
Konsep persatuan “Bhinneka Tunggal Ika” sejatinya telah lahir lebih
dulu, jauh sebelum Negara Republik Indonesia menjadi dewasa. Adalah Empu
Tantular orang yang pertama kali menuliskan sesanti atau semboyan Bhinneka
Tunggal Ika dalam kakawin Sutasoma,
disana tertulis “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa,” yang
artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua”.
Semboyan “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa”
merupakan prinsip kerajaan Majapahit yang kemudian oleh raja Hayam Wuruk
(Maharaja Sri Rajasanagara) digunakan untuk mengantisipasi keanekaragaman agama
yang dipeluk rakyat Majapahit pada masa itu. Hal tersebut dibuktikan dengan
kerjasama yang baik antara Hayam Wuruk yang beragama Hindu dengan Patihnya
Gajah Mada yang beragama Buddha.
Dengan demikian semboyan Bhinneka Tunggal Ika bagi Indonesia merupakan
dasar untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia, meskipun Indonesia
memiliki keberagaman suku, agama, budaya, ras dan kehidupan sosial. Untuk itulah pada tahun 1951, pemerintah
Indonesia menetapkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan resmi Negara
Republik Indonesia.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951, pemerintah telah
menegaskan bahwa sejak tanggal 17 Agustus 1950, Bhinneka Tuggal Ika resmi
menjadi semboyan Negara Republik Indonesia yang terdapat pada lambang burung
garuda yang menengok ke sebelah kanan, mengalungkan perisai berupa jantung yang
digantung dengan rantai sambil mencengkram pita yang bertuliskan “BHINNEKA
TUNGGAL IKA”
Pada perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 konsep persatuan itu juga dituangkan dalam pasal 36A yang berbunyi “
Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika”.
Sejarah singkat semboyan Bhinneka Tunggal Ika di atas semestinya dapat
mengingatkan kita akan arti pentingnya persatuan dan kesatuan. Beberapa bulan
belakangan kondisi politik bangsa Indonesia sedang memanas, hal ini menyebebkan
tumbuhnya benih-benih perpecahan di tengah masyarakat sebagai konsekuensi logis
dari demokratisasi dan pertarungan politik.
Keberagaman Indonesia sudah seharusnya dikelola dengan baik sebagaimana
Hayam Wuruk mengelola keberagaman Majapahit. Isu SARA yang kemudian muncul
kepermukaan semestinya dapat dihindari jika saja sikap tolerasi selalu
dikedepankan.
Sikap toleransi dalam kehidupan beragama sebenarnya sudah diajarkan
pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bahkan sejak duduk di kelas VII
SMP/MTs. Disebutkan bahwa beberapa
perilaku yang perlu diwujudkan ditengan keberagaman agama di Indonesia antara
lain, tidak mencela dan merendahkan agama umat agama lain, mengamalkan ajaran
agama masing-masing sebaik-baiknya, dan sikap-sikap toleransi lainnya.
Pelajaran bertoleransi menjadi penting untuk dipikirkan kembali sebagai
upaya menciptakan tatanan bernegara yang kondusif. Hal ini penting, belajar
dari kasus seorang kepala daerah yang dianggap tidak dapat memahami bagaimana
cara bertoleransi, hanya karena ingin kembali duduk sebagai kepala daerah,
seorang figur yang dihormati dan menjadi contoh bagi masnyarakat secara
terang-terangan telah menggunakan kitab agama umat lain yang bukan agamanya
sebagai khotbah politik yang berujung pada vonis dua tahun penjara akibat kasus
penodaan agama.
Kasus ini kemudian melebar menjadi benturan antar suku, etnis, ras, dan
golongan. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja, implikasinya sudah
nyata terlihat, kedatangan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah hari sabtu tanggal 13
Mei 2017 ke Manado Sulawesi Utara, mendapat penolakan. Ribuan orang mendatangi
Bandara Sam Ratulangi Manado untuk mencari Fahri Hamzah dengan cara menjebol pagar pembatas bandara kemudian
merangsek masuk ke dalam bandara yang seharusnya steril. Diantara massa tersebut
ada yang menggunakan pakaian adat dan membawa senjata tajam.
Simbol-simbol kesukuan dan agama sebaiknya tidak ditonjolkan ketika
melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai moral dan kepatututan, karena
dapat menjurus kepada konflik antar suku, agama dan golongan yang semakin luas.
Belum lagi isu-isu yang sedang viral dimedia sosial, saling serang
dengan mengangkat hal-hal yang berbau kesukuan, etnis, agama dan golongan
menjadi suguhan rutin diberanda facebook. Sebuah akun facebook dengan nama Andi
Setiono Mangoenprasodjo mengunggah tulisan yang dianggap merendahkan suku Sasak
dan daerah Lombok juga menjadi viral dan sampai dilaporkan ke polisi.
Kasus-kasus semacam inilah yang, dapat menyulut perpecahan dalam masyarakat.
Tentu kita tidak ingin mengulang sejarah perpecahan antar masyarakat
akibat isu SARA seperti di Ambon, Poso, Maluku dan tempat-tempat lainya. Rasa
sukuisme, bela agama dan cinta budaya adalah hal yang wajar ada. Faktor
terjadinya konflik semacam itu tidak hanya diakibatkan oleh doktrin agama
semata melaikan ada foktor non agama justru memiliki peran yang lebih besar, sepert;
kesenjangan ekonomi, kepentingan politik, perbedaan nilai sosial budaya, kemajuan
teknologi informasi dan transportasi.
Oleh karena itu,
konsep-konsep persatuan seperti Bhinneka Tunggal Ika harus kembali ditamankan
dengan benar, sehingga benar-benar mengakar dalam keperibadian masyarakat
Indonesia yang plural. Sikap toleransi dalam keberagaman Agama, Etnis, Suku,
Ras, Budaya dan Kehidupan Sosial harus dikedepankan dan kembali merajut persatuan dalam bingkai “BHINNEKA
TUNGGAL IKA”.