Senin, 31 Maret 2014

MENANAM BENIH ANTI KORUPSI LEWAT PENDIDIKAN TINGGI HUKUM

MENANAM BENIH ANTI KORUPSI
LEWAT PENDIDIKAN TINGGI HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

              Sejak rechtshogeschool (pendidikan tinggi hukum) pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda maka pendidikan hukum mengalami pergulatan hebat sepanjang sejarah perkembangannya. Institusi pendidikan hukum sebagai garda terdepan dalam menyelami hakikat dan makna hukum tidak sejalan dengan sistem hukum yang berkembang, pasalnya pendidikan hukum selama ini di tempatkan pada posisi yang berdiri sendiri bukan sebagai bagian dan subsistem hukum.
              Menurut Lawrence M. Friedman komponen sistem hukum meliputi 3 hal, yaitu: 1). Strukur; 2). Substansi dan; 3). Kultur hukum (budaya hukum). Dimana diantara ketiganya harus berjalan beriringan yaitu struktur harus kuat, substansi harus selaras dengan rasa keadailan masyarakat sedang budaya hukumnya harus mendukung tegaknya hukum, jika salah satunya timpang mustahil hukum bisa ditegakkan. Oleh Prof. Sajtipto Rahardjo ditambahkan satu lagi komponen sistem hukum yang tidak kalah penting yaitu pendidikan tinggi hukum.[1] Dari pendidikan tinggi hukum inilah diharapkan pembangunan hukum yang sejatinya akan melahirkan budaya hukum dan sistem hukum yang baik bagi Indonesia dapat terwujud.
              Semangat pembangunan hukum lebih ia tekankan melalui lembaga pendidikan pendidikan tinggi hukum yang di isi oleh para ilmuan yang diharapkan mampu menyelaraskan kembali hukum dan lingkungan sebagaimana dalam sebuah tulisannya Sajtipto Rahardjo mengatakan bahwa:[2]
         “Sejak hukum itu dijarah oleh banjir rasionalisme dan rasionalisasi, maka ia menjadi institusi yang terisolasi dan asing…maka menjadi tugas para ilmuwannya untuk mengutuhkan kembali hukum, menyatukan kembali hukum dengan lingkungan, alam dan orde kehidupan yang lebih besar.”

              Lembaga pendidikan pendidikan tinggi hukum memang merupakan tempat yang tepat untuk menyemai bibit-bibit unggul, untuk disebar dan ditanam pada institusi-institusi hukun dan non hukum. Dari idialisme yang ditanamkan pada mereka di perguruan tinggi mengenai cita hukum (rechtidee), budaya hukum, dan tujuan hukum yang sesungguhnya diharapkan mampu tetap dijaga dan disebarkan sehingga pemahaman tentang hukum tidak lagi setengah-setengah artinya bahwa nilai hukum yang sebenarnya akan menjadi sempurna apabila telah menjadi satu dengan budaya hukum di masyarakat.
              Bukan suatu hal yang berlebihan jika menjadikan pendidikan tinggi hukum sebagai ujung tombak pembangunan hukum di Indonesia. Dengan melihat kenyataan bahwa selama ini institusi pendidikan tinggi hukum telah menjadi gerbang utama pencetak ahli-ahli hukum yang profesional dan memiliki kredibilitas yang tinggi (high credibelity) seperti Prof Sajtipto Rahardjo, Prof. Dr. Mochtar Kusuma Atmadja dan banyak lagi para ahli hukum yang lahir dari pendidikan tinggi hukum yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Yang mana berkat sumbangan pemikiran dari mereka pembaharuan mengenai hukum dapat berjalan dan terus berlangsung.
              Namun selama ini, pendidikan tinggi hukum seringkali ditempatkan di luar sistem hukum yang ada, akibatnya kontribusi dan fungsi yang seharusnya dapat dicapai dalam pembangunan hukun di Indonesia tidak maksimal. Misalnkan dalam upaya pemberantasan korupsi dan tindakan-tindakan yang menyimpang dari ketentuan hukum lainnya dapat dicegah sedari awal, dengan menanmkan benih-benih anti korupsi dalam setiap jiwa para mahasiswa. Sebagaimana pandangan progresif memandang hukum sebagai sistem perilaku (systems of behavior) dan bagian dari moralitas sosial.
              Untuk itu, penulis tertatik untuk menyelami lebih dalam mengenai peran pendidikan tinggi hukum dalam upaya prefentif pembentuk karakter anti korupsi, dengan menelaah secara kritis perjalanan hukum yang ada di Indonesia dan merangkumnya menjadi sebuah pupuk progresif yang akan menyuburkan benih-benih anti korupsi dan meyemainya menjadi sebuah tindakan anti korupsi.

B.    Rumusan Masalah
               Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut:
1.     Bagaimanakah pendidikan hukum di Indonesia ?
2.     Menanam Benih Anti Korupsi Lewat Pendidikan Hukum ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Hukum di Indonesia
              Pendidikan hukum di Indonesia dewasa ini sebagian besar masih berkisar pada pemahaman dan analisis hukum secara dogmatis yang melihat hukum sebagai lembaga yang benar-benar otonom terlepas dengan hal-hal di luar peraturan. Hukum di lihat sebgai suatu sistem yang logis konsisten, ada kecendrungan untuk mengarahkan pendidikan hukum pada apa yang disebut vocational training. Arah pendidikan hukum yang demikian memang dapat mencetak tenaga-tenaga profesional di bidang hukum, tetapi bukan ilmuan hukum dalam arti sebenarnya sebagaimana yang dikatakan oleh Sajtipto Rahardjo yaitu ilmuwan yang mampu mengutuhkan kembali hukum, menyatukan kembali hukum dengan lingkungan, alam dan orde kehidupan yang lebih besar. Tentunya dalam pembangunan hukum di Indonesia dibutuhkan keduanya, tenaga-tenaga hukum yang profesional dan ilmuan yang handal.[3]
              Pendidikan hukum di Indonesia yang tertutup dari pandangan bahwa ada hal-hal dari luar yang mempengaruhi hukum selain peraturan selaras dengan apa yang disampaikan oleh Bagir Manan bahwa, struktur dan isi pendidikan hukum dari dahulu sampai sekarang sangat ditekankan pada sistimatik dan isi kaedah hukum. Sadar atau tidak sadar, keadaan tersebut menumbuhkan pola pikir bahwa sistem hukum tidak lain dari kumpulan tatanan aturan hukum tertulis dan tidak tertulis[4].
               Dengan demikian, harus disadari benar bahwa pemikiran tentang hukum, tidak lagi sebagai ajaran-ajaran hukum (rechtslehre) semata. Hukum harus mulai dikaji secara interdisipliner, karena memang hukum akan selalu menyatu dalam setiap sendi kehidupan masyarakat seperti politik, sosial budaya bahkan ekonomi. Sebagaiman sebuah adagium yang mengatakan bahwa dimana ada masyarakat disana ada hukum (ubi sociatas ibi ius).
              Mengenai hal ini Sinzheimer mengatakan bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang yang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan, ia selalu berada dan berhadapan dengan tatanan sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup[5]. Jadi, karena hukum mengatur banyak hal tentang kehidupan manusia sudah tentu membutuhkan kajian yang tidak hanya terbatas pada hukum sebagai sebuah undang-undang melainkan kajian hukum yang interdisipliner sebagai konsekuensi skin out sistem.
              Harus diakui, tawaran tersebut mungkin dianggap berlebihan untuk sebuah tradisi akademik yang melulu rechtsdogmatick. Sebab, sejak didominasi oleh alam pikiran positivisme yuridis, pemikiran hukum di dunia akademik di indonesia memang cenderung berhenti pada pada logika internal aturan formal. Orang hukum cenderung membaca hukum secara literatur menurut logika aturan yang sudah dibakukan.[6] Seolah ilmu hukum hanya merupakan aturan formal belaka yang tercermin dalam bentuk pasal-pasal.
                  Maka perlu adanya trobosan baru yang mampu mengakomodir segala kebutuhan mengenai ilmu hukum yang interdisipliner, untuk membentuk lulusan pendidikan hukum yang kompeten dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan hukum, tidak hanya dalam spesialisasi hukum yang di gelutinya saja tetapi juga hukum dalam arti yang kompleks.
             
B.    Menanam Benih Anti Korupsi Lewat Pendidikan Tinggi Hukum       
              Sejak Indonesia menyatakan kemardekaannya isu korupsi terus berhembus dan saat ini hasil pengumuman negara-negara korup yang dikeluarkan oleh Transparency International, sebuah organisasi internasional yang bertujuan untuk memerangi korupsi- pada tahun 2013 Indonesia tercatat sebagai negara terkorup ke-114 di dunia, memang posisi ini tidak terlalu buruk namun sampai kapan kita harus membiarkan korupsi terus menerus terjadi. Pemberantasan korupsi melalui lembaga peradilan dirasakan kurang efektif karena semakin lama semikin banyak saja orang-orang yang terjerat kasus korupsi ini membuktikan bahwa lembaga peradilan tidak cukup efektif untuk memberantas korupsi secara tuntas.
              Perlu ada sebuah langkah solutif yang harus segera dijalankan, guna meredam hasrat korupsi yang dimiliki oleh setiap orang. Korupsi di Indonesia memang ibarat pohon yang akarnya menghujam jauh ke pusat bumi, adalah sangat sulit untuk mencabut akar-akar yang sudah menyebar kemana-mana, dan bahkan akar-akar baru terus tumbuh. Cara terbaik untuk mematiakan akar-akar tersebut adalah dengan meracuninya dengan spiritualisme dan/atau memberikannya obat anti korupsi. Dan tempat terbaik untuk menanamkan kedua hal tersebut adalah pendidikan tinggi hukum.
              Pendidikan tinggi hukum di Indonesia memang telah terdoktrinisasi oleh paham legal-positivism sehingga logika berfikirnya adalah memberantas bukan mencegah. Prof. Sajtipto Rahardjo memandang hukum sebagai sistem perilaku (systems of behavior) dan bagian dari moralitas sosial. Ketaatan berhukum adalah sebuah behavior yang terbentuk dari sebuah proses panjang dari pemahamannya terhadap hukum.
              Memahami hukum secara holistik, bercermin dari kearifan filsafati barat dan spiritualisme timur dan lebih mementingkan hati nurani dari pada ego nalar manusia yang miskin keadilan adalah pokok ajaran dari hukum progresif yang selama ini telah ditamankan melalui pendidikan tinggi hukum di Indonesia oleh Prof. Sajtipto Rahardjo.
              Memberikan pemahaman mengenai anti korupsi jelas bukan cuma berkutat pada pemberian wawasan dan pemahaman pada mahasiswa. Tidak sekedar menghafal arti dari antikorupsi, Memberikan pemahaman mengenai antikorupsi tidak berhenti pada penanaman nilai-nilai. Lebih dari itu, pendidikan anti korupsi menyentuh pula ranah afektif dan psikomotorik.   Dokrin-doktrin kearifan dan spiritualisme yang di tanamkan lewat pendidikan tinggi hukum sebagai langkah menuju tindakan anti korupsi akan melahirkan sebuah sikap yang jujur dalam berhukum, ikhlas dalam beramal dan pengabdian yang tulus. Sehingga secara kodrati sikap, sifat dan tindakan anti korupsi akan tumbuh dan berkembang menjadi sebuah mental positif untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran.
              Akhirnya melalui institusi pendidikan tinggi hukum dapat memutus mata rantai korupsi yang telah mengakar jauh ke dalam semua aspek kehidupan manusia, seperti politik, ekonomi dan hukum.

           
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
              Hingga saat ini kebiasaan dan pemahaman hukum sebagai rechtsdogmatick masih terus berkembang di sebagian besar pendidikan tinggi hukum yang ada di Indonesia. Mahasiswa hanya dicekoki dengan pemahaman-pemahaman mengenai aturan legal-positivsm, sehingga yang terjadi adalah mahasiswa hanya menjadi mesin pembuat aturan bukan sebagai engineer yang memahami seluk beluk aturan yang di ciptakan, menyangkut nilai-nilai yang ada dibalik pasal-pasal tersebut dan juga ikut mengembangkan hukum melalui pemahaman hukum (legal doctrine) dan analisis hukum (analytical law) yang dimiliki.
              Dokrin-doktrin kearifan dan spiritualisme yang di tanamkan lewat pendidikan tinggi hukum sebagai langkah menuju tindakan anti korupsi akan melahirkan sebuah sikap yang jujur dalam berhukum, ikhlas dalam beramal dan pengabdian yang tulus. Sehingga secara kodrati sikap, sifat dan tindakan anti korupsi akan tumbuh dan berkembang menjadi sebuah mental positif untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran.
       


DAFTAR PUSTAKA

Manan, Bagir., “ Peranan Pendidikan Hukum dalam Pembangunan dan Penegakkan Hukum untuk Masa Depan Indonesia”, Makalah Disampaikan Pada Peresmian Digital Campus Univ. Pelita Harapan,  Jumat, 20 Pebruari 2004.
Rahardjo, Satjipto., “ Hukum Dalam Kerangka Ilmu-Ilmu Sosial Dan Budaya”, Dalam Majalah Ilmiah Masalah-Masalah Hukum, Nomor 1 tahun 1972.
________________., Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: UKI Press, 2006.
Tanya, Bernard L. Dkk., Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010
Wirasih, Esmi., Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sisologis, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010.





[1] Disampaikan oleh DR. Sulastriyono dalam  Perkuliahan Sosiologi Hukum Magister Hukum UGM, (Yogyakarta. Jum’at 4 Oktober 2013)
[2] Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: UKI Press, 2006, hlm.34-35.
[3] Dalam Esmi Wirasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sisologis, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010,  hlm. 141
[4] Prof. Bagir Manan, “ Peranan Pendidikan Hukum dalam Pembangunan dan Penegakkan Hukum untuk Masa Depan Indonesia”, Makalah Disampaikan Pada Peresmian Digital Campus Univ. Pelita Harapan,  Jumat, 20 Pebruari 2004, tanpa nomor  halaman
[5] Satjipto Rahardjo, “ Hukum Dalam Kerangka Ilmu-Ilmu Sosial Dan Budaya”, Dalam Majalah Ilmiah Masalah-Masalah Hukum, Nomor 1 tahun 1972, hlm. 23.
[6] Dalam Bernard L. Tanya, Dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010,

Selasa, 25 Maret 2014

Disesatkan Tuhan

Hidup memang adalah rahasia Allah, setiap orang hanya bisa menebak-nebak masa depan mereka dengan mencoba berbagai hal. salah satunya adalah mencoba peruntungan di dunia pendidikan,saat ini saya tercatat sebagai salah seorang mahasiswa Magister Hukum Angkatan 2013 di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, sebelumnya rencana saya adalah belajar pada progaram Magister Ilmu Hukum UGM dengan biaya dari DIKTI tepatnya BPPDN, untuk selanjutnya setelah lulus nanti saya akan kembali ke Almamater S1 saya Universitas Mataram sebagai seorang dosen. namun yang terjadi justru saya saat ini tersesat di program Magister Hukum UGM dengan rencana yang sama namun optimisme yang berbeda dan tentunya dengan biaya sendiri. sebenarnya keinginan saya untuk belajar pada progaram Magister Ilmu Hukum UGM dengan biaya dari DIKTI sudah saya raih SKnyapun sudah ada, akan tetapi inilah rahasia hidup yang masih saya pikirkan hingga saat ini. seakan-akan Allah menyesatkan saya ke jalan yang berbeda dari tujuan saya. dan pastinya saya tidak pernah menyalahkan Allah atas hal ini karena saya tahu dan yakin Allah akan memberikan yang terbaik bukan sekedar yang saya inginkan.