Kamis, 11 Desember 2014

Analisis yuridis PP NO. 46/2013 tentang PPh Final


Dalam ketentuan umum PP NO. 46/2013 yang mengatur tentang PPh Final, dijelaskan bahwa PP tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak untuk menyetorkan pajak terutang, dengan berdasarkan pada keingin untuk meyederhanakan pemungutan pajak, serta mengurangi  beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Akan tetapi dalam ketentuan pasal-pasal PP ini, tidak sungguh-sungguh mencerminkan kemudahan dan kesederhanaan dalam pemungutan pajak. Melainkan justru memberikan tambahan beban administrasi bagi wajib pajak untuk melakukan dua kewajiban sekaligus yakni membuat SPT tahun dan membuat laporan pembukuan atau catatan terhadap hasil usahanya.
Lebih lanjut, dalam ketentuan umumnya PP ini menyetakan bahwa tujuan pengaturannya adalah untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu, untuk melakukan penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang. Tujuan tersebut dalam penerapannya betolak belakang dengan hasil penerimaan pajak yang baru mencapai 7 % atau hanya Rp. 2 Triliun dari potensi yang ada yakni Rp. 30 Triliun (Bisnis Indonesia, Jum’at 24/10/2014). Hal tersebut membuktikan bahwa tujuan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam pemungutan pajak, agar masyarakat tergerak untuk membayar pajak dapat dikatakan tidak tercapai.
Disamping itu, terdapat berbagai kelemahan atau kekurangan dari PP NO. 46/2013, seperti penerapan penghitungan pajak secara bruto, hal ini tidak mencerminkan laba usaha dari wajib pajak padahal dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh disebutkan bahwa yang menjadi obyek pajak adalah laba usaha. Kelemahan lain dari PP ini adalah karena diberlakukan untuk seluruh wajib pajak yang memiliki omzet kurang dari Rp. 4.8 Miliar, artinya bahwa semua wajib pajak lama maupun baru harus mebayar pajak dengan tarif PPh final 1 % dari omzet. Akibatnya wajib pajak yang sudah terbiasa membayar pajak dengan tarif umum enggan untuk membayar pajak, dengan demikian penerimaan pajak menjadi rendah. Kerumitan lain dari PP ini, adalah dengan memisahkan antara penghasilan dari hasil usaha dengan penghasilan dari jasa pekerjaan bebas yang justru akan menambah beban administrasi dari wajib pajak. Kelemahan PP ini juga tercermin dari banyaknya ketentuan yang menyalahi UU PPh terutama yang terkait dengan obyek pajak dan penghitungan pajak.

Oleh karena itu, jika pemerintah akan melakukan revisi terhdap PP NO. 46/2013, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menyesuaikan peraturan (PP NO. 46/2013) yang dibuat dengan peraturan yang lebih tinggi (UU PPh) terutama yang terkait dengan obyek dan subyek pajak final serta metode penghitungan pajak. 

Rabu, 10 Desember 2014

Kajian Tentang Dosa dan Taubat

Malam ini hujan benar-benar membawa rahmat untukku dan jamaah Isya Masjid Pogung Dalangan atau yang karib disebut Masjid MPD. Masjid itu terletak tepat di sebuah pertigaan Pogung Dalangan RT 12 RW 50 Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta. Kenapa saya mengatakan hujan telah membawa rahmat? Itu karena malam ini ada sebuah kajian yang akan digelar dimasjid itu. Jika hujan tak turun mungkin saya dan beberapa orang jamaah akan bergegas pulang. Semoga saya mengikuti kajian tersebut karena memang saya membutuhkan ilmu yang akan disampaikan oleh ustadz yang saya lupa namanya, hehe.... bukan semata-mata karena hujan.
Beliau adalah ustadz yang sangat lembut tutur katanya, gaya bicaranya begitu menyentuh, dan  wajahnya begitu meneduhkan. Pada kesempatan tersebut beliau menyampaikan sebuah tema yang cukup menghempas batin, yaitu mengenai “Dosa”, karena mungkin dosa saya yang menumpuk menunggu untuk dimintakan taubat. Semoga Allah Mengampuni Saya dan Para Pembaca. Aamiin...
Baiklah kita mulai saja pembahasan tentang dosa ini. Sesungguhnya Rasululloh saw bersabda “(Kullu Bani Adam Khottoo’iin, Wakhoiru Khottoo’iina Attawwabuuna) setiap bani adam pasti pernah melakukan kesalahan (dosa), dan sebaik-baik orang yang pernah berbuat salah (dosa) adalah yang segera bertaubat. (HR. Ahmad, Hambal, At-Thirmizi, sanadya sahih).” Taubat adalah jalan yang disediakan Allah untuk menebus kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Namun, taubat memiliki beberapa syarat yaitu: memohon apunan kepada Allah, menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan, dan tidak mengulangi perbuatan dosa tesebut.
Ada kisah menarik yang disampaikan oleh beliau, mengenai seorang gubernur yang semasa hidupnya banyak melakukan dosa, namun hingga maut menjempunya, gubernur tersebut belum sempat memintakan taubat atas dosa-dosanya. Kemudian ketika gubernur itu meninggal dan akan dikubur, para penggali kuburnya terkejut oleh sebab pada galian terakhir kubur itu, ada ular yang menunggu digalian tersebut. Sehingga para penggali kubur tersebut menggali lagi ditempat yang berbeda akan tetapi tetap saja mereka mendapati ular yang menunggui galian kubur tersebut, peristiwa itu terus berulang sampai galian ke tiga puluh. Akhirnya para penggali kubur tersebut bertanya kepada seorang ulama di tempatnya, yang mengajurkan agar jasad sang gubernur tetap di kuburkan bersama dengan ular-ular tersebut.
Alangkah mengerikannya akibat dari dosa yang belum dimintakan taubat. Siksa kubur menunggu mereka bahkan sebelum jasad mereka terkubur dengan tanah. Na’uzubillahimindzalik, semoga hal itu tidak terjadi pada kita.
Selanjutnya pembahasan berlanjut ke arah jenis atau macam jalan yang dapat membuat seseorang melakukan perbuatan dosa, yaitu:
1.      melakukan yang haram
melakukan yang haram contohnya meminum khamar (minuman keras), melihat dan memperlihatkan aurat kepada lawan jenis atau sejenis, menfitnah, berzina dan sebagainya.
2.      tidak menjalankan yang wajib
tidak melakukan yang wajib contohnya meninggalkan shalat, tidak puasa, tidak membayar zakat, dan hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Cara untuk bertaubat atas dua macam jalan dosa tersebut di atas berbeda-beda. Jalan pertaubatan untuk jenis yang pertama adalah dengan meninggalkan yang haram, tentunya setelah memohon ampun dan menyesali perbuatan dosa tersebut. Dan jalan pertaubatan untuk jenis yang kedua adalah mejalankan atau mengerjakan hal-hal yang telah di wajibkan oleh Allah swt. Jika seseorang yang pernah meninggalkan kewajiban puasa maka ia harus menggantinya. Sedangkan bagi mereka yang meninggalkan shalat ada beberapa pendapat.
Orang yang meninggalkan shalat, baginya ada empat pendapat yang dapat dirujuk, yaitu:
1.      Kafir, maksudnya orang yang meninggalkan shalat di hukum sebagai orang kafir, sehingga mereka harus diperangi (hukum mati). Pendapat ini, di dasari oleh tindakan Abu Bakar yang memerangi orang-orang yang enggan mengerjakan shalat dan membawar zakat pada masanya, yang kemudian di ikuti oleh sahabat seperti Umar Bin Khottob.
2.      Kafir, maksudnya orang yang meninggalkan shalat di hukum sebagai orang kafir, sehingga mereka harus segera bertaubat akan tetapi tidak wajib mengqadha’ shalat yang telah ditinggalkan. Tidak wajib mengqadha’ dengan alasan orang kafir tidak wajib shalat sehingga ketika ia telah kembali ke agama Allah maka tidak ada kewajiban mengqadha’. Hukum kafir ini sebagaimana sabda Rasululloh saw "(Batas) antara seseorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja maka statusnya adalah kafir meskipun ia sudah bersyahadat. Berdasarkan hadits dari Rasulullah saw “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad)
3.      Tidak kafir, maksudnya orang yang meninggalkan shalat tidak di hukum kafir, dan tidak pula dikenai kewajiban mengqadha’ shalat yang pernah ditinggalkan. Namun, sebagai ganti dari shalat-shalat yang pernah ditinggalkan adalah dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah seperti shalat sunnah. 
4.      Tidak kafir, maksudnya orang yang meninggalkan shalat tidak di hukum kafir, akan tetapi wajib mengqadha’ shalat yang pernah ditinggalkan. Dasarnya adalah sabda Rasululloh saw “Barangsiapa yang lupa mengerjakan shalat, hendaknya dia mengerjakannya pada saat teringat. Tidak ada kafarat baginya, kecuali hanya itu saja". (HR Al Bukhari). Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi s.a.w. ketika kembali dari perang Khaibar beliau berjalan satu malam sampai ketika beliau mengantuk, beliau berhenti untuk istirahat dan bersabda kepada Bilal r.a. : “Malam ini berjagalah kamu untuk kami”. Lalu Bilal sholat semampunya sedangakan Rasulullah s.a.w. dan para sahabat tidur. Menjelang subuh, Bilal bersandar ke kendaraannya lalu dia pun tertidur. Rasulullah SAW tidak bangun, tidak pula Bilal dan tak seorang sahabatpun bangun sampai mereka diterpa sinar matahari. Lalu Rasulullah s.a.w. terkejut dan bersabda : “Hai Bilal!”. Bilal menjawab : “Bapak dan ibuku sebagai penebusmu ya Rasulullah, telah mengalahkan diriku apa yang telah mengalahkan pada dirimu” Lalu mereka menuntun kendaraan masing-masing satu per satu kemudian Rasulullah s.a.w. berwudlu dan memerintahkan Bilal beriqomah. Lalu Rasulullah s.a.w. shalat subuh bersama mereka. Ketika Beliau telah selesai dari sholatnya beliau bersabda : “Barangsiapa yang lupa akan sholatnya hendaklah ia melakukan sholat ketika dia ingat, karena sesungguhnya Allah berfirman : Dirikanlah sholat untuk mengingat Aku (Q.S. Thaha : 115)” (H.R. Muslim)
Pendapat yang telah dikemukakan di atas merupakan rujukkan yang dapat diambil dalam menentukan hukum bagi orang yang meninggalkan shalat. Keempat pendapat tersebut bersifat alternatif, tergantung kepada dalil mana yang paling kuat kita yakini. Akhirnya semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi amal jariah kita, sebagai salah satu tambahan amal untuk mengurangi beban dosa kita. Aamiin.









Selasa, 09 Desember 2014

Mengejar Target Pajak


Keinginan pemerintah untuk mengejar tax ratio 16% pada 2019 diyakini kian berat. Sehingga perlu terobosan untuk mengejar target tersebut (Bisnis Indonesia selasa, 14/9/2014). Ditambah lagi shortfall -selisih antara realisasi dan target penerimaan- pajak sebesar Rp 76 triliun akan sulit dicapai bahkan terancam terjadi pembengkakan sampai Rp 125 triliun. Hal tersebut terjadi akibat pertumbuhan ekonomi yang melambat. (Bisnis Indonesia selasa, 7/9/2014)
Oleh sebab itu, perlu terobosan dari Ditjen Pajak untuk mengatasi masalah tersebut dan dalam rangka mencapai terget APBN-P sebesar Rp 989 triliun serta target tax ratio 16% pada 2019. Salah satu terobosan yang sudah dilakukan adalah ektensifikasi pajak. Namun dalam perkembangannya ekstensifikasi tersebut terancam gagal. Saat ini, wajib pajak badan baru terdaftar sebanyak 2,21 juta sedangkan orang pribadi tercatat 23,08 juta. Secara total, rasio kepatuhan wajib pajak hanya 32%. Artinya masih sangat jauh dari target. (Bisnis Indonesia selasa, 14/9/2014)
Sebelum membahas lebih jau mengenai terobosan yang penulis ajukan, sebaiknya perlu dijelaskan pengertian dari ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi adalah menambah objek pajak; dalam konteks tulisan di ini, berarti usaha menambah penerimaan pajak dengan menambah objek pajak yang sebelumnya tidak ada. Intensifikasi adalah memaksimalkan apa yang sudah ada; dalam konteks tulisan ini, berarti usaha menambah penerimaan pajak tanpa menambah objek pajak.
Dalam rangka mencapai target APBN-P sebesar Rp 989 triliun dan target tax ratio 16% pada 2019 serta mengurangi shortfall,  tidak harus melakukan ekstensifikasi, ada baiknya tinjau dulu kemungkinan dilakukannya intensifikasi guna menyeragamkan koefisien kepatuhan wajib pajak. Dengan intensifikasi diharapkan dapat mempengaruhi mereka yang tidak patuh. Sebenarnya untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, kedua cara tersebut ekstensifikasi maupun intensifikasi dapat dilakukan. Ekstensifikasi adalah langkah yang dapat diambil untuk program jangka panjang sedangkan intensifikasi dapat dilakukan sebagai upaya meningkatkan pendapatan dari sektor pajak secara singkat atau dalam waktu yang relatif terbatas karena harus memenuhi target tertentu. Cara ekstensifikasi dan intensifikasi yang dapat dilakukan sebagaimana berikut:[1]
1.      Ekstensifikasi perpajakan diantaranya :

  • Menentukan dan menyempurnakan bank data dan Single Identity Number (SIN).
  • Menyempurnakan program e-mapping dan smart mapping, dan
  • Mengumpulkan dan memutahirkan data untuk menjaring wajib pajak baru.
2.      Intensifikasi penerimaan pajak, diantaranya dengan :

  • Melaksanakan pemeriksaan terhadap sektor industri tertentu yang tingkat kepatuhannya masih rendah.
  • Meningkatkan kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk memberikan detterent effect yang positif, dan
  • Melaksanakan kegiatan penagihan pajak melalui penyitaan rekening Wajib Pajak/Penanggung pajak, pencegahan dan penyanderaan.




[1] https://www.academia.edu/8107167/Kuliah_Hkm_Pajak_7-8_Dr._Syamsah diakses tanggal26/11/14. 

Selasa, 18 November 2014

Mengenal Hukum Progresif.

Dua hari ini, tepatnya tanggal 18-19 November 2014, saya berada diruangan yang dipenuhi semangat agung untuk menegakkan hukum sebagai langkah memberikan kebahagiaan bagi manusia lewat hadirnya hukum yang tidak hanya melihat aspek-aspek hukum dengan kacamata kuda, melainkan dengan menggunakan hati nurani, gagasan hukum itu bernama hukum progresif yang di telurkan seorang yang sungguh bijaksana dalam melihat hukum. Beliau adalah Prof. Satdjipto Raharja yang karib disapa Prof Tjip.
Ruangan itu berada disalah satu sudut ruangan dilantai tiga Universitas Atmajaya yogyakarta. Bersamaan dengan itu saya  sungguh tak menyangka sedang berada di tengah-tengah orang-orang hebat, tepatnya para pakar hukum. Tak pernah saya bayangkan saya duduk satu meja dan berjabat tangan dengan beliau-beliau. Dari serpihan mereka saya coba merangkum kembali gagasan-gagasan Prof Tjip dalam sebuah pemahaman yang semoga tidak salah dan melenceng dari apa yang pernah dipikirkan oleh sang penggagas. Guru-guru itu adalah Dr. Alwisnubroto, H. Rithi SH, LL.M, Prof Adji Samekto, Prof. Sudjito, dan Prof. Esmi Warassih murid langsung Prof Tjip.
Sebenarnya tidak hanya beliau lima orang itu, saya juga bertemu dengan Prof. Khudzaifah Dimyati yang tidak hanya faham hukum tapi juga mahfum agama. Ada juga penegak hukum seperti Dr. Yudi Kristiana seorang jaksa KPK yang selalu berusah menerapkan hukum progresif dalam tugasnya, beliaulah jaksa yang menuntut Angelina Sondach dan Nazarudin. Hasilnya adalah luar biasa, Dr. Yudi Kristiana mampu menghadirkan rasa keadilan substansif yang di inginkan masyarakat. Adapula pengacara muda Isyad Thamrin SH.MH yang berfikiran progresif dalam membela kaum rentan dan tak berdaya, serta mencoba mengadvokasi rekan rekan sejawatnya dengan hukum progresif.
Hukum progresif sendiri adalah gagasan hukum yang mencoba menghadirkan konsep hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum adalah merupakah sesuatu yang tidak final, hukum adalah proses menjadi atau sering dikenal dengan istilah law in process dan law in the making. Hukum itu haruslah memiliki hati nurani bukan sebagai mesin yang tidak bernurani. Meminjam istilah Prof Esmi, hukum itu bukan hanya O2 (otak dan otot) tapi juga H2O (hukum harus berhati nurani selain rasional).
Hukum progresif adalah gagasan hukum yang lahir dari keresahan terhadap carut marut hukum di Indonesia. Semua dinamika dan dialektika tentang hukum proresif itu dirangkum dalam sebuah acara yang maha dahsyat sekolah hukum progresif yang diselenggaraka  oleh paguyuban sinau hukum progresif yogyakarta (PSHP). Walau tak sebesar Satdjipto Raharjo Institute (SRI), PSHP mampu membangkitkan animo para Tjipian (istilah yang diberikan kepada orang-orang yang menggeluti pemikiran Prof Tjip) yang telah lama fakum.
Akhirnya semoga apa yang dicita-citakan oleh sang pengagas hukum progresif, Prof Satdjipto Raharjo dapat terwujud diranah realita. Dan semoga gagasan ini mengilhami para penegak hukum dan para pembuat peraturan untuk tidak memandang hukum sebatas peraturan perundang-undangan, akan tetapi mampu mengunakan hati nuraninya untuk meneropong rasa keadilan dari masyarakat. Sehingga mereka mampu membuat hukum yang berkeadilan dan berhati nurani seperti yang di idam-idamkan oleh prof tjip. Salam Progresif (ketua panita)


Senin, 17 November 2014

Mengobati KeGALAUan Dengan Sabar



Fenomena galau bukan hanya menjangkiti anak muda tetapi seolah menjangkiti setiap generasi, mulai dari anak-anak, para remaja bahkan orang-orang tua. anak-anak galau dengan permainan-permainan mereka, para remaja galau dengan status dan hubungan mereka dengan lawan jenis, sementara orang-orang tua galau dengan pekerjaan dan tanggungjawab mereka.  
Fenomena galau ini disebabkan karena ketidak ridhoan seseorang terhadap kadak dan kadar yang telah ditentukan oleh Allah, dan ketidak tahuan kepada siapa harus menyandarkan diri dikala tertimpa masalah atau kesusahan dalam kehidupannya. Bahwa setiap manusia senantiasa menginginkan kebaikan-kebaikan bagi dirinya akan tetapi Allah yang maha tahu apa yang terbaik untuk hambanya kadang memiliki kehendak yang berbeda, dengan menunda atau bahakan tidak memberikan apa yang mereka pinta. Akibatnya terjadilah fenomena galau ini, “kenapa ini terjadi padaku?” atau “kenapa aku tidak mendapatkan apa yang akau mau?” adalah kata-kata yang sering muncul ketika seseorang terjangkit kegalauan.
Hal ini tentu bukanlah ciri-ciri dan akhlak seorang mukmin, karena seorang mukmin tidak mengenal fenomena galau ini. Dalam islam, sikap yang harus dilakukan adalah “sabar” sebagaimana sabda Rasululloh SAW Dari Shuhaib bin Sinan dia berkata: Rasulullah bersabda: “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya” (HR. Muslim No. 2999)
Rasululloh S.A.W. menggambarkan bahwa setiap orang yang beriman akan selalu berfikir dan bersikap positif, yang menggambarkan keindahan akhlak seorang mukmin. Ketika mendapatkan suatu kebaikan, ia refleksikannya dengan bersyukur kepada Allah swt. Karena ia yakin, bahwa semua kebaikan yang ia dapatkan adalah datang dari Allah. Dan ketika mendapatkan suatu musibah, ia akan meresponnya dengan sikap sabar. Karena ia yakin, bahwa Allah lebih mengetahui apa-apa yang terbaik untuk hambanya. Sehingga seorang hamba Allah yang beriman akan mengembalikan semua masalahnya kepada Allah.
Setiap orang yang beriaman kepada Allah tentu tidak akan berlama-lama dalam kesediahan, apalagi menyelahkan Allah atas kesedihannya, akibat dari ia lalai dari mengingat Allah. Maka tepatlah apa yang telah Allah ajarkan dalam dalam firman-Nya: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)
Maka tindakan yang seharusnya dilakukan bagi seorang hamba yang beriman adalah sebagaimana yang diajarkan pula oleh Allah dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153). Sesungguhnya sabar dan shalat merupakan obat terbaik bagi penyakit galau, pernahkah ketika berwudhu kemudian kita merasa hati kita menjadi lebih tenang atau pernahkah kita merasakan ketiaka kita mengerjakan shalat semua masalah seakan sirna. Itulah mengapa satu-satunya obat mujarab dari fenomena galau ini adalah mengembalikan semua persoalan kehidupan ini kepada Allah. Ketiak kita mendapat musibah, maka hendaknya kita bersabar. Dan ketika kita mendapatkan kenikmatan, hendaknyalah kita bersyukur.
Alangkah indahnya ajaran islam ini, setiap sendi kehidupan telah Allah atur. Setiap persoalan telah Allah sediakan jalan keluar, setiap penyakit telah Allah sediakan obatnya. Maka ketika kita mencari di luar dari apa yang ada pada Allah, maka yang akan kita temui hanya ketidak tenangan dalam jiwa, keputus asaan dalam harapan. Maka tepat apa yang dikhawatirkan Rasululloh saw, sebagaimana sabdanya Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, ‘Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik untukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari Muslim)
            Betapa banyak fenomena galau yang berujung pada bunuh diri dan putus asa, karena kurangnya keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Hati mereka lebih dekat dengan keduniawian sehingga lalai untuk mengingat Allah. Namun, bagi seorang yang beriman dan yakin akan pertolongan Allah akan selalu menyandarkan dirinya pada Allah. Mereka yakin bahwa setelah ada kesusahan ada kemudahan, mereka yakin bahwa ketentuan-ketentuan Allah adalah yang terbaik untuk dirinya.

Akhirnya semoga kita mampu menjadi hamba Allah yang bersabar dan terhindar dari fenomena galau ini, sebagaimana sikap Nabi Musa as yang diabadikan dalam Al-quran: “Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun."( Al-Kahfi:69). Karena sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang diberikan ganjaran tanpa batas oleh Allah sebagaimana firman-Nya dalam surah Az-Zumar. "..........Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)


Selasa, 04 November 2014

Aku, FLP dan Dakwah kepenulisan

        Aku, Forum Lingkar Pena (FLP) dan Dakwah kepenulisan sepertinya tak asing bagiku, sebagaimana tak asingnya fiman Allah SWT dalam surah Al- Kahfi ini, yang artinya Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”(QS. Al-Kahfi :109).
  Dan dalam ayat lain disebutkan, “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Luqman: 27). Oleh karenanya, jika dihubungkan kepada ilmu Allah yang begitu luas, maka ribuan bahkan jutaan botol tinta yang telah dituliskan dalam ribuan atau bahkan jutaan buku sekalipun adalah kecil, bagaikan setetes air di samudera yang luas dibandingkan dengan ilmu Allah. 
  Forum Lingkar Pena adalah tinta-tinta itu, dan dakwah kepenulisan adalah bagian dari buku-buku yang berisi ilmu dan hikmah yang Allah titipkan kepada manusia (Aku), untuk dipelajari, direnungkan dan diamalkan. Namun, bukanlah perkara yang mudah untuk menuliskan kalimat-kalimat Allah. Menjelaskannya harus dengan ilmu, sedangkan ilmu hanya dapat diperoleh dari belajar, membaca atau mungkin mendengar. Semua itu, adalah proses yang musti dilalui oleh setiap penulis.
  Menuturkan dakwah dalam sebuah tulisan adalah tanda tanya bagiku, bagaimanakah menulis dengan tema-tema Islami?. Maka, Forum Lingkar Pena merupakan jawabannya, ia merupakan wadah untuk melatih diri bagi para penulis pemula untuk menjadi penulis yang mampu menuliskan nafas-nafas dakwahnya dengan baik, sistematis dan terstruktur. Sehingga membaca tak lagi menjadi hal yang membosankan dan sekedar rutinitas bagi pembaca, akan tetapi pembaca mampu memetik pelajaran dari apa yang dibacanya untuk kemudian mampu diamalkan olehnya dengan sempurna.
  Adapun “Aku” hanyalah seorang mahasiswa S2 yang baru belajar menulis, pengalamanku menulis terbilang masih sedikit, itupun hanya terbatas pada penulisan-penulisan hukum. Namun, akhir-akhir ini keinginan untuk menulis itu terus muncul. Berawal dari menulis tugas makalah, menulis proposal tesis, membuat esay lomba dan hari ini aku menulis untuk bisa masuk menjadi anggota Forum Lingkar Pena.

  Akhirnya, Aku, FLP dan Dakwah kepenulisan adalah satu rangkaian nafas-nafas dakwah yang mungkin dapat dibaca dalam tulisan-tulisan berikutnya. Dan semoga Allah Yang Maha Luas Ilmunya berkenan menganugrahi setiap penulis kemampuan untuk memetik hikmah dan mengamalkan setiap tulisannya. Karena susungguhnya Allah telah berfirman dalam Surah As-Shaff, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff : 2-3)

Selasa, 07 Oktober 2014

BILL OF TRANS-BOUNDARY HAZE POLLUTION DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMERINTAH INDONESIA PERSEKTIF HUKUM INTERNASIONAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
              Hutan  merupakan suatu sumber daya alam yang menyediakan berbagai kebutuhan kehidupan manusia, tidak sedikit orang yang menggantungkan hidupnya pada hutan. Namun, dari berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan hutan terdapat sisi negatif dari kegiatan mengeksplorasi hutan, yang dilakukan melalui cara-cara yang tidak berpihak kepada pelestarian hutan tersebut. Cara seperti pembakaran hutan untuk melakukan pembukaan lahan merupakan sisi negatif yang membawa dampak yang sangant serius, tidak hanya kepada masyarakat sekitar tetapi juga terhadap negara tetangga yang berdekatan dengan tempat pembakaran hutan.
              Sebagai bentuk tindak lanjut dari maraknya kebakaran hutan khususnya di Asia Tenggara dan dampak kabut asap yang dihasilkan, negara-negara yang tergabung dalam Association of South East Asian Nations (ASEAN) mencoba untuk merumuskan suatu kebijakan terkait dengan penanggulangan kebakaran hutan di Asia Tenggara. Pada pertemuan selanjutnya yang diadakan pada Juni 1995, para menteri di negara-negara ASEAN sepakat untuk membuat rencana kerjasama terhadap pencemaran transnasional (lintas batas).[1] Usaha ini pun dilanjutkan kembali dengan membawa isu yang lebih spesifik, yaitu penanggulangan dampak kabut asap melalui pernyataan para menteri yang terkait masing-masing negara anggota ASEAN dalam Regional Haze Action Plan.[2] Sekali lagi action plan ini mencoba untuk menegaskan secara langsung mengenai dampak kabut asap yang dapat mengganggu tidak hanya ekosistem yang ada, melainkan juga makhluk hidup di dalamnya. Sebagai usaha untuk memanfaatkan momentum yang ada, dalam rencana kerja ini langsung berusaha untuk membentuk badan penanggulangan kabut asap dan lembaga penelitian pada tingkat regional dan sub regional.[3]
              Momentum selanjutnya adalah pada usaha negara-negara anggota ASEAN untuk merumuskan suatu panduan dan komitmen hukum secara bersama-sama yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang berjudul ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (persetujuan ASEAN tentang pencemaran kabut asap lintas batas) yang mengatur pendistribusian tanggung jawab dan penanganan pencemaran kabut asap pada kawasan regional Asia Tenggara. Perjanjian ini ditandatangani oleh 10 negara peserta ASEAN pada Juni 2002, dan kemudian came into force pada 25 November 2003.[4] Setelah tiga tahun berjalan, tujuh dari sepuluh negara penandatangan telah melakukan ratifikasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang – undangan nasional negara peserta setempat.[5]
              Ironisnya, setelah berjalan 9 tahun hingga kini Indonesia selaku aktor dan subjek utama dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas) belum juga melakukan proses ratifikasi. Keberadaan semangat tanggung jawab bersama yang diusung dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas) sebenarnya dapat menjadi alasan untuk tidak dibebankannya tanggung jawab kepada Indonesia. Namun, hal ini justeru berlaku sebaliknya pada saat banyak peraturan perundang-undangan Indonesia yang melanggar kebijakan zero burning policy.
              Dalam sistem otonomi sekarang ini, keberadaan kebijakan yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk dapat melakukan upaya pengelolaan lingkungan secara mandiri terkadang memberikan dampak buruk. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan beberapa peraturan daerah yang secara eksplisit memperbolehkan adanya praktek pembakaran lahan dengan jumlah area tertentu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.[6] Dalam kondisi seperti itu, maka salah satu faktor yang mempengaruhi  adanya kelemahan dari model command and control di Indonesia dalam upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan di Indonesia adalah tidak adanya konsistensi dari substansi yang terdapat dalam suatu sistem hukum sebagaimana dikemukakan oleh Friedman.[7]
              Baru-baru ini, Parlemen Singapura telah memberlakukan peraturan yang mengatur tetang Polusi Asap Lintas Batas (Bill of Trans-boundary Haze Pollution), yang akan memungkinkan regulator untuk menuntut individu atau perusahaan di negara-negara tetangga yang menyebabkan polusi udara yang parah di Singapura melalui tebas bakar praktek pertanian. Tindakan pertama kali diusulkan pada 2013 setelah kenaikan besar dalam jumlah kebakaran hutan di provinsi Riau (Indonesia) menyebar asap ke Singapura, menambah tingkat polusi di singapura. Direktur Global Program Kehutanan di World Resources Institute (WRI), Nigel Sizer, mengatakan undang-undang polusi asap lintas batas mengisyaratkan metode baru dalam melakukan bisnis bagi perusahaan dan pemerintah yang ingin mengurangi kebakaran hutan dan lahan gambut. Sizer juga menuturkan bahwa setiap perusahaan yang tertangkap secara ilegal membakar hutan akan diseret ke pengadilan Singapura dan reputasi mereka akan hancur bersamaan dengan itu, dimana pelanggan, bank dan asuransi akan menghindari melakukan bisnis dengan perusahaan-perusahaan ini.[8]
              Oleh karena itu, perlu dilakukan elaborasi lebih jauh tetang bagaimana pengaruh Bill of Trans-boundary Haze Pollution tersebut terhadap hukum nasional di Indonesia. Sehingga dapat ditarik sebuah pemahaman mengapa indonesia belum mealukan ratifikasi terhadap ketentuan-ketentuan internasional terkait dengan pencemaran udara lintas batas tersebut.

B.     RUMUSAN MASALAH
               Berdasarkan uraian di atas, penyusun bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut: “Bagaimanakah pengaruh Bill of Trans-boundary Haze Pollution tersebut terhadap hukum nasional di Indonesia dan apakah implikasi yuridis yang timbul dari ketetuan tersebut terhadap pemerintah Indonesia. ” ?










BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION
Pencemaran udara diartikan sebagai adanya satu  atau lebih pencemar yang masuk ke dalam udara atmosfer yang terbuka, yang dapat berbentuk sebagai debu, uap, gas, kabut, bau, asap, atau embun yang dicirikan bentuk jumlahnya, sifat dan lamanya. [9]
Menurut rekomendasi OECD tentang Principles Concerning Transfrontier Pollution 1974 merumuskan pencemaran sebagai berikut : ”the introduction by man, directly or indirectly, of substances or energy into the environment resulting in deleterious effects of living resources and ecosystems, and impair or interfere with amenities and other legitimate uses of the environment”.
Menurut rekomendasi dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah : ”smoke resulting from land and/or forest fire which causes deleterious effects of such a nature as to endanger human health, harm living resources and ecosystems and material property and impair or interfere with amenities and other legitimate uses of the environment”.
Dalam hal membicarakan masalah pencemaran lintas batas, khususnya pencemaran udara dapat diartikan sebagai suatu gambaran yang menerangkan bahwa suatu pencemaran yang terjadi dalam suatu wilayah negara akan tetapi dampak yang ditimbulkannya oleh karena faktor media atmosfer atau biosfer melintas sampai ke wilayah negara lain.
Atas dasar pengertian diatas, pencemaran udara lintas batas adalah : Transboundary haze pollution” means haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part within the area under the national jurisdiction of one Member State and which is transported into the area under the jurisdiction of another Member State.[10]
Dengan demikian disimpulkan bahwa yang dimaksud pencemaran lintas batas tersebut adalah pencemaran udara yang berasal baik seluruh atau sebagian dari suatu negara yang menimbulkan dampak dalam suatu wilayah yang berada dibawah jurisdiksi negara lain.
1)      Dampak dari transboundary haze pollution :
  1. Dampak terhadap sosial, budaya, dan ekonomi
a.       Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan : asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut mengganggu aktifitas masyarakat.
b.      Terganggunya aktifitas sehari-hari : gangguan asap akan mengurangi intensitas berada diluar ruangan, memaksa orang menggunakan masker yang dapat mengganggu aktifitas, kantor-kantor dan sekolah yang dihentikan atau libur karena tebalnya asap.
c.       Terganggunya kesehatan : secara umum asap akibat kebakaran hutan telah meningkatkan kasus infeksi saluran pernapasan atas, pneumonia dan sakit mata.
d.      Produktifitas menurun
  1. Dampak terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan
a.       Hilangnya sejumlah species : kebakaran hutan menghancurkan berbagai habitat satwa serta pohon-pohon dalam hutan.
b.      Ancaman erosi : Hilangnya margasatwa menyebabkan lahan terbuka sehingga mudah terjadi erosi dan tidak dapat lagi menahan banjir.
c.       Menurunnya devisa negara : turunnya produktifitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro yang pada akhirnya mempengaruhi perekonomian negara.
d.      Pemanasan global : transbounday haze pollution juga menyebabkan terjadinya perubahan komposisi gas rumah kaca di atmosfier, yaitu meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca secara global yang berakibat pada peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi, yang kemudian dikenal dengan pemanasan global. Pemanasan global ini pada akhirnya membawa dampak terjadinya perubahan iklim yang mempengaruhi kehidupan di bumi. Pemanasan global sangat erat kaitannya dengan iklim yang menjadi panas secara perlahan tapi pasti dalam jangka waktu yang cukup panjang yang akan mengubah dunia menjadi daerah yang terlalu panas untuk didiami. Dalam kaitan tersebut, terkaitlah peran dari suatu fenomena alam yang disebut dengan efek rumah kaca. Perubahan komposisi gas rumah kaca di atmosfer lebih banyak disebabkan oleh aktifitas manusia seperti pembakaran hutan secara luas sehingga meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca secara global yang berakibat pada peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi atau pemanasan global.
Lapisan ozon merupakan tameng yang melindungi bumi dari radiasai sinar ultraviolet yang merusak. Penipisan lapisan ozon disebabkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia sebagai perusak lapisan ozon dan gas karbondioksida yang dapat berasal dari hasil proses pembakaran seperti kebakaran hutan.
Dengan demikian kebakaran hutan yang secara luas menyebabkan pemanasan global dan meningkatnya suhu bumi merupakan ancaman yang sangat serius bagi keselamatan lingkungan hidup dan kehidupan manusia. Salah satu dampak dari pemanasan global ini adalah penipisan lapisan ozon. Dimana lapisan ozon ini memiliki ultra violet yang dipancarkan oleh matahari. Rusaknya lapisan ozon ini mengakibatkan kerusakan-kerusakan bagi kehidupan di bumi.
  1. Dampak terhadap perhubungan dan pariwisata: asap tebal juga mengganggu transportasi khsusunya udara. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sering terdengar sebuah pesawat tidak bisa turun di suatu tempat karena tebalnya asap. Sudah tentu hal ini akan mengganggu bisnis pariwisata karena keengganan orang untuk beradap di tempat yang dipenuhi asap. Sementara pada transportasi darat dan lau terjadp beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda.
Kebakaran hutan yang mengakibatkan pencemaan udara disinyalir juga memberikan tiga ancaman strategis, kompleks dan melintasi batas-batas teritorial negara berupa penipisan lapisan ozon, berkurangnya oksidasi atmosfer serta pemanasan global. Ketiganya mempunyai daya untuk mengubah dan mengganggu peran keseimbangan atmosfer yang penting dalam sistem ekologi global.[11]

B.     BILL OF TRANS-BOUNDARY HAZE POLLUTION SINGAPURA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMERINTAH INDONESIA
              Singapura membuat pernyataan lingkungan berani dengan melewati UU Polusi Asap Lintas Batas, sehingga pelanggaran bagi setiap entitas Singapura atau non-Singapura bagi yang menyebabkan atau memberikan kontribusi untuk trans- polusi asap batas di Singapura. Perusahaan atau individu yang memberikan dampak polusi dapat didenda sampai $ 100.000 per hari, atau maksimum $ 2 juta, untuk meningkatkan polusi Singapura ke tingkat yang tidak sehat.
              Menurut Haze Action ASEAN, kebakaran di tanah gambut adalah penyumbang utama kabut polusi di kawasan, yang merupakan rumah bagi 60 persen dari lahan gambut tropis dunia (Indonesia memiliki hampir 70 persen). Dr.Vivian Balakrishnan, Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura, mengatakan, "Polusi Trans-batas kabut telah menjadi masalah abadi di wilayah tersebut selama dua atau lebih dekade terakhir. Akar masalah ini adalah kepentingan komersial sejajar di mana perusahaan membakar hutan dan terlibat dalam degradasi berkelanjutan lahan untuk memaksimalkan keuntungan jangka pendek. Sementara undang-undang ini merupakan langkah ke arah yang benar, itu bukan peluru perak. Ini  hanyalah salah satu dari batu tulis langkah-langkah yang harus kita tempuh untuk mengatasi kabut lintas batas yang telah menjangkiti wilayah kami selama bertahun-tahun.
              Perjanjian ASEAN mengenai Polusi Asap Lintas Batas diadopsi pada bulan Juni 2002, namun kabut ekstrim berlanjut ke wilayah tersebut. 2013 merupakan tahun rekor untuk kabut dan polusi udara, dengan PSI (Pollutant Standards Index) mencapai lebih dari 400 di beberapa daerah. Pemerintah Singapura mendefinisikan tingkat 300 dan lebih sebagai "berbahaya."
              Undang-undang Singapura tentang kabut asap lintas batas bisa memberi sanksi tegas bagi korporasi kejahatan lingkungan di luar yuridiksi Singapura. UU itu dinilai bisa merugikan Indonesia. Direktur Walhi Riau, Riko Kurniawan, mengatakan bahwa jika Singapura bisa mengadili perusahaanya yang membakar lahan di Indonesia, merekalah yang mendapat keuntungan, padahal kerusakannya terjadi  di Indonesia. Nantinya denda para perusahaan akan masuk ke negara Singapura. Menurut Riko hal itu harus dinegosiasikan, karena aturan tersebut sangat merugikan Indonesia.
              Progresifnya, hukum Singapura terhadap yuridiksi di Indonesia menandakan lemahnya penegakan hukum dalam menyelesaikan kejahatan lingkungan di Indonesia. Berbeda halnya dengan UU Kabut Asap lintas Batas Singapura, yang dapat mengejar para pelaku di negara lain, bahkan bukan hanya perusahaan, pelaku yang mempunyai saham di perusahaan saja bisa diadili oleh negaranya.
              Sebelumnya, pengamat hukum lingkungan Universitas Tarumanagara, Deni Bram, mengatakan kebijakan tersebut merupakan langkah frustasi Singapura terhadap keseriusan Indonesia dalam menanggulangi pencemaran asap. Deni menilai Undang-undang Kabut Asap Lintas Batas Singapura, masih lebih tinggi dari persetujuan pencemaran Asap Lintas Batas ASEAN. Namun, ia mengingatkan agar Indonesia membicarakan persoalan itu kepada Singapura.
              Hal itu ditempuh agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan, antara persetujuan pencemaran asap ASEAN dan Undang-undang kabut asap lintas batas Singapura.
1)      Alasan Indonesia Belum Meratifikasi ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP)
Negara-negara ASEAN kesulitan untuk membantu Indoensia mengatasi kebakaran hutan karena Indonesia sendiri belum meratifikasi kesepakatan tersebut. Menurut beberapa pihak, ratifikasi ini terhambat oleh faktor politik karena parlemen Indonesia yang punya mewenang melakukan ratifikasi tersebut, ternyata minta soal perjanjian kabut asap ini dikaitkan dengan masalah lingkungan yang lain, yaitu agar undang undang itu juga dikaitkan dengan ilegal logging dan pengiriman limbah beracun. Jadi sebenarnya kesepakatan ini dipandang sebagai adu strategi politik regional hingga DPR minta agar pemerintah untuk membicarakan isu isu lain dengan memanfaatkan traktar tersebut.
Selain itu, melalui upaya penanggulangan dengan merupakan perwujudan solidaritas ASEAN, Indonesia akan didesak secara perlahan untuk bersikap lebih tegas dalam penegakan hukumnya, bila meratifikasi AATHP tersebut. Memang dalam perjanjian itu tidak secara tegas dijelaskan hukuman apa yang bakal dijatuhkan kepada Indonesia jika hutannya terus terbakar dan melakukan ekspor asap. Tetapi dengan perjanjian tersebut, selain Indonesia mendapat bantuan teknis, negara ini juga bakal mendapatkan tekanan politis dari negara negara tetangga untuk lebih serius terhadap masalah kebakaran hutan tersebut.
Indonesia sedang menyelesaikan proses ratifikasi tersebut yang memerlukan tahapan prosedur cukup panjang sesuai ketentuan UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional pasal 10 yang menyebut bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan antara lain dengan  bidang lingkungan hidup.
Kini singapura telah membuat ketentuan mengenai Bill of Trans-boundary Haze Pollution, sebagai langkah untuk melindungi negaranya dari pencemaran udara dan kerugian-kerugian yang mungkin mengikutinya. Dimana ketentuan tentang pencemaran udara lintas batas tersebut bersifat extra-ordinary karena mampu menjerat pelaku diluar wilayah teritorial singapura. Indonesia sebagai negara yang dituju oleh ketentuan tersebut ternyata tidak menanggapi dengan serius untuk melakukan perjanjian dengan singapura dan melakukan ratifikasi terhadap ketentuan Bill of Trans-boundary Haze Pollution tersebut.
2)      Implikasi dari ketetuan Bill of Trans-boundary Haze Pollution terhadap pemerintah Indonesia.
Ketentuan Bill of Trans-boundary Haze Pollution yang bersifat extra-ordinary karena mampu menjerat pelaku diluar wilayah teritorial singapura tersebut, akan sangat berdampak negatif kepada indonesia sebagai negara yang paling banyak menyumbangkan polusi udara ke wilayah singapura. Singapura menentukan bahwa bagi setiap pelanggaran baik itu entitas Singapura atau non-Singapura bagi yang menyebabkan atau memberikan kontribusi untuk trans- polusi asap batas di Singapura. Perusahaan atau individu yang memberikan dampak polusi dapat didenda sampai $ 100.000 per hari, atau maksimum $ 2 juta, untuk meningkatkan polusi Singapura ke tingkat yang tidak sehat.
Selain itu, Direktur Global Program Kehutanan di World Resources Institute (WRI), Nigel Sizer, mengatakan undang-undang polusi asap lintas batas mengisyaratkan metode baru dalam melakukan bisnis bagi perusahaan dan pemerintah yang ingin mengurangi kebakaran hutan dan lahan gambut. Sizer juga menuturkan bahwa setiap perusahaan yang tertangkap secara ilegal membakar hutan akan diseret ke pengadilan Singapura dan reputasi mereka akan hancur bersamaan dengan itu, dimana pelanggan, bank dan asuransi akan menghindari melakukan bisnis dengan perusahaan-perusahaan ini.
Hal tersebut diatas, tentu mengancam perusahaan-perusahaan di Indonesia yang artinya juga mengancam prekonomian Indonesia. Pemerintah Indonesia sebagai salah satu subyek yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari ketentuan tersebut tentu harus melakukan langkah-langkah bijak untuk menyelesaikan masalah pencemaran udara lintas batas tersebut dengan tidak meninggalkan kerugian bagi perekonomian Indonesia terutama di daerah. 
Pemberlakuan ketentuan ini secara ketat oleh singapura tentu mengancam pemerintahan daerah yang paling banyak menyumbangkan polusi asap ke singapura terlebih lagi jika singapura memberlakukan hukum perdata dan pidana sekaligus dalam menanggulangi masalah polusi asap lintas batas. Di tambah lagi sanksi-sanksi yang mungkin di terima Indonesia dari ketentuan tersebut.
Penyelesaian sengket yang dilakukan dengan konsultasi dan negosiasi. Sebenarnya dalam hukum internasional terdapat banyak model penyelesaian sengketa internasional yang telah dikenal baik secara teori maupun praktek.[12]Hukum internasional selalu menganggap tujuan fundamentalnya adalah pemeliharaan perdamaian.[13] Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai tercantum dalam Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-sengketa Secara Damai yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2(3) Piagam PBB.[14] Berbagai aturan hukum internasional dapat dikemukakan prinsip-prinsip mengenai penyelesaian sengketa internasional seperti prinsip itikad baik, prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa, prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa, prinsip kesepakatan para pihak, dan prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan kemerdekaan dan integritas wilayah Negara-negara.[15] Jadi dalam hukum internasional pada umunya, dan kasus kebakaran hutan ini pada khususnya, penyelesaian sengketa terbaik adalah dengan jalur diplomatik secara langsung dan menghindari penggunaan acaman kekerasan.[16]
Indonesia sejak proklamasi Kemerdekaan 1945, sudah mengadakan interaksi dengan Negara maupun Organisasi Internasional, yang tunduk pada Hukum Internasional. Indonesia sudah terlibat dalam pembuatan berbagai Perjanjian Internasional. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana sikap Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, dan bagaimana Indonesia menerapkan Hukum Internasional, termasuk di dalamnya Perjanjian Internasional.
Permasalahan yang mungkin masih relevan untuk dibahas adalah bagaimana sikap Negara ketika terjadi pesinggungan atau perbenturan dan bahkan pertentangan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Hal ini mungkin terjadi dalam penerapan Perjanjian Internasional di ranah Hukum Nasional. Apakah Negara akan mengutamakan Hukum Internasional atau Hukum Nasional?. Permasalahan pengutamaan dapat diselesaikan dengan menggunakan paham (teori) dalam hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Dikenal ada dua paham yaitu dualisme dan monisme.
Menurut paham dualisme Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hakekat Hukum Internasional berbeda dengan Hukum Nasional. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang benar-benar terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Namun secara logika paham dualisme akan mengutamakan Hukum Nasional dan mengabaikan Hukum Internasiona
Berdasarkan paham monisme Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan bagian yang saling berkaitan dari satu sistem hukum pada umumnya. Pengutamaan mungkin pada Hukum Nasional atau Hukum Internasional. Menurut faham monisme dengan pengutamaan pada Hukum Nasional, Hukum Internasional merupakan kelanjutan Hukum Nasional. Hukum Internasional merupakan Hukum Nasional untuk urusan luar negeri, paham ini cenderung mengabaikan Hukum Internasional.
Berdasarkan paham monisme dengan pengutamaan pada Hukum Internasional, Hukum Nasional secara hirarkis lebih rendah dibandingkan dengan Hukum Internasional. Hukum Nasional tunduk pada Hukum Internasional dalam arti Hukum Nasional harus sesuai dengan Hukum Internasional.
Masalah berikutnya yang perlu diperhatikan adalah bagaimanakah penerapan Hukum Internasional dalam ranah Hukum Nasional Indonesia. Mengenai hal ini ada beberapa teori yang dikenal dalam Hukum Internasional, yaitu teori transformasi, delegasi, dan inkorporasi.
Menurut teori inkorporasi Hukum Internasional dapat diterapkan dalam Hukum Nasional secara otomatis tanpa adopsi khusus. Hukum Internasional dianggap sudah menyatu ke dalam Hukum Nasional. Teori ini berlaku untuk penerapan Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Internasional universal.
Dalam penerapan Hukum Internasional, yang bersumber dari Perjanjian Internasional ada dua teori, yaitu teori transformasi dan teori delegasi. Berdasarkan teori transformasi, Hukum Internasional yang bersumber dari Perjanjian Internasional dapat diterapkan di dalam Hukum Nasional apabila sudah dijelmakan (ditransformasi) ke dalam Hukum Nasional, secara formal dan substantif. Teori transformasi mendasarkan diri pada pendapat pandangan positivis, bahwa aturan-aturan Hukum Internasional tidak dapat secara langsung dan “ex proprio vigore” diterapkan dalam Hukum Nasional. Demikian juga sebaliknya. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan sistem hukum yang benar-benar terpisah, dan secara struktur merupakan sistem hukum yang berbeda. Untuk dapat diterapkan ke dalam Hukum Nasional perlu proses adopsi khusus atau inkorporasi khusus.
Menurut teori delegasi, aturan-aturan konstitusional Hukum Internasional mendelegasikan kepada masing-masing konstitusi Negara, hak untuk menentukan:
1. kapan ketentuan Perjanjian Internasional berlaku dalam Hukum Nasional;
2. cara bagaimana ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan Hukum Nasional.


Cukup sulit menetapkan teori apa yang digunakan Indonesia. Indonesia tidak secara tegas-tegas menganut dualisme atau monisme. Dan tidak secara tegas-tegas pula menggunakan teori transformasi, delegasi, atau inkorporasi. Namun dalam kasus Bill of Trans-boundary Haze Pollution ini, dapat dilihat bahwa Indonesia secara tidak langsung menganut dualisme dan teori tranformasi, dimana dalam memberlakukan hukum-hukum internasional atau perjanjian-perjanjian internasional ke dalam hukum nasional harus melalui ratifikasi terlebih dahulu.









BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dalam hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara yang bersangkutan merugikan Negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Bila dilihat, sebenarnya Indonesia telah melakukan segala upaya yang mampu dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi polusi asap akibat kebakaran hutan..
Undang-undang polusi asap lintas batas singapura mengisyaratkan metode baru dalam melakukan bisnis bagi perusahaan dan pemerintah yang ingin mengurangi kebakaran hutan dan lahan gambut. Selain itu, setiap perusahaan yang tertangkap secara ilegal membakar hutan akan diseret ke pengadilan Singapura dan reputasi mereka akan hancur bersamaan dengan itu, dimana pelanggan, bank dan asuransi akan menghindari melakukan bisnis dengan perusahaan-perusahaan ini.
Hal tersebut diatas, tentu mengancam perusahaan-perusahaan di Indonesia yang artinya juga mengancam prekonomian Indonesia. Pemerintah Indonesia sebagai salah satu subyek yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari ketentuan tersebut tentu harus melakukan langkah-langkah bijak untuk menyelesaikan masalah pencemaran udara lintas batas tersebut dengan tidak meninggalkan kerugian bagi perekonomian Indonesia terutama di daerah. 
Pemberlakuan ketentuan ini secara ketat oleh singapura tentu mengancam pemerintahan daerah yang paling banyak menyumbangkan polusi asap ke singapura terlebih lagi jika singapura memberlakukan hukum perdata dan pidana sekaligus dalam menanggulangi masalah polusi asap lintas batas. Di tambah lagi sanksi-sanksi yang mungkin di terima Indonesia dari ketentuan tersebut.
Dalam kasus Bill of Trans-boundary Haze Pollution ini, dapat dilihat bahwa Indonesia secara tidak langsung menganut dualisme dan teori tranformasi, dimana dalam memberlakukan hukum-hukum internasional atau perjanjian-perjanjian internasional ke dalam hukum nasional harus melalui ratifikasi terlebih dahulu.

B.     SARAN
Dalam meyelesaikan kasus pencemaran asap lintas batas antara singapura dan Indonesia, agar menggunakan langkah-langkah diplomatis yang memberikan win-win solution kepada kedua negara.




[1] Forward to ASEAN Secretariat, ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution (1997)
[2] Regional Haze Action Plan, ASEAN (Dec. 1997) (diakses pada tanggal 20 Maret 2008) terdapat dalam situs http://www.aseansec.org/function/pa_haze.html.
[3] Badan Penanggulangan Kabut Asap ini ikut mengambil bagian pada saat kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 1998, sedangkan Badan Penelitian mengambil lokasi di Kalimantan dan Riau sebagai pusat penelitian. Lihat Joint Press Statement, Third ASEAN Ministerial Meeting on Haze, para. 8, ASEAN (diakses 20Maret 2008) terdapat dalam situs <http:// www.aseansec.org/function/prhaze3.htm>.
[4] ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, Art. 29.
[5]Negara yang melakukan persetujuan meliputi seluruh negara anggota ASEAN. Sampai dengan Agustus 2005 tercatat yang telah melakukan ratifikasi adalah : (i) Brunei Darussalam tanggal 27 February 2003; (ii) Laos tanggal 19 Desember 2004; (iii) Malaysia tanggal 3 Desember 2002; (iv) Myanmar tanggal 5 Maret 2004; (v) Singapura tanggal 13 Januari 2003; (vi) Thailand tanggal 10 September 2003; (vii) Vietnam tanggal 24 Maret 2003. Lihat ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, June 10, 2002, terdapat dalam situs http://www.aseansec.org/pdf/agr_haze.

[6]Peraturan tersebut tercantum dalam Peraturan Daerah Riau dan Peraturan Daerah Kotawaringin Barat. Lihat Deni Bram, “Kebijakan Pengelolaan Hutan Belum Proekologi”, Media Indonesia (1 September 2007): 7. Lihat pula Perda Karhutla Picu Kebakaran Hutan, Suara Pembaruan Daily 29/6/07
[7]Menurut Lawrence M Friedman suatu sistem hukum dapat berjalan optimal apabila ditunjang oleh Struktur, Substansi dan Budaya Hukum di dalamnya. Substansi diartikan sebagai aturan, norma dan pola perilaku nyata dalam sebuah sistem hukum. Lihat Lawrence M Friedman, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Tatanusa, Jakarta, 2001, hlm. 7.
[9] F. Gunarwan Suratmo, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, hlm.101

[10] ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 2002
[11] Suparto Wijoyo, Hukum Lingkungan : Mengenal Instrumen Hukum Pengendalian Pencemaran Udara di Indonesia, Surabaya, Airlangga University Press, 2004, hlm.3

[12] Andreas Pramudianto, Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Lingkungan Internasional, 2009
[13] Malcom Shaw, International Law, Sixth Editon, Cambridge University Press, 2008, hlm.1010
[14] Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni 2001, hlm.186
[15] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.15-18
[16] Peret Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, Routledge, 1997, hlm.275