Senin, 15 September 2014

Keunggulan Dan Kelemahan Penggunaan Teori Formil Dalam Pembentukan Produk Hukum

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
             Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 sengcara tegas dinyatakan, bahwa negara republik Indonesia adalah negara hukum. Ein Rechtstaat, a State based on Law, a State governed by Law. Itu berarti, hukum bukanlah produk yang dibentuk oleh lembaga-lembaga tinggi negara saja melainkan juga yang mendasari dan mengarahkan tindakan-tindakan lembaga-lembaga negara tersebut. hukum adalah dasar dan pemberi petunjuk bagi semua kegiatan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.[1]
              Menurut Prof Muchsan, Indonesia yang merupakan negara hukum bergerak dinamis, peranan produk-produk hukum pemerintah sangat dominan karena hukum berperan sebagai panglima. Cara membuat produk hukum yang baik ialah yang bersifat populis artinya berpihak kepada kepentingan rakyat. Suatu produk hukum yang baik tentunya akan berlaku dengan baik artinya daya ikat dan kepatuhan masyarakat terhadap produk hukum itu sangat tinggi dan tahan lama.  Menurut Rick Dickerson seorang sarjana Inggris dalam bukunya “Legal Drafting Theory”, menyebutkan bahwa syarat hukum yang baik terdiri dari 3 (tiga) hal yaitu : 1) Tuntas mengatur permasalahan; 2) Sedikit mungkin memuat delegasi perundang-undangan; dan 3) Tidak memuat ketentuan pasal yang bersifat elastis atau fleksibel (pasal karet)
              Masyarakat sebagai obyek dari produk hukum yang dibuat oleh aparat, tentulah harus memahami betul peraturan-peraturan apa yang mengatur hidupnya sehari-hari. Namun kenyataannya banyak sekali masyarakat kita yang masih belum memahami apa yang disebut dengan produk hukum, apa saja produk-produk hukum yang dibuat oleh pemerintah, syarat-syarat agar suatu produk hukum dikatakan sebagai produk hukum yang baik, kapan dan dalam hal apa suatu keputusan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi serta bentuk produk hukum seperti apa yang ideal dan dapat mengakomodir keinginan seluruh masyarakat dan diwujudkan dalam suatu produk hukum tertulis.
              Sebelum memasuki tahapan yuridis, proses pembentukan suatu peraturan harus sudah melalui tahapan sosio/politis secara final. Disanalah kita akan dapat memahami bahwa suatu peraturan itu sesungguhnya lahir melalui suatu proses yang membutuhkan waktu yang cukup panjang. Dari proses ini pula akhirnya dapat diprediksikan, seperti norma yang akan lahir ketika peraturan itu dibuat, terutama mengenai substansi dari norma-norma hukum terebut.[2]
              Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman bahwa komponen sistem hukum meliputi 3 hal, yaitu: 1). Strukur; 2). Substansi dan; 3). Kultur hukum (budaya hukum). Dimana diantara ketiganya harus berjalan beriringan yaitu struktur harus kuat, kredibel, akuntabel dan capabel. Substansi harus selaras dengan rasa keadailan masyarakat sedang budaya hukumnya harus mendukung tegaknya hukum jika salah satunya timpang, mustahil hukum bisa ditegakkan.
              Menyangkut substansi, terdapat sebuah teori yang dikemukakan oleh  Rick Dickerson dalam bukunya “Legal Drafting Theory”, dimana dalam pembentukan produk hukum di Indonesia teori ini seringkali tidak tercermin dalam berbagai produk hukum di Indonesia. Oleh karena itu, penyusun tertarik membahas lebih dalam mengenai teori formil tersebut.

B.     Rumusan Masalah
                Berdasarkan uraian di atas, penyusun bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut “Keunggulan Dan Kelemahan Penggunaan Teori Formil Dalam Pembentukan Produk Hukum” ?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Metode Pembuatan Produk Hukum Yang Baik (Legal Drafting Theory)
              Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat suatu produk hukum, yaitu: isi, bentuk dan filosofi yang mendasari produk hukum itu dibuat. Untuk menjawab semua persoalan itu, terdapat 3 teori yang relevan untuk dijadikan pedoman dalam membentuk suatu produk hukum agar produk hukum yang dihasilkan menjadi produk hukum yang baik. Adapun ketiga teori tersebut, yakni:[3]
1.              Teori Materiil
           Teori ini disampaikan oleh Leopold Pospil, seorang sarjana dari Amerika Latin yang menyatakan dalam bukunya “Anthropologycal of Law” bahwa hukum dimanapun terpecah menjadi 2, yaitu:
a.    Authoritarian Law
           Yakni hukum dari penguasa. Contoh dari hukum ini adalah peraturan perudang-undangan dan peraturan tertulis lainnya.



b.    Common Law
           Yakni hukum yang dibuat atau tercipta dari masyarakat sendiri (hukum yang hidup di dalam masyarakat). Contoh dari hukum ini adalah hukum adat atau hukum yang tidak tertulis
             
              Kedua kelompok hukum di atas, masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Dimana keunggulan dan kelemahan tersebut berbanding terbalik. Keunggulan dan kelemahan tersebut adalah sebagaimana berikut:
a.       Authoritarian Law
Ø  Keunggulannya:
1)  Kepastian hukum tinggi
2)  Daya paksa tinggi (disertai sanksi yang jelas)
Ø  Kekurangannya:
1)  Bersifat statis (tidak berubah meski masyarakat berkembang)
2)  Keadilan yang obyektif sulit diwujudkan
b.      Common Law
Ø  Kekurangannya:
1)      Kepastian hukum rendah (tidak konsisten)
2)      Daya paksa rendah
Ø  Kelebihannya:
1)   Bersifat dinamis
2)   Obyektifitas keadilan mudah diwujudkan, sebab ukurannya adalah kacamata masyarakat

              Dari teori materil tersebut pospisil mengambil sebuah kesimpulan yaitu : Hukum yang baik adalah hukum yang materinya sebanyak mungkin diambil dari hukum tidak tertulis (common law) namun menggunakan wadah hukum tertulis (authoritarian law).

2.              Teori Formil
            Disampaikan oleh Rick Dickerson seorang sarjana Inggris dalam bukunya “Legal Drafting Theory”, menyebutkan bahwa syarat hukum yang baik adalah:[4]
a.    Tuntas mengatur permasalahan
           KUHP dan BW dianggap baik karena ia tuntas menyelesaikan permasalahan masyrakat.
b.    Sedikit mungkin memuat delegasi perundang-undangan
           Sebagai contoh pendelegasian Perda tentang parkir motor yang nominal tarifnya didelegasikan kepada bupati harus dihilangkan, sebab ini wewenang DPRD.
c.    Tidak memuat ketentuan pasal yang bersifat elastis atau fleksibel (pasal karet)
           Contoh pasal karet adalah pasal yang mempunyai ketidak jelasan makna, sebagai contoh kewenangan pemerintah Pusat dalam Undang-Undang meliputi kerjasama Internasional (Diplomasi), Hankam, keuangan dan Agama. Pasal seperti ini menimbulkan pengertian bahwa pasal-pasal di luar itu merupakan kewenangan di luar pemerintah pusat, atau mungkin kemudian dianggap sebagai kewenangan pemerintah daerah.

3.              Teori Filsafat
           Teori ini disampaikan oleh Jeremy Bentham (USA) pada bukunya “Legal Theory”, yang menyebutkan bahwa syarat hukum yang baik jika ia memenuhi 3 sifat berlaku:
a.    Berlaku secara filosofis
           Produk hukum harus mencerminkan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
b.    Berlaku secara sosiologis
           Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.
c.    Berlaku secara yuridis
           Hukum diibaratkan sebagai tombak yang memiliki dua ujung runcing, yaitu adil dan benar. Adil adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban. Benar adalah kecocokan antara peraturan dan perbuatan. Apabila adil dan benar bertemu, maka disebut dengan damai.
              Jika suatu keputusan atau produk hukum dibuat dengan mengacu pada salah satu metode pembuatan produk hukum diatas, maka pastilah keputusan atau produk hukum yang diciptakan dapat mengakomodasi segala kebutuhan masyarakat, sehingga tujuan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur dapat terwujud.


B.     Keunggulan Dan Kelemahan Penggunaan Teori Formil Dalam Pembentukan Produk Hukum 
                Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman bahwa komponen sistem hukum meliputi 3 hal, yaitu: 1). Strukur; 2). Substansi dan; 3). Kultur hukum (budaya hukum). Dimana diantara ketiganya harus berjalan beriringan yaitu struktur harus kuat, kredibel, akuntabel dan capabel. Substansi harus selaras dengan rasa keadailan masyarakat sedang budaya hukumnya harus mendukung tegaknya hukum jika salah satunya timpang, mustahil hukum bisa ditegakkan.  
              Substansi suatu produk hukum yang dibuat juga ikut menentukan apakah produk hukum yang dibentuk baik atau tidak secara keseluruhan. Teori formil yang di kemukakan oleh Rick Dickerson telah menentukan syarat-syarat agar substansi dari produk hukum yang dibentuk menjadi produk hukum yang baik, yaitu : 1) Tuntas mengatur permasalahan; 2) Sedikit mungkin memuat delegasi perundang-undangan; dan 3) Tidak memuat ketentuan pasal yang bersifat elastis atau fleksibel (pasal karet).
              Kelebihan dari penggunaan teori formil dalam pembentukan produk hukum adalah:
1.      Dengan  mengatur secara tuntas permasalahan yang ada, maka tidak akan terjadi kekosongan hukum dikemudian hari.
2.      Dengan sedikit mungkin memuat delegasi perundang-undangan, akan menghindarkan terjadinya tumpang tindih kewenangan dalam menjalankan produk hukum tersebut.
3.      Dengan tidak memuat ketentuan pasal yang bersifat elastis atau pasal karet, maka produk hukum yang dibuat memiliki daya ikat yang kuat, tidak menimbulkan mutitafsir dan menhindarkan penyalahgunaan ketentuan yang bersifat elastis tersebut.
             
              Sedangkan kekurangan dari teori formil ini adalah bahwa teori formil ini berdiri sendiri artinya teori ini hanya mementingkan substansi atau isi dari produk hukum yang dibentuk saja, teori ini tidak memperhatikan bentuk produk hukum yang dibuat sehingga kepastian hukum dan kekuatan mengikatnya akan ditentukan oleh bentuk dari produk hukum tersebut.
              Menurut Lon Fuller, ada 8 prinsip legalitas yang harus diikuti dalam membuat hukum meliputi :[5]
1.      Harus ada peraturannya terlebih dahulu;
2.      Peraturan itu harus diumumkan;
3.      Peraturan itu tidak boleh berlaku surut;
4.      Perumusan peraturan harus dapat dimengerti oleh rakyat;
5.      Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin;
6.      Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain;
7.      Peraturan harus tetap dan tidak boleh sering diubah-ubah;
8.      Harus terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dengan peraturan yang telah dibuat.
                 
              Oleh karena itu, dalam membentuk suatu produk hukum harus memperhatikan berbagai aspek baik dalam proses pembentukan, perumusan substansi, hingga bentuk produk hukum yang akan dibentuk. Sebab produk hukum merupakan salah satu alat negara untuk mencapai tujuan yang telah di cita-citakan.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
              Kelebihan dari penggunaan teori formil dalam pembentukan produk hukum adalah:
1.      Dengan  mengatur secara tuntas permasalahan yang ada, maka tidak akan terjadi kekosongan hukum dikemudian hari.
2.      Dengan sedikit mungkin memuat delegasi perundang-undangan, akan menghindarkan terjadinya tumpang tindih kewenangan dalam menjalankan produk hukum tersebut.
3.      Dengan tidak memuat ketentuan pasal yang bersifat elastis atau pasal karet, maka produk hukum yang dibuat memiliki daya ikat yang kuat, tidak menimbulkan mutitafsir dan menhindarkan penyalahgunaan ketentuan yang bersifat elastis tersebut.

              Sedangkan kekurangan dari teori formil ini adalah bahwa teori formil ini berdiri sendiri artinya teori ini hanya mementingkan substansi atau isi dari produk hukum yang dibentuk saja, teori ini tidak memperhatikan bentuk produk hukum yang dibuat sehingga kepastian hukum dan kekuatan mengikatnya akan ditentukan oleh bentuk dari produk hukum tersebut.


B.     Saran
                    dalam membentuk suatu produk hukum harus memperhatikan berbagai aspek baik dalam proses pembentukan, perumusan substansi, hingga bentuk produk hukum yang akan dibentuk




[1] Esmi Wirasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sisologis, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010, hlm. 35

[2] Esmi Wirasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sisologis, Op.Cit., hlm. 41
[3] Disampaikan oleh Prof. Muchsan dalam  Perkuliahan Politik Hukum Magister Hukum UGM, (Yogyakarta. Jum’at 8 November 2013)

[4] Disampaikan oleh Prof. Muchsan dalam  Perkuliahan Politik Hukum Magister Hukum UGM, (Yogyakarta. Jum’at 15 November 2013)

[5] Lon Fuller, 1971, hlm 38-39, Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980, hlm 78 Dalam Esmi Wirasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sisologis, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010, hlm. 82

CONTOH PERATURAN DESA

PERATURAN DESA TURIDA  KECAMATAN SANDUBAYA
KOTA MATARAM

NOMOR 1 TAHUN 2013
TENTANG
MINUMAN KERAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA DESA TURIDA,


Menimbang        : a.   bahwa minuman keras pada hakekatnya dapat membahayakan kesehatan jasmani dan rohani, dapat mendorong terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta mengancam kehidupan masa depan generasi bangsa; 
                            b. bahwa peredaran dan penjualan serta pemakaian minuman keras sudah meresahkan masyarakat dan tidak sesuai dengan adat istiadat, maka perlu dilakukan penganturan terhadap peredaran dan penjualan serta pemakaian minuman keras;

                         c.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, maka perlu membentuk Peraturan Desa tentang Minuman Keras.




Mengingat       :     1.   Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang  Pembentukan Daerah-daerah  Tingkat  I  Bali,  Nusa  Tenggara  Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran  Negara  Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia   Nomor 1649);                       2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996  Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656);                              3.   Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004  Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)  sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008  Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia   Nomor 4844);                  4.   Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia   Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);                     5.   Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia   Tahun    2011   Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);                     6.   Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4424);                  7.   Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);                          8.   Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol;                       9.   Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Ketentuan Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor53/M-DAG/PER/12/2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Ketentuan Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol;                      10.    Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 359/MPP/Kep/10/1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Produksi, Impor, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol;                  11. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol di Daerah 

 Dengan Persetujuan Bersama


BADAN PERMUSYAWARATAN DESA TURIDA


dan

KEPALA DESA TURIDA


MEMUTUSKAN :



Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG MINUMAN KERAS


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
a.       Desa adalah desa-desa yang memiliki batas-batas wilayah yang sudah ditetapkan dan merupakan satu kesatuan dalam lingkup kekuasaan Kepala Desa Turida.
b.      Kota Mataram.
c.       Kepala Desa adalah Kepala Desa Turida;
d.      Masyarakat Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang berdomisili di desa.
e.       Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ;
f.       Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disebut BPD adalah  Lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa ;
g.      Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat berdasarkan Persetujuan Bersama Badan Permusyawaratan Desa dan Kepala Desa
h.      Perangkat Desa yang selanjutnya disebut Perdes adalah orang-orang yang ditunjuk oleh kepala desa untuk melaksanakan tugas-tugas dalam rangka menjaga ketertiban dan keamanan desa.
i.        Minuman keras atau minuman beralkohol adalah semua benda cair yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah atau campuran keduanya yang mengandung alkohol atau ethanol yang diperuntukkan sebagai konsumsi manusia;
j.        Memproduksi adalah serangkaian kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas,dan atau mengubah bentuk menjadi minuman beralkohol;
k.      Mengedarkan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam  rangka penyaluran minuman beralkohol kepada masyarakat atau perorangan  baik untuk diperdagangkan maupun tidak;
l.        Memperdagangkan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan  dalam rangka penjualan atau pembelian minuman beralkohol termasuk  penawaran untuk menjual minuman beralkohol di warung kopi, rumah makan, kedai, kios, dan tempat-tempat lain di Lingkungan Desa serta  kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan tersebut dengan memperoleh imbalan atau tidak;
m.    Menyimpan adalah menyimpan minuman beralkohol di gudang, warung kopi, rumah makan, kedai, kios, dan tempat-tempat lain di Lingkungan Desa;
n.      Menyediakan atau menyuguhkan adalah menyediakan atau  menyuguhkan minuman beralkohol untuk dibeli atau dinikmati oleh seseorang  atau lebih;
o.      Meminum adalah meminum minuman beralkohol di warung kopi, rumah makan, kedai, kios, dan tempat-tempat lain di Lingkungan Desa;



BAB II
LARANGAN

Pasal 2

Setiap orang atau badan hukum / badan usaha dilarang memproduksi, mengedarkan, memperdagangkan, menyimpan, menyediakan, atau meminum minuman beralkohol di Desa Turida.

Pasal 3

Dalam rangka menegakkan amar makruf nahi mungkar dan untuk menghindari  pelanggaran terhadap agama, adat istiadat, dan budaya di Desa Turida, seluruh masyarakat desa dilarang untuk memproduksi, mengedarkan, memperdagangkan, menyimpan, menyediakan, atau meminum minuman beralkohol di Desa Turida.



BAB III
PENGAWASAN

Pasal 4

(1)   Kepada Desa dan BPD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan larangan  sebagaimana  dimaksud pada Pasal 2 dan 3.
(2)   Untuk mengawasi peredaran minuman beralkohol, Kepada Desa dan BPD dibantu oleh Perangkat Desa.
(3)   Perangkat Desa wajib melaporkan kepada Kepada Desa dan BPD apabila ditemukan adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 dan 3.
(4)   Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dengan Surat Keputusan Kepala Desa dan BPD.


BAB IV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 5

(1)   Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 akan dikenakan sanksi adat berupa denda serendah-rendahnya Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) atau dilimpahkan kepihak kepolisian untuk diperoses sesuai hukum yang berlaku;
(2)   Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 akan dikenakan sanksi adat berupa denda serendah-rendahnya Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan atau hukuman cambuk sebanyak 20 kali.
(3)   Hukuman cambuk sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dilakukan di kantor Kepala Desa.
(4)   Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) akan kan dimasukkan ke dalam Kas Desa.
(5)   Terhadap barang-barang / benda-benda yang digunakan untuk memproduksi, mengedarkan dan menyimpan minuman beralkohol  dirampas untuk negara  guna dimusnahkan.
(6)   Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) yang  dilakukan belum berselang 1 (satu) tahun dari hukuman yang sudah dijatuhkan, maka hukumannya dapat  ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 6

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2, bila dilakukan oleh badan hukum / badan usaha, maka hukumannya dijatuhkan  kepada penanggung jawab.







BAB V
KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 7

(1)   Selain pejabat penyidik sebagaimana ditentukan oleh aturan perundang-undangan penyidikan juga dapat dilakukan oleh Perangkat Desa Turida yang ditetapkan oleh Pemerintahan Desa.
(2)   Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.       Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan atas pelanggaran Perdes agar keterangan atau laporan tersebut lebih lengkap dan jelas. 
b.      Meminta keterangan dan/atau barang bukti dari orang pribadi atas terjadinya pelanggaran Perdes.

(3)   Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan  dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Kepala Desa dan BPD.



BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 8

Kata-kata “setiap orang” yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) adalah orang di luar Masyarakat Desa.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 13

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Desa ini sepanjang mengenai  peraturan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Desa.

Pasal 14

Peraturan Desa ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Desa ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kota Mataram.



 Ditetapkan di : Turida
 Pada tanggal  : 04 Desember 2013

     KEPALA DESA TURIDA,

                       ttd
KHAIRUL UMAM, S.H., M.H.

                                                                                  
Diundangkan di Mataram
pada tanggal 04 Desember 2013


SEKRETARIS DESA TURIDA
 KECAMATAN SANDUBAYA
         KOTA MATARAM,

 ttd

      UMAM AL FATIH, S.Ag.



BERITA DAERAH KOTA MATARAM TAHUN 2013 NOMOR 1