Kamis, 19 Juni 2014

ANALISIS KASUS PENYERANGAN LP. CEBONGAN OLEH ANGGOTA KOPASUS PERSPEKTIF LEGAL CULTURE

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
             
Pada tanggal 23 Maret 2013 lalu terjadi peristiwa yang mencengangkan publik, yaitu penyerangan di Lapas Kelas IIB LP. Cebongan  Kabupaten Sleman, yang disangkakan dilakukan oleh 12 anggota Kopasus, perisitiwa ini telah menewaskan empat orang korban, atas nama Hendrik Benyamin Sahetapy Engel alias Deki, Yohanis Juan Mambait alias Juan, Adrianus Chandra Galaja alias Dedi, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi. Beradasrkan fakta di persidangan dari pemeriksaan saksi-saksi serta dari pengakuan tersangka di dapatkan bahwa hal yang melatar belakangi peristiwa ini adalah motif 'balas dendam' setelah sebelumnya 4 korban tersebut melakukan pembunuhan terhadap Serka Heru Santosa dan pembacokan Sertu Seriyono.
              Menanggapi kasus ini Komnas HAM sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya pelanggaran HAM berat, menyimpulkan bahwa dalam kasus ini  tidak terjadi pelanggaran HAM berat, namun yang terjadi adalah pelanggaran HAM biasa. Sedikitnya ada 4 dugaan pelanggaran HAM tersebut, Pertama, yakni menghilangkan hak untuk hidup. Empat tahanan dibunuh dengan cara ditembak berkali-kali di kepala. Penembakan tetap dilakukan meskipun sudah dalam keadaan tewas. Kedua, pelanggaran hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Ketiga, hak untuk memperoleh keadilan. Pembunuhan empat tahanan itu dilakukan di luar proses hukum. Keempat, pelanggaran hak atas rasa aman. Peristiwa di Cebongan, menurut Komnas HAM, menimbulkan rasa ketakutan dan kekhawatiran yang dialami para tahanan, aparat kepolisian, petugas lapas, warga DIY yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, dan masyarakat DIY pada umumnya. Kelima, pelanggaran hak milik. Para pelaku mengambil monitor CCTV, kamera CCTV, perekam CCTV, ponsel, dan melakukan perusakan pintu. Dengan adanya hasil penyelidikan tersebut maka, pengadilan HAM tidak memiliki kompetensi untuk mengadili kasus ini dan dilimpahkan kepada Pengadilan Militer sesuai dengan ketentuan dalam UU. No.31 Tahun 1997.
              Namun dalam persidangan oditur militer mengajukan tuntutan yang tidak maksimal berdasarakn Pasal 340 adalah Hukuman mati, alasannya adalah karena adanaya unsur-unsur peringan di antaranya tidak semua masyarakat mencela perbuatan terdakwa, bahkan sebagian warga Yogya merasa diuntungkan dengan tindakan tersebut terdakwa telah beberapa kali mengikuti tugas operasi militer dan kemanusiaan; para terdakwa belum pernah di hukum dan; secara kesatria mengakui perbuatanya, dan semata-mata untuk membela kehormatan Korps[1].

              Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
              Dalam penegakan hukum kasus penyerangan LP. Cebongan tentu tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan legal culture yang berkembang dikalangan korps kopasus. Sehingga untuk menganalisis kasus ini secara teoritis penyusun ingin mengaitkannya dengan teori yang dikemukakan oleh M. L. Friedman yang memandang hukum sebagai sistem yang tidak terpisahkan satu dan yang lainnya, yaitu structure, substansi dan culture.

B.    Rumusan Masalah
               Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud menganalisis kasus penyerangan LP. Cebongan dari perspektif legal culturenya. Adapun rumusan masalah  dari makalah ini antara lain :
1.     Peran legal culture dalam penegakan hukum ?
2.     Bagaimanakah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tedakwa ditinjau dari perspektif legal culture ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Peran Legal Culture dalam Penegakan Hukum
                    Budaya hukum (legal culture) mempunyai peran yang vital dan sangat penting dalam penegakan hukum di Indonesia karena hukum sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum diabaikan, maka akan terjadi kegagalan sistem hukum modern dan menimbulkan berbagai kejahatan-kejahatan yang baru. Dalam rangka penegakan hukum pidana di Indonesia maka diperlukan peningkatan kualitas peran budaya hukum antara lain melalui budaya kerja dan perilaku yang profesional para aparat penegak hukum, pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan sosial yang luas tidak hanya kepada aparat penegak hukum namun semua elemen masyarakat dan pemerintah.
                    Menurut Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh mengatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum (pidana) di Indonesia antara lain[2]:
1.   Undang-undang yang dihasilkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat lebih mencerminkan kepentingan pengusaha dan penguasa daripada kepentingan rakyat kebanyakan.
2.   Lemahnya kehendak konstitusional dari para pemimpin dan penyelenggara negara di Indonesia.
3.   Rendahnya integritas aparat penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa dan advokat.
4.   Paradigma penegakan hukum yang positivistik atau lebih menekankan pada aspek legal formal.
5.   Minimnya sarana dan prasarana penegakan hukum,
6.   Sistem hukum yang tidak sistematis.
7.   Tingkat kesadaran dan budaya hukum yang kurang di masyarakat.
              Bagi yang mengkaji ilmu hukum, tentunya mengetahui bahwa pemidanaan (penghukuman secara legal di bidang hukum pidana) mempunyai sejumlah tujuan seperti menakut-nakuti warga masyarakat luas agar tidak melakukan suatu tindak kriminal, membuat jera si pelaku agar tidak mengulangi lagi kejahatan yang pernah dilakukannya, merehabilitasi pelaku agar mampu menjadi manusia baru setelah usai menjalankan hukumannya dan lain-lain. Dalam kenyataannya tujuan pemidanaan ini banyak yang sering dijatuhkan oleh pengadilan sama sekali kontras dengan rasa keadilan warga masyarakat. Tuntutan bebas dan putusan bebas untuk terdakwa kasus korupsi misalnya jelas sangat melukai rasa keadilan masyarakat. Dampak langsung dari fenomena itu adalah membawa warga masyarakat membuat bentuk social control sendiri dengan cara-cara kekerasan seperti perilaku kekerasan dalam bentuk penganiayaan, pembunuhan, perusakan barang.
              Hukum yang dibuat pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum diabaikan, maka dapat dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum modern yang ditandai dengan munculnya berbagai gejala seperti : Kekeliruan informasi mengenai isi peraturan hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat, Muncul perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat, Masyarakat lebih memilih untuk tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah menjadi nilai-nilai dan pandangan dalam kehidupan mereka.[3]
              Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para aparat penegak hukum terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia yang dinilai buruk harus segera dikembalikan  dan dipulihkan dengan perbaikan pada aspek struktur dan substansi hukum yang diiringi dengan adanya budaya hukum (Culture Hukum). Aspek budaya hukum inilah yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Menurut Lawrence M. Friedman menjelaskan mengenai konsep budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan, tanpa adanya budaya/kultur hukum maka sistem hukum sendiri tak berdaya[4]. Unsur budaya hukum ini mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak baik dari aparat penegak hukum maupun dari masyarakat.tanpa budaya hukum maka sistem hukum akan kehilangan kekuatannya seperti yang di katakan Lawrence M. Friedman "without legal culture, the legal system is meet-as dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea". Gambaran mengenai budaya hukum  dalam unsur-unsur sistem hukum adalah  struktur hukum diibaratkan sebagai  mesin yang menghasilkan sesuatu,  substansi hukum diibaratkan produk yang di hasilkan oleh mesin, dan budaya hukum merupakan apa saja atau siapa sajayang memutuskan untuk menjalankan mesin serta membatasi penggunaan mesin.
              Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa dalam usaha untuk membenahi hukum di Indonesia kita perlu menaruh perhatian yang seksama terhadap masalah perilaku bangsa, kehidupan hukum tidak hanya menyangkut urusan hukum teknis, seperti pendidikan hukum tetapi menyangkut soal pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan sosial yang luas[5]. Aspek perilaku (budaya hukum) aparat penegak hukum  perlu dilakukan penataan ulang dari perilaku budaya hukum yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum sebelumnya karena seseorang menggunakan hukum atau tidak menggunakan hukum sangat tergantung pada kultur (budaya) hukumnya[6]. Telah terbukti bahwa akibat perilaku hukum aparat penegak hukum yang tidak baik, tidak resisten terhadap suap, konspirasi, dan KKN, menyebabkan banyak perkara tindak pidana korupsi yang tidak dapat dijerat oleh hukum.
              Aparat penegak hukum dalam hal ini berperan dalam membangun  dan menata kembali budaya hukum dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Mereka dituntut untuk mengambil peran melalui budaya kerja yang profesional sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan asas persamaan di bidang hukum (equality before the law) dapat terwujud. Dalam rangka menciptakan peran budaya hukum dari sisi aparat hukum maka perilaku para aparat penegak hukum mencakup polisi, pengacara, jaksa, hakim agar dapat mengembalikan kepercayaannya kepada masyarakat dan menjalankan tugasnya dengan profesional maka hukum harus dikembalikan kepada akar moralitas, kultural dan religius, dan mengembalikan rasa keadilan rakyat. Selanjutnya dalam rangka memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum maka tindakan mengganti semua aparat penegak hukum yang tidak bersih mutlak diperlukan.
              Kualitas budaya hukum menentukan kualitas penegakan hukum. Sebaik apa pun aturan hukum dibuat, sedetail apa pun kelembagaan dan manajemen organisasi disusun, yang akan menjalankan adalah manusia yang hidup dalam budaya tertentu. Ketika budaya belum berubah, aturan dan sistem tidak akan berjalan sesuai harapan. Para aparat penegak hukum harus mampu melepaskan diri dari budaya aparat hukum yang ada selama ini dinilai tidak adil dan buruk dan berubah ke arah peningkatan sumber daya manusia, manajemen yang lebih baik menjadi aset untuk dapat menjalani tugas para aparat penegak hukum yang ideal. Budaya hukum (budaya kerja) dari aparat penegak hukum yang baik akan menghasilkan penegakan hukum yang efektif dan efisien.

B.    Pelanggaran HAM yang Dilakukan Oleh Tedakwa Ditinjau Dari Perspektif Legal Culture    
              Sangat berbeda dengan dugaan pelanggaran HAM yang diajukan oleh Komnas HAM, dalam kasus ini oditur hanya memandang adanya pelanggaran HAM menghilangkan nyawa orang lain, yang di kategorikan dalam pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama, di lain pihak juga tuntutan yang diajukan tidak maksimal, yaitu hanya 12 , 10,dan 8 Tahun dari yang batasan maksimum yang ditentukan oleh Pasal 340 KUHP yaitu Pidana mati, seumur hidup, atau dalam kurun waktu tertentu, maksimal 20 tahun. Menurut oditur tidak maksimalnya penuntutan di sebabakn karena ada nya alasan peringan dianataranya adalah tidak semua masyarakat mencela perbuatan terdakwa, bahkan sebagian warga Yogya merasa diuntungkan dengan tindakan tersebut terdakwa telah beberapa kali mengikuti tugas operasi militer dan kemanusiaan; para terdakwa belum pernah di hukum dan; secara kesatria mengakui perbuatanya, dan semata-mata untuk membela kehormatan Korps.  Dalam hal ini penyusun ingin menganalisis alasan peringan yang menjadi landasan dalam melakukan penuntutan dengan juga melihat legal culture yang ada.
              Dalam kasus pidana ada alasan pemaaf yang dapat meringankan atau bahkan membebaskan pelaku tindak pidana, hal ini di atur dalam BAB III Buku II KUHP Pasal 44-52a, alasan yang meringankan di antarnaya adalah belum dianggap dewasa (dalam Hukum Pidana dianggap dewasa apabila telah mencapai 17 tahun), karena adanya tindakan memaksa, adanya goncangan psikologi, karena melaksanakan ketentuan UU, di perintahkan oleh atasan yang memiliki wewenang, di wajibkan oleh jabatan. Melihat alasan peringan di atas yang diajukan oleh oditur memang tidak tercantum dalam KUHP, namun sudah kelaziman ada peretimbangan-pertimbangan lain yang dapat meringankan hukuman, adapun perbadaannya adalah ketika alasan pembenar dalam KUHP di penuhi dan dapat dibuktikan adanya, maka mutlak pelaku mesti dibebaskan, namun pada hal yang terakhir disebutkan masih perlu penalaran dan analisis oleh hakim terhadap dampaknya kedepan.
              Oleh karena itu, penyusun mencoba untuk melihat legal culture yang ada di masyarakat dan di dalam organisasi seperti korps kopasus sendiri. Sudah bukan rahasia lagi bahwan kopasus merupakan tentara yang dibekali dengan segudang keahliah dan tentunya dalam melaksanakan tugas-tugasnya mereka selalu berada dalam sebuah team yang solid, maka tidak heran rasa saling menghormati dan saling memiliki menjadi sangat kuat dalam kesatuan korp kopasus. Terbongkarnya kasus penyerangan LP. Cebongan yang didalangi oleh anggota kopasus rupanya tidak terlau mengherankan bagi masyarakat alasan Membela kehormatan Korps yang digunakan untuk melakukan penyerangan sepertinya dimaklumi oleh kalangan masyarakat.
              Namun sebanarnya alasan membela kehormatan Korps disini lebih dekat pada, adanya 'jiwa korsa; dalam satuan Kopasus itu sendiri, untuk menafsirkan tindakannnya memproleh alasan pemaaf, maka yang perlu di analisa adalah apakah penerapan jiwa korsa itu sendiri sudah tepat. Dalam hal ini. mantan Jendral Kopasus Letnan jendral (Pur) Sutiyoso memberikan  komentarnya, sebagaimana dikutip berikut ini[7] :
      "Dalam konteks ini kebersamaan atau jiwa korsa yang dilakukan tentu itu barang yang salah,     lebih  hal ini lebih pada merupakan aksi-reaksi. Di pasukan elit seperti Kopasus, satuan kecil direkrut secara ketat, dipersenjatai secara khusus dan diberikan tugas khusus yang tidak mungkin dilakukan pasukan biasa. Sehingga kebersamaan yang dipupuk semakin erat, apalagi makin kecil kesatuannya jiwa korsa juga semakin tinggi. namun dirinya tidak menafikan adanya jiwa kebersamaan dalam peristiwa cebongan ini ". 

                    Dalam melaksanakn tugasnya sendiri prajurit tidak bisa dilepaskan dari kekerasan yang dikenal dengan  "lisence to kill" tapi terdapat batasan-batasan kapan lisence to kill itu diterapkan di antaranya :
                    Pertama, Just war. Keabsahan seorang prajurit untuk melakukan tindak yang dikategorikan sejenis kekerasan/ membunuh lawan dalam suatu peperangan oleh karena konsekwensi logis  sebagai  Kekuatan pertahanan negara    yang memiliki legitimasi untuk berhadapan  dengan musuh dalam situasi perang yang diproklamirkan oleh pemerintah, maka prajurit mendapatkan keabsahanya melakukan penyerangan dalam  pertempuran, dan  terlebih obyek pantas untuk diserang, karena  negara memerlukan perlindungan dari berbagai ancaman.
                    Kedua, Death Penalty, atinya keabsahan prajurit dalam menggunakan otoritasnya mengangkat senjata dan memuntahkan peluru bagi seseorang yang dianggap bersalah/ berbahaya dan mengganggu kesejahteraan umum. Pada praktek ini prajurit biasanya dapat dilibatkan dalam eksekusi mati bagi terdakwa yang dijatuhi hukuman mati oleh penegak hukum/ Negara.
                    Ketiga, Legitimate self defance . artinya otoritas dan keabsahan untuk melakukan pembelaan diri dari ancaman yang membahayakan dirinya pada saat yang ada. Pada situasi ini, nyaris tidak ada pilihan  kecuali menyelamatkan diri dengan melakukan pembelaan yang secukupnya, itupun  pelaksanaanya digunakan secara seimbang.
              Dalam hal ini perlu di pahami betul, bahwa dalam melakukan suatu tindakan tertentu anggota kopasus tentu dipengaruhi oleh legal culture (budaya hukum)  yang ada dalam kops kopasus itu sendiri, tindakan penyerangan yang dilakukan oleh kopasus ini tentu sudah di pikirkan sebelum, mengenai akibat yang akan ditimbulkan.  
              Selain budaya hukum yang ada di dalam korps kopasus perlu juga melihat budaya hukum masyarakat dalam menanggapi kasus penyerangan LP. Cebongan. Sebagian masyarakat ternyata memaklumi tindakan yang dilakukan oleh kopasus walaupun sesungguhnya perbuatan tersebut tidak seharusnya dilakukan karena melanggar peraturan perundang-undangan dan hukum tentunya. Jiwa korsa yang ditunjukkan oleh anggota kopasus dengan mengakui sebua perbuatannya dan siap menangung segala konsekuensi dari perbuatannya merupakan obat bagi masyarakat untuk memaklumi tindakan tersebut, apalagi setelah kejadian tersebut angka keriminalitas menurun drastis, contohnya di pasar tidak ada lagi tukang palak. Tak heran jika dari belasan Ormas yang mendukung terdapat para penarik becak yang pernah kena palak.
              Yang di perlu di perhatikan dari penegakan hukum dari kasus ini adalah fungsi dari hukum itu sendiri, seperti yang kita ketahui salah satu fungsi hukum adalah sebagi alat perubahan masyarakat, walaupun pada kenyataannya hukum tertatih-tatih dalam perkembangan masyarakat, tetapi pada hal tertentu hukum harus mampu membawa masyarakat ke arah perubahan. Hukum pada dasarnya tidak hanya sekedar rumusan hitam di atas putih saja sebagaimana yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, tetapi hendaknya hukum dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam kehidupan masyarakat melalui pola tingkah laku warganya. Hal ini berarti hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum seperti : nilai, sikap, dan pandangan masyarakat yang biasa disebut dengan kultur/budaya hukum. Adanya kultur/budaya hukum inilah yang menyebabkan perbedaan penegakan hukum di antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.[8]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
              Kualitas budaya hukum menentukan kualitas penegakan hukum. Sebaik apa pun aturan hukum dibuat, sedetail apa pun kelembagaan dan manajemen organisasi disusun, yang akan menjalankan adalah manusia yang hidup dalam budaya tertentu. Ketika budaya belum berubah, aturan dan sistem tidak akan berjalan sesuai harapan.
              Cara pandang seseorang atau masyarakat dalam melakukan tindakan dan menilai sesatu kasus juga dipengaruhi oleh budaya hukum yang berkembang di dalam lingkungan masyarakat tersebut.


B.    Saran
                    Budaya hukum harus mampu membawa masyarakat ke arah perubahan untuk memahami hukum secara holistik.







[1] Lihat Kompas Edisi 31 Juli 2013
[2] http://www.antaranews.com/ ANTARA Jateng   KY   Tujuh Faktor Sebabkan Penegakan Hukum Lemah - antarajateng.com.html diakses tanggal 27 Desember 2013
[4] Achmad Ali,  Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 9
[5] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm. 5
[6] Esmi Wirasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sisologis, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010,  hlm. 82
[7] Lihat BeritaSatu.com : Sabtu, 6 April 2013
[8] Lihat Esmi Warassih, Op.Cit., hlm. 68

Selasa, 17 Juni 2014

Penyusunan APBN Yang Baik Dalam Rangka Melakukan Pengelolaan Terhadap Keuangan Negara di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
                 Sejalan dengan kebutuhan terhadap pengaturan pengelolaan keuangan negara, pemerintah Indonesia telah mengundangkan sebuah Undang-Undang fenomenal yaitu Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. kemudian dua paket undang-undang lainnya, yang merupakan bagian dari 3 paket undang-undang dibidang keuangan negara yang telah lama disiapkan, diundangkan oleh pemerintah yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Melalui ketiga undang-undang tersebut, pemerintah berupaya untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan pemerintah selama ini yaitu: kelemahan di bidang perencanaan dan pengganggaran, kelemahan di bidang perbendaharaan, dan kelemahan di bidang pemeriksaan/audit (Andie Megantara, dkk, LPKPAP-BPPK, Departemen Keuangan RI, 2006).
Dalam sebuah organisasi besar seperti negara, pengelolaan keuangan negara yang baik merupakan suatu hal yang sangat penting, karena berawal dari sanalah penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan dengan baik pula. Oleh karena yang demikian itu, perencanaan, penyusunan, penetapan, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawabannya sebagai sebuah siklus penganggaran haruslah dirangkum dalam sebuah APBN dan APBD yang baik  sehingga tujuan negara sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum dapat benar-benar tercapai serta dapat dikontrol dan dipertangungjawabkan secara hukum.
B.    Perumusan Masalah
                    Berdasarkan uraian di atas, penyusun bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut: “Bagaimanakah penyusunan APBN yang baik dalam rangka melakukan pengelolaan terhadap keuangan negara di Indonesia”

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penyusunan APBN Yang Baik Dalam Rangka Melakukan Pengelolaan Terhadap Keuangan Negara di Indonesia
                    Penganggaran adalah sebuah Proses untuk mengalokasikan sumber daya yang dimiliki kedalam kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas (the process of allocation resources to unlimited demands). Oleh karena itu, anggaran mempunyai fungsi dan peran yang strategis untuk memberikan pelayanan yang optimal ditengah keterbatasan sumber daya.
                    Pada dasarnya UU No. 17/2003 dan UU No. 1/2004 beserta peraturan-peraturan pendukungnya telah memberikan landasan yang cukup kuat untuk memperbaiki kinerja pengelolaan keuangan negara RI. Dalam UU No. 17/2003 Penyusunan dan Penetapan APBN diatur dalam BAB III dari pasal 11 sampai 15. Dalam BAB ini diatur mengenai hal-hal pokok dalam pengelolaan APBN, terkait dengan penyusunan, Pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN. Secara umum pengaturan tersebut sudah baik namun terdapat hal-hal yang dalam proses pelaksanaannya justru menimbulkan ketidak konsistenan dalam pengelolaan APBN.
                    Dalam tahap pembicaraan pendahuluan antara Pemerintah dan DPR, pemerintah pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro oleh Pemerintah kepada DPR. (Pasal 13 ayat (1) UU No. 17/2003). Kemudian pada ayat (2) dan (3) disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan pokokpokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya. Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran. Dari ketentuan pasal di atas penulis berkesimpulan bahwa DPR seharusnya hanya membahas dan menentukan kerangka ekonomi makro saja, akan tetapi dalam pasal 15 ayat (5) DPR memberikan dirinya kewenangan untuk menentukan apabila APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Padahal dalam sistem ketatanegaran dinegara manapun tidak ada yang memberikan kewenangan kepada DPR-nya untuk membahas ekonomi mikro. Menurut penulis, kewenangan DPR yang besar tersebut dapat memicu timbulnya praktik-praktik koruptif dan nepotisme, melalui praktik perbintangan dan penentuan pemenang tender.
                    Dalam pasal 11 ayat (2) UU No. 17/2003 dijelaskan bahwa APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja dan pembiayaan. Dalam hal ini, pengelolaan APBN harus memperhatikan ketiga hal tersebut, artinya suatu APBN yang baik akan mengatur dengan sebaik mungkin ketiga hal tersebut. Selama ini sektor pendapatan negara masih sangat didominasi oleh perpajakan, sedangkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) masih belum digali secara optimal. Untuk meningkatkan PNBP, maka perlu dilakukan peninjauan terkait mekanisme penganggaran PNBP, penyetoran dan pertanggungjawaban serta  ketentuan penetapan tarif dan sanksi-sanksi atas keterlambatan penyetoran. Hal ini harus dilakukan pada pemerintah pusat dan daerah agar tercapai sinkronisasi dan sinergi dalam rangka peningkatan PNBP untuk mendukung kebijakan fiskal pemerintah. Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, mekanisme pengawasan terhadap aparatur dan segala sendi perpajakan harus diatur secara ketat dan sanksi yang berat. Karena selama ini telah terjadi kebocoran pendaptan negara dari sektor pajak yang tidak bisa dikatakan sedikit.
                    Anggaran belanja atau sektor pengeluaran adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam pengelolaan APBN, dimana pada kenseptualisasinya anggaran belanja selalu dibuat dalam sekala maksimal, sedangkan pendapatan selalu dibuat dalam sekala yang minimal. Hal ini untuk menutupi anggaran belanja. Akan tetapi perlu disadari bahwa dalam pengelolaan anggaran belanja, penyusunan anggaran harus melihat sekala prioritas atau pilihan strategis dengan dengan berpedoman pada target jangka menengah dan jangka panjang, sehingga pembangun dapat berjalan secara berkesinambungan.
                    Kemudian pradigma anggaran belanja rutin yang terkait dengan subsidi harus diubah, dari melakukan subsidi terhadap harga barang menjadi subsidi terhadap orang. Artinya bahwa subsidi tidak lagi diberikan untuk barang-barang ttertentu seperti BBM dan sebagainya, akan tetapi subsidi dialihkan kepada orang-orang yang dikategorikan sebagai orang yang tidak mampu. Agar subsidi tersebut tepat sasaran maka dibutuhkan database yang lengkap dan jelas menganai pendapatan dan pengeluaran seluruh penduduk indonesia, hal ini dapat dilakukan dengan mencotoh sistem databese yang dilakukan oleh inggris, dengan menggunakan one number identity, semua masyarakat inggris dan bahkan pendatang dapat diketahui sumber pendapatan dan pengelurannya sehingga sangat mudah menentukan dan mengkatagorikan seseorang sebagai orang kaya atau orang miskin. 




BAB III
PENUTUP
                    Dari uraian pembahasan di atas, penulis dapat mengabil beberapa kesimpulan yaitu:         
1.     DPR seharusnya hanya membahas dan menentukan kerangka ekonomi makro saja, akan tetapi dalam pasal 15 ayat (5) DPR memberikan dirinya kewenangan untuk menentukan apabila APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Padahal dalam sistem ketatanegaran dinegara manapun tidak ada yang memberikan kewenangan kepada DPR-nya untuk membahas ekonomi mikro. Menurut penulis, kewenangan DPR yang besar tersebut dapat memicu timbulnya praktik-praktik koruptif dan nepotisme. Melalui praktik perbintangan dan penentuan pemenang tender.
2.     Untuk meningkatkan PNBP, maka perlu dilakukan peninjauan terkait mekanisme penganggaran PNBP, penyetoran dan pertanggungjawaban serta  ketentuan penetapan tarif dan sanksi-sanksi atas keterlambatan penyetoran. Hal ini harus dilakukan pada pemerintah pusat dan daerah agar tercapai sinkronisasi dan sinergi dalam rangka peningkatan PNBP untuk mendukung kebijakan fiskal pemerintah. Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, mekanisme pengawasan terhadap aparatur dan segala sendi perpajakan harus diatur secara ketat dan sanksi yang berat. Karena selama ini telah terjadi kebocoran pendaptan negara dari sektor pajak yang tidak bisa dikatakan sedikit.
3.     Pradigma anggaran belanja rutin yang terkait dengan subsidi harus diubah, dari melakukan subsidi terhadap harga barang menjadi subsidi terhadap orang. Artinya bahwa subsidi tidak lagi diberikan untuk barang-barang ttertentu seperti BBM dan sebagainya, akan tetapi subsidi dialihkan kepada orang-orang yang dikategorikan sebagai orang yang tidak mampu.
                   


Rabu, 11 Juni 2014

PROBLEMATIKA HUKUM PEMERINTAHAN DESA DALAM KONSEPTUALISASI YURIDIS PASCA UU NO 4 TAHUN 2014 TETANG DESA

             
            Menelaah konseptualisasi hukum perintahan desa dan problematika yang timbul di dalamnya bukan merupakan perkara yang mudah untuk dilakukan. Sebab, berbicara tentang cikal bakal pemerintahan desa di Indonesia harus menoleh jauh kebelakang untuk melihat dimanakah sumber desa itu dilahirkan. Sesungguhnya cikal bakal pemerintahan desa di Indonesia itu ada jauh sebelum bangsa Kolonial Belanda masuk ke Indonesia, sebagaimana Cornelis van Vollenhoven[1] dalam bukunya “Staatsrecht Overzee” mengatakan bahwa:
Wenneer in 1596 het eerste schip met de driekleur aan den mast in den Indischen archiple binnenvalt, is dat land staatsrechtelijk gen “woest en ledig” land. Het is bordevol instituten van volks-en gezagsordening: bewind door of over stammen, dorpen, boden, republieken, vorstenrijken. Allerminst een samenhangend geheel – ondanks den vroegeren machtigen groei en het vroegere tijdelijk overwicht van majapahit -; maar wel een complex van Oostaziatisch staatrecht, inheemsch gebleven ondanks Hindoesche en Mohammedaan-sche invloeden op de bevolking.
(ketika sebuah kapal berbendera tiga warna masuk daerah Indonesia pada tahun 1596, daerah itu dalam arti kata Hukum Tata Negara, tidaklah merupakan sebidang “tanah yang kosong dan tandus tidak tergarap”. Daerah itu penuh padat dengan lembaga-lembaga pengaturan masyarakat dan pemerintah, yang dikuasai oleh atau berkekuasaan atas suku-suku bangsa, kesatuan perkampungan, republik-republik dan kerajaan kerajaan. Hanya sifat kesatuan sama sekali tidak ada meskipun  negara Majapahit dahulu tumbuh dengan kokohnya dan memegang pimpinan yang kuat , dan yang terdapat adalah justru suatu hukum tata negara Asia Timur yang jalin berjalin, dan tetap  bersifat asli, walaupun penduduknya banyak terpengaruh oleh kebudayaan Hindu dan Islam).[2]

             Nasroen[3] membenarkan apa yang telah dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven dalam bukunya Daerah Otonomi Tintkat Terbawah dengan mengungkapkan hal yang senada, yaitu bahwa:
Desa di Inodesia telah ada sejak beratus-ratus tahun yang lampau. Dari zaman ke zaman, desa, nagari, marga ini tetap ada dan tetap ada sampai dewasa ini. Majapahit telah hilang, demikian pun Seriwijaya, Atjeh, Bugis, Minangkabau, Mataram dan sebagainya. Hindia Blanda, pendudukan Jepang telah lenyap, tapi desa nagari, marga itu tetap ada. Dari jalan sejarah ini, sebagai bukti dapat diambil kesimpulan bahwa sesuatu negara akan tetap ada, selama desa, nagari, marga itu ada, asal negara itu sanggup menyatukan dirinya dengan desa, nagari, dan marga itu.  
            
             Secara konstitusional, konseptualilasi pemerintahan desa telah diakui secara implisit dalam UUD 1945 pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan:
Negara indonesia mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

             Menurut UUD 1945 pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat (termasuk di dalamnya “desa”) beserta hak-hak tradisionalnya harus didasarkan pada prinsip: “tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”.[4]            
             Yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) tessebut adalah masyarakat hukum (rechtgemeenschap) yang berdasarkan hukum adat atau adat istiadat, seperti desa, marga, nagari, kampong, meunasah, huta, negorij dan lain-lain. Masyarakat hukum adalah kesatuan masyarakat bersifat teritorial atau genealogis yang memiliki kekayaan sendiri, memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan dengan warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak ke dalam dan ke luar sebagai satu kesatuan hukum (subjek hukum) yang mandiri dan memerintah diri mereka sendiri. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini tidak hanya diakui tetapi juga dihormati, artinya mempunyai hak hidup yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintahan lain, seperti kabupaten dan kota.[5]
             Pengakuan dan penghormatan itu di berikan sepanjang masyarakat hukum dan hak-hak tradisional masih nyata ada dan berfungsi (hidup), dan sesuai dengan prinsip –prinsip negara kesatuan.[6] Pembataasan ini perlu, untuk mencegah tuntutan terhadap pengakuan masyarakat hukum dan hak-hak tradisional yang sebenarnya sudah tidak ada lagi dan kemungkinan diada-adakannya masyarakat hukum adat baru.
             Secara konstitusional, bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan. Konsekuensi dari konsep atau gagasan hukum tersebut bukan hanya memberikan desentralisasi kewenangan kepada daerah otonom yang melahirkan otonomi daerah, melainkan lebih dari itu yakni pengakuan ataupun perlindungan terhadap adanya otonomi desasebagai otonomi asli bangsa indonesia sejak sebelum datangnya bangsa Kolonial Belanda. Pengakuan yang dimaksud bukan hanya di atas kertas saja seperti kebebasan memberikan nama desa dan sebagainya, tetapi juga harus memberikan implementasi pengakuan terhadap kewenangan-kewenangan desa, terutama kewenangan asli (oroginair) yang telah turun temurun diketahui sebagai kewenangan desa. Dalam hal ini yang harus dijadikan patokan adalah pengakuan atas keanekaragaman sebagai dasar pemikiran dalam desain tonomi desa.[7]
             Sebagai sebuah otonomi asli, desa tidak boleh dipandang sebagai cabang dari otonomi daerah. Otonomi desa harus menjadi pijakan dalam pembagian struktur ketatanegaraan Indonesia mulai dari pusat sampai ke daerah yang kemudian bermuara pada regulasi otonomi desa yang tetap berpedoman pada keaslian “desa” sebagai kesatuan masyarakat hukum.[8]
             Namun fakta yang tercermin dalam setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa sangatlah bertolak belakang dengan apa yang dicita-citakan (das sollen). Pemberlakukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa adalah ‘puncak’ dari kebijakan intervensi Negara – sejak kolonial hingga nasional – yang melumpuhkan kekuatan modal sosial, dan sekaligus merampas hak-hak komunal yang melekat pada ulayat (wilayah kehidupan) dari entitas sosial yang disebut ‘masyarakat hukum adat’ di Negara ini. Dalam kehidupan sehari-hari, kesatuan masyarakat hukum adat ini dikenal dengan sebutan desa  di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera bagian Tengah hingga Selatan, negeri di Maluku (Tengah), soa di Maluku Utara, ohoi di Maluku Tenggara, dan lain sebagainya, yang jumlah sebutnya boleh jadi setara dengan jumlah kelompok etnik yang ada di Indonesia, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 650an kelompok etnik itu.[9]              
             Maka, tidak heranlah jika dalam bagian Mengingat Butir e. yang terdapat pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, terdapat pernyataan yang mengiringi pembatalan pemberlakuan UU No. 5/1979 yang berbunyi sebagai berikut: “Bahwa Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 No. 56; Tambahan Lebaran Negara No. 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti.[10] Keluarnya paket kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 telah memberikan angin segar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana daerah diberikan kewenangan yang luas untuk mengelola dan mendayagunakan segenap potensinya untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat yang juga berdampak pada pemerintahan desa.
             Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 tentang Desa yang ditetapkan pada tanggal 18 Desember 2013 lalu adalah undang-undang pertama pasca-pencabutan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang diamanatkan oleh reformasi. Sebelumnya, melalui pemberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desa hanya diatur oleh peraturan-perundangan setingkat Peraturan Pemerintah.[11]
             Problematika hukum yang terkait dengan pemerintahan desa susungguhnya lahir dari pengaturan-pengaturan tersebut dengan kata lain problematiaka hukum pemerintahan desa tidak terlepas (inherent) dari masalah-masalah yang melekat dalam hukum otonomi daerah. Mengapa demikian? Karena pada saat membicarakan hukum pemerintahan daerah atau hukum otonomi daerah dalam tataran dogmatik normatif, terkait di dalamnya substansi materi hukum pemerintahan daerah.[12]
             Problematika hukum yang prinsipil terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini bertujuan untuk menyeragamkan (unifikasi) nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa. Undang-undang ini mengatur desa dari segi pemerintahannya, berbeda dengan pemerintahan Marga di samping mengatur pemerintahan juga mengatur adat istiadat.[13]
             Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XI yang mengatur mengenai Desa, telah berhasil menyempurnakan berbagai aturan tentang Desa yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Namun dalam pelaksanaan selama beberapa tahun ini ternyata muncul beberapa lapis permasalahan yang perlu segera dicermati. Pertama[14], UU No 32 Tahun 2004 belum secara jelas mengatur tata kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah daerah dan Desa. Berdasarkan prinsip desentralisasi dan otonomi luas yang dianut oleh UU No. 32/2004, Pemerintah hanya menjalankan lima kewenangan, dan diluar lima kewenangan itu menjadi kewenangan daerah. Dengan demikian konsepsi dasar yang dianut UU No. 32/2004, otonomi berhenti di kabupaten/kota. Kosekuensinya, pengaturan lebih jauh tentang Desa dilakukan oleh kabupaten/kota, dimana kewenangan Desa adalah kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan kepada Desa.
             Semangat UU No. 32/2004 yang meletakan posisi Desa yang berada di bawah Kabupaten tidak koheren dan konkruen dengan nafas lain dalam UU No.32/2004 yang justru mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal-usul. Pengakuan pada kewenangan asal-usul ini menunjukkan bahwa UU No. 32/2004 menganut prinsip pengakuan (rekognisi). Kosekuensi dari pengakuan atas otonomi asli adalah Desa memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat (self governing community), dan bukan merupakan kewenangan yang diserahkan pemerintahan atasan pada Desa.
             Kedua,[15] disain kelembagaan pemerintahan Desa yang tertuang dalam UU No. 32/2004 juga belum sempurna sebagai visi dan kebijakan untuk membangun kemandirian, demokrasi dan kesehteraan Desa. Isu keragaman, misalnya, selalu mengundang pertanyaan tentang format dan disain kelembagannya. Meskipun UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 mengedepankan keragaman, tetapi banyak kalangan menilai bahwa disain yang diambil tetap Desa baku (default village), sehingga kurang memberi ruang bagi optional village yang sesuai dengan keragaman lokal. Format bakunya adalah Desa administratif (the local state government) atau disebut orang Bali sebagai Desa Dinas, yang tentu bukan Desa adat yang mempunyai otonomi asli (self governing community) dan bukan juga Desa otonom (local self government) seperti daerah otonom. UU No. 32/2004 tidak menempatkan Desa pada posisi yang otonom, dan tidak membolehkan terbentuknya Desa adat sendirian tanpa kehadiran Desa administratif. Baik UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004 menempatkan Desa sebagai bagian (subsistem) pemerintahan kabupaten/kota.
             Posisi Desa administratif itu membawa konsekuensi atas keterbatasan kewenangan Desa, terutama pada proses perencanaan dan keuangan. Kewenangan asal-usul (asli) susah diterjemahkan dan diidentifikasi karena keberagamannya. Kewenangan dalam bidang-bidang pemerintahan yang diserahkan oleh/dari kabupaten lebih banyak bersifat kewenangan sisa yang tidak dapat dilaksanakan oleh Kebupaten/Kota dan mengandung banyak beban karena tidak disertai dengan pendanaan yang semestinya. Misalnya kewenangan Desa untuk memberikan rekomendasi berbagai surat administratif, dimana Desa hanya memberi rekomendasi sedangkan keputusan berada di atasnya. Keterbatasan kewenangan itu juga membuat fungsi Desa menjadi terbatas dan tidak memberikan ruang gerak bagi Desa untuk mengurus Tata Pemerintahannya sendiri.
             Ketiga,[16] Desain UU No. 32 Tahun 2004 tentang Desa terlalu umum sehingga dalam banyak hal pasal-pasal tentang Desa baru bisa dijalankan setelah lahir Peraturan Pemerintah dan Perda. Kecenderungan ini membuat implementasi kewenangan ke Desa sangat tergantung pada kecepatan dan kapasitas Pemerintah dan pemerintah daerah dalam membuat pengaturan lebih lanjut tentang Desa. Berdasarkan UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2004 mengamanatkan ada sebanyak 18 buah Peraturan Daerah dan dua Peraturan Bupati/Walikota yang harus dibentuk oleh kabupaten/kota.
            Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 tentang Desa lahir dalam rangka memperbaiki (problem solving) problematika-problematika hukum pemerintahan desa dalam tataran konseptualisasi yuridis, namun apakah undang-undang yang baru ini sudah benar-benar memperbaiki problematika hukum pemerintahan desa yang ada atau justru dengan adanya perubahan pengaturan tata pemerintahan desa akan menambah problematika yang ada karena perubahan terhadap tata pemerintahan desa pasti berdampak pada perubahan dalam kedudukan, kewenangan, tugas, fungsi organisasi, keuangan dan sebagainya. Dampaknya, tidak hanya positif bagi perkembangan dan pembangunan di tingkat desa, tetapi juga memunculkan konflik dalam hubungannya dengan kedudukan pemerintahan desa dengan pemerintah di atasnya, pengelolaan dan akuntabelitas keuangan desa serta tata pemerintahan desa itu sendiri. Sehingga muncul persepsi bahwa penerapan undang-undang baru ini tidak akan berjalan dengan optimal karena rendahnya kualitas aparatur pelaksananya di tingkat desa berbanding terbalik dengan besar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang yang baru ini.


[1] C. Van Vollenhoven, Staatsrecht Overzee. Leiden-Amsterdam, H.E. Stenfert Kroese’s uitgevers-Maatschappij N.V., 1934, hlm. 1.
[2] Ateng Syafrudin, Penguatan Koordinasi Pemerintahan di Daerah. Bandung, Tarsito, 1976, hlm. 6.
[3] Nasroen, Daerah Otonom Tingkat Terbawah. Jakarta, Bringin Trading Company, 1955, hlm. 41.
[4] Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa Pergulatan Hukum Tradisional dan Modern dalam Desain Otonomi Desa. Bandung, PT. Alumni 2010, hlm. 43
[5] Ni’matul Huda, Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 21-22
[6] Ibid,
[7] Ibid, hlm. 11-12
[8] Ibid, hlm. 12
[9] Zakaria, R. Yando, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru.Jakarta: ELSAM. Dalam Zakaria, R. Yando dan Hedar Laudjeng, 2012, “Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat bisa dengan Undang-Undang tentang Desa. Mari lupakan kulit, bersungguh-sungguhlah dengan substansi” diakses hariRabu tanggal 7 Mei 2014 pukul 13:53 dari laman http://www.facebook.com/notes/yandozakaria/ pengakuan-dan-perlindungan-masyarakat-adat-bisa-dengan-undang-undangtentang-des/10150732219433318
[10] Ibid,
[11] R. Yando Zakaria, Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013, bahan bacaan yang dipersiapkan untuk kegiatan sosialisasi UU Desa 2013. Untuk pertama kalinya disampaikan pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan QBar (Padang), Perkumpulan HUMA (Jakarta) dan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Di Padang, tanggal 7 Januari 2014
[12] Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa... Op.Cit., hlm. 13.
[13] HAW Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2003, hlm. 24.
[14] Dikutip dari Naskah Akademik ‘Rancangan Undang-Undang Tentang Desa’, 2007, yang diedarkan oleh Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen (sekrang Kementerian) Dalam Negeri. hlm. 4
[15] Ibid, hlm. 6
[16] Ibid, hlm. 7