Selasa, 07 Oktober 2014

BILL OF TRANS-BOUNDARY HAZE POLLUTION DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMERINTAH INDONESIA PERSEKTIF HUKUM INTERNASIONAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
              Hutan  merupakan suatu sumber daya alam yang menyediakan berbagai kebutuhan kehidupan manusia, tidak sedikit orang yang menggantungkan hidupnya pada hutan. Namun, dari berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan hutan terdapat sisi negatif dari kegiatan mengeksplorasi hutan, yang dilakukan melalui cara-cara yang tidak berpihak kepada pelestarian hutan tersebut. Cara seperti pembakaran hutan untuk melakukan pembukaan lahan merupakan sisi negatif yang membawa dampak yang sangant serius, tidak hanya kepada masyarakat sekitar tetapi juga terhadap negara tetangga yang berdekatan dengan tempat pembakaran hutan.
              Sebagai bentuk tindak lanjut dari maraknya kebakaran hutan khususnya di Asia Tenggara dan dampak kabut asap yang dihasilkan, negara-negara yang tergabung dalam Association of South East Asian Nations (ASEAN) mencoba untuk merumuskan suatu kebijakan terkait dengan penanggulangan kebakaran hutan di Asia Tenggara. Pada pertemuan selanjutnya yang diadakan pada Juni 1995, para menteri di negara-negara ASEAN sepakat untuk membuat rencana kerjasama terhadap pencemaran transnasional (lintas batas).[1] Usaha ini pun dilanjutkan kembali dengan membawa isu yang lebih spesifik, yaitu penanggulangan dampak kabut asap melalui pernyataan para menteri yang terkait masing-masing negara anggota ASEAN dalam Regional Haze Action Plan.[2] Sekali lagi action plan ini mencoba untuk menegaskan secara langsung mengenai dampak kabut asap yang dapat mengganggu tidak hanya ekosistem yang ada, melainkan juga makhluk hidup di dalamnya. Sebagai usaha untuk memanfaatkan momentum yang ada, dalam rencana kerja ini langsung berusaha untuk membentuk badan penanggulangan kabut asap dan lembaga penelitian pada tingkat regional dan sub regional.[3]
              Momentum selanjutnya adalah pada usaha negara-negara anggota ASEAN untuk merumuskan suatu panduan dan komitmen hukum secara bersama-sama yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang berjudul ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (persetujuan ASEAN tentang pencemaran kabut asap lintas batas) yang mengatur pendistribusian tanggung jawab dan penanganan pencemaran kabut asap pada kawasan regional Asia Tenggara. Perjanjian ini ditandatangani oleh 10 negara peserta ASEAN pada Juni 2002, dan kemudian came into force pada 25 November 2003.[4] Setelah tiga tahun berjalan, tujuh dari sepuluh negara penandatangan telah melakukan ratifikasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang – undangan nasional negara peserta setempat.[5]
              Ironisnya, setelah berjalan 9 tahun hingga kini Indonesia selaku aktor dan subjek utama dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas) belum juga melakukan proses ratifikasi. Keberadaan semangat tanggung jawab bersama yang diusung dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas) sebenarnya dapat menjadi alasan untuk tidak dibebankannya tanggung jawab kepada Indonesia. Namun, hal ini justeru berlaku sebaliknya pada saat banyak peraturan perundang-undangan Indonesia yang melanggar kebijakan zero burning policy.
              Dalam sistem otonomi sekarang ini, keberadaan kebijakan yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk dapat melakukan upaya pengelolaan lingkungan secara mandiri terkadang memberikan dampak buruk. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan beberapa peraturan daerah yang secara eksplisit memperbolehkan adanya praktek pembakaran lahan dengan jumlah area tertentu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.[6] Dalam kondisi seperti itu, maka salah satu faktor yang mempengaruhi  adanya kelemahan dari model command and control di Indonesia dalam upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan di Indonesia adalah tidak adanya konsistensi dari substansi yang terdapat dalam suatu sistem hukum sebagaimana dikemukakan oleh Friedman.[7]
              Baru-baru ini, Parlemen Singapura telah memberlakukan peraturan yang mengatur tetang Polusi Asap Lintas Batas (Bill of Trans-boundary Haze Pollution), yang akan memungkinkan regulator untuk menuntut individu atau perusahaan di negara-negara tetangga yang menyebabkan polusi udara yang parah di Singapura melalui tebas bakar praktek pertanian. Tindakan pertama kali diusulkan pada 2013 setelah kenaikan besar dalam jumlah kebakaran hutan di provinsi Riau (Indonesia) menyebar asap ke Singapura, menambah tingkat polusi di singapura. Direktur Global Program Kehutanan di World Resources Institute (WRI), Nigel Sizer, mengatakan undang-undang polusi asap lintas batas mengisyaratkan metode baru dalam melakukan bisnis bagi perusahaan dan pemerintah yang ingin mengurangi kebakaran hutan dan lahan gambut. Sizer juga menuturkan bahwa setiap perusahaan yang tertangkap secara ilegal membakar hutan akan diseret ke pengadilan Singapura dan reputasi mereka akan hancur bersamaan dengan itu, dimana pelanggan, bank dan asuransi akan menghindari melakukan bisnis dengan perusahaan-perusahaan ini.[8]
              Oleh karena itu, perlu dilakukan elaborasi lebih jauh tetang bagaimana pengaruh Bill of Trans-boundary Haze Pollution tersebut terhadap hukum nasional di Indonesia. Sehingga dapat ditarik sebuah pemahaman mengapa indonesia belum mealukan ratifikasi terhadap ketentuan-ketentuan internasional terkait dengan pencemaran udara lintas batas tersebut.

B.     RUMUSAN MASALAH
               Berdasarkan uraian di atas, penyusun bermaksud membahas lebih lanjut rumusan masalah berikut: “Bagaimanakah pengaruh Bill of Trans-boundary Haze Pollution tersebut terhadap hukum nasional di Indonesia dan apakah implikasi yuridis yang timbul dari ketetuan tersebut terhadap pemerintah Indonesia. ” ?










BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION
Pencemaran udara diartikan sebagai adanya satu  atau lebih pencemar yang masuk ke dalam udara atmosfer yang terbuka, yang dapat berbentuk sebagai debu, uap, gas, kabut, bau, asap, atau embun yang dicirikan bentuk jumlahnya, sifat dan lamanya. [9]
Menurut rekomendasi OECD tentang Principles Concerning Transfrontier Pollution 1974 merumuskan pencemaran sebagai berikut : ”the introduction by man, directly or indirectly, of substances or energy into the environment resulting in deleterious effects of living resources and ecosystems, and impair or interfere with amenities and other legitimate uses of the environment”.
Menurut rekomendasi dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah : ”smoke resulting from land and/or forest fire which causes deleterious effects of such a nature as to endanger human health, harm living resources and ecosystems and material property and impair or interfere with amenities and other legitimate uses of the environment”.
Dalam hal membicarakan masalah pencemaran lintas batas, khususnya pencemaran udara dapat diartikan sebagai suatu gambaran yang menerangkan bahwa suatu pencemaran yang terjadi dalam suatu wilayah negara akan tetapi dampak yang ditimbulkannya oleh karena faktor media atmosfer atau biosfer melintas sampai ke wilayah negara lain.
Atas dasar pengertian diatas, pencemaran udara lintas batas adalah : Transboundary haze pollution” means haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part within the area under the national jurisdiction of one Member State and which is transported into the area under the jurisdiction of another Member State.[10]
Dengan demikian disimpulkan bahwa yang dimaksud pencemaran lintas batas tersebut adalah pencemaran udara yang berasal baik seluruh atau sebagian dari suatu negara yang menimbulkan dampak dalam suatu wilayah yang berada dibawah jurisdiksi negara lain.
1)      Dampak dari transboundary haze pollution :
  1. Dampak terhadap sosial, budaya, dan ekonomi
a.       Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan : asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut mengganggu aktifitas masyarakat.
b.      Terganggunya aktifitas sehari-hari : gangguan asap akan mengurangi intensitas berada diluar ruangan, memaksa orang menggunakan masker yang dapat mengganggu aktifitas, kantor-kantor dan sekolah yang dihentikan atau libur karena tebalnya asap.
c.       Terganggunya kesehatan : secara umum asap akibat kebakaran hutan telah meningkatkan kasus infeksi saluran pernapasan atas, pneumonia dan sakit mata.
d.      Produktifitas menurun
  1. Dampak terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan
a.       Hilangnya sejumlah species : kebakaran hutan menghancurkan berbagai habitat satwa serta pohon-pohon dalam hutan.
b.      Ancaman erosi : Hilangnya margasatwa menyebabkan lahan terbuka sehingga mudah terjadi erosi dan tidak dapat lagi menahan banjir.
c.       Menurunnya devisa negara : turunnya produktifitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro yang pada akhirnya mempengaruhi perekonomian negara.
d.      Pemanasan global : transbounday haze pollution juga menyebabkan terjadinya perubahan komposisi gas rumah kaca di atmosfier, yaitu meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca secara global yang berakibat pada peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi, yang kemudian dikenal dengan pemanasan global. Pemanasan global ini pada akhirnya membawa dampak terjadinya perubahan iklim yang mempengaruhi kehidupan di bumi. Pemanasan global sangat erat kaitannya dengan iklim yang menjadi panas secara perlahan tapi pasti dalam jangka waktu yang cukup panjang yang akan mengubah dunia menjadi daerah yang terlalu panas untuk didiami. Dalam kaitan tersebut, terkaitlah peran dari suatu fenomena alam yang disebut dengan efek rumah kaca. Perubahan komposisi gas rumah kaca di atmosfer lebih banyak disebabkan oleh aktifitas manusia seperti pembakaran hutan secara luas sehingga meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca secara global yang berakibat pada peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi atau pemanasan global.
Lapisan ozon merupakan tameng yang melindungi bumi dari radiasai sinar ultraviolet yang merusak. Penipisan lapisan ozon disebabkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia sebagai perusak lapisan ozon dan gas karbondioksida yang dapat berasal dari hasil proses pembakaran seperti kebakaran hutan.
Dengan demikian kebakaran hutan yang secara luas menyebabkan pemanasan global dan meningkatnya suhu bumi merupakan ancaman yang sangat serius bagi keselamatan lingkungan hidup dan kehidupan manusia. Salah satu dampak dari pemanasan global ini adalah penipisan lapisan ozon. Dimana lapisan ozon ini memiliki ultra violet yang dipancarkan oleh matahari. Rusaknya lapisan ozon ini mengakibatkan kerusakan-kerusakan bagi kehidupan di bumi.
  1. Dampak terhadap perhubungan dan pariwisata: asap tebal juga mengganggu transportasi khsusunya udara. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sering terdengar sebuah pesawat tidak bisa turun di suatu tempat karena tebalnya asap. Sudah tentu hal ini akan mengganggu bisnis pariwisata karena keengganan orang untuk beradap di tempat yang dipenuhi asap. Sementara pada transportasi darat dan lau terjadp beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda.
Kebakaran hutan yang mengakibatkan pencemaan udara disinyalir juga memberikan tiga ancaman strategis, kompleks dan melintasi batas-batas teritorial negara berupa penipisan lapisan ozon, berkurangnya oksidasi atmosfer serta pemanasan global. Ketiganya mempunyai daya untuk mengubah dan mengganggu peran keseimbangan atmosfer yang penting dalam sistem ekologi global.[11]

B.     BILL OF TRANS-BOUNDARY HAZE POLLUTION SINGAPURA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMERINTAH INDONESIA
              Singapura membuat pernyataan lingkungan berani dengan melewati UU Polusi Asap Lintas Batas, sehingga pelanggaran bagi setiap entitas Singapura atau non-Singapura bagi yang menyebabkan atau memberikan kontribusi untuk trans- polusi asap batas di Singapura. Perusahaan atau individu yang memberikan dampak polusi dapat didenda sampai $ 100.000 per hari, atau maksimum $ 2 juta, untuk meningkatkan polusi Singapura ke tingkat yang tidak sehat.
              Menurut Haze Action ASEAN, kebakaran di tanah gambut adalah penyumbang utama kabut polusi di kawasan, yang merupakan rumah bagi 60 persen dari lahan gambut tropis dunia (Indonesia memiliki hampir 70 persen). Dr.Vivian Balakrishnan, Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura, mengatakan, "Polusi Trans-batas kabut telah menjadi masalah abadi di wilayah tersebut selama dua atau lebih dekade terakhir. Akar masalah ini adalah kepentingan komersial sejajar di mana perusahaan membakar hutan dan terlibat dalam degradasi berkelanjutan lahan untuk memaksimalkan keuntungan jangka pendek. Sementara undang-undang ini merupakan langkah ke arah yang benar, itu bukan peluru perak. Ini  hanyalah salah satu dari batu tulis langkah-langkah yang harus kita tempuh untuk mengatasi kabut lintas batas yang telah menjangkiti wilayah kami selama bertahun-tahun.
              Perjanjian ASEAN mengenai Polusi Asap Lintas Batas diadopsi pada bulan Juni 2002, namun kabut ekstrim berlanjut ke wilayah tersebut. 2013 merupakan tahun rekor untuk kabut dan polusi udara, dengan PSI (Pollutant Standards Index) mencapai lebih dari 400 di beberapa daerah. Pemerintah Singapura mendefinisikan tingkat 300 dan lebih sebagai "berbahaya."
              Undang-undang Singapura tentang kabut asap lintas batas bisa memberi sanksi tegas bagi korporasi kejahatan lingkungan di luar yuridiksi Singapura. UU itu dinilai bisa merugikan Indonesia. Direktur Walhi Riau, Riko Kurniawan, mengatakan bahwa jika Singapura bisa mengadili perusahaanya yang membakar lahan di Indonesia, merekalah yang mendapat keuntungan, padahal kerusakannya terjadi  di Indonesia. Nantinya denda para perusahaan akan masuk ke negara Singapura. Menurut Riko hal itu harus dinegosiasikan, karena aturan tersebut sangat merugikan Indonesia.
              Progresifnya, hukum Singapura terhadap yuridiksi di Indonesia menandakan lemahnya penegakan hukum dalam menyelesaikan kejahatan lingkungan di Indonesia. Berbeda halnya dengan UU Kabut Asap lintas Batas Singapura, yang dapat mengejar para pelaku di negara lain, bahkan bukan hanya perusahaan, pelaku yang mempunyai saham di perusahaan saja bisa diadili oleh negaranya.
              Sebelumnya, pengamat hukum lingkungan Universitas Tarumanagara, Deni Bram, mengatakan kebijakan tersebut merupakan langkah frustasi Singapura terhadap keseriusan Indonesia dalam menanggulangi pencemaran asap. Deni menilai Undang-undang Kabut Asap Lintas Batas Singapura, masih lebih tinggi dari persetujuan pencemaran Asap Lintas Batas ASEAN. Namun, ia mengingatkan agar Indonesia membicarakan persoalan itu kepada Singapura.
              Hal itu ditempuh agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan, antara persetujuan pencemaran asap ASEAN dan Undang-undang kabut asap lintas batas Singapura.
1)      Alasan Indonesia Belum Meratifikasi ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP)
Negara-negara ASEAN kesulitan untuk membantu Indoensia mengatasi kebakaran hutan karena Indonesia sendiri belum meratifikasi kesepakatan tersebut. Menurut beberapa pihak, ratifikasi ini terhambat oleh faktor politik karena parlemen Indonesia yang punya mewenang melakukan ratifikasi tersebut, ternyata minta soal perjanjian kabut asap ini dikaitkan dengan masalah lingkungan yang lain, yaitu agar undang undang itu juga dikaitkan dengan ilegal logging dan pengiriman limbah beracun. Jadi sebenarnya kesepakatan ini dipandang sebagai adu strategi politik regional hingga DPR minta agar pemerintah untuk membicarakan isu isu lain dengan memanfaatkan traktar tersebut.
Selain itu, melalui upaya penanggulangan dengan merupakan perwujudan solidaritas ASEAN, Indonesia akan didesak secara perlahan untuk bersikap lebih tegas dalam penegakan hukumnya, bila meratifikasi AATHP tersebut. Memang dalam perjanjian itu tidak secara tegas dijelaskan hukuman apa yang bakal dijatuhkan kepada Indonesia jika hutannya terus terbakar dan melakukan ekspor asap. Tetapi dengan perjanjian tersebut, selain Indonesia mendapat bantuan teknis, negara ini juga bakal mendapatkan tekanan politis dari negara negara tetangga untuk lebih serius terhadap masalah kebakaran hutan tersebut.
Indonesia sedang menyelesaikan proses ratifikasi tersebut yang memerlukan tahapan prosedur cukup panjang sesuai ketentuan UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional pasal 10 yang menyebut bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan antara lain dengan  bidang lingkungan hidup.
Kini singapura telah membuat ketentuan mengenai Bill of Trans-boundary Haze Pollution, sebagai langkah untuk melindungi negaranya dari pencemaran udara dan kerugian-kerugian yang mungkin mengikutinya. Dimana ketentuan tentang pencemaran udara lintas batas tersebut bersifat extra-ordinary karena mampu menjerat pelaku diluar wilayah teritorial singapura. Indonesia sebagai negara yang dituju oleh ketentuan tersebut ternyata tidak menanggapi dengan serius untuk melakukan perjanjian dengan singapura dan melakukan ratifikasi terhadap ketentuan Bill of Trans-boundary Haze Pollution tersebut.
2)      Implikasi dari ketetuan Bill of Trans-boundary Haze Pollution terhadap pemerintah Indonesia.
Ketentuan Bill of Trans-boundary Haze Pollution yang bersifat extra-ordinary karena mampu menjerat pelaku diluar wilayah teritorial singapura tersebut, akan sangat berdampak negatif kepada indonesia sebagai negara yang paling banyak menyumbangkan polusi udara ke wilayah singapura. Singapura menentukan bahwa bagi setiap pelanggaran baik itu entitas Singapura atau non-Singapura bagi yang menyebabkan atau memberikan kontribusi untuk trans- polusi asap batas di Singapura. Perusahaan atau individu yang memberikan dampak polusi dapat didenda sampai $ 100.000 per hari, atau maksimum $ 2 juta, untuk meningkatkan polusi Singapura ke tingkat yang tidak sehat.
Selain itu, Direktur Global Program Kehutanan di World Resources Institute (WRI), Nigel Sizer, mengatakan undang-undang polusi asap lintas batas mengisyaratkan metode baru dalam melakukan bisnis bagi perusahaan dan pemerintah yang ingin mengurangi kebakaran hutan dan lahan gambut. Sizer juga menuturkan bahwa setiap perusahaan yang tertangkap secara ilegal membakar hutan akan diseret ke pengadilan Singapura dan reputasi mereka akan hancur bersamaan dengan itu, dimana pelanggan, bank dan asuransi akan menghindari melakukan bisnis dengan perusahaan-perusahaan ini.
Hal tersebut diatas, tentu mengancam perusahaan-perusahaan di Indonesia yang artinya juga mengancam prekonomian Indonesia. Pemerintah Indonesia sebagai salah satu subyek yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari ketentuan tersebut tentu harus melakukan langkah-langkah bijak untuk menyelesaikan masalah pencemaran udara lintas batas tersebut dengan tidak meninggalkan kerugian bagi perekonomian Indonesia terutama di daerah. 
Pemberlakuan ketentuan ini secara ketat oleh singapura tentu mengancam pemerintahan daerah yang paling banyak menyumbangkan polusi asap ke singapura terlebih lagi jika singapura memberlakukan hukum perdata dan pidana sekaligus dalam menanggulangi masalah polusi asap lintas batas. Di tambah lagi sanksi-sanksi yang mungkin di terima Indonesia dari ketentuan tersebut.
Penyelesaian sengket yang dilakukan dengan konsultasi dan negosiasi. Sebenarnya dalam hukum internasional terdapat banyak model penyelesaian sengketa internasional yang telah dikenal baik secara teori maupun praktek.[12]Hukum internasional selalu menganggap tujuan fundamentalnya adalah pemeliharaan perdamaian.[13] Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai tercantum dalam Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-sengketa Secara Damai yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2(3) Piagam PBB.[14] Berbagai aturan hukum internasional dapat dikemukakan prinsip-prinsip mengenai penyelesaian sengketa internasional seperti prinsip itikad baik, prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa, prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa, prinsip kesepakatan para pihak, dan prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan kemerdekaan dan integritas wilayah Negara-negara.[15] Jadi dalam hukum internasional pada umunya, dan kasus kebakaran hutan ini pada khususnya, penyelesaian sengketa terbaik adalah dengan jalur diplomatik secara langsung dan menghindari penggunaan acaman kekerasan.[16]
Indonesia sejak proklamasi Kemerdekaan 1945, sudah mengadakan interaksi dengan Negara maupun Organisasi Internasional, yang tunduk pada Hukum Internasional. Indonesia sudah terlibat dalam pembuatan berbagai Perjanjian Internasional. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana sikap Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, dan bagaimana Indonesia menerapkan Hukum Internasional, termasuk di dalamnya Perjanjian Internasional.
Permasalahan yang mungkin masih relevan untuk dibahas adalah bagaimana sikap Negara ketika terjadi pesinggungan atau perbenturan dan bahkan pertentangan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Hal ini mungkin terjadi dalam penerapan Perjanjian Internasional di ranah Hukum Nasional. Apakah Negara akan mengutamakan Hukum Internasional atau Hukum Nasional?. Permasalahan pengutamaan dapat diselesaikan dengan menggunakan paham (teori) dalam hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Dikenal ada dua paham yaitu dualisme dan monisme.
Menurut paham dualisme Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hakekat Hukum Internasional berbeda dengan Hukum Nasional. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang benar-benar terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Namun secara logika paham dualisme akan mengutamakan Hukum Nasional dan mengabaikan Hukum Internasiona
Berdasarkan paham monisme Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan bagian yang saling berkaitan dari satu sistem hukum pada umumnya. Pengutamaan mungkin pada Hukum Nasional atau Hukum Internasional. Menurut faham monisme dengan pengutamaan pada Hukum Nasional, Hukum Internasional merupakan kelanjutan Hukum Nasional. Hukum Internasional merupakan Hukum Nasional untuk urusan luar negeri, paham ini cenderung mengabaikan Hukum Internasional.
Berdasarkan paham monisme dengan pengutamaan pada Hukum Internasional, Hukum Nasional secara hirarkis lebih rendah dibandingkan dengan Hukum Internasional. Hukum Nasional tunduk pada Hukum Internasional dalam arti Hukum Nasional harus sesuai dengan Hukum Internasional.
Masalah berikutnya yang perlu diperhatikan adalah bagaimanakah penerapan Hukum Internasional dalam ranah Hukum Nasional Indonesia. Mengenai hal ini ada beberapa teori yang dikenal dalam Hukum Internasional, yaitu teori transformasi, delegasi, dan inkorporasi.
Menurut teori inkorporasi Hukum Internasional dapat diterapkan dalam Hukum Nasional secara otomatis tanpa adopsi khusus. Hukum Internasional dianggap sudah menyatu ke dalam Hukum Nasional. Teori ini berlaku untuk penerapan Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Internasional universal.
Dalam penerapan Hukum Internasional, yang bersumber dari Perjanjian Internasional ada dua teori, yaitu teori transformasi dan teori delegasi. Berdasarkan teori transformasi, Hukum Internasional yang bersumber dari Perjanjian Internasional dapat diterapkan di dalam Hukum Nasional apabila sudah dijelmakan (ditransformasi) ke dalam Hukum Nasional, secara formal dan substantif. Teori transformasi mendasarkan diri pada pendapat pandangan positivis, bahwa aturan-aturan Hukum Internasional tidak dapat secara langsung dan “ex proprio vigore” diterapkan dalam Hukum Nasional. Demikian juga sebaliknya. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan sistem hukum yang benar-benar terpisah, dan secara struktur merupakan sistem hukum yang berbeda. Untuk dapat diterapkan ke dalam Hukum Nasional perlu proses adopsi khusus atau inkorporasi khusus.
Menurut teori delegasi, aturan-aturan konstitusional Hukum Internasional mendelegasikan kepada masing-masing konstitusi Negara, hak untuk menentukan:
1. kapan ketentuan Perjanjian Internasional berlaku dalam Hukum Nasional;
2. cara bagaimana ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan Hukum Nasional.


Cukup sulit menetapkan teori apa yang digunakan Indonesia. Indonesia tidak secara tegas-tegas menganut dualisme atau monisme. Dan tidak secara tegas-tegas pula menggunakan teori transformasi, delegasi, atau inkorporasi. Namun dalam kasus Bill of Trans-boundary Haze Pollution ini, dapat dilihat bahwa Indonesia secara tidak langsung menganut dualisme dan teori tranformasi, dimana dalam memberlakukan hukum-hukum internasional atau perjanjian-perjanjian internasional ke dalam hukum nasional harus melalui ratifikasi terlebih dahulu.









BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dalam hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara yang bersangkutan merugikan Negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Bila dilihat, sebenarnya Indonesia telah melakukan segala upaya yang mampu dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi polusi asap akibat kebakaran hutan..
Undang-undang polusi asap lintas batas singapura mengisyaratkan metode baru dalam melakukan bisnis bagi perusahaan dan pemerintah yang ingin mengurangi kebakaran hutan dan lahan gambut. Selain itu, setiap perusahaan yang tertangkap secara ilegal membakar hutan akan diseret ke pengadilan Singapura dan reputasi mereka akan hancur bersamaan dengan itu, dimana pelanggan, bank dan asuransi akan menghindari melakukan bisnis dengan perusahaan-perusahaan ini.
Hal tersebut diatas, tentu mengancam perusahaan-perusahaan di Indonesia yang artinya juga mengancam prekonomian Indonesia. Pemerintah Indonesia sebagai salah satu subyek yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari ketentuan tersebut tentu harus melakukan langkah-langkah bijak untuk menyelesaikan masalah pencemaran udara lintas batas tersebut dengan tidak meninggalkan kerugian bagi perekonomian Indonesia terutama di daerah. 
Pemberlakuan ketentuan ini secara ketat oleh singapura tentu mengancam pemerintahan daerah yang paling banyak menyumbangkan polusi asap ke singapura terlebih lagi jika singapura memberlakukan hukum perdata dan pidana sekaligus dalam menanggulangi masalah polusi asap lintas batas. Di tambah lagi sanksi-sanksi yang mungkin di terima Indonesia dari ketentuan tersebut.
Dalam kasus Bill of Trans-boundary Haze Pollution ini, dapat dilihat bahwa Indonesia secara tidak langsung menganut dualisme dan teori tranformasi, dimana dalam memberlakukan hukum-hukum internasional atau perjanjian-perjanjian internasional ke dalam hukum nasional harus melalui ratifikasi terlebih dahulu.

B.     SARAN
Dalam meyelesaikan kasus pencemaran asap lintas batas antara singapura dan Indonesia, agar menggunakan langkah-langkah diplomatis yang memberikan win-win solution kepada kedua negara.




[1] Forward to ASEAN Secretariat, ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution (1997)
[2] Regional Haze Action Plan, ASEAN (Dec. 1997) (diakses pada tanggal 20 Maret 2008) terdapat dalam situs http://www.aseansec.org/function/pa_haze.html.
[3] Badan Penanggulangan Kabut Asap ini ikut mengambil bagian pada saat kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 1998, sedangkan Badan Penelitian mengambil lokasi di Kalimantan dan Riau sebagai pusat penelitian. Lihat Joint Press Statement, Third ASEAN Ministerial Meeting on Haze, para. 8, ASEAN (diakses 20Maret 2008) terdapat dalam situs <http:// www.aseansec.org/function/prhaze3.htm>.
[4] ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, Art. 29.
[5]Negara yang melakukan persetujuan meliputi seluruh negara anggota ASEAN. Sampai dengan Agustus 2005 tercatat yang telah melakukan ratifikasi adalah : (i) Brunei Darussalam tanggal 27 February 2003; (ii) Laos tanggal 19 Desember 2004; (iii) Malaysia tanggal 3 Desember 2002; (iv) Myanmar tanggal 5 Maret 2004; (v) Singapura tanggal 13 Januari 2003; (vi) Thailand tanggal 10 September 2003; (vii) Vietnam tanggal 24 Maret 2003. Lihat ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, June 10, 2002, terdapat dalam situs http://www.aseansec.org/pdf/agr_haze.

[6]Peraturan tersebut tercantum dalam Peraturan Daerah Riau dan Peraturan Daerah Kotawaringin Barat. Lihat Deni Bram, “Kebijakan Pengelolaan Hutan Belum Proekologi”, Media Indonesia (1 September 2007): 7. Lihat pula Perda Karhutla Picu Kebakaran Hutan, Suara Pembaruan Daily 29/6/07
[7]Menurut Lawrence M Friedman suatu sistem hukum dapat berjalan optimal apabila ditunjang oleh Struktur, Substansi dan Budaya Hukum di dalamnya. Substansi diartikan sebagai aturan, norma dan pola perilaku nyata dalam sebuah sistem hukum. Lihat Lawrence M Friedman, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Tatanusa, Jakarta, 2001, hlm. 7.
[9] F. Gunarwan Suratmo, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, hlm.101

[10] ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 2002
[11] Suparto Wijoyo, Hukum Lingkungan : Mengenal Instrumen Hukum Pengendalian Pencemaran Udara di Indonesia, Surabaya, Airlangga University Press, 2004, hlm.3

[12] Andreas Pramudianto, Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Lingkungan Internasional, 2009
[13] Malcom Shaw, International Law, Sixth Editon, Cambridge University Press, 2008, hlm.1010
[14] Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni 2001, hlm.186
[15] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.15-18
[16] Peret Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, Routledge, 1997, hlm.275