
Kepercayaan dan
keyakinan bahwa pendidikan akan mampu membawa seseorang ke jalan terbaik dalam
hidup dan kehidupannya memunculkan sesuatu yang disebut oleh dunia barat
sebagai school, education, atau lyceum ala aristoteles. Sedangkan di
timur melahirkan madrasah, pondok pesantren, majelis ta’lim dan berbagai institusi pendidikan baik formal maupun
non fomal.
Pendidikan merupakan
suatu alat yang selama ini digunakan untuk mencetak orang-orang terdidik dan pendidik yang handal. Harapan besar yang digantungkan kapada dunia
pendidikan seolah menjadi cita- cita agung yang harus diwujudkan. Ada yang
berpendapat bahwa pendidikan sejatinya tidak hanya bicara soal nilai.
Pendidikan sesungguhnya hadir untuk mencerahkan. Pendidikan menjadi pelita
ditengah gelapnya kebodohan. Pendidikan menjadi pelita menuntun pada jalan
terang, menjadi lebih baik, menjadi makin bermanfaat, dan bermartabat. (Lombok
Post, Selasa 3/5/2016)
Pendidikan sebagai tools memiliki berbagai macam bentuk
baik formal maupun non formal, negeri maupun swasta. Ada yang menyebutnya
sebagai “sekolah” atau “kampus”, ada pula yang menamainya sebagai “madrasah” atau
“pesanten” tempat dimana orang yang terdidik dilatih dan dibina menjadi pribadi
yang berbudi luhur dan berakhlakul karimah.
Dalam sejarah, kata
“pendidikan” disinyalir berasal dari istilah “pedagogi” (paedagogie, bahasa latin) yang berarti pendidikan. Pedagogia berasal dari bahasa yunani
yang terdiri dari dua kata, yaitu paedos
yang berarti “anak” dan agoge yang
berarti “saya membimbing” atau “memimpin
anak”. Sedangkan paedagogos adalah
istilah yang digunakan untuk menyebut seorang pelayan atau pemuda yang bertugas
mengantar dan menjemput anak-anak
(siswa) ke sekolah. Kata paedagogos
yang semula berkonotasi rendah (pelayan, pembantu), kemudian digunakan sebagai
nama pekerjaan mulia, yaitu paedagoog
(pendidik, ahli didik, guru). (teguh wangsa Gandhi W., 2013;62).
Menurut Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003, memberikan
pengertian pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia.
Pendidikan, diyakini
oleh K.H. Ahmad Dahlan sebagai salah satu cara efektif untuk memperbaiki akhlak dan perilaku setiap
manusia, bahkan manusia yang paling jahat
sekalipun, dapat diperbaiki dengan cara memberikannya pendidikan agama,
serta pendidikan tentang perilaku yang
baik.
K.H. Ahmad Dahlan
berpandangan bahwa keadaan masyarakat yang menyedihkan secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya
akibat penjajahan dan kehidupan agama yang
kurang sesuai dengan Qur’an dan Hadits menyebabkan sikap yang fatalistik
dan statis, yaitu menerima keadaan buruk
dan penderitaan sebagai pemberian. Bagi orang yang taat agama, kembali pada
ajaran Qur’an dan Hadits diyakini
sebagai cara membangun kembali jati diri (self
identity) dan kepercayaan diri,
keberanian untuk berjuang melawan kemungkaran (penindasan) serta mempunyai kemauan untuk membangun kebaikan
(kemerdekaan) (Sodiq A. Kuntoro, 2006:138).
Kondisi tersebut di
atas yang melatarbelakangi pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan.
K.H. Ahmad Dahlan adalah pelopor pendidikan Islam yang memadukan antara pendidikan agama dan ilmu pengetahuan
umum. Dalam pendidikan Muhammadiyah, dua
sisi kebutuhan dasar hidup manusia, kebutuhan material dan spiritual
berusaha dikembangkan secara harmonis
(Sodiq A. Kuntoro, 2006:135)
Dunia pendidikan di
Indonesia saat ini, memang sedang mengalami distorsi dan disparitas dari yang
seharusnya. Oleh karena itu, dunia pendidikan perlu dikoreksi agar menjadi
lebih baik dan tak mengulang sejarah yang tidak baik di masa lalu. Dengan
demikian, generasi baru dapat tumbuh menjadi generasi yang terdidik sekaligus
bermoral.
Baru-baru ini, seorang mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) membunuh dosennya sendiri karena motif
dendam. Ini membuktikan tidak adanya jalinan kerjasama yang baik antara
pendidik dan anak didik. Seorang pendidik hendaknya mengayomi, memberi teladan,
memberi bimbingan dan dorongan sebagaimana semboyan pendidikan yang ditanamkan
Kihajar Dewantara “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri
handayani”, “Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang
memberi dorongan”. Pun demikian dengan anak didik, hendaknya ia menghormati dan
memuliakan ahli didiknya agar mendapat ilmu yang berkah sebagaimana yang telah
di ajarkan dalam pendidikan agama.
Ada juga berita yang tak kalah menyedihkan,
sekelompok remaja yang tega memperkosa seorang anak perempuan berumur 14 tahun,
tak hanya memperkosa meraka juga membunuh gadis kecil itu. Hal ini
dilatarbelakangi minuman keras yang mereka konsumsi sebelumnya dan kegemaran
mereka menonton video porno. Degradasi moral yang terjadi di kalangan generasi
muda saat ini adalah konsekuensi logis dari kurangnya penanaman nilai-nilai
agama dan moral di keluarga dan di sekolah. Pasalnya pelajaran moral dan agama
hanya dikecap selama 2 jam saja setiap minggunya di sekolah. Sedangkan di
rumah, orang tua acuh tak acuh terhadap pendidikan agama anak-anaknya.
Pendidikan agama
sebagai pendidikan moral adalah langkah tepat untuk menamkan kembali
nilai-nilai spiritual keagamaan yang kian lama kian terkikis oleh bebasnya arus
globalisasi. Pendidikan agama hendaknya di tanamkan sejak kecil, melalui
unit-unit terkecil dari negara yaitu keluarga, basis dimana generasi penerus
bangsa di cetak. Baru kemudian di tanamkan pada institusi-institusi pendidikan,
tempat dimana generasi penerus bangsa di didik. Dengan demikian, pendidikan
agama yang diberikan secara continue
akan mampu melahirkan generasi-generasi yang berbudi luhur dan berkarakter
ahlakul kharimah. Harapannya, kejadian-kejadian yang a moral yang dilakukan oleh anak usia sekolah tidak lagi terulang
di masa yang akan datang.
Para negeri imperium
(penjajah) tentu tidak bisa dikatakan sebagai negeri yang tidak terdidik. Dari
negeri merekalah muncul alat-alat atau teknologi yang canggih, namun itu semua
tak mampu menghentikan mereka untuk tidak menjajah. Maka terdidik bukan persoalan
pengetahuan semata melainkan masalah pandangan yang benar tentang hidup dan
kehidupan. Pendidikan agama mengajarkan kepada kita bagaimana bersikap yang
seharusnya kepada tuhan dan kepada sesama manusia, mengajarkan nilai-nilai
kebaikan yang universal. Oleh karena itu, pendidikan agama berarti juga
pendidikan moral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar