generasi muda saat ini adalah konsekuensi logis dari kurangnya penanaman nilai-nilai agama dan moral di keluarga dan di sekolah. Pasalnya pelajaran moral dan agama hanya dikecap selama 2 jam saja setiap minggunya di sekolah. Sedangkan di rumah, orang tua acuh tak acuh terhadap pendidikan agama anak-anaknya.
Pendidikan agama sebagai pendidikan moral adalah langkah tepat untuk menamkan kembali nilai-nilai spiritual keagamaan yang kian lama kian terkikis oleh bebasnya arus globalisasi. Pendidikan agama hendaknya di tanamkan sejak kecil, melalui unit-unit terkecil dari negara yaitu keluarga, basis dimana generasi penerus bangsa di cetak. Baru kemudian di tanamkan pada institusi-institusi pendidikan, tempat dimana generasi penerus bangsa di didik. Dengan demikian, pendidikan agama yang diberikan secara continue akan mampu melahirkan generasi-generasi yang berbudi luhur dan berkarakter ahlakul kharimah. Harapannya, kejadian-kejadian yang a moral yang dilakukan oleh anak usia sekolah tidak lagi terulang di masa yang akan datang.
Para negeri imperium (penjajah) tentu tidak bisa dikatakan sebagai negeri yang tidak terdidik. Dari negeri merekalah muncul alat-alat atau teknologi yang canggih, namun itu semua tak mampu menghentikan mereka untuk tidak menjajah. Maka terdidik bukan persoalan pengetahuan semata melainkan masalah pandangan yang benar tentang hidup dan kehidupan. Pendidikan agama mengajarkan kepada kita bagaimana bersikap yang seharusnya kepada tuhan dan kepada sesama manusia, mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang universal. Oleh karena itu, pendidikan agama berarti juga pendidikan moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar