Jumat, 25 November 2016

PERGERAKAN BUKAN HANYA DENGAN PERLAWANAN



Kata “Pergerakan” merupakan representatif dari perjuangan yang dilakukan oleh kelompok orang atau organisasi menuju arah perbaikan hajat hidup yang lebih baik disebabkan rasa ketidakpuasan terhadap keadaan masyarakat yang ada. Namun, sesungguhnya istilah pergerakan mengandung arti yang sangat luas. Meliputi gerakan dalam baerbagai sektor seperti sosial, ekonomi, pendidikan, agama, budaya, dan sebagainya.
Faktor yang menyebabkan terjadinya suatu pergerakan pun demikian, memiliki bebagai faktor seperti faktor sosial, faktor ekonomi, faktor politik, faktor agama dan lain sebagainya. Dalam sejarah pergerakan nasional faktor-faktor tersebut dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu faktor  yang berasal dari luar negeri (Ekternal) dan Faktor yang berasal dari dalam negeri (Internal).
Faktor eksternal sebelum Indonesia mardeka tentu berbeda dengan faktor eksternal pada saat Indonesia telah mardeka, walaupun sebenarnya Indonesia saat ini masih terjajah secara ekonomi dan politik. pada waktu itu (sebelum Indonesia mardeka) pada umumnya bangsa-bangsa di Asia sedang menghadapi imperialisme Barat sehingga mendorong bangkitnya rasa nasionalisme dan melahirkan pergerakan-pergerakan melawan imprialisme.
Dari sisi faktor internal, pergerakan muncul karena rasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah, rasa ketidakadilan yang diterima, kemiskinan, penjajahan disamping itu juga lahirnya cendikiawan-cendikiawan yang menginginkan kemardekaan dan lain-lain. Dengan demikian muncul organisasi seperti Budi Utomo, Serikat Islam, Muhammadiayah atau berbagai organisasi lainnya, dengan tujuan pergerakan yang berbeda-beda satu sama lainnya.

Pertanyaan yang kemudian perlu dijawab adalah apakah pergerakan harus dilakukan dengan perlawanan. Mungkinkah pergerakan dilakukan tanpa perlawanan. Jawabannya tentu sangat tergantung pada tujuan dan waktu pergerakan itu lahir. jika tujuannya adalah kemardekaan, keluar dari penindasan, merebut keadilan yang tidak diberikan. Maka pergerakan itu mesti dengan perlawanan. Akan tetapi, jika tujuan pergerakan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, memurnikan ajaran agama agar sesaui dengan al-quran dan al-hadist sebagaimna yang dilakukan oleh muhammadiayah tentu tak perlu melalui jalur perlawanan.

Sama halnya dengan istilah “pergerakan”, istilah “perlawanan” atau “melawan” meiliki dimensi yang luas, tergantung pada sudut pandang masing-masing. Meskipun demikian kata “perlawanan” atau “melawan” identik dengan pertentangan (lihat KBBI). Istilah perlawanan  menggambarkan proses atau cara (cara atau proses bisa bermacam-macam) sedangkan istilah melawan menggambarkan tujuan (tujuannya satu yaitu menang) karena dalam KBBI
melawan diartikan sebagai tindakan menghadapi (berperang, bertinju, bergulat, dan sebagainya), menentang.

***
“Pergerakan bukan hanya dengan perlawanan”, statment ini lahir dari pemikiran bahwa pergerakan bukan semata-mata muncul dari konflik kepentingan antara yang superoir dengan inferior. Dimana yang inferoir selalu menjadi tokoh yang melakukan perlawanan. Dalam lingkaran sejarah memang pergerakan lahir sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan sosial. Namun, saat ini apakah pergerakan itu hanya sebatas perlawanan ataukah memiliki bentuk dan cara yang lebih variatif.

Berangkat dari pertanyaan tersebut, saya ingin mengatakan bahwa pergerakan sejatinya memiliki tujuan perubahan, ntah melalui perlawanan atau tidak. Pergerakan yang mencari jalan keluar melalui perlawanan adalah sah-sah saja dan suatu tindakan yang luar biasa selama tujuannya adalah kebaikan, ketertiban, dan kesejahteraan. Pergerakan yang dilakukan dengan jalan yang lebih lembut seperti membentuk dan menjalankan organisasi dengan program-program tertentu dalam rangka mencapi kebaikan, ketertiban dan kesejahteraan pun tidak ada salahnya.

Analogi yang mengatakan menyulap sebidang tanah yang penuh semak belukar menjadi sebuah taman, berarti kita harus “menebas” atau mungkin “membakar” agar tak ada lagi semak belukar yang menggagu dan tercapailah tujuan memiliki taman yang indah adalah sah-sah saja. Namun, jika analoginya adalah sebidang tanah yang tak memiliki semak belukar namun tanah itu hanya gersang, maka mungkin kita tak perlu “parang” atau “api”, melainkan  cukup dengan air untuk menyiram lalu menanam berbagai jenis tanaman yang bisa bermanfaat.

Pertanyaannya apakah menyiram tidak membutuhkan perjuangan? Jawabannya tentu saja butuh perjuangan. Apakah butuh perlawanan? Mungkin saja, jika perlawanan ditafsirkan dalam dimensi ”usaha” atau ‘upaya” untuk menyiram, kita perlu melawan kemalasan kita untuk menyiram.

Kata “melawan” harus diposisikan dalam kondisi yang lebih kontekstual seperti melawan penjajahan, melawan kesewenang-wenangan, melawan ketidak-adilan termasuk melawan tuan tanah yang tidak adil terhadap petani. Sedangkan untuk kondisi-kondisi dimana tidak ada pertentangan yang riil maka saya lebih menggunakan istilah “usaha” atau “upaya”, istilah itu adalah lebih kontekstual. Misalnya seperti memperjuangkan (jika “pergerakan” diidentikkan dengan “perjuangan”) cinta seorang wanita, dimana ayah wanita itu menolak memberikan restunya. Lalu apakah perjuangan yang kita lakukan harus dengan perlawanan. Tentu tidak, mungkin kita perlu usaha yang lebih untuk meyakinkan ayahnya.

Jika kata “melawan” diletakkan pada ranah yang tidak kontekstual, maka kita akan terus menerus menjadi musuh bagi diri kita sendiri. Jadi perjuangan tidak hanya dilakukan dengan melawan. Sangat tergantung pada konteks dan kontektualitasnya.

Semoga tulisan ini bisa mengisi khazanah pemahaman tentang pergerakan, perjuangan, perlawanan dan melawan diantara banyaknya pemahaman kita yang beraneka ragam.






Jumat, 11 November 2016

PENDIDIKAN AGAMA SEBAGAI PENDIDIKAN MORAL

Jika kita mempertanyakan mengapa kita secara terus menerus mengkaji dan membicarakan mengenai pendidikan tentu itu karena pendidikan merupakan suatu hal yang aksiomatis dari waktu ke waktu. Ia merupakan dogma suci yang diterima sebagai sesatu yang benar dan mapan, yang akan membawa kepada perubahan-perubahan besar, seperti ketertiban  dan peradaban baru.
Kepercayaan dan keyakinan bahwa pendidikan akan mampu membawa seseorang ke jalan terbaik dalam hidup dan kehidupannya memunculkan sesuatu yang disebut oleh dunia barat sebagai school, education, atau lyceum ala aristoteles. Sedangkan di timur melahirkan madrasah, pondok pesantren, majelis ta’lim dan berbagai institusi pendidikan baik formal maupun non fomal.
Pendidikan merupakan suatu alat yang selama ini digunakan untuk mencetak orang-orang terdidik dan pendidik yang handal. Harapan besar yang digantungkan kapada dunia pendidikan seolah menjadi cita- cita agung yang harus diwujudkan. Ada yang berpendapat bahwa pendidikan sejatinya tidak hanya bicara soal nilai. Pendidikan sesungguhnya hadir untuk mencerahkan. Pendidikan menjadi pelita ditengah gelapnya kebodohan. Pendidikan menjadi pelita menuntun pada jalan terang, menjadi lebih baik, menjadi makin bermanfaat, dan bermartabat. (Lombok Post, Selasa 3/5/2016)
Pendidikan sebagai tools memiliki berbagai macam bentuk baik formal maupun non formal, negeri maupun swasta. Ada yang menyebutnya sebagai “sekolah” atau “kampus”, ada pula yang menamainya sebagai “madrasah” atau “pesanten” tempat dimana orang yang terdidik dilatih dan dibina menjadi pribadi yang berbudi luhur dan berakhlakul karimah.  
Dalam sejarah, kata “pendidikan” disinyalir berasal dari istilah “pedagogi” (paedagogie, bahasa latin) yang berarti pendidikan. Pedagogia berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu paedos yang berarti “anak” dan agoge yang berarti “saya membimbing”  atau “memimpin anak”. Sedangkan paedagogos adalah istilah yang digunakan untuk menyebut seorang pelayan atau pemuda yang bertugas mengantar dan menjemput  anak-anak (siswa) ke sekolah. Kata paedagogos yang semula berkonotasi rendah (pelayan, pembantu), kemudian digunakan sebagai nama pekerjaan mulia, yaitu paedagoog (pendidik, ahli didik, guru). (teguh wangsa Gandhi W., 2013;62).
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003, memberikan pengertian pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia.
Pendidikan, diyakini oleh K.H. Ahmad Dahlan sebagai salah satu cara efektif untuk  memperbaiki akhlak dan perilaku setiap manusia, bahkan manusia yang paling jahat  sekalipun, dapat diperbaiki dengan cara memberikannya pendidikan agama, serta pendidikan  tentang perilaku yang baik.
K.H. Ahmad Dahlan berpandangan bahwa keadaan masyarakat yang menyedihkan  secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya akibat penjajahan dan kehidupan agama yang  kurang sesuai dengan Qur’an dan Hadits menyebabkan sikap yang fatalistik dan statis, yaitu  menerima keadaan buruk dan penderitaan sebagai pemberian. Bagi orang yang taat agama, kembali pada ajaran Qur’an  dan Hadits diyakini sebagai cara membangun kembali jati diri (self identity) dan kepercayaan  diri, keberanian untuk berjuang melawan kemungkaran (penindasan) serta mempunyai  kemauan untuk membangun kebaikan (kemerdekaan) (Sodiq A. Kuntoro, 2006:138).
Kondisi tersebut di atas yang melatarbelakangi pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan. K.H. Ahmad Dahlan adalah pelopor pendidikan Islam yang memadukan  antara pendidikan agama dan ilmu pengetahuan umum. Dalam pendidikan Muhammadiyah,  dua sisi kebutuhan dasar hidup manusia, kebutuhan material dan spiritual berusaha  dikembangkan secara harmonis (Sodiq A. Kuntoro, 2006:135)
Dunia pendidikan di Indonesia saat ini, memang sedang mengalami distorsi dan disparitas dari yang seharusnya. Oleh karena itu, dunia pendidikan perlu dikoreksi agar menjadi lebih baik dan tak mengulang sejarah yang tidak baik di masa lalu. Dengan demikian, generasi baru dapat tumbuh menjadi generasi yang terdidik sekaligus bermoral.
Baru-baru ini, seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) membunuh dosennya sendiri karena motif dendam. Ini membuktikan tidak adanya jalinan kerjasama yang baik antara pendidik dan anak didik. Seorang pendidik hendaknya mengayomi, memberi teladan, memberi bimbingan dan dorongan sebagaimana semboyan pendidikan yang ditanamkan Kihajar Dewantara “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani”, “Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan”. Pun demikian dengan anak didik, hendaknya ia menghormati dan memuliakan ahli didiknya agar mendapat ilmu yang berkah sebagaimana yang telah di ajarkan dalam pendidikan agama.
Ada juga berita yang tak kalah menyedihkan, sekelompok remaja yang tega memperkosa seorang anak perempuan berumur 14 tahun, tak hanya memperkosa meraka juga membunuh gadis kecil itu. Hal ini dilatarbelakangi minuman keras yang mereka konsumsi sebelumnya dan kegemaran mereka menonton video porno. Degradasi moral yang terjadi di kalangan generasi muda saat ini adalah konsekuensi logis dari kurangnya penanaman nilai-nilai agama dan moral di keluarga dan di sekolah. Pasalnya pelajaran moral dan agama hanya dikecap selama 2 jam saja setiap minggunya di sekolah. Sedangkan di rumah, orang tua acuh tak acuh terhadap pendidikan agama anak-anaknya.
Pendidikan agama sebagai pendidikan moral adalah langkah tepat untuk menamkan kembali nilai-nilai spiritual keagamaan yang kian lama kian terkikis oleh bebasnya arus globalisasi. Pendidikan agama hendaknya di tanamkan sejak kecil, melalui unit-unit terkecil dari negara yaitu keluarga, basis dimana generasi penerus bangsa di cetak. Baru kemudian di tanamkan pada institusi-institusi pendidikan, tempat dimana generasi penerus bangsa di didik. Dengan demikian, pendidikan agama yang diberikan secara continue akan mampu melahirkan generasi-generasi yang berbudi luhur dan berkarakter ahlakul kharimah. Harapannya, kejadian-kejadian yang a moral yang dilakukan oleh anak usia sekolah tidak lagi terulang di masa yang akan datang.
Para negeri imperium (penjajah) tentu tidak bisa dikatakan sebagai negeri yang tidak terdidik. Dari negeri merekalah muncul alat-alat atau teknologi yang canggih, namun itu semua tak mampu menghentikan mereka untuk tidak menjajah. Maka terdidik bukan persoalan pengetahuan semata melainkan masalah pandangan yang benar tentang hidup dan kehidupan. Pendidikan agama mengajarkan kepada kita bagaimana bersikap yang seharusnya kepada tuhan dan kepada sesama manusia, mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang universal. Oleh karena itu, pendidikan agama berarti juga pendidikan moral.