
Faktor yang menyebabkan terjadinya
suatu pergerakan pun demikian, memiliki bebagai faktor seperti faktor sosial,
faktor ekonomi, faktor politik, faktor agama dan lain sebagainya. Dalam sejarah
pergerakan nasional faktor-faktor tersebut dapat dikategorikan menjadi 2 (dua),
yaitu faktor yang berasal dari luar
negeri (Ekternal) dan Faktor yang berasal dari dalam negeri (Internal).
Faktor eksternal sebelum Indonesia
mardeka tentu berbeda dengan faktor eksternal pada saat Indonesia telah
mardeka, walaupun sebenarnya Indonesia saat ini masih terjajah secara ekonomi
dan politik. pada waktu itu (sebelum Indonesia mardeka) pada umumnya
bangsa-bangsa di Asia sedang menghadapi imperialisme Barat sehingga mendorong
bangkitnya rasa nasionalisme dan melahirkan pergerakan-pergerakan melawan
imprialisme.
Dari sisi
faktor internal, pergerakan muncul karena rasa tidak puas terhadap kebijakan
pemerintah, rasa ketidakadilan yang diterima, kemiskinan, penjajahan disamping
itu juga lahirnya cendikiawan-cendikiawan yang menginginkan kemardekaan dan
lain-lain. Dengan demikian muncul organisasi seperti Budi Utomo, Serikat Islam,
Muhammadiayah atau berbagai organisasi lainnya, dengan tujuan pergerakan yang berbeda-beda
satu sama lainnya.
Pertanyaan
yang kemudian perlu dijawab adalah apakah pergerakan harus dilakukan dengan
perlawanan. Mungkinkah pergerakan dilakukan tanpa perlawanan. Jawabannya tentu
sangat tergantung pada tujuan dan waktu pergerakan itu lahir. jika tujuannya
adalah kemardekaan, keluar dari penindasan, merebut keadilan yang tidak
diberikan. Maka pergerakan itu mesti dengan perlawanan. Akan tetapi, jika
tujuan pergerakan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan,
memurnikan ajaran agama agar sesaui dengan al-quran dan al-hadist sebagaimna
yang dilakukan oleh muhammadiayah tentu tak perlu melalui jalur perlawanan.
Sama halnya
dengan istilah “pergerakan”, istilah “perlawanan” atau “melawan” meiliki
dimensi yang luas, tergantung pada sudut pandang masing-masing. Meskipun
demikian kata “perlawanan” atau “melawan” identik dengan pertentangan (lihat
KBBI). Istilah perlawanan menggambarkan
proses atau cara (cara atau proses bisa bermacam-macam) sedangkan istilah
melawan menggambarkan tujuan (tujuannya satu yaitu menang) karena dalam KBBI
melawan diartikan sebagai tindakan menghadapi (berperang, bertinju, bergulat, dan sebagainya), menentang.
melawan diartikan sebagai tindakan menghadapi (berperang, bertinju, bergulat, dan sebagainya), menentang.
***
“Pergerakan
bukan hanya dengan perlawanan”, statment
ini lahir dari pemikiran bahwa pergerakan bukan semata-mata muncul dari konflik
kepentingan antara yang superoir dengan inferior. Dimana yang inferoir selalu
menjadi tokoh yang melakukan perlawanan. Dalam lingkaran sejarah memang
pergerakan lahir sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan sosial. Namun, saat
ini apakah pergerakan itu hanya sebatas perlawanan ataukah memiliki bentuk dan
cara yang lebih variatif.
Berangkat
dari pertanyaan tersebut, saya ingin mengatakan bahwa pergerakan sejatinya
memiliki tujuan perubahan, ntah melalui perlawanan atau tidak. Pergerakan yang
mencari jalan keluar melalui perlawanan adalah sah-sah saja dan suatu tindakan
yang luar biasa selama tujuannya adalah kebaikan, ketertiban, dan
kesejahteraan. Pergerakan yang dilakukan dengan jalan yang lebih lembut seperti
membentuk dan menjalankan organisasi dengan program-program tertentu dalam
rangka mencapi kebaikan, ketertiban dan kesejahteraan pun tidak ada salahnya.
Analogi yang
mengatakan menyulap sebidang tanah yang penuh semak belukar menjadi sebuah
taman, berarti kita harus “menebas” atau mungkin “membakar” agar tak ada lagi
semak belukar yang menggagu dan tercapailah tujuan memiliki taman yang indah
adalah sah-sah saja. Namun, jika analoginya adalah sebidang tanah yang tak
memiliki semak belukar namun tanah itu hanya gersang, maka mungkin kita tak
perlu “parang” atau “api”, melainkan cukup
dengan air untuk menyiram lalu menanam berbagai jenis tanaman yang bisa
bermanfaat.
Pertanyaannya
apakah menyiram tidak membutuhkan perjuangan? Jawabannya tentu saja butuh
perjuangan. Apakah butuh perlawanan? Mungkin saja, jika perlawanan ditafsirkan
dalam dimensi ”usaha” atau ‘upaya” untuk menyiram, kita perlu melawan kemalasan
kita untuk menyiram.
Kata
“melawan” harus diposisikan dalam kondisi yang lebih kontekstual seperti
melawan penjajahan, melawan kesewenang-wenangan, melawan ketidak-adilan
termasuk melawan tuan tanah yang tidak adil terhadap petani. Sedangkan untuk
kondisi-kondisi dimana tidak ada pertentangan yang riil maka saya lebih menggunakan
istilah “usaha” atau “upaya”, istilah itu adalah lebih kontekstual. Misalnya seperti
memperjuangkan (jika “pergerakan” diidentikkan dengan “perjuangan”) cinta
seorang wanita, dimana ayah wanita itu menolak memberikan restunya. Lalu apakah
perjuangan yang kita lakukan harus dengan perlawanan. Tentu tidak, mungkin kita
perlu usaha yang lebih untuk meyakinkan ayahnya.
Jika kata
“melawan” diletakkan pada ranah yang tidak kontekstual, maka kita akan terus
menerus menjadi musuh bagi diri kita sendiri. Jadi perjuangan tidak hanya
dilakukan dengan melawan. Sangat tergantung pada konteks dan kontektualitasnya.
Semoga
tulisan ini bisa mengisi khazanah pemahaman tentang pergerakan, perjuangan,
perlawanan dan melawan diantara banyaknya pemahaman kita yang beraneka ragam.