Kamis, 22 Mei 2014

Analisis Yuridis Perolehan Hak Atas Tanah Oleh Negara Demi Kepentingan Umum

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
                 
   Tanah merupakan tempat manusia berpijak dan menggantungkan kehidupan selama manusia bernafas bahkan hingga akhir hidupnya manusia masih memerlukan tanah untuk pemakamannya. Tanah juga merupakan tempat bagi manusia untuk mencari makan dengan menanam tanaman yang dapat diolah sedemikian rupa guna kelangsungan hidup umat manusia. Selain itu tanah juga merupakan tempat manusia untuk mendirikan rumah, bangunan, toko, perkantoran, jalan raya serta banyak hal lainnya. Oleh karena itu fungsi tanah bagi manusia sangatlah penting dan tidak dapat dianggap sebelah mata.
                    Dalam pandangan Islam, tanah merupakan anugerah Allah yang harus dimanfaatkan secara optimal bagi pencapaian kesejahteraan manusia. Tanah tidak boleh ditelantarkan sebagaimana pula tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan sehingga merusaknya.[1] Sebagaimana dalam firman-Nya:
إِنَّ الْأَرْضَ للهِ يُوْرِثُهَا مَنْ يَّشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ

Artinya: “sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” ( Al-A’rof 128)
                    Tanah berfungsi sebagai faktor produksi yang sangat penting, sering disebut sebagai faktor produksi asal atau asli (original factor of production). Tanah merupakan asal muasal dari segala kegiatan produksi. 

Tanah juga merupakan faktor produksi unik, sebab ia tidak diciptakan oleh manusia melainkan manusia tinggal memanfaatkannya. Keunikan tanah yang lain karena ketersediaannya yang sangat terbatas, dalam arti ia telah tersedia dalam jumlah yang tetap dan tidak diciptakan lagi.[2]

                    Penggunaan tanah ternyata bukan hanya merupakan kepentingan pribadi manusia semata tetapi juga merupakan kepentingan negara yaitu dalam rangka menyediakan fasilitas-fasilitas demi pemenuhan kepentingan umum. Oleh karena itu, dalam rangka mengatur dan menertibkan masalah pertanahan dikeluarkanlah berbagai peraturan hukum pertanahan yang merupakan pelaksanaan dari   Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA) sebagai Hukum Tanah Nasional.
              Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan untuk kepetingan umum di atas tanah negara, oleh karena itu jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah.[3]
              UUPA sendiri memberikan landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini dengan menentukan : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.[4]
              Pembangunan yang tengah giat dilakukan pemerintah saat ini kerap kali berbenturan dengan masalah pengadaan tanah. Agar tidak melanggar hak pemilik tanah, pengadaan tanah tersebut mesti dilakukan dengan memerhatikan prinsip-prinsip kepentingan umum (public interest) sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Maka dalam makalah ini, penulis akan membahas lebih jauh mengenai perolehan hak atas tanah oleh Negara demi kepentingan umum.



B.    Perumusan Masalah
               Berdasarkan uraian di atas, penyusun bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut: Bagaimanakah analisis yuridis perolehan hak atas tanah oleh Negara demi kepentingan umum ?
                                   
     

                                                                        BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perolehan Hak Atas Tanah Oleh Pemerintah Demi Kepentingan Umum.
              Kegiatan Pengadaan tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah. Untuk melakukan pengadaan atas tanah yang akan digunakan untuk kepentingan umum, ada 4 insitusi (Law Institution) yang dapat dipergunakan yaitu: 1). Lembaga pencabutan hak; 2). Lembaga pembebasan hak; 3). Lembaga pelepasan hak; dan 4). Lembaga pengadaan tanah. Adapun cara untuk memperoleh yaitu:[5]
1.     Pencabutan Hak
         Pencabutan hak atas tanah adalah hapusnya hubungan hukum antara tanah dengan pemengang haknya yang dilakukan secara paksa demi memenuhi kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian yang layak. (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya)
         Dari definisi diatas, dapat diketahui bahwa pencabutan hak atas tanah memiliki 4 (empat) unsur, yaitu:
a)     Harus ada putusnya hubungan hukum antara tanah dengan pemegang haknya. Wujud konkrit dari penghapusan hak adalah hilangnya hak dan kewajiban atas tanah.
b)     Pencabutan dilakukan secara sepihak, perbuatan sepihak maksudnya adalah perbuatan hukum yang dipaksakan oleh salah satu pihak (dalam hal ini pemerintah), dimana hak pemilik tanah diabaikan.
c)     Harus ada pemberian ganti kerugian yang layak. Unsur ganti kerugian yang layak ada 2 yaitu: perkiraan harga barang/benda yang berada diatas tanah tersebut dan pemukiman pengganti (pemukti).
d)     Pencabutan dilakukan demi pemenuhan kepentingan umum. Yang dimaksud dengan kepentingan umum disini, diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, yang berbunyi:
“Untuk kepentingan umum, temasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya”.

              Menurut Prof. Muchsan, pengertian kepentingan umum dalam pasal ini bersifat abstrak karena kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama memiliki pengertian yang sangat luas.
              Kewenangan mutlak pencabutan hak atas tanah ada pada presiden yang dituangkan dalam bentuk Keppres. Sedangkan jajaran bawahan yang melaksanakan hak tersebut yaitu, Panitia pencabutan hak, panitia pencabutan hak ini terdiri dari lembaga eksekutif (BPN dan Pemda daerah tempat pencabutan hak dilaksanakan).

Keunggulan UU No 20/1961 ini adalah:
1)     Kewenangan mencabut ada ditangan Presiden sebagai Pejabat Tata Usaha Negara tertinggi, artinya obyektifitas dari Undang-Undang tersebut dapat terjaga.
2)     Dalam rangka pemberian ganti rugi, selain tanah dan benda-benda yang ada diatasnya masih ada pemukiman pengganti (Pemukti).
3)     Ada upaya hukum yang disediakan. Pasal 40 berupa pengajuan gugatan kepada pengadilan tinggi yang mempunyai wilayah hukum dimana tempat tanah itu berada.

Kekurangan UU No 20/1961 ini adalah:
1)     Didalam kepanitiaan pencabutan hak atas tanah, rakyat atau pemegang hak atas tanah tidak terwakili.
2)     Semua ganti rugi atas pola ukur pemerintah.
3)     Pengertian kepentingan umum dirumuskan secara abstrak.
4)     Kebijakan tidak dapat di uji
5)     Upaya hukum yang diberikan terbatas. Yang boleh digugat hanya besar-kecil ganti rugi, sedangkan kebijakan tidak boleh menjadi objek gugatan.



2.     Pembebasan Hak
         Pembebasan tanah adalah hapusnya hubungan hukum antara tanah dengan pemegang haknya yang dilakukan secara musyawarah mufakat, demi pemenuhan kepentingan umum dengan pemberian ganti rugi yang layak. (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975)
         Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pembebasan hak harus memenuhi 4 (empat) unsur, yaitu:
a)     Ada suatu tindakan yang menghapus hubungan hukum antara tanah dengan pemiliknya;
b)     Ada musyawarah dan mufakat dalam pengambilan keputusan; Artinya perbuatan pembebasan tanah tidak boleh dipaksakan.
c)     Harus ada pemberian ganti kerugian yang layak. Unsur ganti kerugian yang layak ada 2 yaitu: perkiraan harga tanah, barang/benda yang berada diatas tanah tersebut dimana ganti kerugian bisa berbentuk jasa.
d)     Pencabutan dilakukan demi pemenuhan kepentingan umum. Sama persis dengan pencabutan hak ditambah kepentingan agama.

Keunggulan dari Pemerndagri No 15/1975 ini sulit ditemukan, dengan kata lain bahwa produk hukum ini tidak mempunyai keunggulan samasekali. Sedakan kekurangannya yaitu:
1)     Kewenangan pembebasan ada pada kepala daerah setempat;
2)     Unsur masyarakat dalam arti sebenarnya hampir tidak ada;
3)     Dengan dihilangkannya pemukiman pengganti dapat menyengsarakan masyarakat;
4)     Tidak ada upaya hukum yang diberikan
5)     Pengertian pembebasan hak atas tanah kontraproduktif dengan unsur yang ke-4 yaitu kepentingan umum, karena seharusnya kepentingan umum merupakan perbuatan sepihak.

3.     Pelepasan Hak
         Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. (Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pembebasan hak harus memenuhi 4 (empat) unsur, yaitu:
a)     Ada suatu tindakan yang menghapus hubungan hukum antara tanah dengan pemiliknya;
b)     Ada musyawarah dan mufakat dalam pengambilan keputusan; Artinya perbuatan pembebasan tanah tidak boleh dipaksakan.
c)     Harus ada pemberian ganti kerugian yang layak. Unsur ganti kerugian yang layak yaitu: perkiraan harga tanah, barang/benda yang berada, kerugian materil diatas tanah tersebut dimana ganti kerugian bisa berbentuk jasa. Dasar dan cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar diatur dalam Pasal 15 Keppres ini, yaitu:
1)     Harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan;
2)     Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;
d)     Pencabutan dilakukan demi pemenuhan kepentingan umum. Sama persis dengan pencabutan hak ditambah kepentingan agama. Dimana dalam keppres ini ditentukan ukuran kepentingan umum yaitu, apa yang lebih banyak manfaatnya daripada kerugiannya.

Keunggulan dari Keppres ini yaitu:
1)     Musyawarah dan mufakat tidak ada paksaan, artinya ada kebijaksanaan dari pemerintah;
2)     Ada ukuran kepentingan umum;
3)     Dalam panitia pelepasan hak masyarakat dilibatkan.

Sedangkan kekurangan dari kepper ini yaitu:
1)     Tidak menyediakan upaya hukum bagi pihak pemilik tanah.

4.     Pengadaan Hak Atas Tanah
         Dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Berdasarkan Kepentingan Umum menentukan bahwa “Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian yang layak dan adil kepada Pihak yang berhak”.
         Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa pengadaan hak atas tanah memeliki beberapa unsur antara lain:
1)     Ada kegiatan menyediakan tanah, dalam hal ini untuk kepentingan umum;
2)     Cara yang digunakan untuk memperoleh tanah adalah dengan memerikan ganti rugi;
3)     Ada pihak yang tanahnya diambil.

Adapun beberapa kelebihan yang diusung oleh Perpres ini yaitu:
1)     Musyawarah Sebagai Dasar Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
                    Dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 dijelaskan bahwa “konsultasi publik adalah proses komunikasi dialogis atau musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.” Musyawarah sendiri diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012.
2)     Pemberian Bentuk Dan Besarnya Ganti Kerugian
                    Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, ganti kerugian merupakan penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Bentuk ganti rugi menurut Pasal 74 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 dapat berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui bersama pada saat musyawarah.
3)     Upaya Hukum Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum
                    Dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum diatur mengenai penolakan dari pihak yang berhak terhadap penetapan lokasi pembangunan dimana pihak yang berhak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Sedangkan dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan panitia Pengadaan tanah mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi berdasarkan ketentuan Pasal 73 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri setempat.
        

   
     BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan          
                    Kegiatan Pengadaan tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah. Untuk melakukan pengadaan atas tanah yang akan digunakan untuk kepentingan umum, ada 4 insitusi (Law Institution) yang dapat dipergunakan yaitu: 1). Lembaga pencabutan hak; 2). Lembaga pembebasan hak; 3). Lembaga pelepasan hak; dan 4). Lembaga pengadaan tanah. Dari keempat lembaga tersebut terdapat 4 instrumen pula yang dapat digunakan untuk pengadaan tanah demi kepentingan umum, yaitu melalui pencabitan hak atas tanah, pembebasan haka atas tanah, pelepasan hak atas tanah dan pengadaan hak atas tanah.
                    Dari keempat instrumen tersebut, masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan. Dimana keunggulan dan kekurangan tersebut sangat tergantung pada produk hukum yang mengaturnya dan kondisi politik pemerintah pada saat itu sehingga mengeluarkan peraturan tersebut.

B.    Saran
              Harus ada harmonisasi hukum dalam bidang pertanahan terutama yang mengatur mengenai perolehan tanah oleh negara demi kepentingan hukum, sehingga peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut mengahsilkan win-win solution.





[1] Diakses dari http://guardyan.blogspot.com/2012/12/makalah-tanah-dalam-perspektif-islam.html tanggal 22/05/2014 pukul 20:51
[2] Ibid,
[3] Pasal 1, Keppres 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Demi Pembangunan.

[4] UUPA Pasal 16.

[5] Disampaikan oleh Prof. Muchsan dalam  Perkuliahan HTUN Magister Hukum UGM, (Yogyakarta. Jum’at  16 Mei 2014)

Rabu, 21 Mei 2014

Kedudukan Hukum Negara Terhadap Benda Negara Berdasarkan Konstitusi Negara

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
                  
Add caption
  Secara garis besar fungsi pada alat pemerintahan terbagi 2, yaitu: fungsi memerintah (besturen functie), dan fungsi pelayanan (verzogen functie). Adapun tugas pemerintah Indonesia sebagaimana yang terlukis dalam Alinea ke-IVPembukaan UUD 1945 sebagai berikut : 1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. 2) Memajukan kesejahteraan umum. 3) Mencerdaskan kehidupan bangsa. 4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Guna merealisir fungsi Negara atau lebih dikenal dengan tujuan Negara tersebut diatas, memerlukan berbagai sarana dan prasarana dalam menunjang dan memudahkan pelayanan terhadap masyarakat. Sarana tersebut antara lain dapat berupa: Sumber daya manusia (man power) yang berupa keterampilan dan kemampuan aparatur Negara yang ada, dengan disesuaikan pada tingkat pendidikan keuangan dan benda. Kedua, Keuangan (money) yaitu untuk belanja aparatur Negara dalam keperluannya misalnya gaji, membeli alat-alat tulis, dan lain-lain.
                    Sedangkan benda (in natura) merupakan fasilitas-fasilitas Negara guna memperlancar kerja aparat di dalam menjalankan fungsinya melayani masyarakat, seperti: kendaraan dinas, rumah dinas, gedung perkantoran, dan sebagainya. Benda-benda Negara tersebut kemudian terbagi atas dua, yaitu: (1) berbentuk tanah; dan (2) barang dan jasa. Berkaitan hal tersebut diatas, Leon Duguit yang merupakan murid dari Proudhon, lalu memberikan tiga (3) konsep berpikir tentang kedudukan Negara terhadap benda, antara lain : 1. Semua benda Negara tujuannya untuk memenuhi kepentingan umum; 2. Kemampuan untuk memenuhi kepentingan umum dari benda itu berbeda-beda; 3. Kedudukan hukum Negara terhadap benda berbanding terbalik dengan kemampuan benda itu dalam memenuhi kepentingan umum.
                    Dalam hukum publik benda negara dibagi menjadi 2 yaitu: tanah dan non tanah, dimana kedudukan hukum negara terhadap dua benda negara ini adalah sebagai penguasa. Adapun pembidangan benda-benda negara dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu: benda negara yang bersifat mutlak dan benda negara yang bersifat relatif. Kedudukan negara terhadap penggolongan benda negara ini tentu berbeda-beda tergantung pada peraturan yang mengaturnya, sehingga sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Oleh karena itu penulis dalam makalah ini bermaksud untuk menkaji lebih dalam mengenai kedudukan hukum negara terhadap benda negara berdasarkan konstitusi negara.
     

B.    Perumusan Masalah
                    Berdasarkan uraian di atas, penyusun bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut: Bagaimanakah kedudukan hukum negara terhadap benda negara berdasarkan konstitusi negara ?
                                               
                                                                       BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kedudukan Hukum Negara Terhadap Benda Negara Berdasarkan Konstitusi Negara
                    Dalam hukum publik benda negara dibagi menjadi 2 yaitu:[1] tanah dan non tanah, dimana kedudukan hukum negara terhadap dua benda negara ini adalah sebagai penguasa. Adapun pembidangan benda-benda negara dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu: benda negara yang bersifat mutlak dan benda negara yang bersifat relatif. Kedudukan negara terhadap penggolongan benda negara ini tentu berbeda-beda tergantung pada peraturan yang mengaturnya. Benda negara yang bersifat mutlak terdiri dari 3 aspek yaitu: 1. Sumber daya manusia; 2. Benda; 3. Uang/modal, dimana kedudukan negara terhadap benda negara adalah sebagai pemilik semu (beshadow eighenem). Sedangakan benda negara yang bersifat relatif terdiri dari 3 aspek juga yaitu: 1. Penduduk; 2. Lingkungan; dan 3. Tertib hukum, dimana kedudukan negara terhadap benda negara yang bersifat relatif ini adalah sebagai pelindung (protectio). Dimana negara hanya menjadi pelindung terhadap benda yang dikuasai atau dimiliki oleh masyarakat secara bersama-sama (kolektif/komunal) misalnya hutan adat, benda-benda peninggalan sejarah dan sebagainya. Dan adapun kedudukan negara sebagai penguasa terhadap benda negara diatur dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: bumi dan air dan kekayaan alam yang terandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan pasal 2 UUPA yang berbunyi: Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatantinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
                    Dari kedua rumusal pasal di atas, terdapat 3 hal yang tergambar dalam hal kedudukan negara terhadap benda negara yaitu:[2]
1.     Rumusan pasal tersebut bersifat limitatif, maksimal terhadap 4 benda tersebut negara berkedudukan sebagai penguasa.
2.     Benda di luar keempat benda tersebut, negara bersetatus bukan sebgai penguasa, melainkan sebgai pelindung atau sebagai pemilik.
3.     Dalam hal perolehan dan peralihan keempat benda tersebut, negara harus menggunakan hukum publik.
                    Pembidangan benda-benda negara yang bersifat mutlak dan benda negara yang bersifat relatif ternyata menciptakan kaedah hukum baru, yang mana terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengertian, klasifikasi, dan pengelolaan benda atau barang milik negara yang dapat di lihat dari penjelasan di bawah ini.







[1] Disampaikan oleh Prof. Muchsan dalam  Perkuliahan Politik Hukum Magister Hukum UGM, (Yogyakarta. Jum’at  9 Mei 2014)
[2] Ibid,

Selasa, 06 Mei 2014

Cita Hukum, menganalisis kasus dengan pendekatan sosiologi dan budaya hukum

v Permasalahan
1.     Apa fungsi cita hukum dalam hukum ?
2.     Apa manfaat pendekatan sosiologi dalam menganalisis kasus ?
3.   Apa yang dimaksud dengan budaya hukum dan mengapa budaya hukum menjadi suatu komponen yang penting dalam penegakan hukum ?

v Pembahasan
1.     Fungsi cita hukum dalam hukum
    Menurut Rudolf Stammler, cita hukum (rechtsidee) itu berfungsi sebagai penentu arah bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Walaupun disadari benar bahwa titik akhir dari cita-cita masyarakat itu tidak mungkin dicapai sepenuhnya, namun cita hukum memberi faedah positif karena ia mengandung dua sisi, dengan cita hukum dapat diuji hukum positif yang berlaku dan kepada cita hukum dapat diarahkan hukum positif sebagai usaha mengatur tata kehidupan masyarakat dan bangsa. Lebih lanjut menurutnya, keadilan yang dituju sebagai cita hukum itu menjadi pula usaha dan tindakan mengarahkan hukum positif kepada cita hukum. Dengan demikian, hukum yang adil adalah hukum yang diarahkan oleh cita hukum untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat.[1] Selanjutnya Gustav Radbruch menegaskan pula bahwa cita hukum (rechtsidee) tidak hanya berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum.[2]
    Dari uraian mengenai fungsi cita hukum tersebut, dengan istilah lain (namun sewarna), B. Arief Sidharta menggabungkan fungsi cita hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Rudolf Stammler dan Gustav Radbruch tersebut. Menurutnya, Cita hukum itu berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penerapan, penegakan dan penemuan) dan perilaku hukum.[3]
    Sedangkan pandangan Prof Esmi Warasih cita hukum itu berisi patokan nilai yang memiliki peran dan fungsi yang penting dalam proses penyusunan RUU yang demokratif. dalam konteks demikian hukum dirancang sedemikian rupa agar merupakan bangunan hukum yang tertib dan teratur. Lebih lanjut Prof Esmi Warasih dalam bukunya Pranata Hukum[4] mengungkapkan bahwa dalam negara republik indonesia yang memiliki cita hukum pancasila dan sekaligus sebagai norma fundamental negara, dimana setiap peraturan yang hendak dibuat hendaknya diwarnai dan dialiri oleh nilai-nilai yang terkandung didalam cita hukum tersebut. oleh karena itu, cita hukum dapat dipahami sebagai konstruksi pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan masyarakat.

2.     Manfaat pendekatan sosiologi dalam menganalisis kasus
    Pendekatan Sosiologi Hukum merupakan pengkajian hukum positif untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukum sebagai sesuatu persoalan tertentu yang terjadi di masyarakat serta bagaimana melaksanakan atau menerapakan peraturan-peraturan hukum (pendekatan yuridis normative dan pendekatan pengkajian hukum pada kenyataan di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan).
    Lebih jauh, manfaat yang dapat diperoleh dengan menggunakan metode pendekatan sosiologi hukum dalam menganalisis kasus-kasus yang ada, dapat jelas terlihat dari karakteristik kajian sosilogi hukum itu sendiri. Dimana karekteristik kajian sosiologi hukum adalah sebagai berikut :
1)     Sosilogi Hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap praktek hukum dan dapat dibedakan dalam pembuatan Undang-Undang, penerapan dalam pengadilan, maka mempelajari pula bagaimana parktek yang terjadi pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut.
2)     Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa sesuatu praktek-praktek hukum di dalam kehiduipan sosial masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang mempengaruhi, latar belakang dan sebagainya.
3)     Sosilogi hukum senantiasa menguji kesahian empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu.
4)     Sosiologi Hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tingkah laku yang mentaati hukum, sama-sama merupakan obyek pengamatan yang setaraf, tidak ada segi obyektifitas dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.
          Dengan menggunakan pendekatan sosiologi dalam menganalisis kasus diharapkan analisis yang diperoleh dapat mendekati kenyataan yang sesungguhnya sehingga dalam penegakan hukumnya (law enforcement) tujuan hukum dapat tercapai yaitu keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum dan ketertiban.

3.     Apa yang dimaksud dengan budaya hukum dan mengapa budaya hukum menjadi suatu komponen yang penting dalam penegakan hukum
          Berbicara mengenai budaya hukum menurut Prof Esmi Warasih adalah berbicara mengenai bagaimana sikap-sikap, pandangan-pandangan serta nilai-nilai yang dimilikimoleh masyarakat.[5]
          Penegakan hukum bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri, melainkan ia saling berkaitan dengan masalah-masalah sosial masyarakat lainnya. Artinya hukum bukan hanya sebagai sistem nilai, tetapi juga hukum sebagai sub sistem dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat dimana hukum diberlalakukan
          Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman bahwa komponen sistem hukum meliputi 3 hal, yaitu: 1). Strukur; 2). Substansi dan; 3). Kultur hukum (budaya hukum). Dimana diantara ketiganya harus berjalan beriringan yaitu struktur harus kuat, kredibel, akuntabel dan capabel. Substansi harus selaras dengan rasa keadailan masyarakat sedang budaya hukumnya harus mendukung tegaknya hukum jika salah satunya timpang, mustahil hukum bisa ditegakkan.
          Budaya hukum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan apakah substansi hukum maupun tatanan proseduralnya diterima oleh masyarakat dimana hukum itu diterapkan atau tegakkan. Oleh karena itu, Lawrence M. Friedman menegaskan bahwa komponen budaya merupakan motor penggerak bagi semua tatanan hukum.



[1] Roeslan Saleh, Pembinaan Cita hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional dalam “Majalah Hukum Nasional (Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasional)” No. 1, Pusat Dokumentasi Hukum BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995, hlm. 50
[2] Soejono Koesoemo Sisworo, Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai Aliran Filsafat Hukum Dalam Relasi dan Relevansinya Dengan Pembangunan/Pembinaan Hukum Indonesia dalam “Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang” dihimpun oleh: Soekotjo Hardiwinoto, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm. 121.
[3] B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm. 181.
[4] Esmi Wirasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sisologis, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010,  hlm. 39
[5] Ibid., hlm. 83