BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menanggapi kasus ini Komnas HAM sebagai lembaga yang
diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya
pelanggaran HAM berat, menyimpulkan bahwa dalam kasus ini tidak
terjadi pelanggaran HAM berat, namun yang terjadi adalah pelanggaran HAM biasa.
Sedikitnya ada 4 dugaan pelanggaran HAM tersebut, Pertama, yakni menghilangkan hak untuk hidup. Empat tahanan
dibunuh dengan cara ditembak berkali-kali di kepala. Penembakan tetap dilakukan
meskipun sudah dalam keadaan tewas. Kedua,
pelanggaran hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan
merendahkan martabat. Ketiga, hak
untuk memperoleh keadilan. Pembunuhan empat tahanan itu dilakukan di luar
proses hukum. Keempat, pelanggaran
hak atas rasa aman. Peristiwa di Cebongan, menurut Komnas HAM, menimbulkan rasa
ketakutan dan kekhawatiran yang dialami para tahanan, aparat kepolisian,
petugas lapas, warga DIY yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, dan masyarakat
DIY pada umumnya. Kelima, pelanggaran
hak milik. Para pelaku mengambil monitor CCTV, kamera CCTV, perekam CCTV,
ponsel, dan melakukan perusakan pintu. Dengan adanya hasil penyelidikan
tersebut maka, pengadilan HAM tidak memiliki kompetensi untuk mengadili kasus
ini dan dilimpahkan kepada Pengadilan Militer sesuai dengan ketentuan dalam UU.
No.31 Tahun 1997.
Namun dalam persidangan oditur militer mengajukan
tuntutan yang tidak maksimal berdasarakn Pasal 340 adalah Hukuman mati, alasannya
adalah karena adanaya unsur-unsur peringan di antaranya tidak semua
masyarakat mencela perbuatan terdakwa, bahkan sebagian warga Yogya merasa
diuntungkan dengan tindakan tersebut terdakwa telah beberapa kali mengikuti
tugas operasi militer dan kemanusiaan; para terdakwa belum pernah di hukum dan;
secara kesatria mengakui perbuatanya, dan semata-mata untuk membela kehormatan
Korps[1].
Masalah penegakan hukum adalah
merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Walaupun
kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin
memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan
hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam
masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
Dalam penegakan hukum kasus
penyerangan LP. Cebongan tentu tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan legal
culture yang berkembang dikalangan korps kopasus. Sehingga untuk menganalisis
kasus ini secara teoritis penyusun ingin mengaitkannya dengan teori yang
dikemukakan oleh M. L. Friedman yang memandang hukum sebagai sistem yang tidak
terpisahkan satu dan yang lainnya, yaitu structure, substansi dan culture.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud menganalisis
kasus penyerangan LP. Cebongan dari perspektif legal culturenya. Adapun rumusan
masalah dari makalah ini antara lain :
1. Peran
legal culture dalam penegakan hukum ?
2. Bagaimanakah
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tedakwa ditinjau dari perspektif legal
culture ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Peran Legal Culture dalam Penegakan
Hukum
Budaya
hukum (legal culture) mempunyai
peran yang vital dan sangat penting dalam penegakan hukum di Indonesia karena
hukum sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta
sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum diabaikan, maka akan
terjadi kegagalan sistem hukum modern dan menimbulkan berbagai
kejahatan-kejahatan yang baru. Dalam rangka penegakan hukum pidana di Indonesia
maka diperlukan peningkatan kualitas peran budaya hukum antara lain melalui
budaya kerja dan perilaku yang profesional para aparat penegak hukum,
pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan sosial yang luas tidak hanya
kepada aparat penegak hukum namun semua elemen masyarakat dan pemerintah.
Menurut
Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh mengatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang
menyebabkan lemahnya penegakan hukum (pidana) di Indonesia antara lain[2]:
1. Undang-undang yang dihasilkan oleh pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat lebih mencerminkan kepentingan pengusaha dan penguasa
daripada kepentingan rakyat kebanyakan.
2. Lemahnya kehendak konstitusional dari para pemimpin
dan penyelenggara negara di Indonesia.
3. Rendahnya integritas aparat penegak hukum seperti
polisi, hakim, jaksa dan advokat.
4. Paradigma penegakan hukum yang positivistik atau lebih
menekankan pada aspek legal formal.
5. Minimnya sarana dan prasarana penegakan hukum,
6. Sistem hukum yang tidak sistematis.
7. Tingkat kesadaran dan budaya hukum yang kurang di
masyarakat.
Bagi yang mengkaji ilmu hukum,
tentunya mengetahui bahwa pemidanaan (penghukuman secara legal di bidang hukum
pidana) mempunyai sejumlah tujuan seperti menakut-nakuti warga masyarakat luas
agar tidak melakukan suatu tindak kriminal, membuat jera si pelaku agar tidak
mengulangi lagi kejahatan yang pernah dilakukannya, merehabilitasi pelaku agar
mampu menjadi manusia baru setelah usai menjalankan hukumannya dan lain-lain.
Dalam kenyataannya tujuan pemidanaan ini banyak yang sering dijatuhkan oleh
pengadilan sama sekali kontras dengan rasa keadilan warga masyarakat. Tuntutan
bebas dan putusan bebas untuk terdakwa kasus korupsi misalnya jelas sangat
melukai rasa keadilan masyarakat. Dampak langsung dari fenomena itu adalah
membawa warga masyarakat membuat bentuk social control sendiri
dengan cara-cara kekerasan seperti perilaku kekerasan dalam bentuk
penganiayaan, pembunuhan, perusakan barang.
Hukum yang dibuat pada akhirnya
sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap
dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum diabaikan, maka dapat
dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum modern yang ditandai dengan
munculnya berbagai gejala seperti : Kekeliruan informasi mengenai isi peraturan
hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat, Muncul perbedaan antara apa
yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh
masyarakat, Masyarakat lebih memilih untuk tetap bertingkah laku sesuai dengan
apa yang telah menjadi nilai-nilai dan pandangan dalam kehidupan mereka.[3]
Tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap para aparat penegak hukum terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia
yang dinilai buruk harus segera dikembalikan dan dipulihkan dengan
perbaikan pada aspek struktur dan substansi hukum yang diiringi dengan adanya budaya
hukum (Culture Hukum). Aspek budaya hukum inilah yang mempunyai
peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Menurut
Lawrence M. Friedman menjelaskan mengenai konsep budaya hukum adalah sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan
kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau
disalahgunakan, tanpa adanya budaya/kultur hukum maka sistem hukum sendiri tak
berdaya[4].
Unsur budaya hukum ini mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara
berpikir, dan cara bertindak baik dari aparat penegak hukum maupun dari
masyarakat.tanpa budaya hukum maka
sistem hukum akan kehilangan kekuatannya seperti yang di katakan Lawrence M.
Friedman "without legal culture, the legal system is meet-as dead
fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea". Gambaran
mengenai budaya hukum dalam unsur-unsur sistem hukum adalah struktur hukum diibaratkan
sebagai mesin yang menghasilkan
sesuatu, substansi hukum diibaratkan produk yang di hasilkan oleh mesin, dan budaya hukum
merupakan apa saja atau siapa sajayang memutuskan untuk menjalankan mesin serta
membatasi penggunaan mesin.
Satjipto Rahardjo mengemukakan
bahwa dalam usaha untuk membenahi hukum di Indonesia kita perlu menaruh
perhatian yang seksama terhadap masalah perilaku bangsa, kehidupan hukum tidak
hanya menyangkut urusan hukum teknis, seperti pendidikan hukum tetapi
menyangkut soal pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan sosial yang luas[5].
Aspek perilaku (budaya hukum) aparat penegak hukum perlu dilakukan
penataan ulang dari perilaku budaya hukum yang selama ini dilakukan oleh aparat
penegak hukum sebelumnya karena seseorang menggunakan hukum atau tidak
menggunakan hukum sangat tergantung pada kultur (budaya) hukumnya[6].
Telah terbukti bahwa akibat perilaku hukum aparat penegak hukum yang tidak
baik, tidak resisten terhadap suap, konspirasi, dan KKN, menyebabkan banyak
perkara tindak pidana korupsi yang tidak dapat dijerat oleh hukum.
Aparat penegak hukum dalam hal ini
berperan dalam membangun dan menata kembali budaya hukum dalam penegakan
hukum pidana di Indonesia. Mereka dituntut untuk mengambil peran melalui budaya
kerja yang profesional sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan asas persamaan di bidang hukum (equality before the law)
dapat terwujud. Dalam rangka menciptakan peran budaya hukum dari sisi aparat
hukum maka perilaku para aparat penegak hukum mencakup polisi, pengacara,
jaksa, hakim agar dapat mengembalikan kepercayaannya kepada masyarakat dan
menjalankan tugasnya dengan profesional maka hukum harus dikembalikan kepada akar moralitas, kultural dan religius, dan
mengembalikan rasa keadilan rakyat. Selanjutnya dalam
rangka memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum maka tindakan
mengganti semua aparat penegak hukum yang tidak bersih mutlak diperlukan.
Kualitas budaya hukum menentukan
kualitas penegakan hukum. Sebaik apa pun aturan hukum dibuat, sedetail apa pun
kelembagaan dan manajemen organisasi disusun, yang akan menjalankan adalah
manusia yang hidup dalam budaya tertentu. Ketika budaya belum berubah, aturan
dan sistem tidak akan berjalan sesuai harapan. Para aparat penegak hukum harus
mampu melepaskan diri dari budaya aparat hukum yang ada selama ini dinilai
tidak adil dan buruk dan berubah ke arah peningkatan sumber daya manusia,
manajemen yang lebih baik menjadi aset untuk dapat menjalani tugas para aparat
penegak hukum yang ideal. Budaya hukum (budaya kerja) dari aparat penegak hukum
yang baik akan menghasilkan penegakan hukum yang efektif dan efisien.
B. Pelanggaran HAM yang Dilakukan Oleh
Tedakwa Ditinjau Dari Perspektif Legal Culture
Sangat berbeda dengan dugaan pelanggaran HAM yang diajukan
oleh Komnas HAM, dalam kasus ini oditur hanya memandang adanya pelanggaran HAM
menghilangkan nyawa orang lain, yang di kategorikan dalam pembunuhan berencana
yang dilakukan secara bersama-sama, di lain pihak juga tuntutan yang diajukan
tidak maksimal, yaitu hanya 12 , 10,dan 8 Tahun dari yang batasan maksimum yang
ditentukan oleh Pasal 340 KUHP yaitu Pidana mati, seumur hidup, atau dalam
kurun waktu tertentu, maksimal 20 tahun. Menurut oditur tidak maksimalnya
penuntutan di sebabakn karena ada nya alasan peringan dianataranya adalah tidak semua masyarakat mencela perbuatan
terdakwa, bahkan sebagian warga Yogya merasa diuntungkan dengan tindakan
tersebut terdakwa telah beberapa kali mengikuti tugas operasi militer dan
kemanusiaan; para terdakwa belum pernah di hukum dan; secara kesatria mengakui
perbuatanya, dan semata-mata untuk membela kehormatan Korps. Dalam hal ini penyusun ingin menganalisis
alasan peringan yang menjadi landasan dalam melakukan penuntutan dengan juga
melihat legal culture yang ada.
Dalam kasus pidana ada alasan pemaaf yang dapat
meringankan atau bahkan membebaskan pelaku tindak pidana, hal ini di atur dalam
BAB III Buku II KUHP Pasal 44-52a, alasan yang meringankan di antarnaya adalah
belum dianggap dewasa (dalam Hukum Pidana dianggap dewasa apabila telah
mencapai 17 tahun), karena adanya tindakan memaksa, adanya goncangan psikologi,
karena melaksanakan ketentuan UU, di perintahkan oleh atasan yang memiliki
wewenang, di wajibkan oleh jabatan. Melihat alasan peringan di atas yang
diajukan oleh oditur memang tidak tercantum dalam KUHP, namun sudah kelaziman
ada peretimbangan-pertimbangan lain yang dapat meringankan hukuman, adapun
perbadaannya adalah ketika alasan pembenar dalam KUHP di penuhi dan dapat
dibuktikan adanya, maka mutlak pelaku mesti dibebaskan, namun pada hal yang
terakhir disebutkan masih perlu penalaran dan analisis oleh hakim terhadap
dampaknya kedepan.
Oleh karena itu, penyusun mencoba untuk melihat legal
culture yang ada di masyarakat dan di dalam organisasi seperti korps kopasus
sendiri. Sudah bukan rahasia lagi bahwan kopasus merupakan tentara yang
dibekali dengan segudang keahliah dan tentunya dalam melaksanakan
tugas-tugasnya mereka selalu berada dalam sebuah team yang solid, maka tidak
heran rasa saling menghormati dan saling memiliki menjadi sangat kuat dalam
kesatuan korp kopasus. Terbongkarnya kasus penyerangan LP. Cebongan yang
didalangi oleh anggota kopasus rupanya tidak terlau mengherankan bagi
masyarakat alasan Membela kehormatan Korps yang digunakan untuk melakukan
penyerangan sepertinya dimaklumi oleh kalangan masyarakat.
Namun sebanarnya alasan membela kehormatan Korps disini
lebih dekat pada, adanya 'jiwa korsa; dalam satuan Kopasus itu sendiri, untuk
menafsirkan tindakannnya memproleh alasan pemaaf, maka yang perlu di analisa
adalah apakah penerapan jiwa korsa itu sendiri sudah tepat. Dalam hal ini. mantan
Jendral Kopasus Letnan jendral (Pur) Sutiyoso memberikan komentarnya, sebagaimana dikutip berikut ini[7]
:
"Dalam
konteks ini kebersamaan atau jiwa korsa yang dilakukan tentu itu barang yang
salah, lebih hal ini lebih pada merupakan
aksi-reaksi. Di pasukan elit seperti Kopasus, satuan kecil direkrut secara
ketat, dipersenjatai secara khusus dan diberikan tugas khusus yang tidak
mungkin dilakukan pasukan biasa. Sehingga kebersamaan yang dipupuk semakin
erat, apalagi makin kecil kesatuannya jiwa korsa juga semakin tinggi. namun
dirinya tidak menafikan adanya jiwa kebersamaan dalam peristiwa cebongan ini ".
Dalam
melaksanakn tugasnya sendiri prajurit tidak bisa dilepaskan dari kekerasan yang
dikenal dengan "lisence
to kill" tapi terdapat batasan-batasan kapan lisence to kill itu diterapkan di antaranya :
Pertama,
Just war. Keabsahan seorang prajurit untuk
melakukan tindak yang dikategorikan sejenis kekerasan/ membunuh lawan dalam
suatu peperangan oleh karena konsekwensi logis sebagai Kekuatan
pertahanan negara yang memiliki legitimasi untuk
berhadapan dengan musuh dalam situasi perang yang diproklamirkan oleh
pemerintah, maka prajurit mendapatkan keabsahanya melakukan penyerangan
dalam pertempuran, dan terlebih obyek pantas untuk diserang, karena
negara memerlukan perlindungan dari berbagai ancaman.
Kedua,
Death Penalty, atinya keabsahan prajurit
dalam menggunakan otoritasnya mengangkat senjata dan memuntahkan peluru bagi
seseorang yang dianggap bersalah/ berbahaya dan mengganggu kesejahteraan umum.
Pada praktek ini prajurit biasanya dapat dilibatkan dalam eksekusi mati bagi
terdakwa yang dijatuhi hukuman mati oleh penegak hukum/ Negara.
Ketiga,
Legitimate self defance . artinya
otoritas dan keabsahan untuk melakukan pembelaan diri dari ancaman yang
membahayakan dirinya pada saat yang ada. Pada situasi ini, nyaris tidak ada
pilihan kecuali menyelamatkan diri dengan melakukan pembelaan yang
secukupnya, itupun pelaksanaanya digunakan secara seimbang.
Dalam hal ini perlu di pahami
betul, bahwa dalam melakukan suatu tindakan tertentu anggota kopasus tentu
dipengaruhi oleh legal culture (budaya
hukum) yang ada dalam kops kopasus itu sendiri,
tindakan penyerangan yang dilakukan oleh kopasus ini tentu sudah di pikirkan
sebelum, mengenai akibat yang akan ditimbulkan.
Selain budaya hukum yang ada di
dalam korps kopasus perlu juga melihat budaya hukum masyarakat dalam menanggapi
kasus penyerangan LP. Cebongan. Sebagian masyarakat ternyata memaklumi tindakan
yang dilakukan oleh kopasus walaupun sesungguhnya perbuatan tersebut tidak
seharusnya dilakukan karena melanggar peraturan perundang-undangan dan hukum
tentunya. Jiwa korsa yang ditunjukkan oleh anggota kopasus dengan mengakui
sebua perbuatannya dan siap menangung segala konsekuensi dari perbuatannya
merupakan obat bagi masyarakat untuk memaklumi tindakan tersebut, apalagi
setelah kejadian tersebut angka keriminalitas menurun drastis, contohnya di
pasar tidak ada lagi tukang palak. Tak heran jika dari belasan Ormas yang
mendukung terdapat para penarik becak yang pernah kena palak.
Yang di perlu di perhatikan dari
penegakan hukum dari kasus ini adalah fungsi dari hukum itu sendiri, seperti
yang kita ketahui salah satu fungsi hukum adalah sebagi alat perubahan
masyarakat, walaupun pada kenyataannya hukum tertatih-tatih dalam perkembangan
masyarakat, tetapi pada hal tertentu hukum harus mampu membawa masyarakat ke
arah perubahan. Hukum pada dasarnya tidak hanya sekedar rumusan hitam
di atas putih saja sebagaimana yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan, tetapi hendaknya hukum dilihat sebagai suatu gejala yang
dapat diamati dalam kehidupan masyarakat melalui pola tingkah laku warganya.
Hal ini berarti hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum seperti :
nilai, sikap, dan pandangan masyarakat yang biasa disebut dengan kultur/budaya
hukum. Adanya kultur/budaya hukum inilah yang menyebabkan perbedaan penegakan
hukum di antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.[8]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kualitas
budaya hukum menentukan kualitas penegakan hukum. Sebaik apa pun aturan hukum
dibuat, sedetail apa pun kelembagaan dan manajemen organisasi disusun, yang
akan menjalankan adalah manusia yang hidup dalam budaya tertentu. Ketika budaya
belum berubah, aturan dan sistem tidak akan berjalan sesuai harapan.
Cara pandang seseorang atau masyarakat dalam melakukan
tindakan dan menilai sesatu kasus juga dipengaruhi oleh budaya hukum yang
berkembang di dalam lingkungan masyarakat tersebut.
B.
Saran
Budaya hukum harus mampu membawa masyarakat ke
arah perubahan untuk memahami hukum secara holistik.
[1] Lihat Kompas Edisi 31 Juli 2013
[2] http://www.antaranews.com/
ANTARA Jateng KY Tujuh Faktor Sebabkan Penegakan Hukum
Lemah - antarajateng.com.html diakses tanggal 27 Desember 2013
[3]
http://junaidimaulana.blogspot.com/2013/02/budaya-hukum-dan-penegakan-hukum_23.html diakses tanggal 27 Desember
2013
[4]
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab
dan Solusinya), Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 9
[5]
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm. 5
[6] Esmi Wirasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sisologis,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010, hlm. 82
[7] Lihat BeritaSatu.com : Sabtu, 6 April 2013