BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
.jpg)
Dalam
pandangan Islam, tanah merupakan anugerah Allah yang harus dimanfaatkan secara
optimal bagi pencapaian kesejahteraan manusia. Tanah tidak boleh ditelantarkan
sebagaimana pula tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan sehingga
merusaknya.[1]
Sebagaimana dalam firman-Nya:
إِنَّ الْأَرْضَ للهِ يُوْرِثُهَا
مَنْ يَّشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ
Artinya: “sesungguhnya
bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya
dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertakwa.” ( Al-A’rof 128)
Tanah
berfungsi sebagai faktor produksi yang sangat penting, sering disebut sebagai
faktor produksi asal atau asli (original
factor of production). Tanah merupakan asal muasal dari segala kegiatan
produksi.
Tanah juga merupakan faktor produksi unik, sebab ia tidak
diciptakan oleh manusia melainkan manusia tinggal memanfaatkannya. Keunikan
tanah yang lain karena ketersediaannya yang sangat terbatas, dalam arti ia
telah tersedia dalam jumlah yang tetap dan tidak diciptakan lagi.[2]
Penggunaan
tanah ternyata bukan hanya merupakan kepentingan pribadi manusia semata tetapi
juga merupakan kepentingan negara yaitu dalam rangka menyediakan
fasilitas-fasilitas demi pemenuhan kepentingan umum. Oleh karena itu, dalam
rangka mengatur dan menertibkan masalah pertanahan dikeluarkanlah berbagai
peraturan hukum pertanahan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang
Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA) sebagai Hukum Tanah Nasional.
Pada masa sekarang ini adalah
sangat sulit melakukan pembangunan untuk kepetingan umum di atas tanah negara,
oleh karena itu jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah
hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan
pengadaan tanah.[3]
UUPA sendiri memberikan landasan
hukum bagi pengambilan tanah hak ini dengan menentukan : Untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang
layak menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.[4]
Pembangunan yang tengah giat
dilakukan pemerintah saat ini kerap kali berbenturan dengan masalah pengadaan
tanah. Agar tidak melanggar hak pemilik tanah, pengadaan tanah tersebut mesti
dilakukan dengan memerhatikan prinsip-prinsip kepentingan umum (public interest) sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Maka dalam makalah ini, penulis akan membahas lebih jauh
mengenai perolehan hak atas tanah oleh Negara demi kepentingan umum.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas,
penyusun bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut: Bagaimanakah
analisis yuridis perolehan hak atas tanah oleh Negara demi kepentingan umum ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Perolehan Hak Atas Tanah Oleh Pemerintah
Demi Kepentingan Umum.
Kegiatan Pengadaan tanah (oleh
pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah
yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah. Untuk melakukan pengadaan atas
tanah yang akan digunakan untuk kepentingan umum, ada 4 insitusi (Law Institution) yang dapat dipergunakan
yaitu: 1). Lembaga pencabutan hak; 2). Lembaga pembebasan hak; 3). Lembaga
pelepasan hak; dan 4). Lembaga pengadaan tanah. Adapun cara untuk memperoleh
yaitu:[5]
1. Pencabutan
Hak
Pencabutan hak atas tanah adalah hapusnya hubungan hukum
antara tanah dengan pemengang haknya yang dilakukan secara paksa demi memenuhi
kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian yang layak. (Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah Dan Benda-benda Yang Ada
Diatasnya)
Dari definisi diatas, dapat diketahui bahwa pencabutan hak
atas tanah memiliki 4 (empat) unsur, yaitu:
a) Harus
ada putusnya hubungan hukum antara tanah dengan pemegang haknya. Wujud
konkrit dari penghapusan hak adalah hilangnya hak dan kewajiban atas tanah.
b) Pencabutan
dilakukan secara sepihak, perbuatan sepihak maksudnya adalah perbuatan hukum
yang dipaksakan oleh salah satu pihak (dalam hal ini pemerintah), dimana hak
pemilik tanah diabaikan.
c) Harus
ada pemberian ganti kerugian yang layak. Unsur ganti kerugian yang layak ada 2
yaitu: perkiraan harga barang/benda yang berada diatas tanah tersebut dan
pemukiman pengganti (pemukti).
d) Pencabutan
dilakukan demi pemenuhan kepentingan umum. Yang dimaksud dengan
kepentingan umum disini, diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, yang
berbunyi:
“Untuk
kepentingan umum, temasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam
keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan
Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda
yang ada diatasnya”.
Menurut Prof. Muchsan, pengertian
kepentingan umum dalam pasal ini bersifat abstrak karena kepentingan bangsa dan
negara, kepentingan bersama memiliki pengertian yang sangat luas.
Kewenangan mutlak pencabutan hak
atas tanah ada pada presiden yang dituangkan dalam bentuk Keppres. Sedangkan
jajaran bawahan yang melaksanakan hak tersebut yaitu, Panitia pencabutan hak,
panitia pencabutan hak ini terdiri dari lembaga eksekutif (BPN dan Pemda daerah
tempat pencabutan hak dilaksanakan).
Keunggulan
UU No 20/1961 ini adalah:
1) Kewenangan
mencabut ada ditangan Presiden sebagai Pejabat Tata Usaha Negara tertinggi,
artinya obyektifitas dari Undang-Undang tersebut dapat terjaga.
2) Dalam
rangka pemberian ganti rugi, selain tanah dan benda-benda yang ada diatasnya
masih ada pemukiman pengganti (Pemukti).
3) Ada
upaya hukum yang disediakan. Pasal 40 berupa pengajuan gugatan kepada
pengadilan tinggi yang mempunyai wilayah hukum dimana tempat tanah itu berada.
Kekurangan
UU No 20/1961 ini adalah:
1) Didalam
kepanitiaan pencabutan hak atas tanah, rakyat atau pemegang hak atas tanah
tidak terwakili.
2) Semua
ganti rugi atas pola ukur pemerintah.
3) Pengertian
kepentingan umum dirumuskan secara abstrak.
4) Kebijakan
tidak dapat di uji
5) Upaya
hukum yang diberikan terbatas. Yang boleh digugat hanya besar-kecil ganti rugi,
sedangkan kebijakan tidak boleh menjadi objek gugatan.
2. Pembebasan
Hak
Pembebasan tanah adalah hapusnya hubungan hukum antara tanah
dengan pemegang haknya yang dilakukan secara musyawarah mufakat, demi pemenuhan
kepentingan umum dengan pemberian ganti rugi yang layak. (Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975)
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan pembebasan hak harus memenuhi 4 (empat) unsur, yaitu:
a) Ada
suatu tindakan yang menghapus hubungan hukum antara tanah dengan pemiliknya;
b) Ada
musyawarah dan mufakat dalam pengambilan keputusan; Artinya perbuatan
pembebasan tanah tidak boleh dipaksakan.
c) Harus
ada pemberian ganti kerugian yang layak. Unsur ganti kerugian yang layak ada 2
yaitu: perkiraan harga tanah, barang/benda yang berada diatas tanah tersebut
dimana ganti kerugian bisa berbentuk jasa.
d) Pencabutan
dilakukan demi pemenuhan kepentingan umum. Sama persis dengan pencabutan hak
ditambah kepentingan agama.
Keunggulan dari Pemerndagri No 15/1975
ini sulit ditemukan, dengan kata lain bahwa produk hukum ini tidak mempunyai keunggulan
samasekali. Sedakan kekurangannya yaitu:
1) Kewenangan
pembebasan ada pada kepala daerah setempat;
2) Unsur
masyarakat dalam arti sebenarnya hampir tidak ada;
3) Dengan
dihilangkannya pemukiman pengganti dapat menyengsarakan masyarakat;
4) Tidak
ada upaya hukum yang diberikan
5) Pengertian
pembebasan hak atas tanah kontraproduktif dengan unsur yang ke-4 yaitu
kepentingan umum, karena seharusnya kepentingan umum merupakan perbuatan
sepihak.
3. Pelepasan
Hak
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan
hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya
dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. (Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum).
Dari definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pembebasan hak harus memenuhi 4
(empat) unsur, yaitu:
a) Ada
suatu tindakan yang menghapus hubungan hukum antara tanah dengan pemiliknya;
b) Ada
musyawarah dan mufakat dalam pengambilan keputusan; Artinya perbuatan
pembebasan tanah tidak boleh dipaksakan.
c) Harus
ada pemberian ganti kerugian yang layak. Unsur ganti kerugian yang layak yaitu:
perkiraan harga tanah, barang/benda yang berada, kerugian materil diatas tanah
tersebut dimana ganti kerugian bisa berbentuk jasa. Dasar dan cara perhitungan
ganti kerugian ditetapkan atas dasar diatur dalam Pasal 15 Keppres ini, yaitu:
1) Harga
tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan
nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir untuk tanah yang
bersangkutan;
2) Nilai
jual bangunan yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung
jawab di bidang bangunan;
d) Pencabutan
dilakukan demi pemenuhan kepentingan umum. Sama persis dengan pencabutan hak
ditambah kepentingan agama. Dimana dalam keppres ini ditentukan ukuran
kepentingan umum yaitu, apa yang lebih banyak manfaatnya daripada kerugiannya.
Keunggulan
dari Keppres ini yaitu:
1) Musyawarah
dan mufakat tidak ada paksaan, artinya ada kebijaksanaan dari pemerintah;
2) Ada
ukuran kepentingan umum;
3) Dalam
panitia pelepasan hak masyarakat dilibatkan.
Sedangkan
kekurangan dari kepper ini yaitu:
1) Tidak
menyediakan upaya hukum bagi pihak pemilik tanah.
4. Pengadaan
Hak Atas Tanah
Dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Berdasarkan Kepentingan Umum menentukan bahwa
“Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberikan ganti
kerugian yang layak dan adil kepada Pihak yang berhak”.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa pengadaan hak
atas tanah memeliki beberapa unsur antara lain:
1) Ada
kegiatan menyediakan tanah, dalam hal ini untuk kepentingan umum;
2) Cara yang
digunakan untuk memperoleh tanah adalah dengan memerikan ganti rugi;
3) Ada pihak
yang tanahnya diambil.
Adapun
beberapa kelebihan yang diusung oleh Perpres ini yaitu:
1)
Musyawarah
Sebagai Dasar Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
Dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Nomor 71
Tahun 2012 dijelaskan bahwa “konsultasi publik adalah proses komunikasi
dialogis atau musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai
kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum.” Musyawarah sendiri diatur dalam Pasal 68 sampai dengan
Pasal 73 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012.
2)
Pemberian
Bentuk Dan Besarnya Ganti Kerugian
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, ganti kerugian
merupakan penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses
pengadaan tanah. Bentuk ganti rugi menurut Pasal 74 Peraturan Presiden Nomor 71
Tahun 2012 dapat berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan
saham, atau bentuk lain yang disetujui bersama pada saat musyawarah.
3)
Upaya Hukum
Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum
Dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum diatur mengenai
penolakan dari pihak yang berhak terhadap penetapan lokasi pembangunan dimana
pihak yang berhak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sedangkan dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya
ganti kerugian, pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan panitia
Pengadaan tanah mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi berdasarkan ketentuan
Pasal 73 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dapat mengajukan
keberatan kepada Pengadilan Negeri setempat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kegiatan
Pengadaan tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah. Untuk melakukan
pengadaan atas tanah yang akan digunakan untuk kepentingan umum, ada 4 insitusi
(Law Institution) yang dapat
dipergunakan yaitu: 1). Lembaga pencabutan hak; 2). Lembaga pembebasan hak; 3).
Lembaga pelepasan hak; dan 4). Lembaga pengadaan tanah. Dari keempat lembaga
tersebut terdapat 4 instrumen pula yang dapat digunakan untuk pengadaan tanah
demi kepentingan umum, yaitu melalui pencabitan hak atas tanah, pembebasan haka
atas tanah, pelepasan hak atas tanah dan pengadaan hak atas tanah.
Dari
keempat instrumen tersebut, masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan.
Dimana keunggulan dan kekurangan tersebut sangat tergantung pada produk hukum
yang mengaturnya dan kondisi politik pemerintah pada saat itu sehingga
mengeluarkan peraturan tersebut.
B.
Saran
Harus ada harmonisasi hukum dalam
bidang pertanahan terutama yang mengatur mengenai perolehan tanah oleh negara
demi kepentingan hukum, sehingga peraturan perundang-undangan yang mengatur hal
tersebut mengahsilkan win-win solution.