BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG

Sebagai
bentuk tindak lanjut dari maraknya kebakaran hutan khususnya di Asia Tenggara
dan dampak kabut asap yang dihasilkan, negara-negara yang tergabung dalam Association of South East Asian Nations
(ASEAN) mencoba untuk merumuskan suatu kebijakan terkait dengan penanggulangan
kebakaran hutan di Asia Tenggara. Pada pertemuan selanjutnya yang diadakan pada
Juni 1995, para menteri di negara-negara ASEAN sepakat untuk membuat rencana
kerjasama terhadap pencemaran transnasional (lintas batas).[1]
Usaha ini pun dilanjutkan kembali dengan membawa isu yang lebih spesifik, yaitu
penanggulangan dampak kabut asap melalui pernyataan para menteri yang terkait
masing-masing negara anggota ASEAN dalam Regional
Haze Action Plan.[2]
Sekali lagi action plan ini mencoba untuk menegaskan secara langsung mengenai
dampak kabut asap yang dapat mengganggu tidak hanya ekosistem yang ada,
melainkan juga makhluk hidup di dalamnya. Sebagai usaha untuk memanfaatkan
momentum yang ada, dalam rencana kerja ini langsung berusaha untuk membentuk
badan penanggulangan kabut asap dan lembaga penelitian pada tingkat regional
dan sub regional.[3]
Momentum
selanjutnya adalah pada usaha negara-negara anggota ASEAN untuk merumuskan
suatu panduan dan komitmen hukum secara bersama-sama yang dituangkan dalam
suatu perjanjian yang berjudul ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution (persetujuan ASEAN tentang pencemaran kabut asap lintas batas)
yang mengatur pendistribusian tanggung jawab dan penanganan pencemaran kabut
asap pada kawasan regional Asia Tenggara. Perjanjian ini ditandatangani oleh 10
negara peserta ASEAN pada Juni 2002, dan kemudian came into force pada
25 November 2003.[4] Setelah
tiga tahun berjalan, tujuh dari sepuluh negara penandatangan telah melakukan
ratifikasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang – undangan nasional
negara peserta setempat.[5]
Ironisnya,
setelah berjalan 9 tahun hingga kini Indonesia selaku aktor dan subjek utama
dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN
tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas) belum juga melakukan proses
ratifikasi. Keberadaan semangat tanggung jawab bersama yang diusung dalam ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang
Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas) sebenarnya dapat menjadi alasan untuk tidak
dibebankannya tanggung jawab kepada Indonesia. Namun, hal ini justeru berlaku
sebaliknya pada saat banyak peraturan perundang-undangan Indonesia yang
melanggar kebijakan zero burning policy.
Dalam
sistem otonomi sekarang ini, keberadaan kebijakan yang memberikan kewenangan
kepada daerah untuk dapat melakukan upaya pengelolaan lingkungan secara mandiri
terkadang memberikan dampak buruk. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan
beberapa peraturan daerah yang secara eksplisit memperbolehkan adanya praktek
pembakaran lahan dengan jumlah area tertentu bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau
Lahan.[6] Dalam
kondisi seperti itu, maka salah satu faktor yang mempengaruhi adanya kelemahan dari model command and
control di Indonesia dalam upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan
di Indonesia adalah tidak adanya konsistensi dari substansi yang terdapat dalam
suatu sistem hukum sebagaimana dikemukakan oleh Friedman.[7]
Baru-baru
ini, Parlemen Singapura telah memberlakukan peraturan yang mengatur tetang
Polusi Asap Lintas Batas (Bill of
Trans-boundary Haze Pollution), yang akan memungkinkan regulator untuk
menuntut individu atau perusahaan di negara-negara tetangga yang menyebabkan
polusi udara yang parah di Singapura melalui tebas bakar praktek pertanian.
Tindakan pertama kali diusulkan pada 2013 setelah kenaikan besar dalam jumlah
kebakaran hutan di provinsi Riau (Indonesia) menyebar asap ke Singapura,
menambah tingkat polusi di singapura. Direktur Global Program Kehutanan di World Resources Institute (WRI), Nigel
Sizer, mengatakan undang-undang polusi asap lintas batas mengisyaratkan metode
baru dalam melakukan bisnis bagi perusahaan dan pemerintah yang ingin
mengurangi kebakaran hutan dan lahan gambut. Sizer juga menuturkan bahwa setiap
perusahaan yang tertangkap secara ilegal membakar hutan akan diseret ke
pengadilan Singapura dan reputasi mereka akan hancur bersamaan dengan itu,
dimana pelanggan, bank dan asuransi akan menghindari melakukan bisnis dengan
perusahaan-perusahaan ini.[8]
Oleh
karena itu, perlu dilakukan elaborasi lebih jauh tetang bagaimana pengaruh Bill of Trans-boundary Haze Pollution
tersebut terhadap hukum nasional di Indonesia. Sehingga dapat ditarik sebuah
pemahaman mengapa indonesia belum mealukan ratifikasi terhadap
ketentuan-ketentuan internasional terkait dengan pencemaran udara lintas batas
tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas,
penyusun bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut: “Bagaimanakah
pengaruh Bill of Trans-boundary Haze Pollution
tersebut terhadap hukum nasional di Indonesia dan apakah implikasi yuridis yang
timbul dari ketetuan tersebut terhadap pemerintah Indonesia. ”
?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN TRANSBOUNDARY
HAZE POLLUTION
Pencemaran
udara diartikan sebagai adanya satu atau
lebih pencemar yang masuk ke dalam udara atmosfer yang terbuka, yang dapat
berbentuk sebagai debu, uap, gas, kabut, bau, asap, atau embun yang dicirikan
bentuk jumlahnya, sifat dan lamanya. [9]
Menurut rekomendasi OECD
tentang Principles Concerning Transfrontier Pollution 1974 merumuskan
pencemaran sebagai berikut : ”the introduction by man, directly or
indirectly, of substances or energy into the environment resulting in
deleterious effects of living resources and ecosystems, and impair or interfere
with amenities and other legitimate uses of the environment”.
Menurut rekomendasi dari ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution yang dimaksud dengan pencemaran
udara adalah : ”smoke resulting from land
and/or forest fire which causes deleterious effects of such a nature as to
endanger human health, harm living resources and ecosystems and material
property and impair or interfere with amenities and other legitimate uses of
the environment”.
Dalam
hal membicarakan masalah pencemaran lintas batas, khususnya pencemaran udara
dapat diartikan sebagai suatu gambaran yang menerangkan bahwa suatu pencemaran
yang terjadi dalam suatu wilayah negara akan tetapi dampak yang ditimbulkannya
oleh karena faktor media atmosfer atau biosfer melintas sampai ke wilayah
negara lain.
Atas
dasar pengertian diatas, pencemaran udara lintas batas adalah : Transboundary haze pollution” means haze pollution whose physical origin
is situated wholly or in part within the area under the national jurisdiction
of one Member State and which is transported into the area under the
jurisdiction of another Member State.[10]
Dengan demikian disimpulkan
bahwa yang dimaksud pencemaran lintas batas tersebut adalah pencemaran udara
yang berasal baik seluruh atau sebagian dari suatu negara yang menimbulkan
dampak dalam suatu wilayah yang berada dibawah jurisdiksi negara lain.
1)
Dampak dari transboundary haze
pollution :
- Dampak terhadap sosial,
budaya, dan ekonomi
a.
Hilangnya sejumlah mata
pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan : asap yang ditimbulkan dari
kebakaran tersebut mengganggu aktifitas masyarakat.
b.
Terganggunya aktifitas
sehari-hari : gangguan asap akan mengurangi intensitas berada diluar ruangan,
memaksa orang menggunakan masker yang dapat mengganggu aktifitas, kantor-kantor
dan sekolah yang dihentikan atau libur karena tebalnya asap.
c.
Terganggunya kesehatan
: secara umum asap akibat kebakaran hutan telah meningkatkan kasus infeksi
saluran pernapasan atas, pneumonia dan sakit mata.
d.
Produktifitas menurun
- Dampak terhadap ekologis
dan kerusakan lingkungan
a.
Hilangnya sejumlah
species : kebakaran hutan menghancurkan berbagai habitat satwa serta
pohon-pohon dalam hutan.
b.
Ancaman erosi :
Hilangnya margasatwa menyebabkan lahan terbuka sehingga mudah terjadi erosi dan
tidak dapat lagi menahan banjir.
c.
Menurunnya devisa
negara : turunnya produktifitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro
yang pada akhirnya mempengaruhi perekonomian negara.
d.
Pemanasan global :
transbounday haze pollution juga menyebabkan terjadinya perubahan komposisi gas
rumah kaca di atmosfier, yaitu meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca secara
global yang berakibat pada peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi, yang
kemudian dikenal dengan pemanasan global. Pemanasan global ini pada akhirnya
membawa dampak terjadinya perubahan iklim yang mempengaruhi kehidupan di bumi.
Pemanasan global sangat erat kaitannya dengan iklim yang menjadi panas secara
perlahan tapi pasti dalam jangka waktu yang cukup panjang yang akan mengubah
dunia menjadi daerah yang terlalu panas untuk didiami. Dalam kaitan tersebut,
terkaitlah peran dari suatu fenomena alam yang disebut dengan efek rumah kaca.
Perubahan komposisi gas rumah kaca di atmosfer lebih banyak disebabkan oleh
aktifitas manusia seperti pembakaran hutan secara luas sehingga meningkatkan
konsentrasi gas rumah kaca secara global yang berakibat pada peningkatan suhu
rata-rata permukaan bumi atau pemanasan global.
Lapisan
ozon merupakan tameng yang melindungi bumi dari radiasai sinar ultraviolet yang
merusak. Penipisan lapisan ozon disebabkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia
sebagai perusak lapisan ozon dan gas karbondioksida yang dapat berasal dari
hasil proses pembakaran seperti kebakaran hutan.
Dengan
demikian kebakaran hutan yang secara luas menyebabkan pemanasan global dan
meningkatnya suhu bumi merupakan ancaman yang sangat serius bagi keselamatan
lingkungan hidup dan kehidupan manusia. Salah satu dampak dari pemanasan global
ini adalah penipisan lapisan ozon. Dimana lapisan ozon ini memiliki ultra
violet yang dipancarkan oleh matahari. Rusaknya lapisan ozon ini mengakibatkan
kerusakan-kerusakan bagi kehidupan di bumi.
- Dampak terhadap
perhubungan dan pariwisata: asap tebal juga mengganggu transportasi
khsusunya udara. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus
penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sering terdengar sebuah
pesawat tidak bisa turun di suatu tempat karena tebalnya asap. Sudah tentu
hal ini akan mengganggu bisnis pariwisata karena keengganan orang untuk
beradap di tempat yang dipenuhi asap. Sementara pada transportasi darat
dan lau terjadp beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan
hilangnya nyawa dan harta benda.
Kebakaran
hutan yang mengakibatkan pencemaan udara disinyalir juga memberikan tiga
ancaman strategis, kompleks dan melintasi batas-batas teritorial negara berupa
penipisan lapisan ozon, berkurangnya oksidasi atmosfer serta pemanasan global.
Ketiganya mempunyai daya untuk mengubah dan mengganggu peran keseimbangan
atmosfer yang penting dalam sistem ekologi global.[11]
B.
BILL OF
TRANS-BOUNDARY HAZE POLLUTION SINGAPURA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMERINTAH INDONESIA
Singapura
membuat pernyataan lingkungan berani dengan melewati UU Polusi Asap Lintas
Batas, sehingga pelanggaran bagi setiap entitas Singapura atau non-Singapura
bagi yang menyebabkan atau memberikan kontribusi untuk trans- polusi asap batas
di Singapura. Perusahaan atau individu yang memberikan dampak polusi dapat
didenda sampai $ 100.000 per hari, atau maksimum $ 2 juta, untuk meningkatkan
polusi Singapura ke tingkat yang tidak sehat.
Menurut
Haze Action ASEAN, kebakaran di tanah gambut adalah penyumbang utama kabut
polusi di kawasan, yang merupakan rumah bagi 60 persen dari lahan gambut tropis
dunia (Indonesia memiliki hampir 70 persen). Dr.Vivian Balakrishnan, Menteri Lingkungan
dan Sumber Daya Air Singapura, mengatakan, "Polusi Trans-batas kabut telah
menjadi masalah abadi di wilayah tersebut selama dua atau lebih dekade
terakhir. Akar masalah ini adalah kepentingan komersial sejajar di mana
perusahaan membakar hutan dan terlibat dalam degradasi berkelanjutan lahan
untuk memaksimalkan keuntungan jangka pendek. Sementara undang-undang ini
merupakan langkah ke arah yang benar, itu bukan peluru perak. Ini hanyalah salah satu dari batu tulis
langkah-langkah yang harus kita tempuh untuk mengatasi kabut lintas batas yang
telah menjangkiti wilayah kami selama bertahun-tahun.
Perjanjian
ASEAN mengenai Polusi Asap Lintas Batas diadopsi pada bulan Juni 2002, namun
kabut ekstrim berlanjut ke wilayah tersebut. 2013 merupakan tahun rekor untuk
kabut dan polusi udara, dengan PSI (Pollutant Standards Index) mencapai lebih
dari 400 di beberapa daerah. Pemerintah Singapura mendefinisikan tingkat 300
dan lebih sebagai "berbahaya."
Undang-undang
Singapura tentang kabut asap lintas batas bisa memberi sanksi tegas bagi
korporasi kejahatan lingkungan di luar yuridiksi Singapura. UU itu dinilai bisa
merugikan Indonesia. Direktur Walhi Riau, Riko Kurniawan, mengatakan bahwa jika
Singapura bisa mengadili perusahaanya yang membakar lahan di Indonesia, merekalah
yang mendapat keuntungan, padahal kerusakannya terjadi di Indonesia. Nantinya denda para perusahaan
akan masuk ke negara Singapura. Menurut Riko hal itu harus dinegosiasikan, karena
aturan tersebut sangat merugikan Indonesia.
Progresifnya,
hukum Singapura terhadap yuridiksi di Indonesia menandakan lemahnya penegakan
hukum dalam menyelesaikan kejahatan lingkungan di Indonesia. Berbeda halnya
dengan UU Kabut Asap lintas Batas Singapura, yang dapat mengejar para pelaku di
negara lain, bahkan bukan hanya perusahaan, pelaku yang mempunyai saham di
perusahaan saja bisa diadili oleh negaranya.
Sebelumnya,
pengamat hukum lingkungan Universitas Tarumanagara, Deni Bram, mengatakan
kebijakan tersebut merupakan langkah frustasi Singapura terhadap keseriusan
Indonesia dalam menanggulangi pencemaran asap. Deni menilai Undang-undang Kabut
Asap Lintas Batas Singapura, masih lebih tinggi dari persetujuan pencemaran
Asap Lintas Batas ASEAN. Namun, ia mengingatkan agar Indonesia membicarakan
persoalan itu kepada Singapura.
Hal
itu ditempuh agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan, antara persetujuan
pencemaran asap ASEAN dan Undang-undang kabut asap lintas batas Singapura.
1)
Alasan Indonesia Belum
Meratifikasi ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP)
Negara-negara
ASEAN kesulitan untuk membantu Indoensia mengatasi kebakaran hutan karena
Indonesia sendiri belum meratifikasi kesepakatan tersebut. Menurut beberapa
pihak, ratifikasi ini terhambat oleh faktor politik karena parlemen Indonesia
yang punya mewenang melakukan ratifikasi tersebut, ternyata minta soal
perjanjian kabut asap ini dikaitkan dengan masalah lingkungan yang lain, yaitu
agar undang undang itu juga dikaitkan dengan ilegal logging dan pengiriman
limbah beracun. Jadi sebenarnya kesepakatan ini dipandang sebagai adu strategi
politik regional hingga DPR minta agar pemerintah untuk membicarakan isu isu
lain dengan memanfaatkan traktar tersebut.
Selain
itu, melalui upaya penanggulangan dengan merupakan perwujudan solidaritas
ASEAN, Indonesia akan didesak secara perlahan untuk bersikap lebih tegas
dalam penegakan hukumnya, bila meratifikasi AATHP tersebut. Memang dalam
perjanjian itu tidak secara tegas dijelaskan hukuman apa yang bakal dijatuhkan
kepada Indonesia jika hutannya terus terbakar dan melakukan ekspor asap. Tetapi
dengan perjanjian tersebut, selain Indonesia mendapat bantuan teknis, negara
ini juga bakal mendapatkan tekanan politis dari negara negara tetangga untuk lebih
serius terhadap masalah kebakaran hutan tersebut.
Indonesia
sedang menyelesaikan proses ratifikasi tersebut yang memerlukan tahapan
prosedur cukup panjang sesuai ketentuan UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional pasal 10 yang menyebut bahwa pengesahan perjanjian internasional
dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan antara lain dengan bidang lingkungan hidup.
Kini singapura telah
membuat ketentuan mengenai Bill of
Trans-boundary Haze Pollution, sebagai langkah untuk melindungi negaranya
dari pencemaran udara dan kerugian-kerugian yang mungkin mengikutinya. Dimana
ketentuan tentang pencemaran udara lintas batas tersebut bersifat extra-ordinary karena mampu menjerat
pelaku diluar wilayah teritorial singapura. Indonesia sebagai negara yang
dituju oleh ketentuan tersebut ternyata tidak menanggapi dengan serius untuk
melakukan perjanjian dengan singapura dan melakukan ratifikasi terhadap
ketentuan Bill of Trans-boundary Haze
Pollution tersebut.
2)
Implikasi dari ketetuan Bill of Trans-boundary Haze Pollution
terhadap pemerintah Indonesia.
Ketentuan Bill of Trans-boundary Haze Pollution yang
bersifat extra-ordinary karena mampu
menjerat pelaku diluar wilayah teritorial singapura tersebut, akan sangat
berdampak negatif kepada indonesia sebagai negara yang paling banyak
menyumbangkan polusi udara ke wilayah singapura. Singapura menentukan bahwa bagi
setiap pelanggaran baik itu entitas Singapura atau non-Singapura bagi yang
menyebabkan atau memberikan kontribusi untuk trans- polusi asap batas di
Singapura. Perusahaan atau individu yang memberikan dampak polusi dapat didenda
sampai $ 100.000 per hari, atau maksimum $ 2 juta, untuk meningkatkan polusi
Singapura ke tingkat yang tidak sehat.
Selain itu,
Direktur Global Program Kehutanan di World
Resources Institute (WRI), Nigel Sizer, mengatakan undang-undang polusi
asap lintas batas mengisyaratkan metode baru dalam melakukan bisnis bagi
perusahaan dan pemerintah yang ingin mengurangi kebakaran hutan dan lahan
gambut. Sizer juga menuturkan bahwa setiap perusahaan yang tertangkap secara
ilegal membakar hutan akan diseret ke pengadilan Singapura dan reputasi mereka
akan hancur bersamaan dengan itu, dimana pelanggan, bank dan asuransi akan
menghindari melakukan bisnis dengan perusahaan-perusahaan ini.
Hal
tersebut diatas, tentu mengancam perusahaan-perusahaan di Indonesia yang
artinya juga mengancam prekonomian Indonesia. Pemerintah Indonesia sebagai
salah satu subyek yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari
ketentuan tersebut tentu harus melakukan langkah-langkah bijak untuk
menyelesaikan masalah pencemaran udara lintas batas tersebut dengan tidak
meninggalkan kerugian bagi perekonomian Indonesia terutama di daerah.
Pemberlakuan
ketentuan ini secara ketat oleh singapura tentu mengancam pemerintahan daerah
yang paling banyak menyumbangkan polusi asap ke singapura terlebih lagi jika
singapura memberlakukan hukum perdata dan pidana sekaligus dalam menanggulangi
masalah polusi asap lintas batas. Di tambah lagi sanksi-sanksi yang mungkin di
terima Indonesia dari ketentuan tersebut.
Penyelesaian
sengket yang dilakukan dengan konsultasi dan negosiasi. Sebenarnya dalam hukum
internasional terdapat banyak model penyelesaian sengketa internasional yang
telah dikenal baik secara teori maupun praktek.[12]Hukum
internasional selalu menganggap tujuan fundamentalnya adalah pemeliharaan
perdamaian.[13]
Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai tercantum dalam Pasal 1
Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-sengketa Secara Damai yang kemudian
dikukuhkan oleh pasal 2(3) Piagam PBB.[14]
Berbagai aturan hukum internasional dapat dikemukakan prinsip-prinsip mengenai
penyelesaian sengketa internasional seperti prinsip itikad baik, prinsip
larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa, prinsip kebebasan
memilih cara-cara penyelesaian sengketa, prinsip kesepakatan para pihak, dan
prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan kemerdekaan dan
integritas wilayah Negara-negara.[15]
Jadi dalam hukum internasional pada umunya, dan kasus kebakaran hutan ini pada
khususnya, penyelesaian sengketa terbaik adalah dengan jalur diplomatik
secara langsung dan menghindari penggunaan acaman kekerasan.[16]
Indonesia sejak
proklamasi Kemerdekaan 1945, sudah mengadakan interaksi dengan Negara maupun
Organisasi Internasional, yang tunduk pada Hukum Internasional. Indonesia sudah
terlibat dalam pembuatan berbagai Perjanjian Internasional. Permasalahan yang
dihadapi adalah bagaimana sikap Indonesia terhadap keberadaan Hukum
Internasional, dan bagaimana Indonesia menerapkan Hukum Internasional, termasuk
di dalamnya Perjanjian Internasional.
Permasalahan yang
mungkin masih relevan untuk dibahas adalah bagaimana sikap Negara ketika
terjadi pesinggungan atau perbenturan dan bahkan pertentangan antara Hukum
Internasional dan Hukum Nasional. Hal ini mungkin terjadi dalam penerapan
Perjanjian Internasional di ranah Hukum Nasional. Apakah Negara akan
mengutamakan Hukum Internasional atau Hukum Nasional?. Permasalahan pengutamaan
dapat diselesaikan dengan menggunakan paham (teori) dalam hubungan antara Hukum
Internasional dan Hukum Nasional. Dikenal ada dua paham yaitu dualisme dan
monisme.
Menurut paham
dualisme Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang
secara keseluruhan berbeda. Hakekat Hukum Internasional berbeda dengan Hukum
Nasional. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum
yang benar-benar terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau
subordinasi. Namun secara logika paham dualisme akan mengutamakan Hukum
Nasional dan mengabaikan Hukum Internasiona
Berdasarkan paham
monisme Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan bagian yang saling
berkaitan dari satu sistem hukum pada umumnya. Pengutamaan mungkin pada Hukum
Nasional atau Hukum Internasional. Menurut faham monisme dengan pengutamaan
pada Hukum Nasional, Hukum Internasional merupakan kelanjutan Hukum Nasional.
Hukum Internasional merupakan Hukum Nasional untuk urusan luar negeri, paham
ini cenderung mengabaikan Hukum Internasional.
Berdasarkan paham
monisme dengan pengutamaan pada Hukum Internasional, Hukum Nasional secara
hirarkis lebih rendah dibandingkan dengan Hukum Internasional. Hukum Nasional
tunduk pada Hukum Internasional dalam arti Hukum Nasional harus sesuai dengan
Hukum Internasional.
Masalah berikutnya
yang perlu diperhatikan adalah bagaimanakah penerapan Hukum Internasional dalam
ranah Hukum Nasional Indonesia. Mengenai hal ini ada beberapa teori yang
dikenal dalam Hukum Internasional, yaitu teori transformasi, delegasi, dan
inkorporasi.
Menurut teori
inkorporasi Hukum Internasional dapat diterapkan dalam Hukum Nasional secara
otomatis tanpa adopsi khusus. Hukum Internasional dianggap sudah menyatu ke
dalam Hukum Nasional. Teori ini berlaku untuk penerapan Hukum Kebiasaan
Internasional dan Hukum Internasional universal.
Dalam penerapan
Hukum Internasional, yang bersumber dari Perjanjian Internasional ada dua
teori, yaitu teori transformasi dan teori delegasi. Berdasarkan teori
transformasi, Hukum Internasional yang bersumber dari Perjanjian Internasional
dapat diterapkan di dalam Hukum Nasional apabila sudah dijelmakan
(ditransformasi) ke dalam Hukum Nasional, secara formal dan substantif. Teori
transformasi mendasarkan diri pada pendapat pandangan positivis, bahwa
aturan-aturan Hukum Internasional tidak dapat secara langsung dan “ex proprio vigore” diterapkan dalam
Hukum Nasional. Demikian juga sebaliknya. Hukum Internasional dan Hukum
Nasional merupakan sistem hukum yang benar-benar terpisah, dan secara struktur
merupakan sistem hukum yang berbeda. Untuk dapat diterapkan ke dalam Hukum
Nasional perlu proses adopsi khusus atau inkorporasi khusus.
Menurut teori
delegasi, aturan-aturan konstitusional Hukum Internasional mendelegasikan
kepada masing-masing konstitusi Negara, hak untuk menentukan:
1. kapan ketentuan Perjanjian Internasional berlaku dalam Hukum Nasional;
2. cara bagaimana ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan Hukum Nasional.
Cukup sulit
menetapkan teori apa yang digunakan Indonesia. Indonesia tidak secara tegas-tegas
menganut dualisme atau monisme. Dan tidak secara tegas-tegas pula menggunakan
teori transformasi, delegasi, atau inkorporasi. Namun dalam kasus Bill of Trans-boundary Haze Pollution
ini, dapat dilihat bahwa Indonesia secara tidak langsung menganut dualisme dan
teori tranformasi, dimana dalam memberlakukan hukum-hukum internasional atau
perjanjian-perjanjian internasional ke dalam hukum nasional harus melalui
ratifikasi terlebih dahulu.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalam hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal
negara yang bersangkutan merugikan Negara lain, dan dibatasi hanya terhadap
perbuatan yang melanggar hukum internasional. Bila
dilihat, sebenarnya Indonesia telah melakukan segala upaya yang mampu dilakukan
untuk mencegah dan menanggulangi polusi asap akibat kebakaran hutan..
Undang-undang
polusi asap lintas batas singapura mengisyaratkan metode baru dalam melakukan
bisnis bagi perusahaan dan pemerintah yang ingin mengurangi kebakaran hutan dan
lahan gambut. Selain itu, setiap perusahaan yang tertangkap secara ilegal
membakar hutan akan diseret ke pengadilan Singapura dan reputasi mereka akan
hancur bersamaan dengan itu, dimana pelanggan, bank dan asuransi akan
menghindari melakukan bisnis dengan perusahaan-perusahaan ini.
Hal
tersebut diatas, tentu mengancam perusahaan-perusahaan di Indonesia yang
artinya juga mengancam prekonomian Indonesia. Pemerintah Indonesia sebagai
salah satu subyek yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari
ketentuan tersebut tentu harus melakukan langkah-langkah bijak untuk
menyelesaikan masalah pencemaran udara lintas batas tersebut dengan tidak
meninggalkan kerugian bagi perekonomian Indonesia terutama di daerah.
Pemberlakuan
ketentuan ini secara ketat oleh singapura tentu mengancam pemerintahan daerah
yang paling banyak menyumbangkan polusi asap ke singapura terlebih lagi jika
singapura memberlakukan hukum perdata dan pidana sekaligus dalam menanggulangi
masalah polusi asap lintas batas. Di tambah lagi sanksi-sanksi yang mungkin di
terima Indonesia dari ketentuan tersebut.
Dalam kasus Bill of Trans-boundary Haze Pollution
ini, dapat dilihat bahwa Indonesia secara tidak langsung menganut dualisme dan
teori tranformasi, dimana dalam memberlakukan hukum-hukum internasional atau
perjanjian-perjanjian internasional ke dalam hukum nasional harus melalui
ratifikasi terlebih dahulu.
B. SARAN
Dalam meyelesaikan
kasus pencemaran asap lintas batas antara singapura dan Indonesia, agar
menggunakan langkah-langkah diplomatis yang memberikan win-win solution kepada kedua negara.
[2] Regional Haze Action
Plan, ASEAN (Dec. 1997) (diakses pada tanggal 20 Maret 2008) terdapat dalam
situs http://www.aseansec.org/function/pa_haze.html.
[3] Badan Penanggulangan
Kabut Asap ini ikut mengambil bagian pada saat kebakaran hutan di Indonesia
pada tahun 1998, sedangkan Badan Penelitian mengambil lokasi di Kalimantan dan
Riau sebagai pusat penelitian. Lihat Joint Press Statement, Third ASEAN
Ministerial Meeting on Haze, para. 8, ASEAN (diakses 20Maret 2008) terdapat dalam
situs <http:// www.aseansec.org/function/prhaze3.htm>.
[4]
ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution, Art. 29.
[5]Negara yang melakukan
persetujuan meliputi seluruh negara anggota ASEAN. Sampai dengan Agustus 2005
tercatat yang telah melakukan ratifikasi adalah : (i) Brunei Darussalam tanggal
27 February 2003; (ii) Laos tanggal 19 Desember 2004; (iii) Malaysia tanggal 3
Desember 2002; (iv) Myanmar tanggal 5 Maret 2004; (v) Singapura tanggal 13
Januari 2003; (vi) Thailand tanggal 10 September 2003; (vii) Vietnam tanggal 24
Maret 2003. Lihat ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, June 10,
2002, terdapat dalam situs http://www.aseansec.org/pdf/agr_haze.
[6]Peraturan tersebut
tercantum dalam Peraturan Daerah Riau dan Peraturan Daerah Kotawaringin Barat.
Lihat Deni Bram, “Kebijakan Pengelolaan Hutan Belum Proekologi”, Media
Indonesia (1 September 2007): 7. Lihat pula Perda Karhutla Picu Kebakaran
Hutan, Suara Pembaruan Daily 29/6/07
[7]Menurut Lawrence M
Friedman suatu sistem hukum dapat berjalan optimal apabila ditunjang oleh
Struktur, Substansi dan Budaya Hukum di dalamnya. Substansi diartikan sebagai
aturan, norma dan pola perilaku nyata dalam sebuah sistem hukum. Lihat Lawrence
M Friedman, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Tatanusa, Jakarta, 2001,
hlm. 7.
[8]Diakses dari http://www.thejakartapost.com/news/2014/08/07/singapore-passes-trans-boundary-haze-act.html. Lihat pula
dalam Kontan.
co.id.
[9] F. Gunarwan Suratmo, Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1995,
hlm.101
[10]
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 2002
[11]
Suparto
Wijoyo, Hukum Lingkungan : Mengenal Instrumen Hukum Pengendalian
Pencemaran Udara di Indonesia, Surabaya, Airlangga University Press,
2004, hlm.3
[12]
Andreas Pramudianto, Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Lingkungan
Internasional, 2009
[13]
Malcom Shaw, International Law, Sixth Editon, Cambridge
University Press, 2008, hlm.1010
[14]
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Bandung, Alumni 2001, hlm.186
[15]
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta,
Sinar Grafika, 2004, hlm.15-18
[16]
Peret Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law,
Routledge, 1997, hlm.275